26.11.12

Pemerintah Harus Jamin Stok Beras

Ellen Piri | Senin, 26 November 2012 -

80.00 hektare sawah puso. 

JAKARTA - Kendati saat ini mulai memasuki musim penghujan, tetapi belum keseluruhan wilayah pertanian di Indonesia menikmatinya. Diperkirakan, wilayah sentra beras yang cukup strategis, seperti Cirebon, Indramayu, dan Kerawang, atau yang dekat dengan bendungan dapat mengalami hujan pada awal Desember. Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir mengungkapkan, menjelang akhir tahun ini, waktu tanam yang biasanya jatuh Oktober mundur menjadi Desember-Januari.

"Apa pun risikonya, kami tetap harus tanam, yang artinya panen akan terjadi sekitar Maret tahun depan," katanya kepada SH, Senin (26/11). Menurutnya, hujan ekstrem yang diprediksi mengakibatkan banjir akan terjadi pada awal Januari 2013. Bahkan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan curah hujan akan tinggi, mencapai lebih dari 3000 meter kubik. Winarno mengungkapkan bila hujan ekstrem terjadi maka wilayah persawahan di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo harus menjadi perhatian. "Di sini potensi sangat besar terjadi banjir, khususnya Kabupaten Bojonegoro. Pasalnya, proses penanggulan belum selesai," tuturnya.

Ia mengatakan Kementerian Pertanian (Kementan) harus memiliki pemetaaan wilayah yang berpotensi terdampak banjir ini, agar bisa dilakukan antisipasi yang dapat mengeliminasi dampak yang lebih jauh. Dia menegaskan kekhawatiran yang akan muncul pada saat hujan ekstrem terjadi dan panen belum bisa dilakukan pada Januari 2013. Diprediksikan awal tahun nanti akan terjadi kekosongan atau terjadi lonjakan harga beras. Namun, lanjutnya, jika pemerintah bisa menjaga stok beras hingga akhir 2012 mencapai 2 juta ton (sesuai hasil Rakortas Bulog), gejolak di awal tahun akan bisa dihindari. "Pemerintah harus bisa menjamin stok beras aman sehingga tidak akan ada kekhawatiran masyarakat menyusul mundurnya masa panen akibat mundurnya masa tanam," katanya.

Winarno mengatakan dengan adanya jaminan stok beras cukup, spekulan akan dapat dihindari. "Kalau stok banyak, spekulan tak akan menjadi masalah," tuturnya. Meski demikian, bukan saja ancaman banjir yang harus menjadi perhatian, tetapi juga ancaman hama penyakit yang juga mengancam produktivitas. "Ketika musim panen tahun depan masih dalam masa musim penghujan, kondisi angin juga dapat mengganggu penyerbukan," jelasnya. Karena itu, lanjutnya, petani harus menyiapkan diri sebaik mungkin. "Padi yang ditanam harus varietas unggul, yang tahan dengan genangan air," ujarnya.

Terancam Puso 

Sementara itu, Achmad Ya'kub, Chairman of National Policy Studies Departement pada Serikat Petani Indonesia (SPI), menyebutkan sekitar 70 persen wilayah Indonesia sudah memasuki musim hujan pada November 2012. Ia mengatakan luasan pertanaman padi yang terkena banjir rata-rata lima tahun terakhir mencapai seluas 80.000 hektare (ha). Luas pertanaman padi yang terkena banjir pada musim hujan 2009-2010 mencapai 34.220 ha. Sementara yang mengalami puso sejumlah 8.577 hektare. Pada musim hujan 2008-2009 luas pertanaman padi yang terkena banjir 129.212 hektare di mana 24.198 di antaranya puso.

Data Direktorat Perlindungan Tanaman, Ditjen Tanaman Pangan, menyebutkan luas lahan tanaman padi yang terkena banjir selama musim hujan 2011/2012 (Oktober-Desember) mencapai 33.549 ha dan puso 10.112 ha. Musim hujan 2010/2011 mencapai 72.956 ha (puso 10.735 ha). Provinsi terluas terkena banjir selama musim hujan 2011/2012 adalah Aceh 11.552 ha dan puso 5.099 ha, Jawa Tengah 6.907 ha dan puso 2.226 ha, Sumatera Utara mengalami banjir seluas 4.785 ha dan puso 420 ha, Jawa Barat seluas 4.071 ha dan puso 2 ha, Jawa Timur 1.956 ha dan puso 873 ha.

Dari Kudus, Jawa Tengah dilaporkan ratusan hektar Padi di Desa Wonosoco, Berugenjang, Undaan dan Lambangan terendam banjir. Curah hujan yang cukup tinggi mengakibatnya, petani setempat terancam gagal panen. Kepala Desa Wonosoco, Sudarmin mengatakan, penyebab genangan selain tingginya curah hujan yakni letak sawah yang berada di kawasan cekungan. Kondisi tersebut diperparah dengan tidak lancarnya pembuangan ke Sungai Juana.

“Dari sekitar 400 hektar lahan padi di desa kami, setengahnya terendam, katanya. Sebelumnya, Kepala BMKG Sri Woro Buadiati Harijono kepada SH di Jakarta, Jumat (22/11), menyebutkan hampir di seluruh wilayah Indonesia saat ini sudah memasuki awal musim hujan. Curah hujan dengan intensitas ringan hingga lebat berpotensi terjadi setiap hari. Meski begitu, puncak musim hujan diperkirakan baru akan terjadi pada Januari hingga Februari 2013.

Dia mengatakan BMKG telah memprediksi ada 27 provinsi di Indonesia yang berpotensi dilanda banjir. Di daerah-daerah itu diperkirakan akan terjadi banjir dan angin puting beliung pada November-Desember 2012 dan Januari 2013.

 Disebutkannya, 27 provinsi tersebut adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Provinsi lainnya yang berpotensi banjir adalah Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. (Retno Manuhoro/Saiful Rizal) Sumber : Sinar Harapan 
http://shnews.co/detile-11338-pemerintah-harus-jamin-stok-beras.html    Baca Selanjutnya......

17.11.12

Ya Ampun, Raskin Impor Kok Busuk Dan Berjamur

BERAS RASKIN BUSUK RMOL.

Pemerintah diminta melakukan penelitian dan koreksi terhadap beras impor yang akan masuk ke Indonesia. Sebab, banyak ditemukan mengandung bahan berbahaya dan jamur. Peneliti Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Ya'kub mengatakan, ada beras yang mengandung bahan arsenik dan itu sangat berbahaya. Karena itu, badan karantina harus meneliti betul beras impor. Jangan sampai itu masuk ke pasar tradisional, katanya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurut dia, arsenik merupakan bahan kimia berbahaya. Kandungan tersebut bisa masuk melalui pestisida yang sering digunakan petani untuk menyingkirkan hama dari tanaman padi. Untuk diketahui, berdasarkan studi yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), arsenik juga terkandung dalam beras asal Thailand. Hal itu dipicu oleh tambang timah yang mengandung bahan tersebut.

Sebenarnya, kata Yakub, Undang-Undang (UU) Pangan yang baru sudah dijelaskan kalau impor pangan yang masuk ke dalam negeri harus melalui pemeriksaan badan karantina apakah beras itu layak atau tidak masuk ke Indonesia. Sekarang kuncinya ada di badan karantina dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Mereka harus aktif mengawasinya, cetusnya. Apalagi, lanjutnya, Indonesia saat ini masih hobi impor beras dengan alasan untuk menjaga cadangan di dalam negeri dan salah satu negara pengimpor beras adalah Thailand.

Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Soebagyo mengatakan, temuan beras impor mengandung zat berbahaya bukan kali ini saja terjadi. Menurut dia, pada 2010 berdasarkan hasil penelitian dan uji coba di Gorontalo ditemukan beras impor mengandung jamur. Jika beras itu dimakan terus menerus akan menyebabkan penyakit kanker dan liver, tegas Firman. Sebab itu, pihaknya sudah menyampaikan masalah ini kepada pemerintah dalam hal ini Perum Bulog selaku lembaga yang mengimpor beras. Dalam rapat dengar dengan Komisi IV DPR baru-baru ini, Bulog mengakui sebagian dari beras impor ada yang kualitasnya tidak bagus, tapi tidak pernah ditindaklanjuti untuk diperbaiki.

