2.3.12

Revisi RUU Pangan

Serikat petani beri masukan ke pemerintah

Oleh Dea Chadiza Syafina -

JAKARTA. Serikat Petani Indonesia (SPI) ikut memberi masukan terhadap revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pangan dan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pasalnya, saat ini pemerintah bersama dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tengah menggodok revisi RUU Pangan dan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Tujuan revisi RUU ini adalah untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan sehingga mampu tercapai kondisi ketahanan pangan, ketersediaan pangan serta keamanan pangan. Hingga kini RUU ini sedang menunggu daftar inventarisir masalah (DIM), dari pemerintah untuk masuk pada tahap pembahasan tingkat I di Komisi IV DPR RI.

Salah satu masukan SPI menyangkut pasal 11, dimana SPI meminta DPR maupun pemerintah untuk memperhatikan perencanaan pemasukan dan pengeluaran pangan supaya diatur dan menjadi kewenangan pemerintah.

Masukan tersebut disampaikan Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI, Achmad Yakub, dalam seminar Telaah Kritis Revisi UU Pangan dan Kesejahteraan Petani Poksi Komisi IV DPR Fraksi Partai Demokrat, Jumat (2/3). "Jangan sampai pemerintah daerah dapat melakukan impor dan ekspor pangan tanpa ada aturan yang jelas," tutur Yakub.

Selain itu, SPI juga memberikan masukan pada pasal 19 mengenai alokasi lahan pertanian dan pemenuhan pangan pokok. Karena harus ada perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan agar tidak terjadi lagi pengalihan fungsi lahan pertanian produktif menjadi area non pertanian.

Pasalnya, setiap tahun ada 200.000 hektare (ha) lahan pangan yang dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian. “Ini tentu menutup ruang kerja petani dan menutup kemungkinan Indonesia untuk mencapai swasembada pangan," ujar Yakub.

SPI juga memberikan masukan atau usulan terhadap pasal 33 RUU Revisi Pangan, yakni mengenai penyimpanan dan distribusi pangan. Menurut Yakub, penyimpanan dan distribusi pangan seharusnya dikelola oleh kelembagaan pemerintah, mengingat pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia sesuai dengan Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. "Pangan bukan sekadar komoditas. Dan merupakan tanggung jawab negara untuk menjamin pemenuhannya," imbuhnya.

Dalam pasal 52 Revisi RUU Pangan, SPI juga memberikan usulan bahwa pemerintah harus memiliki peran lebih dalam mengendalikan harga pangan dalam negeri. Karena hal tersebut akan menjadi sangat krusial di tengah krisis pangan global dan meningkatnya spekulasi serta volalitas harga pangan. "Hal ini sangat penting untuk diatur dan dipertahankan guna menjaga stabilitas harga dan menjamin keterjangkauan oangan bagi seluruh rakyat Indonesia," sambungnya.
sumber http://nasional.kontan.co.id/news/serikat-petani-beri-masukan-ke-pemerintah
Baca Selanjutnya......

13.1.12

Petani Gugat Kebijakan Agraria

JAKARTA - Ribuan petani, buruh, masyarakat adat, mahasiswa, perangkat desa, dan anggota lembaga swadaya masyarakat melakukan unjuk rasa besar-besaran di sejumlah tempat di Indonesia. Pemerintah dianggap tak memihak rakyat dalam konflik-konflik agraria.

Sejak Kamis (12/1) pagi, area depan halaman Istana Presiden sudah ditutup rapat dengan pagar berkawat besi setinggi satu meter. Petugas kepolisian dari Polda Metro Jaya mengerahkan sekitar 800 orang personel yang dilengkapi senjata lengkap serta tameng fiber maupun tameng sekat untuk menghalau massa.

Menjelang siang, sepanjang Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, mulai disesaki pengunjuk rasa. Gerombolan massa terutama terlihat di seberang Istana Presiden. Arus lalu lintas di jalan ini terhambat sekitar lima jam akibat kerumunan massa. Sepanjang Jalan Merdeka Utara menuju Jalan MH Thamrin, arus kendaraan padat merayap.

Menurut salah seorang perwakilan massa yang ditemui Republika di tengah kerumunan, Achmad Ya'kub, sedikitnya ada 10 ribu massa yang berkumpul di depan area Istana Presiden, kemarin. Pria yang juga merupakan ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) itu mengatakan, massa tergabung dalam Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia.

"Kami menyatakan perlawanan terhadap perampasan tanah-tanah rakyat di seluruh Indonesia," kata Ya'kub di sela-sela unjuk rasa. Menurut dia, selama ini Presiden SBY menutup mata terhadap masalah perampasan tanah milik rakyat. Yakub pun meminta SBY membubarkan Perhutani dan memberikan hak yang lebih luas kepada rakyat, penduduk desa, dan masyarakat adat dalam mengelola hutan.

Ya'kub mengatakan, ada 77 organisasi ikut serta dalam unjuk rasa. Mereka berasal dari Cirebon, Semarang, Banten, Pasundan, Tasikmalaya, dan daerah-daerah lain.

Unjuk rasa kemudian dilanjutkan ke depan gedung DPR. Massa mulai memenuhi depan pagar bagian selatan gedung DPR sekitar pukul 13.00 WIB kemarin. Pukul 14.00 WIB, sekitar 4.000-an pendemo sudah menyesaki tempat tersebut.

Selepas sejumlah anggota dewan menyampaikan orasi pada 14.20 WIB, sebanyak 20 orang mengayun-ayunkan pagar di sebelah kanan pintu masuk. Lima menit kemudian, pagar jebol, begitu juga pagar di sebelah kanannya. Sebagian massa juga berusaha menjebol pagar pembatas jalan tol dan berhasil merobohkan dua pagar pembatas.

Menanggapi massa yang hendak merangsek ke dalam gedung, petugas polisi menyemprotkan meriam air. Massa ditenangkan selepas itu.

Koordinator umum aksi, Agustiana, mengatakan, selain reformasi agraria, massa juga menuntut pembaruan desa dan penegakan aturan keadilan ekologis. Dia menuding, selama ini pemerintah kian brutal dalam melakukan praktik perampasan tanah dan sumber-sumber kehidupan rakyat.

"Pemerintah pusat dan daerah secara sengaja menggunakan aparat dan pam swakarsa untuk menembak, membunuh, menangkap, dan melakukan berbagai bentuk kekerasan untuk kepentingan korporasi," ujar Agustiana.

Ia mendesak DPR segera membentuk panitia khusus (pansus) penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam tanpa merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960. Segala bentuk perampasan tanah rakyat harus dihentikan dan tanah-tanah yang dirampas dikembalikan ke rakyat.

Selain dari gabungan aksi Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia, turut berunjuk rasa juga ribuan perangkat desa yang tergabung dalam Parade Nusantara. "Tuntutannya jelas, disahkannya RUU Desa dan pemerintah batalkan kebijakan impor," kata Ketua Parade Nusantara Sudir Santoso di depan gedung DPR.

DPR setuju bentuk Pansus
Menyusul unjuk rasa, sebanyak 34 anggota DPR menandatangani surat pernyataan pembentukan panitia khusus (pansus) DPR untuk penanganan masalah agraria. Dalam surat pernyataan, para anggota DPR juga menyatakan dukungan atas sikap dan usulan yang disampaikan pengunjuk rasa, yakni pembentukan Pansus Agraria.

