28.9.10

Dalam Kepungan Peraturan Sektoral

Beban petani makin berat, ketika hari ini dunia dilanda oleh perubahan iklim yang membuat para petani di Indonesia sering mengalami gagal panen. Pada hari-hari ini misalnya, ribuan petani tembakau di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mesti mengalami hal itu karena tembakau mereka tenggelam oleh air hujan yang datang mendahului musimnya.

Menurut Sekjen Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, tidak ada jalan lain untuk mengubah nasib petani negeri ini, kecuali dengan menjalankan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. “Secara singkat, UUPA itu mengatur dua hal, yang di dalam perut Bumi jadilah hukum pertambangan, sedang yang di permukaan tanah jadi hukum pertanahan. Yang paling pokok, di sana ada redistribusi lahan konsekuensi kolonialisme sebelumnya dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tapi sekarang yang terjadi adalah tanah terakumulasi pada segelintir konglomerasi usaha, dan petani malahan nggak punya tanah,” paparnya.

Dari sana, lanjut Gunawan, seharusnya seluruh produk hukum turunan yakni hukum pertambangan, hukum pertanahan, hukum air, angkasa, kehutanan, dan seterusnya, harus mengacu pada UUPA. Namun, yang terjadi di awal Orde Baru, pada 1967 justru lahir tiga undang-undang yang sama sekali mengabaikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA 1960, yakni UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pokok Pertambangan. “Dan sejak itu, UUPA dipetieskan dengan dipersepsikan keliru sebagai seolah-olah produk orang-orang komunis,” kata Gunawan.

Selanjutnya, muncullah UU sektoral lainnya, seperti Undang- Undang Perkebunan, Sumber Daya Air, Pangan, Penanaman Modal, Minerba, Konservasi Sumber Daya Alam, Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, Sistem Budi Daya Tanaman, Perlindungan Varietas Tanaman, Perikanan, dan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “UU sektoral lahir oleh semangat komersialisasi. Itulah awal munculnya periode the jungle of regulation, yakni adanya ketidakpastian hukum, karena antar UU Sektoral bisa saling bertentangan atau bertentangan dengan Pancasila dan UUD serta UUPA,” jelas Gunawan. Contoh paling kasat mata dari itu, diterangkan Gunawan, adalah pertama, harusnya birokrasi pertanahan Indonesia dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Indonesia.

Pada kenyataannya, BPN tidak memiliki wewenang terhadap tanah yang di atasnya berupa hutan. “Padahal hutan adalah wilayah paling besar di indonesia. Salah satu hambatan reformasi agraria adalah bahwa Kementerian Kehutanan tidak mau mengonversi hutan untuk rakyat. Dalam UUPA, hukum soal kehutanan tidak disebut hak atas tanah, di sana hanya disebut sebagai hak memungut hasil hutan,” katanya. Yang kedua, BPN sebenarnya memiliki wewenang menyelesaikan konflik, tapi ternyata dibatasi yakni di luar konfl ik antara perhutani dan masyarakat. Masalahnya, hak atas tanah pada setiap konflik, masyarakat menuntut BPN, tapi ternyata itu adalah hak Kementerian Kehutanan.

“Begitu juga UU Sumber Daya Air yang mengakibatkan wilayah publik bisa diprivatkan, yakni sumber air bisa berubah menjadi pabrik minuman mineral, jelas ini bertentangan dengan Pancasila dan Pasal 33 UUD,” jelas Gunawan. Titik Balik Harapan baru muncul pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mencanangkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) pada awal Januari 2007 dan ditegaskan lagi pada awal Januari 2010. “Dan BPN telah menerima Inpres No 1 Tahun 2010 yang salah satunya untuk menyusun RUU Pertanahan. Prinsip dasar yang ditegaskan oleh kepala BPN sehubungan dengan RUU Pertanahan adalah harus bisa menerjemahkan muatan substantif yang diusung oleh UUPA.

Dan itu sikap yang sangat baik. Ada titik balik di mana UUPA akan kita rujuk secara total,” papar Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BPN, Endriatmo Sutarto. RUU Pertanahan pun telah masuk dalam agenda Prolegnas 2010- 2011. Dengan RUU Pertanahan ini, Endriatmo mengatakan, akan terjadi harmonisasi antar UU Sektoral yang selama ini telah berlaku. Tapi, mungkinkah harmonisasi itu bisa terjadi karena begitu banyak kepentingan pemilik modal yang akan menjadi korban. Endriatmo mengatakan bahwa kemauan politik seperti ini harus diback up penuh oleh elemen-elemen bangsa, termasuk kampus-kampus dan organisasi masyarakat yang concern terhadap persoalan pertanahan dan pertanian di negeri ini.

“Apakah harmonisasi mungkin terjadi? Jawabannya harus. Harus menjadi komitmen, bukan hanya komitmen pemerintah, tapi komitmen semua komponen elemen agraria,” tandasnya. Presiden SBY juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Pasal 15 PP tersebut secara jelas menyebutkan bahwa peruntukan, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah telantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reformasi agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya.

“Tanah telantar jumlahnya sekitar 7,3 juta hektare. Sekarang masih dalam proses inventarisasi. Setelah peringatan ketiga, jika pemilik tanah tidak juga mendayagunakan, maka akan diambil alih. Jadi mungkin baru 2011 kita dapat fi nal list tanah telantar,” ungkap Endriatmo.

Namun, Serikat Petani Indonesia (SPI), dalam siaran resminya berjudul UUPA No 5 Tahun 1960 Harus Diperjuangkan, mengatakan bahwa implementasi tiga tahun agenda PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) tidak jelas dan disorientasi untuk kehidupan petani. Hal ini, kata siaran SPI, terbukti dengan konfl ik agraria yang makin marak sepanjang 2009 – 2010, tanah telantar 9,2 juta hektare yang akan dibagikan tidak jelas lokasinya, dan berbagai implementasi PPAN yang lebih mengutamakan pada pemodal. “Intinya, petani dan ormas tani harus mengontrol dengan ketat proses semua ini, tak ada makan siang gratis,” kata Kepala Divisi Kebijakan Nasional SPI, Achmad Ya’kub. YK/L-1sumber Koran Jakarta
Baca Selanjutnya......