Setiap ditanya jawaban mereka (Bulog) selalu normatif, cetus Firman. Untuk beras yang mengandung jamur, kata Firman, banyak ditemukan di beras untuk rakyat miskin (raskin). Bahkan, hasil inspeksi mendadak (sidak) di Kalimantan Barat, ditemukan banyak beras impor yang dibagikan untuk raskin itu sudah busuk. Dia menyatakan, beras impor yang mengandung jamur hampir tersebar di seluruh Indonesia. Karena itu, dia meminta keamanan impor makanan diperketat untuk mengantisipasi masuknya beras-beras impor yang mengandung bahan berbahaya. Selain itu, dia meminta kebijakan pemerintah untuk membeli beras dalam negeri dievaluasi. Menurutnya, pemerintah jangan hanya mencari harga murah, tapi kualitas beras yang akan diimpor juga harus diperhatikan. Percuma beli beras impor dengan harga murah jika sudah kadaluarsa dan busuk. Itu akan merugikan dan berisiko. Pemerintah jangan hanya mencari untung, sentil politisi Golkar ini.

Karena itu, dia meminta lembaga penegak hukum menelusuri temuan beras yang mengandung zat berbahaya. Tujuannya, untuk mengetahui apakah ada kesengajaan atau permaianan untuk memasukkan beras-beras tersebut. Audit yang dilakukan BPK tidak akan bisa sampai ke sana, mereka hanya mengaudit serapan dan kualitasnya saja. Sedangkan untuk permainan dan kongkalikong impor beras ini tidak akan kena, tandasnya.

Menteri Pertanian (Mentan) Suswono pernah mengatakan, beras-beras impor yang masuk ke Indonesia akan masuk ke Badan Karantina Kementerian Pertanian. Jika terbukti ada beras masuk dan mengandung arsenik, maka beras itu ditolak. Kita punya karantina, nanti dia akan menolak kalau memang benar, ujar Suswono. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh mengatakan, semua impor termasuk impor beras jika masuk Indonesia, tetap akan diverifikasi oleh surveyor. Jika terindikasi terdapat zat membahayakan, sudah pasti akan dicegah masuk, kata Deddy. [Harian Rakyat Merdeka]
Baca Selanjutnya......

22.10.12

Kebijakan Jadi Satu Pintu, UU Pangan Persempit Aksi Mafia


Pemerintah Nggak Mau Ruwet, Bulog Akan Tetap Jadi Stabilisator
RMOL. Pemerintah kelihatannya ngotot mempertahankan keberadaan Perum Bulog. Soalnya, dalam UU Pangan yang baru disahkan DPR, mesti dibentuk lembaga ketahanan pangan baru di bawah Presiden dan keberadaan Bulog pun terancam. Menko Perkonomian Hatta Ra­jasa mengaku kurang setuju jika harus dibentuk lembaga baru se­lain Bulog. “Kementerian atau lem­baga baru selain Bulog itu kan perlu transisi, tidak perlu lah. Yang penting ada saja daripada ruwet,” kata Hatta.

Menurut dia, pemerintah akan mengeluarkan aturan baru yang menjadikan Bulog sebagai stabi­lisator pangan di Indonesia. Pe­merintah juga sedang menaikkan status lembaga itu jadi sta­bilisa­tor penyangga gula dan kedelai. “Saya minta Inpres (Instruksi Presiden) disiapkan karena kita tak ingin ada gejolak harga. Bu­log akan jadi stabi­lisator,” te­gasnya.

Dari pihak Bulog, belum ada yang bisa dimintai komentar ter­kait pembentukan lembaga baru dan melebur Bulog di dalamnya. Namun, sebelumnya Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso ke­pada Rakyat Merdeka menga­takan, pihaknya menyerahkan se­penuhnya kepada pemerintah terkait keberadaan Bulog.

Wakil Ketua Komisi IV DPR yang juga Pimpinan Panitia Kerja (Panja) RUU Pangan Fir­man Soe­bagyo me­ngatakan, mem­per­­ta­hankan dan melebur Bulog di­se­rahkan sepe­nuh­nya kepada pe­merintah sesuai ama­nat Un­dang-Undang Pangan yang baru disah­kan. “Jika pemerintah tetap ngotot mempertahankan Bulog atau men­jadi leading, maka fungsinya harus dikembalikan seperti dulu, bukan menjadi Perum lagi,” ka­tanya kepada Rakyat Merdeka. Firman mengatakan, pemben­tukan lembaga baru justru dibu­tuhkan untuk memangkas ke­semrawutan dalam penyediaan dan distribusi pangan saat ini. “Justru dengan lembaga ini ba­kal memupus kartel dan mafia pangan,” cetusnya.

Apalagi, pemerintah dan DPR telah menyepakati lembaga baru pangan yang independen lang­sung di bawah koordinasi Presi­den. Selama ini pengelolaan pa­ngan masih mengikuti meka­nisme pa­sar yang dikuasai swas­ta. Akhir­nya, harga mahal, pasokan sulit karena swasta yang mengatur. Ia berharap, keberadaan Bulog nantinya bisa dilebur dalam lem­baga baru serta berubah fung­si un­tuk dikembalikan sebagai buffer stock sejumlah bahan pangan.

Ketua Departemen Kajian Stra­tegis Serikat Petani Indonesia Achmad Yakub mengatakan, yang cocok menjadi leading dari lembaga ketahanan pangan ada­lah Dewan Ketahanan Pangan (DKP), karena lembaga itu di bawah langsung Presiden. “Se­baiknya Bulog dilebur ke lemba­ga baru saja,” kata Yakub Dia berharap, lembaga terse­but bisa mengambil peran pe­nyaluran beras public service obligation (PSO) yang selama ini dikerjakan Bulog. Dengan adanya lembaga ini, diharapkan kebijakan pangan dalam negeri menjadi satu pintu. Sekarang, kata Yakub, kebija­kan pangan ada di berbagai ke­menterian. Kementerian Perda­gangan fokus untuk impor dan bisnisnya. Sedangkan Kemen­terian Pertanian peningkatan pro­duksi dalam negeri, sehingga tidak pernah nyambung.

Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Benny Pasaribu mengatakan, pihaknya menunggu implementasi dari Undang-Undang Pangan yang su­dah disahkan. Dengan adanya kebijakan yang mengatur per­soalan pangan, diharapkan bisa membenahi permasalahan pa­ngan dan mempercepat swa­sem­bada pangan. Menurut Benny, Bulog harus diberikan tugas dan kewenangan untuk menjadi stabilisator harga. Bulog harus membeli di saat pe­tani sedang panen dan harus ada kebijakan harga dasarnya.

“Kalau Bulog tidak bisa mena­ngani, pemerintah daerah bisa mem­bentuk perusahaan baru te­tapi bukan untuk impor, melain­kan untuk membeli produk-pro­duk dari petani,” jelasnya. Kendati begitu, Benny menya­rankan, Bulog tidak harus dibu­barkan atau ditutup secara ke­lem­bagaan. Karena, yang me­nye­­bab­kan kinerja Bulog menu­run itu jajaran direksinya.

“Mungkin ada yang tidak be­res, bubarkan saja direksinya. Ganti dengan orang-orang yang berkom­peten dan ahli,” ujarnya. Untuk diketahui, DPR akhir­nya mensahkan RUU Pangan menjadi UU, Ka­mis (18/10). Dalam pasal 129 RUU Pangan disebutkan, dalam rangka me­wujudkan kedau­latan pangan, keman­dirian pangan dan keta­ha­nan pangan nasional, maka dibentuk lembaga peme­rintah yang menangani bidang pangan. sumber [Harian Rakyat Merdeka]
Baca Selanjutnya......