Tugas pokok pansus itu nantinya akan memastikan seluruh kebijakan agraria berdasarkan UU Pokok Agraria Nomor 5/1960, memberikan rekomendasi ke Sidang Paripurna DPR untuk mencabut undang-undang yang merugikan rakyat. Selain itu, dapat memberikan rekomendasi kepada DPR dan presiden untuk mencabut izin usaha pertambangan kontrak karya, hak pengelolaan hutan alam dan tanaman, serta hak guna usaha perkebunan.

Sumber : Republika
Baca Selanjutnya......

16.11.11

Bom Waktu, Gantungkan Pangan pada Negara Lain

JAKARTA - Kebergantungan Indonesia pada impor pangan merupakan bom waktu yang sewaktuwaktu bisa meledakkan masalah nasional. Hal itu bisa terjadi karena pemerintah bertahun-tahun mengabaikan kemandirian pangan. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengalokasikan APBN untuk membangun pertanian dengan target utama mampu menyediakan pangan rakyat dari dalam negeri. "Pangan akan jadi masalah serius karena kita mengabaikannya selama ini. Malah, kita menggampangkannya dengan membiarkan derasnya impor pangan.

Akibatnya, kita tidak sadar jika sektor pertanian kita hancur," kata Ketua Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia Achmad Yakub di Jakarta, Selasa (15/11). Sebagai negara agraris, sungguh ironis, kini Indonesia termasuk importir pangan terbesar dunia dengan porsi impor sekitar 65 persen kebutuhan nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor pangan sepanjang Januari–Juni 2011 mencapai 45 triliun rupiah. Komoditas pangan yang diimpor mencapai 28 jenis, mulai dari beras, jagung, kedelai, tepung terigu, cengkih, cabai kering, hingga tembakau. Nilai tersebut meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 39,9 triliun rupiah. 

Menurut Yakub, pemerintah seharusnya memprioritaskan kemampuan menyediakan pangan bagi rakyat dari sumber dalam negeri karena hal itu merupakan bagian dari keamanan nasional. Pangan merupakan komoditas strategis yang tidak hanya memiliki unsur ekonomis, tapi juga politis. Selain membuat rakyat Indonesia bergantung pada negara lain dalam hal pangan, lanjut dia, impor memiskinkan petani dalam negeri karena harus bersaing dengan produk impor yang lebih murah, antara lain karena subsidi dari pemerintah negara importir. "Padahal, makanan harus ada saat dibutuhkan sehingga ketahanan pangan dan kemandirian pangan jadi nyata. Idealnya, kebutuhan pangan mampu dipenuhi masing-masing daerah. Makanya, kita tidak bisa berkompromi dengan impor pangan. Kini saatnya kita berkomitmen membangun pertanian tanpa bergantung negara lain," tegas Yakub.

Anggaran Pertanian 
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Aris Yunanto, memperkirakan jika kebergantungan pada impor pangan tidak segera diatasi, dalam lima tahun ke depan Indonesia bisa kekurangan pangan. Menurut dia, pemerintah semestinya mau mengoleksi dana dari utang haram semisal utang obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan melakukan moratorium atau penghentian sementara pembayaran kewajiban utang untuk membangun pertanian. 

Yakub menambahkan tak ada negara dengan jumlah penduduk besar yang tidak memajukan dan melindungi pertanian dengan tujuan mampu menyediakan pangan dari hasil domestik. Pemerintah seharusnya menyadari arti penting dan strategis kedaulatan pangan di masa mendatang. Ia mencontohkan Jepang yang dikenal sangat memproteksi pertanian dalam negeri dari perdagangan bebas pangan, antara lain dengan cara mengenakan bea masuk impor beras yang sangat tinggi hingga hampir delapan kali lipat. Sebaliknya, nasib petani di Indonesia justru terimpit karena pemerintah lebih memprioritaskan impor dengan dalih harganya lebih murah untuk menjamin pasokan pangan nasional. "Semestinya pemerintah memprioritaskan anggaran pertanian yang memadai karena pangan merupakan bagian dari keamanan nasional," tegas dia. 

Sementara itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih meminta pemerintah tidak masuk blok perdagangan bebas Asia-Pasifi k atau Trans Pacifi c Partnership. Alasannya, perdagangan bebas komoditas strategis seperti pangan akan berdampak buruk bagi kemandirian pangan dan sektor pertanian. "Secara umum, Indonesia akan merugi karena memang mayoritas petani kita belum siap bersaing akibat pemerintah mengabaikan pembangunan pertanian selama bertahun-tahun," jelas dia. Akibatnya, imbuh Henry, blok perdagangan bebas akan menimbulkan ketimpangan yang luar biasa karena Indonesia akan lebih banyak kebanjiran pangan impor dengan kualitas yang lebih kompetitif dari sisi harga maupun kualitas ketimbang kenaikan ekspor yang umumnya komoditas primer yang bisa habis. "Kecuali jika petani kita seperti Jepang, yang mendapat subsidi besar dari pemerintah dan dilindungi dengan penerapan bea masuk impor pangan yang tinggi," kata dia. Selain mengurangi impor pangan dan memperkuat sektor pertanian, Aris menambahkan kemandirian pangan bisa dilakukan melalui rekayasa atau diversifi kasi pangan selain beras dari bahan yang banyak dijumpai di Tanah Air seperti ubi dan singkong. YK/aan/sur/WP sumber http://bit.ly/uTsgbi
Baca Selanjutnya......

16.10.11

Dampak Berantai Impor Kentang Memukul Petani

Slogan Mendag Hanya Basa-basi

RMOL.Belum selesai kontroversi ke­bijakan terkait ekspor rotan, kini Kementerian Perdaga­ngan (Ke­mendag) kembali menuai kon­troversi melalui ke­bijakan impor kentang. Slogan 100 persen cinta produk Indone­sia yang sering dinyanyikan Men­teri Perdaga­ngan (Mendag) Mari Elka Pa­ngestu pun dipertanyakan.
Ketua Departemen Kajian Stra­tegis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub mengatakan, kebijakan impor kentang oleh Kemendag sangat memukul petani kecil. Impor kentang dari China lebih murah ketimbang harga yang dijual pe­tani lokal. Hal itu disebabkan negara asal impor memberikan subsidi sebesar 20 persen. Se­mentara petani Indonesia hanya disubsidi pupuk urea.

“Impor ini tidak hanya merugi­kan petani melainkan juga mema­tikan sektor kecil. Petani kita kan ha­nya memiliki lahan yang terba­tas. Sementara skala usaha impor­tir lebih luas. Jelas kita tidak bisa bersaing. Harusnya pemerintah me­ningkatkan produktivitas pe­tani, bukan dengan impor,” ujar­nya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurut Achmad, skala impor sepanjang semester I tahun ini sudah melebihi tahun lalu. Tahun 2010, impor kentang men­capai 17 ribu ton. Sementara untuk pe­riode Januari-Juli 2011, impor su­dah mencapai 19 ribu ton. Dia kecewa karena kebi­jakan impor ini tidak pernah me­minta penda­pat petani. Selain itu, Kemendag juga dinilai minim koordinasi dengan kementerian terkait.

“Kemendag terbukti tidak men­jalankan koordinasi yang baik dengan Kemenko dan Kemen­terian Pertanian,” katanya. Sebelumnya, ratusan petani kentang dari Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, marah dan berdemo di kan­­tor Menteri Per­dagangan. Mereka menuntut Men­dag menghentikan impor ken­tang dan sayur. Akibat serbuan produk impor itu, harga kentang lokal anjlok.

