22.12.10

Pemerintah Gagal Jaga Stabilitas Harga Pangan

JAKARTA, BANGKA POS.com — Melambungnya harga cabai akhir-akhir ini menurut peneliti dari Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub, menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam menjaga stabilitas harga pangan.

Ditegaskannya, di Jakarta, Rabu (22/12/2010), kenaikkan harga cabai bukan saja dipengaruhi oleh kondisi cuaca saja. Menurutnya, itu juga disebabkan distribusi yang tidak lancar.

“Sekarang pemerintah terfokus pada kenaikkan harga beras, sehingga melupakan stabilitasi kondisi harga bahan pokok yang lainnya,” tandasnya.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa pemerintah terlihat lepas tangan dalam mengantisipasi kenaikan harga cabai. Harusnya, nilainya, pemerintah mampu mengantisipasi.

Pemerintah, menurutnya, harusnya mempunyai bupper stok cabai dan mempunyai grand design kalender tanam untuk stabilitasi kebutuhan bahan pokok.

Sekarang, imbuhnya, pemerintah memebebaskan petani untuk menanam apa saja. Harusnya, kata dia, itu disesuaikan dengan kebutuhan nasional sehingga kedepan tidak lagi terjadi kenaikkan harga bahan pokok yang signifikan.

Sementara itu, di beberapa daerah, terlihat harga cabai kian merangkak naik. Di Gresik, Jawa Timur, hari ini, harga cabai rawit, misalnya, telah menembus harga Rp 50 ribu per kilogramnya. Padahal, sebelumnya dijual dengan harga Rp 30 ribu per kilogram.

Selain lonjakan harga pada cabai rawit, harga cabai merah pun mengalami kenaikan. Saat ini harganya sekitar Rp 35 ribu per kilogram atau naik Rp 10 ribu.

Sementara itu, harga cabai merah di Lebak, Banten, terbilang elatif tinggi. Di Pasar Induk Kota Rangkasbitung, harga eceran cabai merah yang dua pekan lalu Rp 25 ribu per kilogram, saat ini sudah mencapai Rp 70 ribu per kilogram. Harga cabai rawit juga naik hampir tiga kali lipat, dari Rp 15 ribu menjadi Rp 40 ribu per kilogram. (tribunnews.com)
sumber http://www.bangkapos.com/2010/12/22/pemerintah-gagal-jaga-stabilitas-harga-pangan/
Baca Selanjutnya......

18.11.10

Pemerintah Perluas Uji Coba Subsidi Pupuk Langsung

Rabu, 17 November 2010
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-–Pemerintah memperluas uji coba subsidi pupuk langsung ke petani di delapan provinsi pada 2011. Namun basis pendataan petani pun menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan agar subsidi tepat sasaran.

Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), A Yakub, mengatakan SPI sepakat dengan semangat pemerintah menyediakan subsidi pupuk langsung kepada petani. “Namun yang jadi catatan perlu mengidentifikasi buruh tani dan penyewa lahan karena databasenya berubah dari tahun ke tahun, sehingga jumlah subsidi pupuk yang disediakan juga dapat sesuai,” kata Yakub kepada Republika, Rabu (17/11).

Selain itu, ujarnya, dalam operasionalisasi penyerahan subsidi pupuk langsung kepada petani setidaknya dapat melibatkan pemangku kepentingan sektor pertanian. Dalam pendataan pun dapat melibatkan aparat desa, pemerintah setempat, maupun organisasi tani.

Dengan perluasan uji coba subsidi pupuk langsung, tambah Yakub, diharapkan dapat memperluas dan memberikan subsidi kepada yang berhak dan tepat dengan melakukan pendataan yang sesuai sehingga masyarakat yang memang menggarap lahan pertanian langsung memperoleh subsidi, bukan pemilik lahan yang luas diatas 5 ha.

Direktur Jenderal Sarana dan Prasarana Kementerian Pertanian, Gatot Irianto, mengatakan uji coba subsidi pupuk langsung kepada petani menjadi salah satu program utama untuk menjawab kontrak kinerja menteri pertanian dengan presiden. “Pada 2011 kita akan meningkatkan jumlah kabupaten untuk uji coba subsidi pupuk langsung ke delapan kabupaten di delapan provinsi,” katanya.

Wilayah yang menjadi tempat uji coba pada 2011 adalah Karawang (Jawa Barat), Sragen (Jawa Tengah), Nganjuk (Jawa Timur), Simalungun (Sumatra Utara), Lombok Tengah (Nusa Tenggara Barat), Gianyar (Bali), Hulu Sungai Tengah (Kalimantan Selatan), dan Sidrap (Sulawesi Selatan). Untuk uji coba subsidi pupuk langsung ke petani pada tahun depan, pemerintah menyediakan anggaran Rp 700 miliar.

Pada tahun ini uji coba subsidi pupuk langsung kepada petani baru dilakukan di Karawang pada Oktober-Desember 2010. Dalam program uji coba subsidi pupuk langsung ini para petani mendapatkan subsidi berupa uang tunai langsung dari pemerintah setelah membeli pupuk di distributor.
Red: Budi Raharjo
Rep: Yogie Respati
sumber koran republika http://bit.ly/cfAVN6
Baca Selanjutnya......

26.10.10

Harga Beras Naik Terus

Penulis : Bunga Pertiwi JAKARTA--MICOM:

Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub mengatakan harga beras petani cenderung naik. "Dari sekitar Rp5000, saat ini menjadi Rp5.500 hingga Rp6.500 untuk jenis IR 64," ujarnya ketika dihubungi Media Indonesia, Senin (25/10).

Menurutnya, harga naik lantaran hambatan distribusi karena cuaca hujan dan juga rendemen yang kurang. Senada dengan Yakub, Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Sutarto Alimoeso mengakui harga yang didapat Bulog dari petani juga naik. "Menurut data Bulog, masih ada beras yang harga Rp 5.060 per kilogram sehingga tetap masuk di Bulog.

Tapi harga dari petani banyak yang naik sehingga mereka lebih cenderung menjualnya ke pasar daripada ke Bulog," jelas Sutarto kepada Media Indonesia, Senin (25/10). Ia mengungkapkan untuk membeli beras komersial (non HPP), modal yang dikeluarkan Bulog Rp6.100 per kilogram. Sementara itu, untuk harga beras Vietnam dan Thailand dengan patahan 15%, rata-rata berada pada kisaran Rp4.175 hingga Rp4.320 per kilogram atau US$465 hingga US$480 per ton. Dengan asumsi, US$1 sama dengan Rp9.000. (*) Baca Selanjutnya......