18.10.12

Monopoli Mematikan Pengembangan Pangan Lokal

Kemandirian Pangan
JAKARTA - Pembiaran pengusaha besar importir terigu nasional melakukan praktik monopoli selama puluhan tahun telah merusak potensi rakyat untuk mengembangkan tepung berbahan baku lokal. Lebih dari itu, monopoli pasar impor terigu domestik warisan Orde Baru tersebut telah membuat pedagang kecil pengolah terigu menjadi tidak berdaya untuk mendapatkan terigu yang lebih murah.
"Kalau pemerintah tidak turun tangan, yang terjadi seperti sekarang ini, sekelompok pengusaha warisan Orde Baru menjadi pemain tunggal dan seenaknya mengatur perdagangan terigu. Sedihnya lagi, petani yang mengembangkan tepung berbahan baku lokal menjadi kalah bersaing dengan terigu impor," kata Ketua Divisi Kajian dan Propaganda Serikat Petani Indonesia (SPI), Achmad Ya'kub, di Jakarta, Rabu (17/10).

Ya'kub menambahkan pemerintah seharusnya membela rakyatnya daripada melanggengkan sekelompok pengusaha besar importir terigu nasional melakukan praktik monopoli. Alasannya, karena kebergantungan pada segelintir importir terigu akan memengaruhi stabilitas pangan nasional. "Pengalaman berkurangnya pasokan gandum dari Rusia, beberapa tahun lalu, seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk tidak membiarkan praktik monopoli terigu nasional berkembang. Padahal, Indonesia tidak sebutir pun menanam gandum, namun kenyataannya pemerintah tampak panik ketika pasokan gandum dari Rusia dan Amerika berkurang beberapa waktu lalu," kata dia.

Koordinator Perkumpulan Pedagang Kecil Pengolah Terigu (PPKPT), Didi Rachmat, menambahkan saat ini pasar impor terigu di Tanah Air didominasi oleh satu perusahaan nasional yang menguasai hingga 80 persen pasar. Penguasaan pasar ini berpotensi terjadinya oligopoli yang mengarah pada monopoli pasar terigu sehingga menyebabkan harga terigu tinggi. "Anehnya lagi, manakala Turki menawarkan terigu dengan harga lebih murah dari yang ada sekarang, sekelompok pengusaha nasional mengajukan keberatan dan meminta pemerintah untuk membatasinya dengan menambah bea masuk tindakan pengaman atau safeguard," kata dia.

Menurut Didi, pengadangan masuknya terigu murah dari Turki tersebut juga pernah terjadi sebelumnya. Ketika itu, sekelompok pengusaha nasional menuding Turki melakukan dumping sehingga mendesak Komite Antidumping Indonesia (KADI) untuk mengeluarkan rekomendasi Bea Masuk Antidumping (BMAD). Kini, sekelompok pengusaha nasional itu kembali beraksi dengan mendesak Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) untuk mengeluarkan rekomendasi bea masuk tindakan pengamanan (safeguard) terhadap melonjaknya volume terigu dari Turki.

Dipaksa Impor
Sementara itu, pengamat ekonomi pertanian, Khudori, membenarkan monopoli pasar terigu berbahan gandum berdampak pada sulitnya tepung berbahan lokal untuk berkembang. Akibatnya, setiap tahun, Indonesia dipaksa mengimpor enam juta ton gandum untuk terigu. "Selama ini, kalau ada upaya substitusi terigu berbahan gandum menjadi tepung dari bahan lokal, seperti ubi jalar dan ganyong, selalu dihambat importir yang memonopoli pasar," kata dia. YK/aan/mza/AR-2 KORAN JAKARTA/WACHYU AP http://m.koran-jakarta.com/?id=103385&mode_beritadetail=1
Baca Selanjutnya......

17.10.12

SPI Minta Pemerintah Prioritaskan Revitalisasi Institusi Petani


Jakarta (ANTARA) - Serikat Petani Indonesia minta pemerintah prioritaskan revitalisasi institusi dan kelembagaan petani sehingga memperkuat akses untuk meningkatkan produksi pertanian dibandingkan mengembangkan konsep agribisnis.

"Tema pemerintah untuk Hari Pangan Sedunia tahun ini tidak tepat yang mengembangkan agroindustri, karena lebih tepat merevitalisasi institusi dan kelembagaan petani," kata Ketua Serikat Petani Indonesia, Achmad Yakub kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.

Dia mengatakan ketika kelembagaan atau institusi petani sudah kuat maka mereka mudah mendapatkan akses permodalan ke bank dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) maupun Kredit Usaha Tani (KUT). Selain itu, menurut dia, akses petani mendapatkan benih unggul dan pupuk akan lebih baik dan murah sebab harga itu akan tinggi apabila petani membelinya secara individu.

"Revitalisasi lembaga petani, memastikan pembelian harga jual yang bagus dari petani, ada proses penyediaan benih unggul dari koperasi, tersedianya pupuk tepat waktu untuk keperluan petani kecil," ujarnya.

Menurut Ahmad, secara lebih luas lembaga petani itu akan mampu membangun industri pedesaan berbasis pertanian dengan mengembangkan hasil pertanian. Dia mencontohkan singkong yang bisa diolah menjadi keripik singkong dan tepung tapioka sehingga meningkatkan nilai tambah dari hasil pertanian.

"Pengolahan berbasis di desa itu fungsi koperasi tani dan juga membuka lapangan kerja desa pasca panen, selain itu lembaga itu memastikan harga jual bagus dari panen," katanya.

Menurut dia, konsep agribisnis yang digunakan pemerintah itu mengambil dari tema pertanian internasional tanpa memperhatikan kontekstualisasi kondisi pertanian Indonesia. Dia mengatakan, pola pertanian Indonesia jauh berbeda dengan yang ada di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia dan Uni Eropa.

Di negara-negara itu menurut dia, para petani kecil minimal memiliki tanah diatas 100 hektare dengan menggunakan alat-alat berat. Dia membandingkan dengan petani di Indonesia yang lahannya hanya 0,3 hektare dan dikerjakan dengan konsep padat karya.

"Tema internasional itu diterjemahkan bulat-bulat oleh Kementerian Pertanian tanpa melihat kontekstualisasi petani di Indonesia yang rata-rata merupakan petani gurem dengan lahan hanya 0,3 hektare," katanya.

Sebelumnya, Indonesia akan memperingati Hari Pangan Sedunia ke 32 tahun ini dengan tema "Agroindustri Berbasis Kemitraan Petani Menuju Kemandirian Pangan" di Palangkaraya pada 18-21 Oktober 2012.

Kementerian Pertanian menilai pengembangan agroindustri berbasis petani perlu diangkat karena kondisi pertanian saat ini masih terpusat pada kegiatan hulu dengan nilai tambah yang relatif rendah.

Kementan menilai kegiatan agroindustri mempunyai kontribusi penting dalam proses industrialisasi dan peningkatan pendapatan petani terutama di wilayah pedesaan.

Kementan melansir data dalam lima tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan jumlah unit usaha agroindustri rata-rata mencapai 5,52 persen per tahun. (tp)
sumber Antara
Baca Selanjutnya......

13.10.12

Subsidi Pangan Dipertahankan

Kebijakan Pertanian I Kajian dan Rekomendasi OECD Menyesatkan

JAKARTA - Kementerian Pertanian akan tetap mempertahankan model subsidi untuk pangan, dan tidak akan menggubris rekomendasi Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi atau Organization for Economic and Development (OECD). "Apa yang disampaikan OECD itu sangat tendensius, terutama rekomendasinya yang menyuruh mengurangi subsidi dan menghilangkan raskin, serta tidak perlu orientasi swasembada. Sangat riskan jika rekomendasi tersebut dipenuhi," tegas Menteri Pertanian, Suswono, di Jakarta, Jumat (12/10).

Suswono menegaskan bahwa Kementerian Pertanian tidak akan menggubris rekomendasi OECD dan akan fokus memenuhi amanat dari rancangan undang-undang (RUU) pangan, yang mengamanatkan kemandirian dan kedaulatan pangan. Mentan menambahkan, soal pangan itu menyangkut kedaulatan bangsa sehingga tidak boleh diatur bangsa lain, apalagi bergantung dari impor. Posisi Indonesia saat ini berpeluang meningkatkan produksi dan mencapai swasembada pangan.