“Kami menuntut Menteri Perdagangan menghenti­kan im­por kentang,” teriak Koor­di­nator Asosiasi Petani Kentang M Mu­dasir di sela-sela aksi unjuk rasa di depan kantor Mendag. Petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kentang ini me­nuturkan, sejak pertengahan Sep­tember, harga jual kentang di ting­kat petani anjlok hingga 50 persen akibat serbuan ken­tang dari China dan Bangla­desh. Har­ga normal kentang se­besar Rp 5.500-6.000 per kg, anjlok men­jadi Rp 2.500-3.500 per kg. Pe­nurunan harga itu mem­buat mo­dal petani tidak kembali.

Anggota Komisi IV DPR Rofi Munawar mengecam kebijakan Mendag Mari Elka Pangestu yang membiarkan impor kentang. “Ibu Mendag nampaknya tidak punya solusi lain dalam men­sta­bilkan harga komoditas perta­nian, selain dengan impor. Ke­bi­jakan per­dagangan selalu dihiasi dengan impor, bawang putih impor, buncis impor dan beras impor,” kata Rofi. Kasus impor kentang ini seolah berlawanan dengan slogan Ke­mendag untuk mencintai pro­duk dalam negeri. Kemendag mela­kukan kampanye 100 persen Aku Cinta Indonesia (ACI) melalui album kompilasi musik ACI.

“Pelun­curan album ACI ini me­rupakan salah satu wujud nyata untuk menumbuhkan na­sionalis­me dan rasa cinta dari masyarakat akan Indonesia,” cetus Mari. Pa­dahal, pe­duli dengan petani Ken­tang se­betulnya juga bagian cinta produk dalam negeri Bu. [rm] sumber: Rakyat Merdeka
Baca Selanjutnya......

11.10.11

Serikat Petani Minta Pemerintah Hentikan Impor Kentang

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub meminta kementerian perdagangan menghentikan impor kentang, baik dari China dan Bangladesh. Pemerintah diminta fokus pada peningkatan produksi petani.

"Kita minta kementerian stop impor kentang," kata Yakub pada wartawan di kantor sekretariat Serikat Petani Indonesia, Senin, 10 Oktober 2011.

Yakub menyatakan, impor kentang dari China dan Bangladesh tersebut sudah mulai dirasakan sejak awal bulan Oktober ini. Berdasar penelusuran SPI di lapangan, harga kentang Cina dan Bangladesh tersebut diual di bawah harga kentang lokal, yakni Rp 2.200. Kentang produksi lokal di pasaran biasanya ditawarkan dengan harga Rp 5.500-6.000.

Masuknya kentang impor dua negara tersebut, pedagang kentang terpaksa menurunkan harga hingga Rp 4.000. Padahal, menurut Yakub, petani bisa memperoleh imbal hasil yang cukup jika kentang produksinya dijual dengan harga di atas Rp 4.000 di pasar.

Saat ini biaya produksi per satu musim tanam mencapai Rp 54 juta, dengan hasil panen kentang sebanyak 1,5 ton. Komponen produksi itu termasuk biaya bibit kentang Rp 12 ribu per kilogram. "Setidaknya untuk mendapat untung, petani menjual Rp 5.000 per kilogram," ujar Yakub.

Permasalahan kentang impor bukan hanya masalah harga yang terlalu murah. Tapi juga bentuk kentang yang diimpor. "Biasanya kentang impor dalam bentuk olahan, sekarang kentang yang diimpor dalam bentuk non-olahan," ujar Yakub.

Jika keadaan ini terus menerus berlangsung, Yakub khawatir, petani kentang akan terus terjepit dan kehilangan inisiatif. Lalu produksinya terus menurun seperti yang terjadi pada petani kedelai.

SPI sudah melayangkan surat protes ke Kementerian Perdagangan 6 Oktober lalu. Tapi surat itu belum direspons hingga saat ini. Bahkan, saat dilakukan pengecekan ke Kementerian Pertanian, tidak ada rekomendasi mengenai impor kentang tersebut. "Seharusnya, mekanismenya, sebelum ada impor pangan, harus ada rekomendasi dari kementerian pertanian. Kebutuhan kita cukup atau tidak ? Bisa masuk ke mana saja ? Ini kentang malah masuk ke sentra pasar," ujar Yakub.

Impor kentang masuk dalam 550 pos tarif 0 persen yang diatur dalam ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area). ACFTA ditandatangan sejak 2006 dan mulai berlaku sejak 2010.

Peneliti Jaringan Negara Dunia Ketiga atau World Third Network Lutfiyah Hanim menyatakan, perjanjian bilateral seperti ACFTA ini jadi sektor pertanian tidak memiliki jaringan pengaman yang cukup untuk sektor pertanian. Terutama pada klausul pos tarif.

"Harusnya yang disebut perlindungan di sektor pertanian itu ada di pos tarif. Harusnya jangan nol," ujar Lutfi saat ditemui di kesempatan yang sama. Dan pemberlakukan pos tarif tidak dipukul rata untuk semua komoditas.

FEBRIANA FIRDAUS
sumber http://www.tempo.co/read/news/2011/10/10/090360693/Serikat-Petani-Minta-Pemerintah-Hentikan-Impor-Kentang
Baca Selanjutnya......

10.10.11

CEPA dapat matikan sektor agribisnis Indonesia

Oleh Gloria Natalia Senin, 10 Oktober 2011
http://www.bisnis.com/articles/cepa-dapat-matikan-sektor-agribisnis-indonesia

JAKARTA: Sejumlah organisasi menilai Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa dapat mematikan pertumbuhan ekonomi sektor agribisnis di Indonesia. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub mengatakan ketentuan CEPA yang menurunkan 95% jenis tarif menuju 0% menyebabkan produk-produk pertanian dari Uni Eropa yang berkualitas baik dapat mudah masuk ke Indonesia.  

Dampaknya, dapat meminggirkan produk pertanian Indonesia yang kualitasnya masih rendah. Contohnya, benih kentang granola G4 saja masih diimpor Indonesia. Benih itu kemudian ditanam dan disortir untuk diperoleh benih baru dengan kualitas rendah dibandingkan kualitas sebelumnya.  Hasilnya, petani memproduksi kentang berkualitas buruk. 

Menurut Yakub, ketika kentang lokal digempur kentang impor dari China yang harganya lebih murah petani Indonesia sudah sengsara. Dia menilai kondisi seperti ini akan terjadi di banyak komoditi pertanian lain bila CEPA diimplementasikan. “Dampaknya ketahanan pangan menjadi tidak stabil. Ini bisa terjadi di komoditas hortikultura dan beras juga, bahkan susu,” katanya di Jakarta hari ini. 

Peneliti dari Third Wolrd Network Lutfiah Hanim mengatakan tidak hanya bahan mentah saja, barang setengah jadi dan barang jadi dari Uni Eropa juga mengancam produksi Indonesia.  Produk dari Uni Eropa berpotensi masuk Indonesia dengan kuantitas besar dan berharga murah. Dampaknya, produk produk-produk Indonesia semakin terpinggirkan. Kondisi ini bisa terjadi lantaran subsidi pemerintah Uni Eropa terhadap sektor pertanian di sana besar. Dia mencontohkan seorang petani di Uni Eropa memiliki 40 ha lahan pertanian dengan suntikan subsidi besar dari pemerintah. “Sedangkan petani Indonesia punya lahan kecil. Malah lebih banyak petani kita tidak punya lahan. Ketika produk Uni Eropa masuk Indonesia sudah pasti produk pertanian kita kalah,” kata Lutfiah.(api)
Baca Selanjutnya......

