29.11.06

Tuntaskan persoalan pupuk dengan cara Pertanian Berkelanjutan


Rutinitas dalam kehidupan petani Indonesia adalah kekeringan, banjir serangan hama, kelangkaan pupuk dan persoalan lain yang tiap tahun terjadi. Tantangan berat petani tidak hanya dari faktor alam namun juga dari guncangan dasyat dari kebijakan pemerintah, seperti kebijakan harga gabah, harga pupuk, import beras hingga kepada kebijakan liberalisasi pertanian dan kekayaan alam.

Dengan situasi seperti ini, langkah zig-zag yang diambil oleh pemerintah tak memberikan solusi jangka panjang dan permanen. Kebijakan sistem rayonisasi, penetapan subsidi langsung ke pabrik pupuk, termasuk kebijakan penaikan harga pupuk justru makin mempersulit posisi petani.

Langka dan mahalnya harga pupuk awal tahun lalu dijawab dengan menaikkan harga pupuk oleh pemerintah. Kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk per 17 mei 2006 melalui surat Kepmentan No. 17/Permentan/SR.130/5/2006. kenaikan yang terjadi adalah sebesar 14,29% untuk urea, 10,71% untuk SP-36, 10.53% untuk ZA, dan 9,38% untuk NPK. Kenaikan ini memicu kenaikan biaya transpotasi, biaya produksi dan bongkar muat bagi produksi pertanian.

Penaikan ini dirasionalkan oleh pemerintah akibat dari harga gas dipasar Internasional yang juga naik. Kita tahu bahwa persoalan utama dihadapi pabrik pupuk adalah ketersediaan gas, misalnya gas merupakan unsur terbesar dari struktur biaya produksi pupuk urea yaitu sekitar 50-60 persen. Tapi yang perlu kita ingat Indonesia sendiri sebenarnya tak kekurangan pasokan gas. Data Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas menunjukkan bahwa produksi gas mencapai 7,8 miliar kaki kubik per hari dan akan mencapai puncaknya pada 2008 dengan total produksi 8,3 miliar kaki kubik per hari. Ekspor gas hingga Oktober mencapai US$ 7,52 miliar, 21 persen lebih tinggi dibanding 2004. Belum lagi cadangan gas yang masih cukup untuk 64 tahun ke depan. Bukti lain adalah gencarnya Presiden mengkampanyekan agar kendaraan mobil menggunakan gas. Jadi dengan logika sederhana, harga internasional naik, gas berlimpah kenapa devisa negara tidak deras untuk mensubsidi petani dan rakyat secara umum?

Seperti yang dilansir oleh banyak media Presiden SBY pada penutupan sidang pleno konferensi Dewan Ketahanan Pangan ke-3 di Istana Bogor, merespon dengan menyatakan kepada menteri pertanian agar mencari jalan atas persoalan pupuk yang selama ini menjadi agenda tahunan yang membebani baik pemerintah maupun petani. Kemudian dalam pengarahannya Presiden juga menyatakan sangatlah ironis jika Indonesia yang merdeka selama 61 tahun, tetapi hingga kini sebagian petani kecil dan para buruh tani tetap miskin dan kelaparan. Semoga saja pernyataan ini tak sekedar menyenangkan hati petani, mengingat banyak sudah janji-janji yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah. Baik janji secara lisan maupun secara terdokumentasi dan terpogram sekalipun.


Belajar dari kenaikan pupuk dan gas dalam konteks yang lebih luas
BPPT menyatakan bahwa pasokan gas dalam negeri yang dialokasikan setelah dieksport adalah sebesar 30,48% dengan hanya 10,61%-nya untuk mencukupi kebutuhan pabrik pupuk dan petrokimia. Artinya hampir lebih setengahnya dieksport ke luar negeri. Hingga wajar saja ketika PT. AAF (Acheh Asean Fertilizer) dan PT. PIM (Pupuk Iskandar Muda) yang berada di pusatnya gas tak kebagian sejak tahun 2003. Karena perusahaan asing yang mendapat konsensi disana, ExxonMobil Oil Company (perusahaan minyak asing di Arun, NAD), lebih mengutamakan penjualan gas ke luar negeri dalam bentuk LNG (liquid natural gas), akibat harga di luar negeri lebih tinggi dibandingkan harga untuk industri pupuk. Pemerintah yang diamanatkan oleh UUD 1945 untuk menyejahterakan rakyat tak berdaya oleh kekuatan modal besar asing dan kekuasaan pasar internasional yang begitu kuat.