"Ke depan, persoalan pangan kita sudah di warning FAO, yang intinya agar setiap negara mengamankan kebutuhan pangan masing-masing. Jadi, kalau kita menggantungkan diri melalui impor, akan riskan dari sisi ekonomi dan politik," ungkap dia. Terkait rekomendasi untuk mengurangi subsidi, Suswono menilai rekomendasi OECD tidak tepat karena kebijakan pemberian subsidi wajar dilakukan setiap negara. Ia menyebutkan negara maju seperti Jerman masih memberikan subsidi bagi petaninya yang memiliki lahan rata-rata 50 hektare setiap tahun. Bahkan, Amerika Serikat karena dilanda kekeringan, pemerintahnya menggelontorkan dana sebesar 30 miliar dollar AS untuk tanaman jagungnya.

"Jadi, rekomendasi OECD itu menyesatkan dan tidak perlu direspons. Yang penting, tekad kita sekarang adalah swasembada harus dilanjutkan, terlepas kapan itu bisa tercapai karena ada kendala. Akan tetapi, semangat itu harus tetap ada," papar dia. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menyatakan kajian dan rekomendasi OECD menyesatkan, dan jika dituruti akan menimbulkan petaka. "Kajian dan rekomendasi itu sebagai jalan sesat yang hanya akan menguntungkan negara anggota OECD. Akan menimbulkan petaka jika kemudian rekomendasi tersebut dipakai untuk kebijakan pertanian kita," kata Manager Advokasi dan Jaringan KRKP, Said Abdullah. Menurut Said, menggantungkan kebijakan pangan kepada negara lain dan pasar internasional, sama saja dengan bunuh diri. Ia mencontohkan, gejolak harga kedelai dan beras terbukti membuat panik kondisi di dalam negeri. Said menegaskan, menyerahkan urusan pangan kepada pasar terbukti telah gagal. Muslihat OECD yang mencoba mengutak-atik subsidi merupakan bagian dari upaya masuknya perusahaan besar ke jaringan bisnis dan menenggelamkan petani dalam jurang kemiskinan.

Eksploitasi Tanah
Secara terpisah, Kepala Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia (SPI), Achmad Ya'kub, menilai kebijakan RAI (responsible agricultural investment) yang dikeluarkan Bank Dunia mendorong eksploitasi tanah yang ada karena membuka peluang bagi perusahaan transnasional. "Dengan diterbitkannya prinsip RAI oleh Bank Dunia, justru menjadi legitimasi pola pencaplokan lahan yang dilakukan oleh pemodal besar," kata Ahmad Yakub dalam konferensi pers bersama sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, RAI merupakan kebijakan Bank Dunia yang merespons banyaknya perampasan tanah oleh perusahaan agribisnis. Dia menjelaskan jika hal ini diimplementasikan, petani kecil di pedesaan akan semakin terpuruk, mendorong terjadinya konflik menghilangkan sumber ekonomi perempuan serta potensi menguatkan ketidakadilan gender. "Tanah akan semakin berpotensi dikuasai oleh kaum pemodal, baik nasional maupun asing serta produsen besar," kata Ahmad.

Dia mengatakan kebijakan yang didorong Bank Dunia adalah kebijakan korporasi sehingga mengancam sektor pertanian di Indonesia. "Warga tani menghilang menjadi buruh perkebunan di kelapa sawit," ujar dia. Menurut dia, program food estate (pertanian tanaman pangan berskala luas) di Merauke, Papua, akan mengarah kepada feodalisme karena peran petani pribumi hanyalah sebagai mitra kerja alias buruh bagi pemodal di food estate. aan/E-3 
sumber http://m.koran-jakarta.com/?id=102948&mode_beritadetail=1 
 
 
Baca Selanjutnya......

25.9.12

SPI usulkan tiga strategi wujudkan ketahanan pangan

Jakarta (ANTARA News) - Serikat Petani Indonesia mengusulkan kepada pemerintah menyiapkan tiga strategi mencapai ketahanan pangan nasional yaitu tanah diberikan pada petani, pemberian bibit unggul dan teknologi serta industri pengolahan pasca panen.

"Itu kunci utamanya jika ingin mewujudkan ketahanan pangan. Masalah distribusi, kemasan produk dan tata niaga diatur setelah hal utama dilakukan," kata Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI), Achmad Ya'kub di Jakarta, Senin.

Ia menjelaskan produksi pertanian perlu didukung teknologi yang murah, massal dan efisien sehingga hasilnya bisa maksimal. Setelah itu, ketika masa pasca panen dibutuhkan industri nasional yang berbasis di kabupaten dan kecamatan agar bisa menyerap tenaga kerja lebih banyak.

"Petani menjual bahan mentah, diolah di level kabupaten menjadi pangan olahan. Kunci utama itu merupakan rangkaian strategi yang seharusnya bisa dijalankan di Indonesia," ujarnya.

Selain itu, menurut Ahmad, pemerintah juga harus memiliki kebijakan politik anggaran berbasis pertanian dan melindungi produksi pangan dalam negeri.

Dia mengatakan, kebijakan nasional Indonesia selama ini lebih berbasis pada industri dan perkotaan dibandingkan basis pedesaan dan pertanian. Menurut Ahmad, jika pemerintah ingin mengembangkan sektor pertanian maka alokasi anggaran pada sektor tersebut harus di perbesar.

Menurut dia besarnya anggaran di sektor industri dan perkotaan menyebabkan tidak adanya orientasi jelas dalam pembangunan nasional Indonesia dan menyebabkan pemerintah bimbang ketika berhadapan dengan perdagangan bebas dan akhirnya membuka produk pertanian dari luar negeri.

"Akibatnya ketika di forum APEC dan WTO kita bimbang sehingga meliberalkan sektor pangan dan pertanian, dan petani kita tidak bisa bersaing," katanya.

Menurut Ahmad, pemerintah harus melindungi produksi pertaniannya dengan langkah memberikan subsidi ekspor dan dukungan domestik.

Dia mengatakan, pemerintah seharusnya bisa memberikan pajak nol persen bagi produk ekspor Indonesia dan melobi negara penerima untuk memberikan bea masuk yang rendah.

Selain itu, menurut Ahmad seharusnya pemerintah bisa memberikan perlindungan produk dalam negeri dengan sistem proteksi yang ketat dan juga memberikan insentif bagi usaha pertanian.

"Beberapa negara di Eropa, Jepang, dan Korea Selatan mereka melindungi pertanian dalam negerinya. Karena produk ini jangan diliberalkan," ujarnya.

Dalam pertemuan pemimpin forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) ke 24 di Vladivostok-Rusia pada 7-9 September 2012 diangkat empat tema sentral, yaitu integrasi regional melalui perdagangan dan investasi, ketahanan pangan, sistem rantai nilai, dan intensifikasi kerja sama untuk pertumbuhan yang inovatif.

Forum tersebut menyerukan kepada anggotanya untuk selalu siap menghadapi tantangan dan meredam risiko di tengah lingkungan ekonomi global termasuk pasar keuangan yang masih rentan terhadap krisis.

(SDP-53/A039) Editor: Tasrief Tarmizi sumber : http://www.antaranews.com/berita/332267/spi-usulkan-tiga-strategi-wujudkan-ketahanan-pangan
Baca Selanjutnya......

25.7.12

Proyek Swasembada Pangan Berjalan Tanpa Perencanaan

Penuhi Kebutuhan Hotel, Kementan Tambah Impor Daging 7.000 Ton

RMOL.Proyek swasembada pangan tidak dilakukan secara terstruktur dan terencana. Pemerintah masih menggantungkan pada impor untuk mencukupi kebutuhan pangan. Praktisi Pertanian Achmad Ya'kub menuturkan, rencana baru swasembada pangan sudah berlangsung sejak lama dari tahun 1996. Adapun mengenai konsep ketahanan pa­ngan tersebut intinya menyuplai berbagai komoditas di pasaran dengan berbagai mekanisme. pro­­duksi dalam negeri dan per­dagangan luar negeri.