Govt urged to set up land reform agency with more authority

"Achmad Yakub, the chairman of the national policy studies department for the Indonesian Farmers Union, known as SPI, said any government-appointed institution mandated to implement land reform should first identify the objectives of land reform. BPN should have the guts to issue a moratorium on the apparently unstoppable increasing ownership and use of large land holdings owned by big private companies, he went on. “The question is: Can the agency do that? If it had the authority, it could."

The Jakarta Post, Jakarta | Tue, 10/26/2010 9:16 AM | National
The government urgently needs to set up a more authoritative land reform body to accelerate rural change, activists say. Activists agreed on Monday that the National Land Agency (BPN) might be failing to solve the problem of unequal ownership and land use due to its limited authority to make “cross-sectoral” decisions.

Usep Setiawan, the chairman of the Consortium for Agrarian Reform’s national council, said the BPN’s limited authority could impede progress toward achieving “genuine land reform programs”.

“For instance, the agency is not authorized to attend Cabinet-level meetings, or to make any decisions at ministerial level,” Usep said.

So, this meant that BPN was unable to solve any land disputes involving peasants and ministerial bodies because the agency was not vested with any authority to take on such disputes, he added.

In any countries that take land reform seriously, such as South Africa, they usually had a special body—the authority of which was equivalent to that of a ministry—tasked with implementing land reform programs and managing inputs from the farming and business communities, Usep added. “They also have a special court to process land disputes.”

Under a 2006 Presidential Decree, the government had appointed the National Land Agency, known as BPN, to spearhead the Lands for Justice and People’s Welfare Program as part of its efforts to implement land reform at national level.

President Susilo Bambang Yudhoyono reportedly promised in 2007 that government would provide between eight and nine million hectares of land to poor farmers, yet the agency plans to distribute only 142,000 hectares to 389 villages in 21 provinces by the end of 2010.

Radhar Tribaskoro, a political and economic advisor to the Consortium for Agrarian Reform, concurred, saying that BPN should be upgraded or replaced by an institution with clearer functions and more power.

“BPN must focus not only on the provision and equal distribution of land to farmers, but also on the improvement of access to infrastructure and facilities,” Radhar said.

BPN is still not clear on its farming access programs which need solid cooperation with other ministries, including the Trade Ministry, says Radhar.

Real land reform should be based on a grand design and should be aligned with comprehensive economic policies in the hope of improving people’s welfare, he said.

Meanwhile, Achmad Yakub, the chairman of the national policy studies department for the Indonesian Farmers Union, known as SPI, said any government-appointed institution mandated to implement land reform should first identify the objectives of land reform.

“It needs to identify poor farmers eligible for access to land distribution or allocation, as well as the land to be distributed,” Achmad said.

BPN should have the guts to issue a moratorium on the apparently unstoppable increasing ownership and use of large land holdings owned by big private companies, he went on. “The question is: Can the agency do that? If it had the authority, it could.”

“But the government needs to ensure and guarantee that any certified land given to farmers will not be resold to big business owners,” he said.

In 2008, SPI recorded that there were 28.3 million farmer families in Indonesia, but with 45 percent of the total land area owned by only 11 percent of such families. There are now more than 12.4 million hectares of abandoned land across the country, yet most farmers in Java only possess an average of less than 0.5 hectares of land.

According to SPI, between 2007 and 2008, there were 139 reported cases related to land disputes involving farmers, the government, and the business sector, with more than 45,000 farming families evicted, and 14 people dead as the result of such disputes. (tsy) sumber:http://www.thejakartapost.com/news/2010/10/26/govt-urged-set-land-reform-agency-with-more-authority.html
Baca Selanjutnya......

25.10.10

Land reform program not genuine: Experts

....the President’s move Thursday represented only a key “precondition” for the country’s still far-fetched genuine land reform ~ GWR today
Headlines

The Jakarta Post, Jakarta | Mon, 10/25/2010 9:26 AM |
Activists and agrarian experts agreed on Sunday that the government’s effort to distribute hundreds of hectares of land to farmers was still far from a “genuine land reform program”.

President Susilo Bambang Yu-dhoyono on Thursday presented symbolic land certificates that granted 260 hectares of land to more than 5,100 farmers in four villages in Cilacap, Central Java, with each farmer reportedly receiving 500 square meters of land.

H.C. Gunawan Wiradi, an expert who has authored more than 270 publications on agrarian issues, told The Jakarta Post that the President’s move Thursday represented only a key “precondition” for the country’s still far-fetched genuine land reform.

“Real land reform is usually very drastic in nature, has a fixed implementation time, and is usually fast. The reform is to completely alter the structural ownership and use of not only land, but also land holdings, including plantation, large ranches and agribusiness plots,” Gunawan said.The government has so far been unable to lay the prerequisites for such a reform, he added.



Those prerequisites include a strong political will, better understanding of agrarian issues, a solid national farmers’ organization, and a separation of the political elite from the business sector, as well as the provision of national agrarian data and analyses.

In the latter case, Gunawan said he did not understand why the Central Statistics Agency had not been able to produce accurate data on how much land the country had and was available for farming.

“The Netherlands East Indies once conducted agrarian research in 1860, surveying more than 888 villages across the country for two years to obtain thorough agrarian-related information. Why can’t we do the same thing?” he said.

Gunawan, who received his honoris causa from the Bogor Institute of Agriculture, added that all sectors would also need to sit down together to discuss the possibility of forming a national institution, the tasks of which would be to execute and monitor the national land reform programs.

Meanwhile, Usep Setiawan, the chairman of the Consortium for Agrarian Reform’s national council, said that what the President did Thursday was positive, but said the government also needed to provide farmers with access to better infrastructure and farming facilities.

“Land reform is also about access reform,” he said. The government has launched its Land for Justice and People’s Welfare program in 2007, and it plans to distribute 142,000 hectares of land scattered over 389 villages in 21 provinces by the end of 2010.

According to the Indonesian Farmers Union (SPI), there are now more than 12.4 million hectares of abandoned land. It recommends that the land be distributed to each farmer’s family owning an average of less than 0.5 hectares of land.

In Central Java, many farming families possess less than 0.25 hectares of land.
SPI also said in 2008 there were 28.3 million farmer families in Indonesia, with 45 percent of the total land area owned by only 11 percent of such families. In the case of crude and palm oil plantation, the state and private sector dominate 66 percent of the total plantation area in the country. (tsy)

sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2010/10/25/land-reform-program-not-genuine-experts.html
Baca Selanjutnya......