Kebijakan pertambangan, air dan kekayaan alam lainnya terus diliberalisasi atas pesanan negara-negara kaya dan perusahaan besar melalui Bank Dunia, IMF dan WTO. Privatisasi air dibenarkan oleh UU No.7/2004 tentang Sumber daya air, perluasaan kebun-kebun swasta dan “berizin “ puluhan tahun diperbolehkan oleh UU Perkebunan, dan Kontrak karya perusahaan asing dikuatkan oleh UU PMA yang sekarang sedang di revisi sebagai tanda jadi bagi masuknya investasi asing yang begitu diyakini oleh penguasa sebagai jalan kesejahteraan rakyat. Padahal sebaliknya gas, minyak, kekayaan hutan, laut dan sumber agraria lainnya diangkut keluar negeri. Bangsa kita hanyalah mengais rente dari proses itu semua, mengorbankan jutaan keluarga miskin.

Jadi menurut hemat penulis, persoalan harga pupuk tidak berdiri sendiri akibat ketidakmampuan pemerintah mengawasi peredaran pupuk, eksport gelap atau permainan pengusaha pupuk saja. Namun ada sistem yang besar yang menyebabkan ketergantungan bangsa atas negara-negara kaya sulit dilepaskan. Mereka menggunakan banyak jalan baik melalui tekanan militer hingga institusi internasional dengan aturan-aturannya yang mengikat, legally binding. Penjajahan dalam bentuk baru.

Menuntaskan ketergantungan pupuk dengan jalan pertanian berkelanjutan
Dalam konteks nasional, soal gas dan kekayaan alam lainnya seperti hutan, perkebunan, pertanian skala luas dan padat modal, hasil laut, emas, minyak bumi dan lainnya dituntaskan melalui program pembaruan agraria. Dimana dalam program besar itu terjadinya perombakan sistem kepemilikan, penguasaan, peruntukan, pemanfaatan dan keberlanjutannya yang berpihak kepada rakyat sesuai amanah dari UUD 1945 pasal 33 dan UUPA 1960. Saya rasa harus ada ruang khusus untuk membedah hal ini.

Kemudian dalam konteks pembangunan nasional, pencanangan program revitalisasi pertanian jadi macan kertas. Karena pemerintah masih berputar pada wilayah input pertanian, bukan menyentuh pada wilayah alat produksi. Berapapun harga pupuk kimia, jumlah petani miskin dan gurem dan buruh tani akan terus meningkat. Karena persoalan pokok struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang timpang tak disentuh.

Pengalaman revolusi hijau, yang membombardir petani dengan modernisasi pertanian dengan teknik bertani praktis menggunakan pupuk kimia, bibit unggul produk tertentu, pestisida dengan tujuan produksi meningkat. Sejarah pernah mencatat jaman ‘keemasan’ pada produksi beras. Fenomena ini terjadi karena adanya Revolusi Hijau (RH) yang dilakukan pada sekitar tahun 1966/1967. Rencana ini merupakan lanjutan dari rintisan proyek Kasimo tahun 1948. Hasilnya cukup menakjubkan dari segi produksi: pada tahun 1965 produksi beras hanya 1,7 ton per hektar, pada tahun 1980 meningkat drastis menjadi 3,3 ton per hektar. Indonesia pun swasembada beras pada tahun 1984.

Tapi inilah borok RH, ‘keemasan’ yang malah membuat petani makin tergantung. Petani tidak dibuat menjadi mandiri, melainkan tergantung pada sarana produksi yang notabene merupakan skala ekonomi. Benih, pupuk dan pestisida semakin mencekik, dan hasilnya Indonesia tidak dapat mempertahankan produksi beras. Hasil semakin turun, pertanian pun stagnan. Juga makin meningkatnya petani gurem dan petani tak bertanah serta buruh tani. Celakanya lagi, Indonesia terjerumus dalam perjanjian-perjanjian yang semakin menindas setelah bergabung dengan WTO (1994).

Menghentikan proses ketergantungan petani terhadap pihak lain menyangkut soal pupuk, termasuk juga sarana produksi pertanian lainnya, dapat dilakukan manakala rejim sistem produksi pangan revolusi hijau bisa dihentikan dan digantikan oleh sistem produksi pangan organik (organic farming), yang dilaksanakan dalam bingkai pembaruan agraria.