Dengan cara tersebut, peme­rintah terjebak cara praktis dan berbahaya. Aki­batnya, strategi pemerintah men­cari harga inter­nasional yang murah untuk di­importasi bukan mengede­pan­kan strategi pem­bangu­nan per­tanian di pedesaan. “Nah, infrastruktur di pedesaan banyak yang rusak, lahan perta­nian pangan terus berkurang. Pa­dahal, itu sangat penting buat petani,” cetusnya kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.

Achmad menambahkan, peme­rintah harus mempunyai strategi perluasan lahan, juga konservasi lahan yang sudah ada. Dikha­wa­tir­kan, situasi seperti ini akan terus terjadi dalam beberapa ta­hun ke depan. Jika secara nasio­nal tidak punya grand design, misalnya menjadikan Karawang sebagai lahan khusus beras, maka tukar guling lahan makin luas. “Kalau itu tidak ada, maka ba­nyak petani yang jual lahannya untuk kontrakan karena lebih menguntungkan. Untuk apa me­reka bertani kalau tidak mengun­tung­kan dan tidak mendapat ban­tuan dari pemerintah,” ung­kapnya.

Data Badan Pertanahan Nasio­nal (BPN) menyebutkan, dalam setiap tahunnya terjadi konversi lahan pertanian sekitar 100 ribu hektar. Mirisnya, peme­rintah ha­nya bisa menyediakan lahan baru sebanyak 40 ribu hektar setiap tahunnya. Menurut dia, banyak aturan dalam Organisasi Perda­gangan Dunia (WTO) yang di­iku­ti Indonesia. Tapi, pemerintah lupa membagun strategi produk­si nasional yang kompe­titif. “Ini yang dilupakan sama pe­merintah, kita sudah tergantung pada pangan internasional yang harganya fluktuatif. Kalau suatu saat terjadi bencana di negara produsen, maka harganya dipas­tikan akan melambung tinggi. Itu sangat membahayakan bagi In­donesia,” jelasnya.

Dihubungi terpisah, Wakil Ke­tua Komisi IV DPR Firman Su­bag­yo mengatakan, masalah pangan sa­ngat fundamental dan harus ditangani dengan serius oleh pe­merintah. “Tingkat kesu­buruan seperti apa? infrastruk­turnya ba­gaimana? Irigasinya bagaimana? Hal tersebut perlu kajian yang lebih mendalam lagi. Tidak ha­nya asal menyediakan lahan,” cetus Firman.

Untuk mencapai target pro­duksi jagung, kedelai dan padi pada tahun ini, maka diperlukan investasi sekitar Rp 43,44 triliun yang berasal dari pemerintah dan swasta. Berdasarkan data angka ramalan (aram) I dari Badan Pusat Statistik, produksi beras men­capai target, tapi produksi jagung dan kedelai belum men­capai target yang ditetapkan pemerintah.

Angka investasi tanaman pa­ngan tersebut disampaikan dalam acara Konferensi Percepatan Pen­capaian Swasembada 5 Ko­mo­ditas Pangan Pokok oleh Kemen­terian Pertanian bersama dengan seluruh gubernur, bupati dan wa­likota. Untuk mencapai produksi jagung tahun ini, 24 juta ton, ma­ka dibutuhan investasi Rp 10,28 triliun. Target produksi padi tahun ini 65,78 juta ton, maka diper­lukan investasi Rp 31,78 triliun. Adapun, untuk produksi kedelai tahun ini 1,9 juta ton diperlukan Rp 1,38 triliun.  

Tambah Impor Daging
Pemberian tambahan kuota impor daging sapi beku 7 ribu ton dipastikan hanya untuk industri pengolahan lantaran kebutuhan un­tuk konsumsi ma­syarakat, hotel, restoran, dan katering sur­plus 20 ribu ton. Dirjen Peter­nakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro menga­takan, ke­butuhan daging sapi di dalam negeri masih surplus 20 ribu ton yang ber­asal dari sapi lokal dan sapi bakalan eks impor. “Untuk konsumsi masyarakat dan horeka (hotel, restoran dan kater­ing) masih surplus,” ujarnya di sela-sela jumpa pers Prognosa Neraca Ke­butuhan dan Ke­ter­sediaan Pangan di Jakarta, ke­marin. Data Kementan mencatat, harga daging sapi rela­tif stabil Rp 75.000-Rp 85.000 per kilogram (kg). [Harian Rakyat Merdeka
Baca Selanjutnya......

14.7.12

Petani Sedunia Serukan Pembaruan Agraria


Rus Akbar - Okezone
BUKITTINGGI - Pembaruan sektor agraria merupakan solusi untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Reformasi agraria juga dinilai akan meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan petani. Demikian sebagian rekomendasi yang dihasilkan Lokakarya Agraria Internasional yang digelar lebih 100 petani dari 40 negara di Bukittinggi Selasa-Jumat (10-13 Juli).

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih dan Koordinator Umum Gerakan Petani Internasional (La Via Campesina) mengatakan, pembaruan agraria perlu dilakukan untuk menata kembali struktur ketimpangan penguasaan agraria tersebut.

“Pendistribusian tanah pada petani, khusus peruntukkannya bagi pembangunan pertanian pangan, merupakan syarat utama dalam pembangunan kedaulatan pangan dengan basis keadilan rakyat,” ujarnya, Sabtu (14/7/2012)

Dia juga mengatakan, lahan pertanian milik petani di seluruh dunia terus berkurang dari tahun ke tahun, termasuk di Indonesia . "Penguasaan tanah di tingkat rumah tangga petani di Indonesia rata-rata hanya 0,3 hektare. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kurangnya produksi pangan dan tingkat kesejahteraan petani," kata pimpinan 200 juta petani dari 170 negara tersebut.

Selain itu, Ketua Bidang Kajian Strategis Nasional SPI Achmad Yakub menambahkan, pembaruan agraria untuk merupakan solusi bagi krisis ekonomi yang terjadi di Eropa dan Amerika serta krisis harga dan pangan yang terus berlangsung di dunia internasional.

"Melalui deklarasi kedaulatan pangan, kita tidak hanya ingin mewujudkan kedaulatan pangan, tapi ingin membangun perdaban dunia yang baru," ujarnya.

Para pemimpin dunia termasuk Indonesia diimbau tidak lagi mengikuti jejak pembangunan di Eropa dan Amerika. "Petani menginginkan pembangunan yang menjunjung nilai kemanusian, lingkungan hidup serta memiliki solidaritas," tuturnya

Dunia internasional, menurutnya, saat ini dihancurkan dengan sistem ekonomi yang saling mematikan. "Ekspor CPO dari perusahaan Indonesia telah mematikan petani kelapa di India . Sebaliknya, impor produk pertanian dari Thailand juga mematikan petani Indonesia ," kata Yakub.

Dalam lokakarya selama tiga hari di Bukittinggi, para petani dari seluruh dunia saling bertukar pengalaman tentang proses pembaruan agraria, cara meraih keberhasilan bahkan kesalahan-kesalahan, agar tak mengulanginya lagi di masa depan.

"Banyak dari kaum muda yang ingin bekerja di pertanian yang tak punya akses terhadap lahan harus pergi ke kota. Perempuan di pedesaan yang punya hak atas tanah harus pergi ke luar negeri untuk menjadi buruh migran," ujar Yen-Ling Tsai dari Taiwan Rural Front.

Sementara, di Indonesia, kaum muda dan perempuan ini seringkali harus melawan perusahaan raksasa dalam mempertahankan lahan dan wilayah mereka. Dalam sepuluh perusahaan teratas yang berinvestasi untuk perampasan tanah, tiga diantaranya mengambil lokasi di Indonesia, Indah Kiat Pulp & Paper (2,3 juta hektare), Tata Power (2 juta hektare), dan Sinar Mas Grup (1,6 juta hektare).

Sementara banyak perusahaan lain berlomba-lomba mencaplok lahan di negeri ini. Keresahan mengenai perampasan lahan, sulitnya investasi di pedesaan, serta mempertahankan hak atas tanah dan wilayah petani dan masyarakat adat juga sampai ke masyarakat internasional.