23.10.10

SBY: Distribusi Tanah Belum Adil

Sinar Harapan-Cetak
Kamis, 21 Oktober 2010 12:32

"Salah satu pengurus SPI, A Yakub, dihubungi SH mengatakan bahwa program pembaharuan agraria mestinya bukan semata-mata pemberian sertifikasi tanah kepada petani dan masyarakat lainnya, tapi harus memastikan adanya hak pemberian atas tanah kepada petani gurem yang memiliki tanah 0,3 hektare sebanyak 13 juta petani"


Bogor - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta pendistribusian tanah negara dilakukan secara lebih adil. “Saya melihat pendistribusian tanah negara belum dilakukan secara adil. Dengan distribusi yang lebih adil, rak¬yat yang tadinya tidak punya apa-apa mulai memiliki sesuatu yang bisa dijadikan modal,” katanya dalam Peringatan 50 Tahun Agraria Nasional di Istana Bogor, Kamis (21/10). Presiden meminta agar lahan-lahan telantar milik negara dapat didistribusikan secara lebih adil kepada semua. Kepala Negara juga mengingatkan agar pendistribusian dilaksanakan secara matang agar ada status hukum yang jelas.
“Apabila semua itu kita lakukan dengan benar, dengan perencanaan, dan manajemen jelas maka akan ada kejelasan status hukum. Mana yang Hak Guna, mana yang Hak Milik. Kalau status hukum jelas maka akan mencegah konflik dan benturan karena urusan tanah,”jelasnya. Untuk itu, Presiden meminta agar amanat dalam Undang-Undang (UU) Pokok Agraria, Peraturan Peme¬rin¬tah, dan Peraturan Presiden dijalankan secara konsisten. “Dengan kebijakan yang tepat, kita bisa melakukan pendayagunaan tanah termasuk pen¬distribusian,” tambahnya. Kepala Negara juga mengingatkan agar Badan Pertanahan Nasional (BPN) terus melakukan tugasnya dan menjadi garda terdepan dalam pendistribusian tanah bagi rakyat. Dalam peringatan yang mengambil tema besar “Tanah untuk Keadilan dan untuk Kesejahetraan Rakyat” itu Yudhoyono meminta agar rakyat bisa menjadi tuan tanah di negerinya sendiri.
“Mari kita camkan betul agar di negeri kita, rakyat tuan tanah yang memiliki bumi, air, dan kekayaan alam,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Kepala Negara dan Kepala BPN Joyo Winoto secara simbolis menyerahkan setifikat objek land reform pada 5.141 keluarga dari empat desa di Kabupaten Cilacap.
Sejak tahun 2000 BPN telah menetapkan objek land reform seluas 142.159 hektare di 389 desa yang tersebar di 21 provinsi.

Regulasi Khusus
Saat dihubungi terpisah, Ketua Dewan Nasional Kon¬sor¬sium Pembaruan Agraria Usep Setiawan mendesak Presiden Yudhoyono segera menerbitkan regulasi khusus reformasi agraria, juga lembaga khusus untuk reformasi agra¬ria yang otoritatif dan multisektor.

Untuk itu, lanjut Usep, diperlukan alokasi biaya negara secara penuh demi mengatasi kemiskinan melalui reformasi agraria. Masyarakat tani, melalui organisasi rakyat tani, juga harus dilibatkan dalam program reformasi agraria nasional.
Namun, di atas semua itu, ia menekankan Presiden Yudhoyono harus terlebih dahulu memprioritaskan penyelesaian berbagai kasus konflik agraria yang selama ini terjadi. Usep mencontohkan pemerintah harus menghentikan penyusunan regulasi kebijakan yang dapat menggusur tanah rakyat.
Dengan demikian, tandasnya, Presiden Yuhoyono harus konsisten mengkonkretkan janji reformasi agraria dengan mendistribusikan lahan seluas delapan juta hektare yang dicanangkan sejak awal pemerintahannya pada tahun 2004 lalu.
Sementara itu, di luar Istana Bogor, ratusan petani menggelar unjuk rasa. Massa dari Serikat Petani Indonesia (SPI) yang berasal dari daerah Sukabumi dan Cianjur ini berunjuk rasa mendesak pemerintah mengeluarkan sertifikat tanah bagi lahan garapan mereka.
Salah satu pengurus SPI, A Yakub, dihubungi SH mengatakan bahwa program pembaharuan agraria mestinya bukan semata-mata pemberian sertifikasi tanah kepada petani dan masyarakat lainnya, tapi harus memastikan adanya hak pemberian atas tanah kepada petani gurem yang memiliki tanah 0,3 hektare sebanyak 13 juta petani.
“Selain itu juga untuk petani penggarap yang selama ini tidak terdeteksi, seperti para buruh tani dan yang tidak memiliki tanah, yang oleh BPS disebut orang-orang miskin di pedesaan,” ungkapnya.
Di samping itu, Presiden Yudhoyono harus segera menyelesaikan konflik agraria dengan menghentikan kekerasan dan penangkapan terhadap petani, dan diselesaikannya berbagai konflik pertanian. (novan dwi putranto/effatha tamburian) sumber: http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/sby-distribusi-tanah-belum-adil/
Baca Selanjutnya......

22.10.10

Pemerintah Bagikan Tanah di 21 Provinsi


Fokus
"Belum ada landasan pemaksa pemerintah daerah untuk menjalankannya."

Jum'at, 22 Oktober 2010, 00:52 WIB
Arfi Bambani Amri, Bayu Galih

"Banyak hal lagi seperti seperti kepastian legal bagi petani atas hak atas tanah, penyelesaian konflik pertanahan, dukungan insentif kepada petani pangan berupa bantuan hibah ataupun kredit ini supaya tidak tergadai, yang belum jelas," kata Yakub";

VIVAnews - Peringatan Hari Agraria Nasional kali ini berbeda. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merayakannya di Istana Bogor, Kamis, 21 Oktober 2010, dengan memberikan sertifikat tanah hasil land reform atau redistribusi tanah kepada 5.141 kepala keluarga dari empat desa di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Tanah yang dibagi pada petani Cilacap ini 214 hektare, sehingga setiap kepala keluarga mendapat kurang dari 400 meter persegi. Pemberian tanah kepada para petani Cilacap ini menjadi simbol untuk redistibusi tanah seluas 142.159 hektare di 389 desa yang tersebar di 21 Provinsi.

SBY mengatakan tujuan besar negara di bidang pertanahan adalah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. "Mari kita camkan betul visi besar ini. Agar rakyat jadi tuan tanah, tuan yang memiliki bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Saya terharu," kata SBY.

SBY lalu sempat terdiam beberapa saat seperti menahan tangis. Kemudian dengan suara parau, SBY meminta Pemerintah agar menerapkan konstitusi yang diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar '45.

"Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Kita implementasikan niat luhur pendiri republik, rakyat harus dapat akses lebih luas agar kesejahtraan mereka semakin meningkat di negeri tercinta," ucap SBY.

Janji Kampanye

Iwan Nurdin, Deputi Kajian dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria, yang hadir dalam acara puncak peringatan Hari Agraria itu menyatakan, land reform merupakan bagian dari janji kampanye SBY sejak 2004. Bahkan pada 31 Januari 2007, SBY menegaskan janji melakukan redistribusi tanah untuk kesejahteraan petani. Pernyataan Presiden itu, kata Nurdin, disambut Badan Pertanahan Nasional dengan mengeluarkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).

"Setidaknya, tiga kali Presiden berkomitmen mau mendistribusikan tanah," kata Iwan kepada VIVAnews.
Sebelum pernyataan di Bogor, Presiden pernah menjanjikan hal itu di Prambanan pada awal 2008 dan di Marunda beberapa waktu lalu. Dan akhirnya muncul Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Iwan melihat, agenda pemberian sertifikat pada ribuan kepala keluarga hari ini belum sepenuhnya land reform seperti yang diinginkan petani selama ini. Secara regulasi, belum ada peraturan organik yang memaksa aparat kabupaten untuk menjalankan land reform.

Memang ada Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang menjadi dasar land reform di era Presiden Soekarno. Namun PP yang masih berlaku itu sudah tak bisa diaplikasikan karena lembaga yang menjalankan seperti Panitia Land Reform sudah tak ada.

Namun, KPA mengapresiasi langkah Presiden hari ini. "Presiden memberikan sinyal mendukung land reform, tapi belum sampai tahap operasional," katanya. Mengapresiasi karena program land reform ini bergulir lagi setelah 45 tahun terhenti.

Namun, Serikat Petani Indonesia (SPI), sebuah organisasi petani yang gencar menyuarakan perlunya land reform, mengritik acara hari ini baru sebatas politik pencitraan. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional, Achmad Ya'kub, menyatakan, penyerahan sertifikat hanya ujung dari kerangka besar land reform, belum bisa dikatakan land reform seutuhnya.

"Banyak hal lagi seperti seperti kepastian legal bagi petani atas hak atas tanah, penyelesaian konflik pertanahan, dukungan insentif kepada petani pangan berupa bantuan hibah ini supaya tidak tergadai, yang belum jelas," kata Ya'kub; yang mengaku diundang menghadiri penyerahan sertifikat di Istana Bogor namun memilih berada di luar, berdemonstrasi bersama ribuan petani.

Menurut Ya'kub, land reform yang dicanangkan SBY juga tak akan bisa terlaksana tanpa penguatan peran Badan Pertanahan Nasional menjadi sekelas Kementerian Koordinator. "Dengan begitu, dia bisa membawahi perkebunan, pertanian dan kehutanan."

"Ini saja, BPN katanya reformasi agraria, tapi hak guna usaha perkebunan terus dikeluarkan, dari yang yang hanya 3 juta hektare pada 1990-an, sekarang sudah naik menjadi 7 hektare," kata Ya'kub.
Pada saat yang sama, dia melanjutkan, terjadi konversi besar-besaran lahan pertanian menjadi nonpertanian.

Menurut dia, jika Presiden serius memimpin land reform, akan ada belasan juta rakyat miskin pedesaan yang dientaskan karena terdapat 7,3 juta hektare lahan terlantar milik negara. Jika satu kepala keluarga diberi tanah satu hektare, maka akan ada belasan juta orang yang selesai problem pengangguran, kemiskinan dan kelaparannya.
"Selain itu, juga ada belasan juta suara mendukungnya dalam Pemilu," kata Ya'kub.

Dan strategi ini akan semakin sukses dengan pengaturan tata guna tanah secara ketat, dipisahkan mana lahan pertanian, perumahan dan komersial. "Kemudian seperti di Jepang, tanah hasil land reform diatur hanya boleh diwariskan pada satu orang supaya tidak ada pemecahan lahan," kata Ya'kub.

Kepala BPN Joyo Winoto menyatakan, pemberian sertifikat pada 5.141 petani di Cilacap ini baru sukses kecil dari Reforma Agraria secara damai. Tanah yang dibagi ini adalah tanah sisa dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah seluas 1,6 juta hektare.

Joyo menargetkan, supaya indeks gini rasio penguasaan tanah mencapai 0,37, diperlukan redistribusi lahan tambahan seluas 6 juta hektare. Dan target ini, kata Joyo, semoga bisa dicapai dengan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar berlaku beserta dengan terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria.

Syarat mereka yang bisa menerima tanah itu adalah kategori miskin, tidak memiliki tanah, punya tanah tapi luasnya kecil, dan berbagai syarat lain. Semua proses itu mirip dengan pelaksanaan PP 224 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah.

Menurut Joyo, teknik penerapan ini mencontoh Venezuela yang setelah delapan tahun menerapkan prinsip yang mirip dengan pokok-pokok RPP Reforma Agraria ini. Mereka berhasil membagikan tanah seluas 3,7 juta hektare.

Dalam dua tiga tahun ke depan, Joyo menjelaskan, pemerintah menargetkan 600-700 ribu hektare bisa dibagikan dari tanah sisa PP Tahun 1961. Sementara itu, dengan penerapan RPP Reforma Agraria nantinya diharapkan luas tanah yang dibagikan berkisar 2,8-3,5 juta hektare. Pemerintah menargetkan pembagian tanah itu bisa selesai pada 2025.
Namun, para petani tampaknya belum bisa kelewat senang dulu. Seperti disampaikan Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaruan Agraria, PP Nomor 11 Tahun 2010 belum memiliki perangkat di bawah yang bisa menerapkannya dengan solid. "Belum ada landasan pemaksa pemerintah daerah, atau bahkan instansi-instansi terkait untuk menjalankannya."
• VIVAnews
sumber: http://fokus.vivanews.com/news/read/184200--i-land-reform--i--bergema-lagi-dari-istana
Baca Selanjutnya......

21.10.10

Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati

REFORMA AGRARIA
kompas Kamis, 21 Oktober 2010 | 18:19 WIB

BOGOR, KOMPAS.com - Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono diminta melaksanakan pembaruan agraria sejati. Bagi-bagi sertifiat tanah kepada 5.141 keluarga petani Kecamatan Cipari Kabupaten Cilacap bukanlah bentuk reforma agraria sejati.

Bagi-bagi sertifikat kepada petani Cipari itu hanyalah pencitraan. Tanah yang disertifikat ini memang milik petani, tidak ada masalah di sana.

