13.2.08

Proyek UU pertanahan ditengah janji manis PPAN

Desakan besar untuk pelaksanaan pembaruan agraria sebenarnya telah ditanggapi secara langsung oleh Presiden yang dinyatakan dalam pidato awal tahun 2007 silam dengan janji Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Hal ini kemudian dikuatkan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) sebagai wakil dari pemerintah menjanjikan untuk memastikan kemurnian UUPA 1960. Bagi ormas tani program itu artinya menjalankan UUPA 1960 (Undang-undang Pokok Agraria) dan menjadikan UUPA 1960 sebagai satu-satunya payung hukum agraria nasional.

Namun sejak “ditemukannya” dokumen technical assistance ADB (Asian Development Bank) yang mengatur teknis penyusunan RUU pertanahan oleh BPN, semua janji tertulis itu sepertinya akan jauh panggang dari api. Karena ketika ditelusuri, ternyata penyusunan RUU pertanahan ini menjadi bagian dari proyek penyusunan kerangka hukum dan kerangka administrative pertanahan dalam kerangka kerja yang terkait dengan proyek LMPDP (Land Management and Policy Development Project) yang diprakarsai oleh Bank dunia sejak tahun 2005 lalu. Untuk proyek penyusunan RUU pertanahan ini, BPN selaku implementator berhasil mengajukan proposal kepada ADB yang membuahkan komitmen ADB berupa pembiayaan proyek sebesar 500.000 US$ dari total biaya proyek sebesar 625.000 US$.


Proyek penyusunan RUU pertanahan akan dimulai pada Februari 2008 hingga Januari 2010 mendatang, ADB telah menyetujui proyek ini pada tanggal 20 Desember 2007. Hal ini menunjukkan bahwa ditengah janjinya menegakkan UUPA sebagai kerangka legal pelaksanaan Pembaruan Agraria, pemerintah secara terang-terangan membuka kesempatan bagi agenda liberalisasi sumber agraria melalui pembuatan RUU pertanahan ini.

Tiga alasan yang membuat proyek ini patut diwaspadai. Pertama, keterkaitan proyek penyusunan RUU pertanahan dengan kerangka kerja proyek LMPDP yang secara nyata telah bermaksud untuk mendorong terjadinya pasar tanah. Proyek ini salah satunya bertujuan untuk peningkatan keamanan penguasaan tanah dan peningkatan efesiensi, transparansi, dan perbaikan pemberian layanan dalam pendaftaran dan pemberian sertifikat tanah. Seperti yang tercantum dalam dokumen proyek, sertifikasi tanah ini memberikan basis yang signifikan dalam menyiapkan pasar tanah yang efisien dan untuk meningkatkan jaminan atas investasi asing serta menjadikan tanah sebagai aset yang bisa menjadi agunan dan bisa diperjual belikan dengan mudah. Tanah sekedar jadi komoditi.

Kedua, keterkaitan proyek penyusunan RUU pertanahan dengan Pepres 36/2005 yang diamandemen dengan Pepres 65/2006 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum (pencabutan hak atas tanah) yang saat ini masih kontroversial dan dinilai memarginalkan masyarakat miskin yang terkena penggusuran. Ketiga, disejajarkannya RUU pertanahan dengan undang-undang sektoral yang diklaim sebagai turunan UUPA namun nyata-nyata justru bertentangan secara ideologis dengan UUPA 1960.

Ketiga alasan itulah yang justru membuat kita mempertanyakan kembali komitmen pemerintah untuk melaksanakan Pembaruan Agraria. Janji pemerintah untuk redistribusi tanah seluas 9,25 juta hektar melalui PPAN (program Pembaruan Agraria Nasional) tak kunjung diimplementasikan. Tahun 2007 bahkan PPAN telah mengalami 2 kali penundaan. Hal tersebut nyata-nyata telah menunjukkan komitmen yang kurang dari pemerintah dalam menepati janjinya.