Setidaknya saat ini ada dua inisiatif di level tersebut, yang pertama adalah Panduan Sukarela mengenai Pengaturan Hak Guna Lahan, Perikanan dan Kehutanan di Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), serta pengakuan hak asasi petani di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dikonfirmasi mengenai hal ini, Paolo Groppo dari Divisi Pembangunan Pedesaan FAO yang juga hadir dalam acara ini menyatakan,"Inisiatif dari bawah sangat penting, dan FAO terus memfasilitasi hal tersebut seperti yang dilakukan pada kasus Panduan Sukarela mengenai Pengaturan Hak Guna Lahan, Perikanan dan Kehutanan," katanya.

Dia melanjutkan, pembaruan agraria sejati yang digagas La Via Campesina dan berbagai gerakan di seluruh dunia adalah bagian dari proses demokratisasi rakyat.

Sekedar informasi, setelah menggelar lokakarya, para petani akan mengikuti Seminar Reforma Agraria Abad 21 yang digelar di Balai Sidang Bung Hatta, Bukittinggi pada Sabtu (14/7) dan ditutup pada Minggu (15/7) dengan perayaan peringatan hari lahir SPI ke-14 di Jorong Sibaladuang, Nagari Sungai Kamuyang, Kecamatan Luhak, Kabupaten Limapuluh Kota. Utusan Khusus Presiden Bidang Penanggulangan Kemiskinan HS Dillon, Gubernur Irwan Prayitno dan Bupati Limapuluh Kota Alis Marajo dijadwalkan menghadiri acara tersebut. (git) sumber; Okezone
Baca Selanjutnya......

2.3.12

Revisi RUU Pangan

Serikat petani beri masukan ke pemerintah

Oleh Dea Chadiza Syafina -

JAKARTA. Serikat Petani Indonesia (SPI) ikut memberi masukan terhadap revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pangan dan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pasalnya, saat ini pemerintah bersama dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tengah menggodok revisi RUU Pangan dan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Tujuan revisi RUU ini adalah untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan sehingga mampu tercapai kondisi ketahanan pangan, ketersediaan pangan serta keamanan pangan. Hingga kini RUU ini sedang menunggu daftar inventarisir masalah (DIM), dari pemerintah untuk masuk pada tahap pembahasan tingkat I di Komisi IV DPR RI.

Salah satu masukan SPI menyangkut pasal 11, dimana SPI meminta DPR maupun pemerintah untuk memperhatikan perencanaan pemasukan dan pengeluaran pangan supaya diatur dan menjadi kewenangan pemerintah.

Masukan tersebut disampaikan Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI, Achmad Yakub, dalam seminar Telaah Kritis Revisi UU Pangan dan Kesejahteraan Petani Poksi Komisi IV DPR Fraksi Partai Demokrat, Jumat (2/3). "Jangan sampai pemerintah daerah dapat melakukan impor dan ekspor pangan tanpa ada aturan yang jelas," tutur Yakub.

Selain itu, SPI juga memberikan masukan pada pasal 19 mengenai alokasi lahan pertanian dan pemenuhan pangan pokok. Karena harus ada perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan agar tidak terjadi lagi pengalihan fungsi lahan pertanian produktif menjadi area non pertanian.

Pasalnya, setiap tahun ada 200.000 hektare (ha) lahan pangan yang dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian. “Ini tentu menutup ruang kerja petani dan menutup kemungkinan Indonesia untuk mencapai swasembada pangan," ujar Yakub.

SPI juga memberikan masukan atau usulan terhadap pasal 33 RUU Revisi Pangan, yakni mengenai penyimpanan dan distribusi pangan. Menurut Yakub, penyimpanan dan distribusi pangan seharusnya dikelola oleh kelembagaan pemerintah, mengingat pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia sesuai dengan Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. "Pangan bukan sekadar komoditas. Dan merupakan tanggung jawab negara untuk menjamin pemenuhannya," imbuhnya.

Dalam pasal 52 Revisi RUU Pangan, SPI juga memberikan usulan bahwa pemerintah harus memiliki peran lebih dalam mengendalikan harga pangan dalam negeri. Karena hal tersebut akan menjadi sangat krusial di tengah krisis pangan global dan meningkatnya spekulasi serta volalitas harga pangan. "Hal ini sangat penting untuk diatur dan dipertahankan guna menjaga stabilitas harga dan menjamin keterjangkauan oangan bagi seluruh rakyat Indonesia," sambungnya.
sumber http://nasional.kontan.co.id/news/serikat-petani-beri-masukan-ke-pemerintah
Baca Selanjutnya......

13.1.12

Petani Gugat Kebijakan Agraria

JAKARTA - Ribuan petani, buruh, masyarakat adat, mahasiswa, perangkat desa, dan anggota lembaga swadaya masyarakat melakukan unjuk rasa besar-besaran di sejumlah tempat di Indonesia. Pemerintah dianggap tak memihak rakyat dalam konflik-konflik agraria.

Sejak Kamis (12/1) pagi, area depan halaman Istana Presiden sudah ditutup rapat dengan pagar berkawat besi setinggi satu meter. Petugas kepolisian dari Polda Metro Jaya mengerahkan sekitar 800 orang personel yang dilengkapi senjata lengkap serta tameng fiber maupun tameng sekat untuk menghalau massa.

Menjelang siang, sepanjang Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, mulai disesaki pengunjuk rasa. Gerombolan massa terutama terlihat di seberang Istana Presiden. Arus lalu lintas di jalan ini terhambat sekitar lima jam akibat kerumunan massa. Sepanjang Jalan Merdeka Utara menuju Jalan MH Thamrin, arus kendaraan padat merayap.

Menurut salah seorang perwakilan massa yang ditemui Republika di tengah kerumunan, Achmad Ya'kub, sedikitnya ada 10 ribu massa yang berkumpul di depan area Istana Presiden, kemarin. Pria yang juga merupakan ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) itu mengatakan, massa tergabung dalam Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia.

"Kami menyatakan perlawanan terhadap perampasan tanah-tanah rakyat di seluruh Indonesia," kata Ya'kub di sela-sela unjuk rasa. Menurut dia, selama ini Presiden SBY menutup mata terhadap masalah perampasan tanah milik rakyat. Yakub pun meminta SBY membubarkan Perhutani dan memberikan hak yang lebih luas kepada rakyat, penduduk desa, dan masyarakat adat dalam mengelola hutan.

Ya'kub mengatakan, ada 77 organisasi ikut serta dalam unjuk rasa. Mereka berasal dari Cirebon, Semarang, Banten, Pasundan, Tasikmalaya, dan daerah-daerah lain.

Unjuk rasa kemudian dilanjutkan ke depan gedung DPR. Massa mulai memenuhi depan pagar bagian selatan gedung DPR sekitar pukul 13.00 WIB kemarin. Pukul 14.00 WIB, sekitar 4.000-an pendemo sudah menyesaki tempat tersebut.

Selepas sejumlah anggota dewan menyampaikan orasi pada 14.20 WIB, sebanyak 20 orang mengayun-ayunkan pagar di sebelah kanan pintu masuk. Lima menit kemudian, pagar jebol, begitu juga pagar di sebelah kanannya. Sebagian massa juga berusaha menjebol pagar pembatas jalan tol dan berhasil merobohkan dua pagar pembatas.

Menanggapi massa yang hendak merangsek ke dalam gedung, petugas polisi menyemprotkan meriam air. Massa ditenangkan selepas itu.

Koordinator umum aksi, Agustiana, mengatakan, selain reformasi agraria, massa juga menuntut pembaruan desa dan penegakan aturan keadilan ekologis. Dia menuding, selama ini pemerintah kian brutal dalam melakukan praktik perampasan tanah dan sumber-sumber kehidupan rakyat.

"Pemerintah pusat dan daerah secara sengaja menggunakan aparat dan pam swakarsa untuk menembak, membunuh, menangkap, dan melakukan berbagai bentuk kekerasan untuk kepentingan korporasi," ujar Agustiana.