"Yang kami inginkan adalah Presiden melaksanakan pembaruan agraria sejati, dengan memastikan tanah untuk petani dan menyelesaikan semua konflik pertanahan. Bayangkan, rakyat yang tingal di seputar perkebunan tidak punya tanah," kata Agus Ruli Ardiansyah, di Bogor, Kamis (21/10) siang.

Ketua Departemen Politik, Hukum, dan Kemananan/Bakti DPP Serikat Petani Indonesia tersebut, menyatakan hal tersebut saat diterima asisten staf ahli dari Staf Khusus Presiden Bidang Bencana dan Bantuan Sosial, Sangat Surbakti dan Wisnu Agung, di depan pintu gerbang utama Istana Bogor.

Ia bersama A Yakub (Ketua Departemen Kajian Stategi Nasional DPP SPI) dan empat petani, mewakili sekitar 20 petani asal Sukabumi dan Bogor, yang berdemonterasi menuntut reforma agraria dan tanah untuk petani.

Petani itu berdemo sekitar tiga jam sebelum perwakilannya ditemui asisten staf ahli presiden tersebut.

Mereka menyerahkan lembaran pernyataan tuntutan SPI kepada Surbakti dan Wisnu dengan tuntutan agar pernyataan mereka tersebut disampaikan langsung kepada Presiden dan Boediono.

Dalam dua lembar pernyataan tersebut, antara lain ditulisakan penyerahan sertitikatt anah yang dilaknsakan BPN di Istana Bogor bukan sebagai pelaknsaan pembaruan agraria sejati yang diamanakan Undang Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

Berkaitan itu Serikat Petani Indonesia meminta kepada pemerintah untuk segera melaksanakan: redistribusikan segera 9,6 juta hektar tanah kepada rakyat tani melalui pembaruan agraria nasional, tertibkan dan berdayakan 7,3 juta hektar tanah terlantar untuk pembaruan agraria dan produksi pangan untuk kedaulatan pangan, energi, dan perumahan rakyat, lindungi petani kecil berbasis keluarga dan tolak korporotasi pertanian terutama proyek food estate.

SPI juga menuntut segera dibentuk Komisi Ad hoc Penyelesaian Konflik Argaria dan Pelaksana Reforma Agraria, Perlindungan dan pemenuhan hak mendasar petani serta akses terhadap sumber-sumbwer agraria, benih, pupuk, teknologi, modal, dan harga produksi pertanian.

Surbakti dan Wisnu memastikan apa yang menjadi aspirasi petani SPI akan sampai ke tangan Presiden dan Wakil Presiden.

"Penyerahan sertifikat kepada petani saat ini merupakan bagian dari program pembaruan agraria yang tengah dijalankan pemerintah dan BPN," kata Wisnu.

Surbakti menambahkan, permasalahan pertanahan yang diajukan para petani Sukabumi ini karena belum ada komunikasi.

"Sekarang sudah terbuka komunikasi antara kami dengan bapak-bapak. Kita harus bertemu lagi untuk membicarakan masalah-masalah ini," katanya.

Selain kelompok petani dari Sukabumi, Kamis kemarin juga sejumlah kelompok-kelompok mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan juga melakukan aksi demontrasi di Bogor.

Namun hanya tiga kelompok kecil, termasuk kelompok petani itu, yang berhasil berdemontrasi di dekat gerbang utama Istana Bogor.

Kelompok lainnya terhadang barikade polisi di Jalan Pengadilan dan di kawasan Airmancur, Jalan Sudriman, Bogor Tengah.

Dalam orasi-orasinya mereka Presiden yang dinilai gagal dalam mensejahterakan rakyat dan Polri yang menghambat proses demokrasi karena melarang mereka berdemontrasi di seputar Istana Bogor.

Sempat terjadi kontak fisik antara demonstraan dan polisi penghadangnya, yakni saling dorong.

Wakil Kepala Polres Bogor Kota Komisaris Guntur usai seluruh kelompok demonstan bubar sekitar pukul 13.30 WIB mengatakan, peserta unjuk rasa ada sekitar 200 orang.

Ia gembira, aksi demontrasi kelompok-kelompok mahasiswa tersebut , cukup ditangani personel dari jajaran polres.

"Alhamdulillah aksi unjuk rasa masyarakat dan mahasiswa itu berjalan baik. Tidak ada kejadian menonjol yang perlu tindakan hukum lanjutan. Kami sebetulnya menyiagakan juga satu kompi Brimob. Tetapi, unjuk rasa berjalan sesuai koridornya, sehingga pasukan yang kami cadangkan, tidak perlu bergerak," katanya.

sumber: http://nasional.kompas.com/read/2010/10/21/18190390/Laksanakan.Pembaharuan.Agraria.Sejati
Baca Selanjutnya......