25.9.11

Dana Ketahanan Pangan Rawan Diselewengkan

Masih Banyak Petani Sulit Mengakses Bantuan Gagal Panen

Minggu, 25 September 2011 , RMOL.

Dana ketahanan pangan yang digelontorkan pemerintah rawan penyelewengan. Pasalnya, hingga kini dana buat mengganti gagal panen itu banyak yang belum sampai ke tangan petani. Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub menge­luh­kan lambannya proses pencairan da­na bantuan tersebut.

“Kami mengeluhkan janji In­pres tentang program bantuan pe­merintah April lalu akibat iklim ekstrim. Untuk itu petani me­ngalami kesulitan akses,” kata Ya­kub kepada Rakyat Merdeka. Yakub mengaku mendapat la­poran dari anggota SPI di wilayah Ogan Komering Ilir, Sumatera Se­latan, juga petani di wilayah Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang gagal panen. Dia mengatakan, ketika para petani itu hendak mencairkan dana bantuan gagal panen ke dinas pertanian setempat, pihak terkait tidak tahu soal ketentuan tersebut, malah bingung bagai­ma­na cara mengaksesnya. 

“Petani di daerah banyak yang be­lum menerima bantuan dana ter­sebut. Aparaturnya sendiri ti­dak mengerti ada aturan, itu kan aneh. Berarti di internal mereka tidak siap. Kok bisa begitu, kami jadi khawatir dana itu rawan diselewengkan,” ucap Yakub. Dia menganggap, sosialisasi bantuan buat petani tidak mak­simal. Itu sebabnya, dia meminta Men­teri Pertanian (Mentan) Sus­wono memobilisasi aparatnya di daerah untuk melayani petani yang gagal panen supaya dana itu lekas tersalurkan. “Sejak awal kita sudah me­wanti-wanti, janji ini sifatnya ma­teril. Pasti sangat dinantikan pe­tani yang mengalami bencana ka­rena tiap tahun bakal ada petani yang gagal panen,” tegas Yakub.

Yakub mengimbau, setiap ke­bijakan yang dikeluarkan Mentan melibatkan ormas-ormas per­tanian. Apalagi, kemungkinan penyimpangan itu selalu ada.  Ia juga berharap, dana tersebut bisa digunakan untuk pengembangan teknologi pertanian, pengadaan be­nih lokal yang bagus dan jami­nan harga serta jaminan bila ter­jadi bencana atau hama.

Pengamat pertanian Bustanul Arifin meyakini swasembada yang dicanangkan pemerintah akan terus bermasalah selama masih ada persoalan produksi dan struktural di tingkat petani. Dia berharap, anggaran yang diusulkan Kementerian Pertanian (Kementan) diarahkan untuk ke­giatan yang fokus pada kese­jah­teraan petani. “Ketahanan pangan di negara kita masih mengkhawatirkan. Sa­ya pikir ini harus ditangani serius, dan solusinya bukan semata pada be­sarnya anggaran ketahanan pa­ngan,” ujarnya. 

Anggota Komisi IV DPR Rofi’ Mu­nawar mempertanyakan tar­get surplus 10 juta ton beras hing­ga 2015, mengingat data ke­ke­ringan yang terjadi pada 2010 ma­sih terdapat 96.721 hektar area ta­naman padi yang mengalami kekeringan. Sedangkan untuk tahun ini, hingga Agustus area ta­na­man padi yang mengalami ke­keringan mencapai 95.891 hektar. “Trend kekeringan area tana­man terus meningkat. Ini meng­ancam pencapaian target surplus 10 juta ton beras yang diinginkan Presiden,” ujar Rofi’. Seperti diketahui, Inpres No.5 Tahun 2011 terkait pengamanan produksi beras nasional dalam menghadapi iklim ekstrim sudah terbit. Inpres ini mengamanatkan pendistribusian bantuan kepada petani seperti bantuan benih, pupuk, pestisida dan bantuan usaha tani bagi daerah yang terkena puso atau gagal panen. Untuk itu, pemerintah siapkan Rp 3 triliun, dengan rincian Rp 1 triliun untuk stabilisasi pangan dan harga, Rp 2 triliun untuk dana darurat ketahanan pangan terkait perubahan iklim. Belum semuanya tersalurkan, pemerintah berencana lagi me­nambah dana kesiagaan untuk pa­ngan (kontigensi) sebesar Rp 3 tri­liun pada tahun 2012. Salah sa­tunya untuk mendorong surplus be­ras 10 juta ton pada 2015. [rm] sumber http://t.co/JRGdTnWD
Baca Selanjutnya......

5.7.11

Industrialisasi Pertanian Bisa Atasi Kemiskinan

Kesenjangan Ekonomi I Ketahanan Pangan Mesti Searah dengan Kesejahteraan Petani

JAKARTA - Pemerintah diperkirakan gagal mengatasi masalah kemiskinan jika tidak mampu membangun industri hasil pertanian secara modern dan hanya mengandalkan ekspor komoditas primer. Pasalnya, sekitar 60 persen penduduk Indonesia dan mayoritas penduduk miskin tinggal di perdesaan dan mengandalkan hidupnya dari sektor pertanian. Pengamat pertanian, HS Dillon, mengemukakan program ekonomi yang disusun pemerintah selama ini tidak berhasil meningkatkaan standar hidup rakyat. Akibatnya, Indonesia tidak bisa lebih maju, bahkan menjadi labil, sehingga jumlah orang miskin akan terus bertambah. "Seharusnya pemerintah membuat suatu aturan yang pro petani. Selama ini, produk pertanian dari dalam negeri banyak yang diekspor dalam bentuk bahan baku sehingga tidak memberikan nilai tambah," kata Dillon di Jakarta, Senin (4/7).

Menurut Dillon, sistem pertanian di dalam negeri masih mengadopsi sistem zaman penjajahan Belanda. Pemerintah diharapkan membangun industri hilir dan menghentikan ekspor bahan baku. "Pembangunan di sektor pertanian harus ditingkatkan dengan membangun pabrik pengolahan yang memberikan nilai tambah dan mampu meningkatkan daya saing. Kebijakan ekspor bahan baku pertanian seperti kopi, kelapa sawit, serta kakao harus segera dihentikan," tegas
Dillon.

Senada dengan Dillon, Ketua Departeman Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub mengatakan sejak Orde Baru hingga masa reformasi negara belum pernah secara nyata memihak kepada industri rakyat. Sebaliknya, negara justru selalu berpihak kepada sosok industriawan dalam negeri yang berwatak eksploitatif daripada pengusaha yang inovatif.

"Kita bisa lihat bagaimana berkuasanya sekarang pengusaha tambang batu bara atau pengusaha kelapa sawit dibandingkan pengusaha di sektor lain. Padahal, batu bara dan sawit hanya mengeksploitasi SDA (sumber daya alam) kita. Yang ada hanya keruk dan jual," kata Yakub. Ia menyatakan fakta bahwa pertanian di negeri ini hancur, padahal 60 persen penduduk negeri ini adalah petani, menunjukkan kebijakan ekonomi hanya mengabdi pada rente yang sangat bias perkotaan.