Ia mendesak DPR segera membentuk panitia khusus (pansus) penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam tanpa merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960. Segala bentuk perampasan tanah rakyat harus dihentikan dan tanah-tanah yang dirampas dikembalikan ke rakyat.

Selain dari gabungan aksi Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia, turut berunjuk rasa juga ribuan perangkat desa yang tergabung dalam Parade Nusantara. "Tuntutannya jelas, disahkannya RUU Desa dan pemerintah batalkan kebijakan impor," kata Ketua Parade Nusantara Sudir Santoso di depan gedung DPR.

DPR setuju bentuk Pansus
Menyusul unjuk rasa, sebanyak 34 anggota DPR menandatangani surat pernyataan pembentukan panitia khusus (pansus) DPR untuk penanganan masalah agraria. Dalam surat pernyataan, para anggota DPR juga menyatakan dukungan atas sikap dan usulan yang disampaikan pengunjuk rasa, yakni pembentukan Pansus Agraria.

Tugas pokok pansus itu nantinya akan memastikan seluruh kebijakan agraria berdasarkan UU Pokok Agraria Nomor 5/1960, memberikan rekomendasi ke Sidang Paripurna DPR untuk mencabut undang-undang yang merugikan rakyat. Selain itu, dapat memberikan rekomendasi kepada DPR dan presiden untuk mencabut izin usaha pertambangan kontrak karya, hak pengelolaan hutan alam dan tanaman, serta hak guna usaha perkebunan.

Sumber : Republika
Baca Selanjutnya......

16.11.11

Bom Waktu, Gantungkan Pangan pada Negara Lain

JAKARTA - Kebergantungan Indonesia pada impor pangan merupakan bom waktu yang sewaktuwaktu bisa meledakkan masalah nasional. Hal itu bisa terjadi karena pemerintah bertahun-tahun mengabaikan kemandirian pangan. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengalokasikan APBN untuk membangun pertanian dengan target utama mampu menyediakan pangan rakyat dari dalam negeri. "Pangan akan jadi masalah serius karena kita mengabaikannya selama ini. Malah, kita menggampangkannya dengan membiarkan derasnya impor pangan.

Akibatnya, kita tidak sadar jika sektor pertanian kita hancur," kata Ketua Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia Achmad Yakub di Jakarta, Selasa (15/11). Sebagai negara agraris, sungguh ironis, kini Indonesia termasuk importir pangan terbesar dunia dengan porsi impor sekitar 65 persen kebutuhan nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor pangan sepanjang Januari–Juni 2011 mencapai 45 triliun rupiah. Komoditas pangan yang diimpor mencapai 28 jenis, mulai dari beras, jagung, kedelai, tepung terigu, cengkih, cabai kering, hingga tembakau. Nilai tersebut meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 39,9 triliun rupiah. 

Menurut Yakub, pemerintah seharusnya memprioritaskan kemampuan menyediakan pangan bagi rakyat dari sumber dalam negeri karena hal itu merupakan bagian dari keamanan nasional. Pangan merupakan komoditas strategis yang tidak hanya memiliki unsur ekonomis, tapi juga politis. Selain membuat rakyat Indonesia bergantung pada negara lain dalam hal pangan, lanjut dia, impor memiskinkan petani dalam negeri karena harus bersaing dengan produk impor yang lebih murah, antara lain karena subsidi dari pemerintah negara importir. "Padahal, makanan harus ada saat dibutuhkan sehingga ketahanan pangan dan kemandirian pangan jadi nyata. Idealnya, kebutuhan pangan mampu dipenuhi masing-masing daerah. Makanya, kita tidak bisa berkompromi dengan impor pangan. Kini saatnya kita berkomitmen membangun pertanian tanpa bergantung negara lain," tegas Yakub.

Anggaran Pertanian 
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Aris Yunanto, memperkirakan jika kebergantungan pada impor pangan tidak segera diatasi, dalam lima tahun ke depan Indonesia bisa kekurangan pangan. Menurut dia, pemerintah semestinya mau mengoleksi dana dari utang haram semisal utang obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan melakukan moratorium atau penghentian sementara pembayaran kewajiban utang untuk membangun pertanian. 

Yakub menambahkan tak ada negara dengan jumlah penduduk besar yang tidak memajukan dan melindungi pertanian dengan tujuan mampu menyediakan pangan dari hasil domestik. Pemerintah seharusnya menyadari arti penting dan strategis kedaulatan pangan di masa mendatang. Ia mencontohkan Jepang yang dikenal sangat memproteksi pertanian dalam negeri dari perdagangan bebas pangan, antara lain dengan cara mengenakan bea masuk impor beras yang sangat tinggi hingga hampir delapan kali lipat. Sebaliknya, nasib petani di Indonesia justru terimpit karena pemerintah lebih memprioritaskan impor dengan dalih harganya lebih murah untuk menjamin pasokan pangan nasional. "Semestinya pemerintah memprioritaskan anggaran pertanian yang memadai karena pangan merupakan bagian dari keamanan nasional," tegas dia. 

Sementara itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih meminta pemerintah tidak masuk blok perdagangan bebas Asia-Pasifi k atau Trans Pacifi c Partnership. Alasannya, perdagangan bebas komoditas strategis seperti pangan akan berdampak buruk bagi kemandirian pangan dan sektor pertanian. "Secara umum, Indonesia akan merugi karena memang mayoritas petani kita belum siap bersaing akibat pemerintah mengabaikan pembangunan pertanian selama bertahun-tahun," jelas dia. Akibatnya, imbuh Henry, blok perdagangan bebas akan menimbulkan ketimpangan yang luar biasa karena Indonesia akan lebih banyak kebanjiran pangan impor dengan kualitas yang lebih kompetitif dari sisi harga maupun kualitas ketimbang kenaikan ekspor yang umumnya komoditas primer yang bisa habis. "Kecuali jika petani kita seperti Jepang, yang mendapat subsidi besar dari pemerintah dan dilindungi dengan penerapan bea masuk impor pangan yang tinggi," kata dia. Selain mengurangi impor pangan dan memperkuat sektor pertanian, Aris menambahkan kemandirian pangan bisa dilakukan melalui rekayasa atau diversifi kasi pangan selain beras dari bahan yang banyak dijumpai di Tanah Air seperti ubi dan singkong. YK/aan/sur/WP sumber http://bit.ly/uTsgbi
Baca Selanjutnya......

16.10.11

Dampak Berantai Impor Kentang Memukul Petani

Slogan Mendag Hanya Basa-basi

RMOL.Belum selesai kontroversi ke­bijakan terkait ekspor rotan, kini Kementerian Perdaga­ngan (Ke­mendag) kembali menuai kon­troversi melalui ke­bijakan impor kentang. Slogan 100 persen cinta produk Indone­sia yang sering dinyanyikan Men­teri Perdaga­ngan (Mendag) Mari Elka Pa­ngestu pun dipertanyakan.
Ketua Departemen Kajian Stra­tegis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub mengatakan, kebijakan impor kentang oleh Kemendag sangat memukul petani kecil. Impor kentang dari China lebih murah ketimbang harga yang dijual pe­tani lokal. Hal itu disebabkan negara asal impor memberikan subsidi sebesar 20 persen. Se­mentara petani Indonesia hanya disubsidi pupuk urea.

“Impor ini tidak hanya merugi­kan petani melainkan juga mema­tikan sektor kecil. Petani kita kan ha­nya memiliki lahan yang terba­tas. Sementara skala usaha impor­tir lebih luas. Jelas kita tidak bisa bersaing. Harusnya pemerintah me­ningkatkan produktivitas pe­tani, bukan dengan impor,” ujar­nya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurut Achmad, skala impor sepanjang semester I tahun ini sudah melebihi tahun lalu. Tahun 2010, impor kentang men­capai 17 ribu ton. Sementara untuk pe­riode Januari-Juli 2011, impor su­dah mencapai 19 ribu ton. Dia kecewa karena kebi­jakan impor ini tidak pernah me­minta penda­pat petani. Selain itu, Kemendag juga dinilai minim koordinasi dengan kementerian terkait.