18.10.10

Kelaparan Belum Teratasi, Petani Harus Kuasai Lahan

OLEH: EFFATHA TAMBURIAN
Sinar Harapan, 16 oktober 2010

Jakarta - Masalah kelaparan atau rawan pangan di Indonesia belum juga dapat diatasi. Bahkan, perubahan iklim sekarang ini akan memperberat persoalan tersebut sebagai akibat rendahnya produksi pangan di dalam negeri.
Namun, banyaknya kasus kelaparan itu malah diperberat dengan kebijakan pemerintah yang menyerahkan pengusahaan pangan kepada perusahaan besar melalui Program Food Estate.
Demikian ditegaskan Ketua Departemen Kajian Stra¬tegis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) A Yakub saat dihubungi SH, Sabtu (16/10). “Dalam situasi seperti ini belum bisa dikatakan sudah terselesaikan. Masih banyak tantangan, terutama karena perubahan iklim. Itu baru tantangan alam, ditambah kebijakan pemerintah yang menyerahkan pangan kepada korporat besar,” ujarnya.
Yakub mencatat, berda¬sar¬kan peta yang dirilis oleh Kementerian Pertanian dan Food Agriculture Organisation (FAO/Organisasi Pangan PBB) pada Agustus 2010, kasus kelaparan akibat rawan pangan dan sangat rawan pangan ma¬sih terjadi di 100 kabupaten. Paling banyak ada di wilayah Indonesia Timur, Papua, NTT, dan sebagian Pulau Sulawesi serta Kalimantan. Seratus kabupaten tersebut masuk prioritas 1-3 yang asupan pangannya antara 1.900-2.100 kilokalori (kkal)/kapita/hari, di mana untuk prioritas 1 adalah kategori sangat rawan pangan.
Sebelumnya, Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Bayu Krisnamurthi mengatakan kasus kelaparan di Indonesia secara makro telah teratasi, meskipun masih ada beberapa daerah kantung yang masih rawan pangan. “Untuk kasus di Indonesia, hanya dengan kemandirian pangan kita bisa menghadapi kelaparan,” ujarnya, Jumat (15/10). Bayu juga mengacu pada data FAO tahun 2009, yaitu jika dilihat dari kasus kurang asupan pangan (under-nourishment) terdapat perkembangan yang cukup baik di Indonesia dibanding¬kan dengan kawasan lain seperti Asia Pasifik, Asia Tenggara, bahkan dunia.
Di lain pihak, kasus rawan pangan diakui oleh Wakil Gubernur DIY Paku Alam IX. Menurutnya, di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), secara makro ketersediaan pangan sudah mencukupi, bahkan terjadi surplus. Namun untuk angka konsumsi pangan, baik kuantitas maupun kualitas, berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2009, masih di bawah target yang ditetapkan.
“Saat ini didapati sekitar 94 desa rawan pangan yang mayoritas disebabkan oleh faktor kemiskinan,” kata Paku Alam IX, saat membuka Sekolah Lapangan Desa Mandiri Pangan (SL-Demapan) tahun 2010, di Balai Desa Munthuk, Dlingo, Bantul, Selasa (12/10) lalu. Dari 94 desa rawan pangan itu, tujuh desa di antaranya berlokasi di Kabupaten Bantul, yaitu Desa Argodadi, Caturharjo, Tamanan, Argosari, Jambidan, Bawuran, serta Wonolelo.
Pantauan SH memperlihatkan, rawan pangan juga masih terjadi di Kabupaten Gunung Kidul, DIY. Ketika mengunjungi Desa Kamal, Kelurahan Wunung, Kecamatan Wonosari, Rabu (13/10), SH menyaksikan betapa para petani di sana kesulitan air sehingga sawah mereka tidak membawa hasil sama sekali. Petani bernama Suyatmi (35), misalnya, terpaksa menghemat makanan dan minuman untuk kebutuhan sehari-hari. Padahal, ia hanya panen satu kali dalam satu tahun, di mana hasil panen itulah yang dipakai untuk makan selama satu tahun.
Kalau sedang musim kemarau seperti sekarang, Suyatmi dan petani lainnya hanya sanggup mencari rumput kolomenjono untuk bahan makanan sapi peliharaan mereka. “Kami di sini untuk makan saja susah. Hanya, sapi inilah harta benda kami,” kata Suyatmi, janda dengan satu anak ini. Ia sangat berharap pemerintah membantu mengatasi persoalan air di Wonosari.

Petani Harus Kuasai Lahan

Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) A.Yakub mengingatkan, pemerintah supaya mendorong masyarakat pedesaan yang umumnya bekerja sebagai petani untuk menguasai lahan, perbenihan, dan teknologi. Bukan malah memberikannya kepada korporat besar dengan dalih investasi di bidang pertanian. “Justru kita sudah punya investasi sumber daya manusia yang besar di pedesaan,” lanjutnya. Apabila pangan dikuasai perusahaan besar, masyarakat pedesaan hanya akan menjadi pembeli atau konsumen, bukan produsen. Oleh karena itu, jelas Yakub, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus segera merealisasikan program pembaruan agraria nasional yang akan mendistribusikan 7,3 juta hektare lahan telantar. Dengan demikian, per kapita akan mendapatkan 2 hektare, dan itu artinya ada 3,6 juta keluarga yang teratasi kemiskinannya, kelaparan, sekaligus terentaskan dari pengangguran.
“Selama ini logika pemerintah mengatasi kelaparan, kemiskinan, dan pengangguran hanya berdasarkan data statistik dan bersifat pragmatis, tetapi tidak secara kualitatif,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Bayu Krisnamurthi mengatakan, kategori kekurangan asupan pangan ialah apabila konsumsi pangan kurang dari 1.800 kilokalori (kkal)/orang/¬hari, dengan ciri-ciri kurang produktif, kurang cerdas, sulit berpikir, dan sering muncul penyakit.
Berdasarkan data FAO tahun 2009, pada periode 1990-1992 jumlah penduduk yang rawan pangan 24 persen dari total penduduk di Asia Teng¬gara, tahun 2005-2007 menjadi 14 persen, di Asia Pasifik 20 persen pada 1990-1992 menjadi 16 persen tahun 2005-2007, sedangkan di Indonesia, pada 1990-1992 sebesar 16 persen, kemudian turun menjadi 13 persen tahun 2005-2007.
Selain itu, dalam lima tahun terakhir ketersediaan pangan total per kapita di Indonesia meningkat 0,4 persen per tahun, serta tingkat konsumsi pangan per kelompok makanan juga terus meningkat. Wamentan mencontohkan, berdasarkan data FAO tahun 2009, untuk konsumsi padi-padian pada 1990-1992, 473 gram/kapita/hari meningkat jadi 483 gram/kapita/hari pada tahun 2005-2007, sedangkan konsumsi susu tahun 1990-1992, 14 gram/kapita/hari meningkat jadi 29 gram/kapita/hari pada tahun 2005-2007, serta konsumsi buah tahun 1990-1992, 89 gram/kapita/hari meningkat jadi 173 gram/kapita/hari pada tahun 2005-2007.
“Jadi, dari data itu menunjukkan secara umum konsumsi orang Indonesia meningkat per harinya,” tegas Bayu.
Ia menekankan, untuk mengatasi kasus rawan pangan yang masih terjadi di dalam negeri, penanganannya harus dilakukan juga pada tingkat mikro, desa/dusun, dan rumah tangga. Terkait Hari Pangan Sedunia (HPS) 2010 yang perayaannya di Indonesia pada 20 Oktober mendatang, Nusa Tenggara Barat (NTB) akan menjadi model penanganan rawan pangan.
Terdapat lima hal yang menjadi perhatian dalam penanganan kondisi rawan pangan, yaitu pertama, pendataan rumah tangga yang berpotensi rawan pangan. Kedua, mekanisme deteksi dini atas kejadian masalah pangan hingga di tingkat rumah tangga. Ketiga, mekanisme respons cepat untuk mengatasi masalah pangan. Keempat, pengawasan dan evaluasi antara program pembangunan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan, dengan penyelesaian masalah pangan. Kelima, komunikasi dan edukasi publik untuk membangun kesadaran dan kepedulian dalam mengatasi masalah pangan. (wahyu dramastuti/yuyuk sugarman)
sumber; http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/kelaparan-belum-teratasi/
Baca Selanjutnya......