Pemerintah, sampai hari ini, belum mampu menyelesaikan ketersediaan lahan yang sangat kecil bagi pertanian, meski negeri ini masih memiliki jutaan lahan telantar. Sebaliknya, sumber dana pembangunan selama ini lebih banyak diarahkan untuk sektor yang konsumtif, seperti membangun gedung dan pusat perbelanjaan. Akibatnya, saat ini Indonesia bisa dikatakan sebagai negara dengan jumlah mal terbanyak di dunia, mengalahkan negara-negara maju. Menurut Yakub, jika pemerintah serius membangun sektor pertanian, selain penyerapan tenaga kerja dalam jangka panjang akan lebih banyak, perputaran uang di perdesaan juga bakal menumbuhkan perekonomian desa. Dillon menambahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, pemerintah harus meningkatkan kemampuan sumber daya manusia sehingga sektor pendidikan juga perlu dibenahi. "Pemerintah harus meningkatkan kemampuan petani dengan memberikan penyuluhan dan pendidikan mengenai pola tanam yang baik. Selain itu, perlu dibangun sekolah kejuruan tentang pertanian agar masyarakat bisa membangun perdesaan," jelas dia.

Industri Hilir
Pengamat pertanian dari Universitas Lampung (Unila), Bustanul Arifin, mengatakan program ketahanan pangan yang disasar pemerintah tidak ada artinya kalau pada saat bersamaan kesejahteraan petani justru menurun. Bahkan, ada kecenderungan petani semakin miskin akibat rendahnya daya beli termakan oleh inflasi.

 "Ketahanan pangan jangan sampai membawa dampak bagi kearifan lokal. Selain itu, pembangunan industri hilir masih kurang maksimal sehingga banyak produk pertanian yang belum memiliki nilai tambah," kata Bustanul.

Menurut dia, pemerintah harus meningkatkan program hilirisasi industri, khususnya di sektor pertanian, untuk menjamin peningkatan kesejahteraan petani. "Pangan bukan hanya beras, namun semua komoditas pertanian. Selain itu, akses masyarakat miskin terhadap pangan juga harus diperhatikan," ujar Bustanul.

Ia mengungkapkan kelompok masyarakat miskin di Indonesia mayoritas adalah petani. Karena itu, akan sangat sulit kalau petani sulit mengakses pangan. "Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah stabilitas harga di pasar serta keamanan pangan. Selama ini, produsen besar cenderung mengambil bahan baku untuk diekspor dan pemerintah kurang tegas terhadap masalah tersebut," tegas dia.

Sementara itu, staf pengajar Lemhanas John Palinggi mengatakan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sangat melukai rasa keadilan rakyat Indonesia. Selain harus ikut menanggung beban utang, rakyat miskin juga kehilangan kesempatan menikmati anggaran pembangunan negara yang telah tersedot untuk membayar bunga obligasi eks BLBI setiap tahun. Ia menambahkan belakangan ini kredit perbankan cenderung diarahkan untuk industri dan sektor properti karena kekuatan ekonomi saat ini dikuasai oleh sekelompok orang. "Ada sindikasi yang menguasai ekonomi kita saat ini. Dan ini sangat berbahaya untuk jangka panjang," papar John. lex/ind/fan/YK/WP sumber http://bit.ly/mCoKws
Baca Selanjutnya......

26.5.11

Saatnya Ubah Paradigma Pembangunan

Kesenjangan Ekonomi| Pendapatan Per Kapita Tak Atasi Kemiskinan ilustrasi

JAKARTA – Pemerintah diharapkan mengubah paradigma pembangunan ekonomi yang dinilai tidak mampu menjawab persoalan klasik negeri ini, yakni kesenjangan kesejahteraan, dan kemiskinan. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dinilai atraktif belakangan ini ternyata hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat mampu.

Peneliti Ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam, mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi tidak menjawab persoalan kesejahteraan masyarakat. Ini antara lain tecermin dari melebarnya kesenjangan antara kemiskinan dan pengangguran. Jika dilihat dari selisih persentase penurunan kemiskinan dengan pengangguran, terlihat jelas jumlah orang yang bekerja namun berkategori miskin masih cukup besar.

"Contohnya pada 2010, angka kemiskinan 13,33 persen, sedangkan pengangguran 7,41 persen. Artinya ada selisih 5,94 persen dan itu adalah jumlah orang-orang yang bekerja tetapi masih miskin," kata Latif di Jakarta, Rabu (25/5). Dengan kata lain, lanjut Latif, terjadi deviasi yang cukup besar antara penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Idealnya, seperti di negara lain, pengurangan pengangguran sudah otomatis menekan kemiskinan.

"Penyebabnya paradigma kebijakan ekonomi pemerintah yang keliru dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi. Dari tahun ke tahun memang investasi di Tanah Air meningkat, tetapi lebih banyak masuk ke sektor usaha yang rendah penciptaan lapangan kerjanya," ujar Latief. Direktur International Center for Applied Fnance and Economics (InterCAFE) IPB Iman Sugema menambahkan ketimpangan masih belum bisa diatasi dengan baik. Masih ada 15,3 persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan 20 persen penduduk hampir miskin.

"Pemerintah harus mengatasi masalah kemiskinan di dalam negeri. Dengan pendapatan per kapita sebesar 3.000 dollar AS seharusnya penduduk miskin bisa berkurang," ujar Iman. Tidak Mewakili Menyinggung ukuran keberhasilan pembangunan, Deputi Direktur International NGO Forum on Indonesia Development (Infid) Dian Kartikasari mengungkapkan pendekatan pendapatan rakyat berdasarkan produk domestik bruto (PDB) tidak mewakili keseluruhan fakta situasional yang masyarakat miskin rasakan.

"Terbukti, Bank Pembangunan Asia melaporkan di Indonesia diperkirakan sekitar 169 juta rakyat hingga kini belum menikmati akses air bersih," kata dia. Menurut dia, belum meratanya hasil pembangunan dan masih tingginya angka kemiskinan menunjukkan kebijakan pemerataan pembangunan belum membuahkan hasil. Penyebabnya antara lain sistem distribusi pendapatan nasional yang tidak pro kemiskinan. "Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak pro-poor hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja sehingga ini menjadi isu sangat penting dalam menyikapi tingginya angka kemiskinan hingga saat ini," jelas Dian.

Sedangkan Ketua Dept. Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Ya'kub mengatakan pendekatan kesejahteraan atas dasar PDB per kapita adalah matematika keliru untuk menghitung kenyataan kemakmuran di Indonesia. Pasalnya, PDB Indonesia lebih banyak disumbang oleh sektor keuangan dan sektor lain yang padat modal dan teknologi yang minim penyerapan tenaga kerja.

 "Kalau mau melihat kenyataan di Indonesia, lihatlah dunia pertanian di mana jumlah tenaga kerja di sektor ini adalah 40 persen dari total angkatan kerja atau 42,8 juta orang dari 107,4 juta orang. Berapa pendapatan mereka?" jelasnya. Dalam hitungan yang pernah dibuat SPI, petani penyewa lahan sebesar 1 hektare dengan biaya sewa 10 juta rupiah per tahun akan mampu panen 3 kali setahun. Dari biaya penjualan gabah atau beras dipotong biaya produksi, hanya didapat angka pendapatan rata-rata hanya 7.500 rupiah per hari.

"Kita ini tak ada strategi penciptaan lapangan kerja, jadi PDB per kapita jelas tak ada hubungannya dengan kemakmuran karena mayoritas pekerja kita menyelesaikan sendiri masalahnya di sektor informal," papar Yakub.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan per kapita Indonesia pada 2010 mencapai 3.000 dollar AS atau sekitar 27 juta rupiah per tahun. Namun, menurut ekonom Hendrawan Supratikno, ketimpangan ekonomi masih lebar. Ini anatara lain karena terjadi perbedaan akses terhadap sumber daya ekonomi. "Ketimpangan juga terlihat dari indeks Gini yang masih 0,33 persen pada 2010 atau tetap di atas 0,3 persen sejak 2007. Ini artinya masih terjadi ketimpangan kesejahteraan di Indonesia," kata Hendrawan. Menurutnya, ketimpangan pendapatan merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. "Disparitas distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan hampir terjadi di semua negara sedang berkembang," ujarnya. lex/fia/ind/YK/WP
Baca Selanjutnya......