Pasar tanah
Tidak kunjung diimplementasikannya reforma agraria bukanlah tanpa alasan. Hingga saat ini masih terjadi konflik kepentingan didalam tubuh pemerintahan sendiri. Faktanya, setelah keluar undang-undang sektoral yang memfasilitasi penguasaan aset secara sektoral oleh para pemodal. Kini kepentingan pemodal besar hendak melegalkan sepak terjangnya terhadap penguasaan bumi Indonesia melalui penyusunan RUU pertanahan ini. Terkait dengan implementasi reforma agraria, penyusunan RUU pertanahan sama sekali tidak relevan. Hal tersebut bisa dilihat dari latar belakangnya pembuatan RUU pertanahan yakni karena adanya kesulitan dalam proses pengadaan tanah dan pemukiman kembali penduduk yang tanah yang terkena proyek pembangunan infrastruktur.

Ketidak relevanan lainnya juga terdapat pada sertifikasi tanah sebagai salah satu output dari RUU pertanahan yang justru ideologinya berbeda dengan apa yang dimaksudkan dengan pendaftaran tanah seperti yang tercantum dalam UUPA. Jika dalam UUPA pendaftaran tanah dilakukan untuk memudahkan redistribusi lahan, maka dalam RUU pertanahan ini perdaftaran tanah dilakukan untuk menghasilkan sertifikat tanah yang hanya akan memudahkan pemodal dalam menguasai tanah rakyat kecil—petani--melalui pasar tanah. Ini terjadi karena kebijakan sektoral lainnya seperti UU No. 7/2004 tentang sumber daya air dan UU 18/2004 tentang perkebunan telah menjadi alat legal bagi investor untuk menguasai sumber alam.

Terdapat beberapa contoh yang memperlihatkan bahwa pasar tanah bukan solusi yang bisa dipakai untuk mencapai kesejahteraan rakyat kecil dan petani. Pada tahun 1994 Afrika Selatan menerapkan pasar tanah melalui sertifikasi lahan. Namun, persoalan ketersediaan tanah yang mau dijual menjadi masalah utama, kalaupun ada yang mau menjual tanah tersebut terbatas pada tanah yang tidak subur dan tidak strategis, dan tuan tanah menginginkan harga yang cukup tinggi untuk pembayarannya. Hal ini menyebabkan petani miskin tetap tidak mengakses tanah, kalaupun ada yang mampu menguasai tanah, tersebut adalah tanah yang tidak subur dan diperlukan harga yang tinggi untuk membelinya.

Hal serupa terjadi di Srilanka yang pada 2002 memberikan sertifikat lahan seluas 2 juta hektar tanah kepada 1.2 juta petani--dikenal dengan istilah Jayaboomi. Pemerian sertifikat ini disertai dengan kebijakan yang tidak pro pada petani yang akhirnya membuat petani semakin mudah untuk menggadaikan dan menjual tanah pertaniannya.
Dua contoh tersebut menunjukkan bahwa ketika masuk mekanisme pasar, maka pemilik modal akan berkuasa. Secara otomatis, upaya penantaan atas ketimpangan struktur ekonomi dan sosial yang menjadi cita-cita reforma agraria tidak akan tercapai. Hanya dengan redistribusi tanah dan sumber-sumber agraria kepada rakyatlah maka ketimpangan dan polarisasi kesejahteraan akan tercapai. Untuk mencapai hal tersebut menurut Gunawan Wiradi (ahli Agraria) diperlukan beberapa prasyarat yaitu, (1) Kemauan politik (political will) yang kuat dari pemerintah; (2) Organisasi rakyat, khususnya organisasi tani yang kuat; (3) Tersedianya data mengenai keagrariaan yang lengkap dan teliti; (4) Dukungan dari pihak militer; (5) Elite penguasa harus terpisah dari elite bisnis; dan (6) Aparat birokrasi yang bersih,jujur,dan mengerti. Oleh karenanya, selama pemerintah masih belum berpihak kepada rakyat dan selama elit penguasa masih tercampur dengan elit bisnis maka reforma agraria tidak akan bisa terwujudkan. Selama itu pula petani tetap menjadi gurem (penguasaan tanah yang sempit 0,3 ha) dan Indonesia akan terus menjadi juara importir produk pangan internasional.=##+
Jakarta, 11 Februari 2008
Achmad Ya’kub dan Susan Lusiana, ayakub@spi.or.id
Baca Selanjutnya......