14.10.10

Bertumpu pada Tiga “Good”

“Pangan lokal kan urusan pemda yang difasilitasi pemerintah pusat dalam pengembangannya. Begitu pun ketahanan pangan. Maka, kalau raskin bisa diganti pangan lokal sesuai daerah masing-masing, ini akan menambah permintaan, yang tentu akan menumbuhkan industri desa dan pertanian pangan lokal,” paparnya.
Yakub juga menggarisbawahi distribusi bantuan korban bencana yang selama ini terfokus pada beras dan mi instan. Menurutnya, mesti ditemukan model distribusi bantuan yang berpihak pada pangan lokal, dalam hal ini tentu saja diperlukan kerja sama antara Badan Ketahanan Pangan daerah dan Bulog.


Pengembangan bahan pangan lokal, menurut Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Murdiati Gardjito, semestinya bertumpu pada tiga aspek, yakni good agricultural activities, good manufacturing process, dan good culinary practise. “Dan ditopang oleh industri skala kecil, ini prinsipnya. Kalau langsung bicara industri besar, nanti petani nggak bisa ngikutin.
Mereka akhirnya hanya jadi buruh lagi. Beri suasana industrial di desa,” kata Murdiati yang juga berkiprah sebagai peneliti senior di Pusat Kajian Pangan Tradisional UGM. Kelemahan dasar institusi pemerintahan yang semestinya bisa mendorong pertumbuhan produksi pangan lokal di level petani maupun pengolah pangan lokal, menurut Murdiati, disebabkan terkotak-kotaknya program antar kementerian.
“Kementerian Pertanian tidak bisa bareng sama Kementerian Perindustrian, Perdagangan, Koperasi. Bahkan, mereka tidak bisa bareng sama perguruan tinggi. Kampus di Indonesia punya banyak ide, tapi nggak punya duit untuk memasarkan hasil penelitian ke petani maupun ke khalayak luas,” paparnya. Murdiati juga mencatat terjadinya pembiaran terhadap komoditas karbohidrat di luar beras.
Pemuliaan benih di luar beras sangat jarang terjadi. “Bahkan jenis umbi-umbian yang kita punya saja tidak ada catatannya. Umbi masih dilihat sebagai tanaman liar, tidak dibudidayakan, tidak dipupuk. Kementan memegang kunci pada good agricultural activites,” jelasnya.
Hal itu, menurut peneliti pada Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, M Maksum, semestinya dimulai dari perubahan paradigma ketahanan pangan, yakni neraca pangan yang menghitung jumlah ketersediaan karbohidrat dan protein, bukan dari jumlah ketersediaan beras.
“Pemenuhan pangan itu pemenuhan karbohidrat dan protein. Kalau ketahanan karbohidrat kita melimpah ruah,” tegasnya.
Tiga Kunci Menurut anggota Kelompok Kerja Khusus (Pokjasus) Dewan Ketahanan Pangan (DKP), Gunawan, terdapat tiga kata kunci dalam usaha percepatan penganekaragaman pangan, yakni adanya tanah garapan, dukungan modal, dan teknologi.
“Kewajiban negara adalah memberikan dukungan pada akses petani terhadap tanah garapan, permodalan, dan teknologi termasuk perlindungan hak atas pemuliaan benih,” kata Gunawan yang juga Sekjen Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS).

Sementara itu, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional, Serikat Petani Indonesia (SPI) yang juga anggota Pokjasus DKP, Achmad Yakub, mencatat perlunya penggantian jatah beras miskin dengan pangan lokal. Hal ini, menurut Yakub, bisa meningkatkan produksi pangan lokal di masing-masing wilayah.
“Pangan lokal kan urusan pemda yang difasilitasi pemerintah pusat dalam pengembangannya. Begitu pun ketahanan pangan. Maka, kalau raskin bisa diganti pangan lokal sesuai daerah masing-masing, ini akan menambah permintaan, yang tentu akan menumbuhkan industri desa dan pertanian pangan lokal,” paparnya.
Yakub juga menggarisbawahi distribusi bantuan korban bencana yang selama ini terfokus pada beras dan mi instan. Menurutnya, mesti ditemukan model distribusi bantuan yang berpihak pada pangan lokal, dalam hal ini tentu saja diperlukan kerja sama antara Badan Ketahanan Pangan daerah dan Bulog.
“Di saat yang sama, pemerintah jangan lupa untuk menjaga efek sosiologisnya. Martabat pangan lokal harus dijaga,” jelas Yakub. YK/L-1


sumber: http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=64953
Copyright © Juli 2009 | Departemen Teknologi Informasi Koran Jakarta
Baca Selanjutnya......

11.10.10

1 Billion People Live in Chronic Hunger and I’M Mad as Hell

HARI PANGAN SEDUNIA KE 30

Tanggal 16 oktober ini setiap penjuru dunia akan dingatkan lagi betapa pangan masih menjadi persoalan mendasar di dunia. Seperti tahun ini secara internasional, tema hari pangan tidak bergeser soal memerangi kelaparan, United Against Hunger. Tiga dasawarsa sudah sejak hari pangan sedunia dicanangkan, alih-alih memerangi kelaparan justru orang lapar terus bertambah. Padahal teknologi informasi, transportasi dan pertanian terus berkembang pesat.
Pada 1996 Food and Agriculture Organization (FAO) menyelenggarakan World Food Summit (WFS) sebagai upaya merespon untuk menghapuskan kelaparan di dunia yang jumlahnya sudah mencapai 825 juta jiwa. Saat itu dikeluarkan deklarasi yang isinya adanya tekad global pada tahun 2015 akan menghapuskan separuh dari jumlah kelaparan yang menimpa dunia. Nyatanya saat ini didepan gedung FAO terpampang spanduk besar yang bertuliskan, “1 Billion People Live in Chronic Hunger and I’M Mad as Hell” (1 milyar orang hidup dalam kelaparan kronis dan saya sangat-sangat marah). Bahkan pada peringatan WFS tahun 2009, Jacques Diouf sebagai Direktur Jenderal FAO harus berpuasa untuk solidaritas atas kelaparan yang makin parah didunia ini. Laporan FAO tahun 2008 itu menyebutkan sekitar 65 persen orang lapar dunia hidup di negara asia dan Afrika yaitu India, China, Congo, Bangladesh, Indonesia, Pakistan serta Ethiopia