22.5.11

Program GPPK Buat Petani Diragukan

22 May 2011 Ekonomi Rakyat Merdeka

UPAYA pemerintah memperkenalkan Gerakan Produksi Pangan Sistem Korporasi (GPPK) diragukan keberhasilannya. Pasalnya, beberapa pihak beranggapan pencapaian surplus pangan nasional tak bisa dilakukan instan dengan cara itu. Apalagi jika mekanismenya tak diatur secara benar.

Direktur Institute for Developmeht of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, efektif atau tidaknya program itu bisa terlihat dari mampu tidaknya menyelesaikan pokok persoalan. Menurutnya, masalah yang dihadapi petani sekarang yakni pasokan dan distribusi yang tidak merata. Persoalan utama masalah pangan dalam negeri masih berkutat pada suplai yang lebih rendah dari kebutuhan konsumsi. Pada akhirnya membuat harga fluktuatif (naik turun).

"Kalau program itu tidak bisa menyelesaikan masalah, ya nanti ujungnya sama aja. Lihat saja, program subsidi pupuk dari korporasi, seringkali distribusinya nggak pernah tepat. Kapan pupuk itu dibutuhkan petani tidak ada. Tapi, ketika petani nggak butuh, pupuk itu ada. Kalaupun ada. harganya tidak sesuai dengan harga eceran petani." papar Enny kepada Rakyat Merdeka.

Enny mengatakan, jika pemerintah ingin mengupayakan tidak terjadi krisis pangan, yang dibenahi seharusnya persoalan apa yang saat ini menimpa petani, seperti mahalnya ongkos tenaga kerja di sektor pertanian. "Sudah banyak program yang diluncurkan pemerintah, tapi nggak ada hasilnya. Faktanya, tidak meningkatkan kesejahteraan petani dan tidak juga menyelesaikan persoalan," sindir Enny.

Enny menilai, petani selama ini tidak berdaya karena beban ongkos produksi yang harus ditanggung itu luar biasa. Sementara sistem korporasi yang diluncurkan pemerintah hanya diproyeksikan untuk mengelola output-nya saja. "Petani kita itu masih tradisional. Sistem korporasi bagaimana bisa langsung tune in. sementara petani di sini nggak seperti petani di luar negeri yang terbiasa dikelola secara korporasi. Jika ingin melibatkan korporasi, harusnya ada standarisasi yang jelas-," ujar Enny.

Dewan Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub menyatakan, sudah semestinya negara bahu membahu mengatasi krisis pangan. "Mekanismenya haras jelas.. Nggak boleh asal. Pemerintah punya upaya, sayangnya metodologinya keliru, masih pendekatan korporasi bukan pemberdayaan masyarakatnya.

Pemerintah harusnya mendorong petani supaya tangguh untuk meningkatkan produksi," ujar Yakub. Ia menyayangkan sikap pemerintah yang hanya melakukan pendekatan kepada perusahaan besar dan cenderung mengabaikan pendekatan terhadap kope-rasi-koperasi masyarakat.

Pemerintah melalui sejumlah BUMN memang menyiapkan dana Rp 4,1 triliun hingga 2014 untuk membantu Gerakan Peningkatan Produksi Pangan dan Sinergi Petani (GPPPK). "Dari Rp 4,1 triliun dana untuk membantu program pemerintah meningkatkan ketahanan pangan nasional itu. Rp 1,3-1,5 triliun di antaranya dialokasikan tahun ini," kata Menteri BUMN Mustafa Abubakar. YAN Sumber http://bataviase.co.id/node/683027
Baca Selanjutnya......

28.3.11

Satu Abad Sawit: Pemiskinan Buruh, Petani & Rusak Ekosistem

Senin, 28 Maret 2011

Medan-ORBIT: Sawit beserta industrinya telah memasuki tahun ke seratus di Indonesia. Selama itu, anggapan miring tentang keberadaan sawit terus menguak. Dimulai dari penilaian tentang buruh dan petani yang semakin terjerat arus kemiskinan hingga rusaknya tatanan ekosistem. Bahkan mayoritas industri sawit telah bersinggungan dengan penegakan HAM.

Dampak korporasi perkebunan sawit dapat kita lihat pada apa yang sudah dan sedanng terjadi di wilayah Sumatera Utara (Sumut). Beberapa kasus di antaranya konflik antara masyarakat dengan PT Nauli Sawit di Tapanuli Tengah sejak tahun 2004. Lalu permasalahan PT Lonsum yang diduga menyerobot beberapa lahan masyarakat. Hal tersebut terungkap dalam sebuah Konferensi Alternatif dalam menyikapi perayaan seratus tahun sawit di Indonesia. Konferensi yang digelar di Balai Rasa Polonia Hotel Medan Minggu (27/3)  itu menghadirkan beberapa pembicara seperti George Junus Aditjondro, Lely Zailani, Achmad Yakub dan beberapa peneliti lainnya.

George yang juga penullis buku Gurita Cikeas mengungkapkan satu dampak yang belum begitu dipersoalkan masyarakat Sumut adalah sumbangan perkebunan kelapa sawit terhadap pemanasan global. Dikatakannya konversi (perubahan) hutan menjadi perkebunan kelapa sawit tentu saja dimulai dari penebangan pepohonan yang semula berada di  lokasi yang dimaksud.

Namun permasalahan yang ada, katanya, adalah masyarakat harus memahami siapa kekuatan yang bermain di balik keberadaan perkebebunan kelapa sawit. Disebutkannya, stakeholder yang memiliki kekuatan sebagai penopang perkebunan kelapa sawit di Indonesia. “Setidaknya ada 17 perusahaan sawit swasta yang ditopang beberapa stakeholder yang ada, “katanya. Selain itu, sambungnya, adanya keterlibatan militer dalam upaya ekspansi (perluasan) kebun sawit.

Diungkapkannya dari studi kepustakaan maupun pengamatan terhadap penyebaran perkebunan kelapa sawit menunjukkan ekspansi kebun sawit yang berada di wilayah konflik dijaga oleh aparat Kopassus , Kostrad dan Polri. Sejak 2005, katanya, PT Tunas Sawa Erma membuka perkebunan kelapa sawit seluas 14.461 hektare di Distrik Boven Digol yang semula pihak keamanannya adalah seorang pensiunan TNI AD. “Sumut bukan hanya lahan bermain perusahaan swasta melainkan ada beberapa perusahaan BUMN yang bermain di sini,” kata George.

Eksploitasi Wanita Sedangkan Aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) Dananng Widjo dalam paparannya mengungkapkan perkebunan kelapa sawit sarat dengan isu-isu korupsi. Dijelaskannya modus atau pola yangn menjadi jalan masuk supaya korupsi adalah gratifikasi (suap). Dengan memberikan gratifikasi kepada pejabat berwenang, kata Danang, korporasi bisa menemui jalan lurus guna melakukan ekspansi di beberapa wilayah khsususnya hutan. Dengan keadaan yang seperti itu, Danang menilai perkebunan kelapa sawit tidak pernah berpihak kepada rakyat yang semakin terjerat arus kepentingan elit kekuasaan. Sementara itu, berbicara mengenai dampak sawit terhadap pemiskinan buruh dan petani, Kordiantor Pelaksana Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatana pangan (KRKP) Witoro memaparkan, produsen pangan skala kecil baik petani maupun buruh sering dianggap tidak produktif karena memproduksi dengan skala kecil. Dengan alasan seperti itu, mereka (buruh dan tani) tidak pernah mendapat dukungan dari pemerintah.