Pertanian organik bukan sekedar sistem pertanian yang menggunakan pupuk organik dan perlindungan tanaman yang ramah lingkungan. Tetapi juga sangat penting adalah untuk memangkas pola ketergantungan sebagai penyebab kemiskinan petani selama ini. Bahkan sebagai alternatif sistem pertanian organik malah akan kembali menghidupkan perekonomian pedesaan.

Beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dengan sistem produksi pangan organik, seperti yang di yang sudah dialami oleh organisasi seperti La Via Campesina, gerakan buruh tani dan petani kecil internasional. Pertama, petani dapat memberi pupuk pada tanamannya tepat waktu atau tidak lagi mengalami kerugian akibat pemupukan yang melewati umur tanaman.

Kedua, tidak lagi terjadi arus kas keluar dari keluarga petani dan desa ke pabrik dan wilayah kota untuk membeli pupuk. Arus kas petani yang biasanya keluar selanjutnya bisa menjadi tabungan.

Ketiga, kegiatan perekonomian pedesaan akan kembali bergairah, karena produksi pupuk organik relatif padat karya sehingga dapat membuka lapangan kerja baru.

Keempat, sistem peternakan kecil yang selama ini tergantikan oleh peternakan skala industri bisa kembali hidup, karena produksi pupuk memerlukan kotoran ternak. Dalam hal ini peningkatan pemenuhan protein di pedesaan sekaligus dapat dicapai. Juga sebagai upaya membalikkan situasi bahwa Indonesia adalah pengimpor impor ternak sapi 600.000 ekor/tahun.

Kelima, pemerintah dapat mengurangi bahkan tidak perlu lagi untuk mengalokasikan anggaran untuk memberikan subsidi pembelian gas alam dan perawatan pabrik pupuk. Tetapi menggantikannya menjadi insentif buat petani untuk memproduksi pupuk organik termasuk membuat pelatihan.

Keenam, pemakaian pupuk organik secara bertahap akan dapat mengembalikan kesuburan lahan pertanian yang selama ini banyak dibuktikan telah miskin unsur hara. Kembali suburnya lahan pertanian ini tentunya sangat penting karena merupakan salah satu syarat dalam menjamin kecukupan pangan.

Ketujuh, pangan hasil pertanian organik adalah jenis pangan berkelas premium, karena bebas pestisida dan pupuk kimia. Perubahan konsumsi pangan konvensional ke pangan organik akan berdampak pada peningkatan tingkat kesehatan. Hasil penelitian telah menunjukan bahwa pestisida dan pupuk kimiawi yang terlarut dalam pangan adalah salah penyebab berbagai penyakit, termasuk kanker.

Memang terdapat beberapa kalangan yang mengkhawatirkan bahwa kembali ke sistem produksi pangan organik akan mengakibatkan produksi nasional menjadi menurun. Tetapi pendapat tersebut sebenarnya tidak memiliki dasar ilmiah dan bukti empiris lapangan yang kuat. Buktinya di beberapa daerah petani anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) yang menerapkan pertanian padi organik justru mengalami peningkatan produktifitas dibanding dengan sistem produksi ala green revolution.

Pandangan yang menganggap pertanian organik adalah teknologi primitif dan tidak modern juga merupakan salah satu hambatan. Tetapi seiring dengan banyaknya kerusakan lingkungan dan penyakit di dunia, pandangan modernitas dalam bidang pertanian pun telah makin bergeser. Kini makna modernitas telah bergeser kepada aktivitas dan sistem produksi yang sesuai dengan ekosistem dan bukan yang melawan ekosistem alam.

Sewindu sudah usia reformasi, tetapi kehidupan para petani justru makin sulit. Agaknya tidak terlalu berlebihan jika petani menuntut pemerintah pelaksanaan sistem produksi pangan yang berkelanjutan berdasarkan pertanian keluarga (sustainable on food production based on family
farming)
dengan pertanian organik. Tentu semua ini harus dalam bingkai pembaruan agraria, yakni dijaminnya petani yang produktif atas kepemilikan dan penguasaan tanah, benih, teknologi dan harga yang menguntungkan.

dimuat di Harian Sore Suara Pembaruan, 30 November 2006

Baca Selanjutnya......