“Kemendag terbukti tidak men­jalankan koordinasi yang baik dengan Kemenko dan Kemen­terian Pertanian,” katanya. Sebelumnya, ratusan petani kentang dari Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, marah dan berdemo di kan­­tor Menteri Per­dagangan. Mereka menuntut Men­dag menghentikan impor ken­tang dan sayur. Akibat serbuan produk impor itu, harga kentang lokal anjlok.

“Kami menuntut Menteri Perdagangan menghenti­kan im­por kentang,” teriak Koor­di­nator Asosiasi Petani Kentang M Mu­dasir di sela-sela aksi unjuk rasa di depan kantor Mendag. Petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kentang ini me­nuturkan, sejak pertengahan Sep­tember, harga jual kentang di ting­kat petani anjlok hingga 50 persen akibat serbuan ken­tang dari China dan Bangla­desh. Har­ga normal kentang se­besar Rp 5.500-6.000 per kg, anjlok men­jadi Rp 2.500-3.500 per kg. Pe­nurunan harga itu mem­buat mo­dal petani tidak kembali.

Anggota Komisi IV DPR Rofi Munawar mengecam kebijakan Mendag Mari Elka Pangestu yang membiarkan impor kentang. “Ibu Mendag nampaknya tidak punya solusi lain dalam men­sta­bilkan harga komoditas perta­nian, selain dengan impor. Ke­bi­jakan per­dagangan selalu dihiasi dengan impor, bawang putih impor, buncis impor dan beras impor,” kata Rofi. Kasus impor kentang ini seolah berlawanan dengan slogan Ke­mendag untuk mencintai pro­duk dalam negeri. Kemendag mela­kukan kampanye 100 persen Aku Cinta Indonesia (ACI) melalui album kompilasi musik ACI.

“Pelun­curan album ACI ini me­rupakan salah satu wujud nyata untuk menumbuhkan na­sionalis­me dan rasa cinta dari masyarakat akan Indonesia,” cetus Mari. Pa­dahal, pe­duli dengan petani Ken­tang se­betulnya juga bagian cinta produk dalam negeri Bu. [rm] sumber: Rakyat Merdeka
Baca Selanjutnya......

11.10.11

Serikat Petani Minta Pemerintah Hentikan Impor Kentang

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub meminta kementerian perdagangan menghentikan impor kentang, baik dari China dan Bangladesh. Pemerintah diminta fokus pada peningkatan produksi petani.

"Kita minta kementerian stop impor kentang," kata Yakub pada wartawan di kantor sekretariat Serikat Petani Indonesia, Senin, 10 Oktober 2011.

Yakub menyatakan, impor kentang dari China dan Bangladesh tersebut sudah mulai dirasakan sejak awal bulan Oktober ini. Berdasar penelusuran SPI di lapangan, harga kentang Cina dan Bangladesh tersebut diual di bawah harga kentang lokal, yakni Rp 2.200. Kentang produksi lokal di pasaran biasanya ditawarkan dengan harga Rp 5.500-6.000.

Masuknya kentang impor dua negara tersebut, pedagang kentang terpaksa menurunkan harga hingga Rp 4.000. Padahal, menurut Yakub, petani bisa memperoleh imbal hasil yang cukup jika kentang produksinya dijual dengan harga di atas Rp 4.000 di pasar.

Saat ini biaya produksi per satu musim tanam mencapai Rp 54 juta, dengan hasil panen kentang sebanyak 1,5 ton. Komponen produksi itu termasuk biaya bibit kentang Rp 12 ribu per kilogram. "Setidaknya untuk mendapat untung, petani menjual Rp 5.000 per kilogram," ujar Yakub.

Permasalahan kentang impor bukan hanya masalah harga yang terlalu murah. Tapi juga bentuk kentang yang diimpor. "Biasanya kentang impor dalam bentuk olahan, sekarang kentang yang diimpor dalam bentuk non-olahan," ujar Yakub.

Jika keadaan ini terus menerus berlangsung, Yakub khawatir, petani kentang akan terus terjepit dan kehilangan inisiatif. Lalu produksinya terus menurun seperti yang terjadi pada petani kedelai.

SPI sudah melayangkan surat protes ke Kementerian Perdagangan 6 Oktober lalu. Tapi surat itu belum direspons hingga saat ini. Bahkan, saat dilakukan pengecekan ke Kementerian Pertanian, tidak ada rekomendasi mengenai impor kentang tersebut. "Seharusnya, mekanismenya, sebelum ada impor pangan, harus ada rekomendasi dari kementerian pertanian. Kebutuhan kita cukup atau tidak ? Bisa masuk ke mana saja ? Ini kentang malah masuk ke sentra pasar," ujar Yakub.

Impor kentang masuk dalam 550 pos tarif 0 persen yang diatur dalam ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area). ACFTA ditandatangan sejak 2006 dan mulai berlaku sejak 2010.

Peneliti Jaringan Negara Dunia Ketiga atau World Third Network Lutfiyah Hanim menyatakan, perjanjian bilateral seperti ACFTA ini jadi sektor pertanian tidak memiliki jaringan pengaman yang cukup untuk sektor pertanian. Terutama pada klausul pos tarif.

"Harusnya yang disebut perlindungan di sektor pertanian itu ada di pos tarif. Harusnya jangan nol," ujar Lutfi saat ditemui di kesempatan yang sama. Dan pemberlakukan pos tarif tidak dipukul rata untuk semua komoditas.

FEBRIANA FIRDAUS
sumber http://www.tempo.co/read/news/2011/10/10/090360693/Serikat-Petani-Minta-Pemerintah-Hentikan-Impor-Kentang
Baca Selanjutnya......

10.10.11

CEPA dapat matikan sektor agribisnis Indonesia

Oleh Gloria Natalia Senin, 10 Oktober 2011
http://www.bisnis.com/articles/cepa-dapat-matikan-sektor-agribisnis-indonesia

JAKARTA: Sejumlah organisasi menilai Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa dapat mematikan pertumbuhan ekonomi sektor agribisnis di Indonesia. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub mengatakan ketentuan CEPA yang menurunkan 95% jenis tarif menuju 0% menyebabkan produk-produk pertanian dari Uni Eropa yang berkualitas baik dapat mudah masuk ke Indonesia.  

Dampaknya, dapat meminggirkan produk pertanian Indonesia yang kualitasnya masih rendah. Contohnya, benih kentang granola G4 saja masih diimpor Indonesia. Benih itu kemudian ditanam dan disortir untuk diperoleh benih baru dengan kualitas rendah dibandingkan kualitas sebelumnya.  Hasilnya, petani memproduksi kentang berkualitas buruk. 

Menurut Yakub, ketika kentang lokal digempur kentang impor dari China yang harganya lebih murah petani Indonesia sudah sengsara. Dia menilai kondisi seperti ini akan terjadi di banyak komoditi pertanian lain bila CEPA diimplementasikan. “Dampaknya ketahanan pangan menjadi tidak stabil. Ini bisa terjadi di komoditas hortikultura dan beras juga, bahkan susu,” katanya di Jakarta hari ini. 

Peneliti dari Third Wolrd Network Lutfiah Hanim mengatakan tidak hanya bahan mentah saja, barang setengah jadi dan barang jadi dari Uni Eropa juga mengancam produksi Indonesia.  Produk dari Uni Eropa berpotensi masuk Indonesia dengan kuantitas besar dan berharga murah. Dampaknya, produk produk-produk Indonesia semakin terpinggirkan. Kondisi ini bisa terjadi lantaran subsidi pemerintah Uni Eropa terhadap sektor pertanian di sana besar. Dia mencontohkan seorang petani di Uni Eropa memiliki 40 ha lahan pertanian dengan suntikan subsidi besar dari pemerintah. “Sedangkan petani Indonesia punya lahan kecil. Malah lebih banyak petani kita tidak punya lahan. Ketika produk Uni Eropa masuk Indonesia sudah pasti produk pertanian kita kalah,” kata Lutfiah.(api)
Baca Selanjutnya......