28.3.11

Satu Abad Sawit: Pemiskinan Buruh, Petani & Rusak Ekosistem

Senin, 28 Maret 2011

Medan-ORBIT: Sawit beserta industrinya telah memasuki tahun ke seratus di Indonesia. Selama itu, anggapan miring tentang keberadaan sawit terus menguak. Dimulai dari penilaian tentang buruh dan petani yang semakin terjerat arus kemiskinan hingga rusaknya tatanan ekosistem. Bahkan mayoritas industri sawit telah bersinggungan dengan penegakan HAM.

Dampak korporasi perkebunan sawit dapat kita lihat pada apa yang sudah dan sedanng terjadi di wilayah Sumatera Utara (Sumut). Beberapa kasus di antaranya konflik antara masyarakat dengan PT Nauli Sawit di Tapanuli Tengah sejak tahun 2004. Lalu permasalahan PT Lonsum yang diduga menyerobot beberapa lahan masyarakat. Hal tersebut terungkap dalam sebuah Konferensi Alternatif dalam menyikapi perayaan seratus tahun sawit di Indonesia. Konferensi yang digelar di Balai Rasa Polonia Hotel Medan Minggu (27/3)  itu menghadirkan beberapa pembicara seperti George Junus Aditjondro, Lely Zailani, Achmad Yakub dan beberapa peneliti lainnya.

George yang juga penullis buku Gurita Cikeas mengungkapkan satu dampak yang belum begitu dipersoalkan masyarakat Sumut adalah sumbangan perkebunan kelapa sawit terhadap pemanasan global. Dikatakannya konversi (perubahan) hutan menjadi perkebunan kelapa sawit tentu saja dimulai dari penebangan pepohonan yang semula berada di  lokasi yang dimaksud.

Namun permasalahan yang ada, katanya, adalah masyarakat harus memahami siapa kekuatan yang bermain di balik keberadaan perkebebunan kelapa sawit. Disebutkannya, stakeholder yang memiliki kekuatan sebagai penopang perkebunan kelapa sawit di Indonesia. “Setidaknya ada 17 perusahaan sawit swasta yang ditopang beberapa stakeholder yang ada, “katanya. Selain itu, sambungnya, adanya keterlibatan militer dalam upaya ekspansi (perluasan) kebun sawit.

Diungkapkannya dari studi kepustakaan maupun pengamatan terhadap penyebaran perkebunan kelapa sawit menunjukkan ekspansi kebun sawit yang berada di wilayah konflik dijaga oleh aparat Kopassus , Kostrad dan Polri. Sejak 2005, katanya, PT Tunas Sawa Erma membuka perkebunan kelapa sawit seluas 14.461 hektare di Distrik Boven Digol yang semula pihak keamanannya adalah seorang pensiunan TNI AD. “Sumut bukan hanya lahan bermain perusahaan swasta melainkan ada beberapa perusahaan BUMN yang bermain di sini,” kata George.

Eksploitasi Wanita Sedangkan Aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) Dananng Widjo dalam paparannya mengungkapkan perkebunan kelapa sawit sarat dengan isu-isu korupsi. Dijelaskannya modus atau pola yangn menjadi jalan masuk supaya korupsi adalah gratifikasi (suap). Dengan memberikan gratifikasi kepada pejabat berwenang, kata Danang, korporasi bisa menemui jalan lurus guna melakukan ekspansi di beberapa wilayah khsususnya hutan. Dengan keadaan yang seperti itu, Danang menilai perkebunan kelapa sawit tidak pernah berpihak kepada rakyat yang semakin terjerat arus kepentingan elit kekuasaan. Sementara itu, berbicara mengenai dampak sawit terhadap pemiskinan buruh dan petani, Kordiantor Pelaksana Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatana pangan (KRKP) Witoro memaparkan, produsen pangan skala kecil baik petani maupun buruh sering dianggap tidak produktif karena memproduksi dengan skala kecil. Dengan alasan seperti itu, mereka (buruh dan tani) tidak pernah mendapat dukungan dari pemerintah.

Keberadaan seperti itu, menurutnya, liberalisasi perdagangan dan berkembanganya agro industri yang dikuasai perusahaan besar. “Pemerintah berambisi untuk mnjadikan Indonesia sebagai penghasil minyak nomor satu. Untuk itu luas perkebunan sawit akan terus ditingkatkan dengan mengkesampingkan keberlanjutan usaha buruh dan tani kecil tadi,” ujar Witoro. Tak hanya itu, dampak ekspansi perkebunan sawit juga merambah pada eksploitasi perempuan dan anak-anak pada perusahaan perkebunan sawit.

Pendiri Himpunan Serikat permepuan Indonesia (HAPSARI) Leli Zailani mengungkapkan semakin meningnkatnya kebutuhan akan minyak dunia mengharuskan pemerintah mengambil kesempatan yang ada. Hal tersebut memberi dampak kepada para pencari kerja (pengangguran) untuk mencari kerja . “Dengan anggapan bahwa daripada nnganggur, maka wanita  dan anak-anak yang berada di sekitar lokasi usaha sawit akan berfikir untuk menerima tawaran emas untuk mencari pendapatan yang ada dimata,” ujarnya. Namun kata Leli, keadaan yangn menyatakan penyetaraan gender menjadikan perusahaan seperti ‘berjasa’ karena telah memperkerjakan wanita di zaman sekarang. “Eksploitasi terhadap wanita dan anak-anak dalam kerangka industri kelapa sawit adalah contoh nyata bagaimana sistem kapitalis bermain cerdik dalam kerangka patriarki dan gender,” ujar Leli lagi. Om-12 sumber http://www.harianorbit.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167:damnpak-perkebunan&catid=43:berita-nusantara-nasional&Itemid=18


Share/Bookmark