Keberadaan seperti itu, menurutnya, liberalisasi perdagangan dan berkembanganya agro industri yang dikuasai perusahaan besar. “Pemerintah berambisi untuk mnjadikan Indonesia sebagai penghasil minyak nomor satu. Untuk itu luas perkebunan sawit akan terus ditingkatkan dengan mengkesampingkan keberlanjutan usaha buruh dan tani kecil tadi,” ujar Witoro. Tak hanya itu, dampak ekspansi perkebunan sawit juga merambah pada eksploitasi perempuan dan anak-anak pada perusahaan perkebunan sawit.

Pendiri Himpunan Serikat permepuan Indonesia (HAPSARI) Leli Zailani mengungkapkan semakin meningnkatnya kebutuhan akan minyak dunia mengharuskan pemerintah mengambil kesempatan yang ada. Hal tersebut memberi dampak kepada para pencari kerja (pengangguran) untuk mencari kerja . “Dengan anggapan bahwa daripada nnganggur, maka wanita  dan anak-anak yang berada di sekitar lokasi usaha sawit akan berfikir untuk menerima tawaran emas untuk mencari pendapatan yang ada dimata,” ujarnya. Namun kata Leli, keadaan yangn menyatakan penyetaraan gender menjadikan perusahaan seperti ‘berjasa’ karena telah memperkerjakan wanita di zaman sekarang. “Eksploitasi terhadap wanita dan anak-anak dalam kerangka industri kelapa sawit adalah contoh nyata bagaimana sistem kapitalis bermain cerdik dalam kerangka patriarki dan gender,” ujar Leli lagi. Om-12 sumber http://www.harianorbit.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167:damnpak-perkebunan&catid=43:berita-nusantara-nasional&Itemid=18
Baca Selanjutnya......

19.3.11

RI lobbies African nations for top FAO post

-->Mustaqim Adamrah, The Jakarta Post, Jakarta | Sat, 03/19/2011 2:18 PM | World A | A | A |

Industry Minister M.S. Hidayat lobbied a number of African countries Friday to back Indonesia’s candidacy for the top post at the UN’s Food and Agriculture Organization (FAO).

“The industry ministry invited African ambassadors to a dinner to introduce me to them and to gain support from African nations,” Indroyono Susilo, the Indonesian candidate for FAO director general, told The Jakarta Post. He said Indonesia had the support of other ASEAN countries.

As the only candidate from Southeast Asia, Indroyono, who is also secretary to the coordinating public welfare minister, said Indonesia had extensive fisheries, forestry and natural disaster management systems that the country could contribute to the world organization.

He said it was important to integrate and connect food producing areas to areas that lacked foodand it was also important for developing countries to have their own standards and codification system on food they produced but not let them become new non-tariff barriers.

Indonesia, a member of FAO since 1949, received an FAO award for achieving rice self sufficiency in 1985. If Indroyono is elected, he would be the first Indonesian to head one of the UN’s top bodies.

An FAO conference in Rome in July will appoint a new director general for the period from Jan. 1, 2012, to July 31, 2015.

Food observer and economist Bustanul Arifin said an Indonesian candidate was suited to head the FAO as the country successfully mitigated the impact of the 2008 food crisis by focusing on domestic rice stock production and management.

“Indonesia can be a leader in international and regional cooperation for food reserves, starting from ASEAN+3 [China, Japan and South Korea],” he told the Post via text message.

The head of the national strategic studies division at the Indonesian Farmers’ Union (SPI), Achmad Ya’kub, said while he doubted Indroyono’s capability in leading the FAO, an Indonesian candidate was perfectly suited for the role.

“From what I know, Indroyono’s background is engineering, not agriculture. I’ve never heard of his contributions to Indonesian agricultural,” he told the Post.

“I’m not sure he well understands that we have 13 million small-scale farmers with a maximum
300 square meters of land each at a time when food security is promoted to the advantage of big corporations.”

Ya’kub said that to attain food security, what mattered was the availability of food, not who the producer or distributor was.

He added farmers, large and small alike, had been traditionally producing and distributing agricultural crops and food on their own.

Ya’kub cited a 2009-2010 FAO study that showed more than 1 billion people were starving, a large increase from the 825 million people in 1996, underlining the failure of the food security concept.

Candidates for FAO director general

Austria: Franz Fischler
Brazil: José Graziano da Silva
Indonesia: Indroyono Susilo
Iran: Mohammad Saeid Noori Naeini
Iraq: Abdul Latif Rashid
Spain: Miguel Ángel Moratinos Cuyaubé
Source: Food and Agriculture Organization (www.fao.org)
sumber http://www.thejakartapost.com/news/2011/03/19/ri-lobbies-african-nations-top-fao-post.html</span>
Baca Selanjutnya......

28.2.11

Kerja Sama Benih Dengan China Cuma Akal-akalan

MENYIKAPI produksi beras dalam negeri yang terus melorot, pemerintah memilih opsi menggandeng China guna meningkatkan produktivitas beras nasional. Sekretaris Jenderal Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub memandang sinis kerja sama tersebut jika hanya dari segi pengadaan benih hibrida saja.

Menurutnya, kerja sama dengan China untuk mengembangkan pertanian padi yang menggunakan benih hibrida dari China hanya akan meningkatkan ketergantungan impor lebih besar. Faktanya, benih jagung Indonesia masih 43 persen impor. Belum benih holtikultura lainnya juga masih tergantung impor dari Taiwan dan Thailand. "Hibrida hanya bisa sekali" pakai, setelah itu tidak dapat dipakai lagi.

Kita saja susah melepas ketergantungan berasimpor, sekarang malah ketergantungan benih hibrida impor," sindir Yakub. SPI menganjurkan pemerintah bekerja sama dengan badan penelitian dan pengembangan yang ada di dalam negeri terkait benih hibrida nasional. Dengan begitu, seluruhnya bisa dikelola pemerintah. "Kerja sama seperti itu yang harus dimaksimalkan. Dari penghasilan petani harusnya mampu diserap ke pedesaan untuk meningkatkan daya beli, membuat pertumbuhan ekonomi di desa meningkat. Jadi, kerja sama dengan China saya pikir cuma bagian proses perdagangan benih. Ini akal-akalan," tuduh Yakub.

Sekretaris Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Hermanto menolak jika dikatakan produktivitas pangan yang dihasilkan petani dalam negeri menurun. Menurut Hermanto, produktivitas tidak menurun, hanya kenaikannya tidak sebesar yang diharapkan. Pemerintah sedang berupaya kenaikannya sesuai yang diharapkan. "Belum ada catatan mengenai itu. Seingat saya, belum ada sejarah produksi beras itu menurun, dalam arti tahun ini lebih kurang dari tahun sebelumnya," tuturnya.

Hermanto membenarkan ada rencana kerja sama dengan China terkait melakukan alih teknologi padi hibrida. Namun, dalam hal riset, pemerintah bisa memanfaatkan teknologi yang dimiliki saat ini untuk memproduksi benih hibrida agar tidak tergantung negara lain. Dia mengakui China memang terkenal sebagai Champion dalam teknologi padi hibrida.

"Tugas kita bersama mengejar teknologi itu. Kalau itu sudah kita kuasai dan bisa memproduksi dengan baik, kedaulatan pangan akan tercapai. Di antaranya melalui Research and Development (RD) di bidang teknologi perbenihan jadi maksudnya baik." terang Hermanto. Hermanto juga optimis kondisi Indonesia tidak mengarah pada krisis pangan, mengingat kenaikan harga yang ada sekarang relatif sudah stabil. Apalagi sebentar lagi memasuki musim panen raya. "Pada saat panen, kita harus menyelamatkan gabah pembelian pemerintah.

Pada saat paceklik, kita harus mengamankan harga konsumen agar daya belinya tidak menurun. Itu tugas kita," ungkapnya. Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan adanya kemungkinan kerja sama internasional untuk meningkatkan ketahanan pangan. Kerja sama itu tidak hanya meliputi bagaimana pangan tersedia, tapi mempersiapkan teknologi yang lebih baik. CR-2
Baca Selanjutnya......

27.2.11

Persediaan Cukup, Pemerintah Hentikan Impor Beras

Kementerian Perdagangan akan menghentikan impor beras mulai Maret mendatang, karena stok dalam negeri sudah cukup
Iris Gera | Jakarta  Kamis, 17 Februari 2011

Pemerintah mulai mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand tahun lalu, karena banyaknya gagal panen di dalam negeri. Gagal panen akibat pergantian musim yang ekstrim mendorong pemerintah untuk mengimpor beras sejak tahun lalu. Namun, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengumumkan bahwa mulai bulan Maret depan, pemerintah akan menghentikan impor beras tersebut, karena stok beras dalam negeri sudah mencukupi.

Impor beras, menurut Menteri Mari Pangestu, menyebabkan harga beras dan bahan pangan lainnya belakangan ini terus naik. Sebagai akibatnya, masyarakat kurang mampu pun kesulitan karena tidak dapat mengimbangi kenaikan harga. Pertimbangan ini jugalah yang mendorong pemerintah untuk menghentikan impor beras. "Dari segi stok tidak ada masalah," ujar Mari Pangestu. "Bulog menargetkan stok 1,5 juta ton untuk aman sampai mulai panen. Dan, sekarang sudah mulai panen." Beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan sulitnya mendapat komoditas beras di antaranya adalah karena menurunnya jumlah keluarga tani. Banyak dari keluarga tersebut, menurut BPS,  beralih bekerja di sektor lain, terutama di pabrik-pabrik.

Tapi, menurut Ketua Departemen Kajian Staregis Serikat Petani Indonesia (SPI), Achmad Ya'kub, hal itu tidak benar. Menurutnya, jumlah petani sekarang justru meningkat. “SPI menghitung itu ada sekitar 28, 3 juta keluarga tani. Jumlahnya justru meningkat," kata Achmad Ya'kub, yang kemudian menambahkan kebanyakan dari petani ini lahannya sempit sehingga produksinya pun tidak bisa banyak. Achmad Ya'kub juga memandang bahwa pemerintah tersimak mengorbankan tanaman pangan demi melindungi tanaman untuk ekspor.

"Yang mengerikan ini ada konversi lahan dari pertanian pangan menjadi pertanian industri yang orientasi ekspor, seperti perluasan kelapa sawit” Tahun lalu, pemerintah mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand sebanyak 1,5 juta ton.

Impor tersebut ditujukan agar cadangan beras aman, yang menurut patokan pemerintah harus berada di kisaran 3 juta ton. Pemerintah juga menargetkan produksi beras dalam negeri tahun ini mampu mencapai sekitar 37 juta ton, sementara kebutuhan beras nasional rata-rata 33 juta ton per tahun. Dengan surplus sebanyak empat juta ton ini, maka bila impor beras berlanjut, maka ini akan merugikan para petani lokal.
Baca Selanjutnya......

Kebijakan Pemerintah Cuma Berorientasi Bisnis Dagang

Rakyat Merdeka
PEMERINTAH dituding tidak mampu menyelamatkan sektor pertanian dan menjamin kedaulatan pangan nasional. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Achmad Yakub mengeluhkan, kebijakan pemerintah semata-mata berorientasi bisnis perdagangan. Investasi yang selama ini dianggap menjadi jalan utama dan membawa petani menjadi sejahtera justru melenceng. "Kebijakan yang berorientasi ekspor, bisnis dan monokultur menyebabkan semua hal diserahkan pada mekanisme pasar.

Demi kepentingan pasar kebutuhan nasional seringkali diabaikan," ujar Yakub dalam diskusi bertajuk Tanah dan Pangan Serta Masa Depan Bangsa di Jakarta, belum lama ini. Menurut Yakub, pemerintah tidak mampu mengontrol harga kebutuhan rakyat Misalnya komoditi beras, ketika harga di pasarinternasional naik tinggi pada 2008, anjuran ekspor begitu gencar.

Sebaliknya, ketika harga beras internasional lebih murah dari harga nasional, impor dilakukan bahkan tanpa dikenakan bea masuk. Akibatnya, devisa negara hilang demi menguntungkan korporat. Yakub mengatakan, awal 2011, pemerintah melalui Bulog telah mencapai deal impor sebanyak 1,08 juta ton dari Vietnam dan Thailand. Jika pemerintah mengimpor 1,05 juta ton beras, devisa yang diserap Rp 4,86 triliun. Jadi 1,05 juta ton beras setara dengan produksi yang dihasilkan dari 333 ribu hektar sawah.

Padahal, per hektar petani bisa memproduksi 5 ton gabah atau setara 3 ton beras. "Dari seluruh aturan yang ada, yang diuntungkan bukan petani tapi segelintir orang. Petani kita hanya jadi mesin di industri perburuhan," tukas Yakub.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Idham Arsyad membenarkan hal itu. Ada Perbedaan antara cita-cita pemerintah dengan praktik di lapangan. Ketika berbicara ketahanan pangan, pemerintah selalu bertumpu pada ketersediaan pangan,sehingga hanya mengarah pada produktivitas.

Pemerintah lalai memikirkan kesejahteraan para petani yang memproduksi pangan. "Negara ini sudah tidak produktif juga tidak sejahtera. Petani yang harusnya jadi produsen utama malah menjadi konsumen utama. Seluruh aturan yang ada tidak pernah berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat," kata Idham.

Idham juga menilai, distribusi pangan yang tanpa kontrol dari pemerintah mencerminkan kurangnya perlindungan buat rakyat.

 Menanggapi itu, Sekretaris Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Hermanto mengatakan, seluruh kebijakan yang diambil pemerintah didasarkan ketahanan pangan dalam negeri.

Menurutnya, ada keterkaitan erat antara produksi pangan dan ketahanan pangan. Sebab itu, pemerintah akan mendorong peran swasta tapi tidak mengabai-kan masyarakat dan kelembagaan lainnya dalam ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan.
"Saat ini negara sedang berusaha menjamin hak pangan atas rakyat serta memberikan hak untuk menentukan sistem pertanian pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kami optimis, kedaulatan pangan yang kokoh bisa terwujud," ucap Hermanto.
Dia menambahkan, strategi pertanian ke depan akan lebih jelas terkait reformasi Undang-Undang Agraria. Untuk itu, pemerintah akan mengambil kebijakan. Di antaranya, mengatasi kesenjangan terhadap pemilikan lahan, petani akan memiliki akses pada sumber pendanaan, dukungan yang kuat dari pemerintah pada sektor industri pertanian, serta mengembalikan pengelolaan tanah, air dan ruang sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. cr-2 Sumber      http://ekbis.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=19439
Baca Selanjutnya......