Di Indonesia, Presiden SBY sebagai ketua Dewan Ketahanan Pangan seakan tidak berdaya atas kenyataan gizi buruk dan kelaparan yang terus terjadi di Indonesia. Sebagian besar mereka yang kelaparan adalah perempuan dan anak-anak tinggal diperdesaan.. Unicef (2006) menyebutkan, jumlah anak balita penderita gizi buruk di Indonesia sudah mencapai 2,3 juta jiwa. Ini berarti naik sekitar 500.000 jiwa dibandingkan dengan data tahun 2005 sejumlah 1,8 juta jiwa. Atau bila kita tilik dari peta ketahanan dan kerawanan pangan yang baru saja di release tahun 2010 ini oleh Kementrian Pertanian dan WFP bahwa pada tahun 2009 di Indonesia terdapat 100 kabupaten di 32 propinsi yang masuk kategori prioritas 1 sampai 3.
kenyataan ini bukanlah karena produksi pangan yang tidak mencukupi, tetapi akses rakyat dan petani untuk memproduksi makananlah yang sesungguhnya tidak di dukung dan tidak dilindungi oleh kebijakan negara dan kebijakan internasional. Karena itu konsep ketahanan pangan (food security) yang dikeluarkan FAO yang di amini pemerintah Indonesia tidak bisa mengatasi kelaparan yang menimpa dunia. Diperlukan suatu kebijakan memberikan kekuatan politik kepada rakyat serta terselengaranya pembaruan agraria.. Disamping itu, penghapusan kelaparan tidak bisa dicapai dalam prinsip kompetisi dan fundamentalisme pasar, tetapi harus dalam prinsip solidaritas masyarakat Internasional. Inilah yang disebut dengan kedaulatan pangan (food sovereignity).

Sesungguhnya yang terjadi hari ini adalah jumlah produksi makanan yang meningkat itu tidak diproduksi oleh para petani, tetapi oleh perusahaan agribisnis, juga jumlah produksi makanan yang meningkat itu tidak digunakan untuk konsumsi manusia, tetapi produksi makanan yang ada digunakan untuk keperluan makanan industri peternakan, dan kepentingan untuk industri agro fuel. Perdagangan pangan terus meningkat, kegiatan ekspor dan impor meningkat, contohnya Indonesia ekspor kelapa sawit terus meningkat dan pada saat yang sama impor pangan ke Indonesia seperti kacang kedelai, dan terigu juga meningkat. Pangan akhirnya benar-benar sudah menjadi barang komoditas dan spekulasi. Itulah sesungguhnya yang terjadi, sehingga krisis pangan mengguncang dunia mencapai puncaknya pada tahun 2008 lalu.

Untuk itu respon pemerintah melalui program Integrated Food and Energi Estate, yang menyerahkan penguasaan dan akses sumber daya kepada perusahaan-perusahaan adalah kebijakan yang sangat mengancam bagi pengurangan kelaparan di Indonesia. Kebijakan ini akan melestarikan ketimpangan penguasaan agraria, ketergantungan benih import , dan kelaparan diperdesaan.

Melawan kelaparan harus dimulai dengan melaksanakan pembaruan agraria dan memastikan benih-benih dikuasai oleh petani. Memberikan akses yang luas bagi petani dan keluarganya atas tanah untuk memproduksi pangan secara agroekologis. Artinya tema hari pangan sedunia secara nasional adalah kemandirian pangan untuk memerangi kelaparan harus diartikan lebih luas lagi, yakni memastikan semua akses dan asset rakyat miskin yang berkaitan dengan sumber-sumber agraria tersebut haruslah terjamin. Kepemimpinan Presiden selaku Ketua Dewan Ketahanan Pangan untuk melaksanakan pembaruan agraria nasional menjadi vital.
by A. Yakub
Baca Selanjutnya......

5.10.10

Hari Pangan Sedunia Ke-30

Sejarah peringatan Hari Pangan Sedunia bermula dari konferensi Food and Agriculture Oganization (FAO) ke-20, bulan Nopember tahun1976 di Roma yang memutuskan untuk dicetuskannya resolusi Nomor 179 mengenai World Food Day (Hari Pangan Sedunia). Resolusi disepakati oleh 147 negara anggota FAO,
menetapkan bahwa mulai tahun 1981 segenap negara anggota FAO setiap tanggal 16 Oktober memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS) yang bertepatan dengan hari berdirinya FAO. Tujuan dari peringatan HPS tersebut adalah untuk meningkatkan kesadaran dan perhatian masyarakat Internasional akan pentingnya penanganan masalah pangan baik ditingkat global, regional maupun nasional.
Hari Pangan Sedunia (HPS) atau World Food Day adalah satu momen di mana masyarakat dunia diajak untuk merefleksikan dan memperhatikan kembali kondisi pangan dunia. Di banyak tempat, khususnya di negara-negara sedang berkembang, ketersediaan pangan tidak mencukupi, sehingga masyarakatnya diancam dengan bahaya kelaparan.
Masyarakat dunia perlu disadarkan atas situasi ini sehingga diharapkan tumbuh kerjasama untuk memperbaiki kondisi tersebut, serta membantu mereka yang lapar, miskin dan yang tertindas. Untuk itulah, dalam rangka memperingati hari pangan sedunia ke-30 yang akan jatuh pada tanggal 16 Oktober 2010 di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, masyarakat internasional mengambil tema "United Againts Hunger".
Sedangkan di Indonesia sendiri, tema yang akan diusung adalah "Kemandirian Pangan Untuk Memerangi Kelaparan". Kepala Departemen Kajian Strategis Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia dan Anggota Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI, Ahmad Yakub, saat dihubungi Voice Of Indonesia di Jakarta mengatakan dalam Hari Pangan Sedunia ke-30 tahun ini, pihaknya akan melakukan kerjasama dengan Kementerian Pertanian dan Kehutanan RI untuk membantu masyarakat Indonesia agar tidak terlalu menggantungkan diri pada beras yang selama ini menjadi makanan pokok mereka.
“Secara nasional kita panitianya bekerjasama dengan Departemen Kehutananan dan Kementerian Pertanian. Tema internasionalnya adalah "United Againts Hunger", secara nasional kita turunkan sebagai hari pangan sedunia ke-30 ini di tahun 2010 yaitu "Kemandirian Pangan Untuk Memerangi Kelaparan". Kegiatannya adalah ada seminar yang melibatkan berbagai stickholder dan pamaeran dan bazar dan berbagai perlombaan. Jadi ditujukan dalam rangka mengkampenyekan difersifikasi pangan secara nasional bagaimana kita sebagai bangsa yang beraneka ragam kultur, geografis, budaya dan sosial ini, ingin menegaskan kembali pangan-pangan lokalnya agar tidak tergantung 100% (seratus persen) kepada hanya beras”,ungkapnya.
Semantara itu, mewakili seluruh petani Indonesia, Ahmad Yakub, meminta pemerintah agar tidak menyerahkan masalah ketahanan pangan hanya kepada pihak-pihak perusahaan swasta yang besar saja, karena akan berpotensi menimbulkan hal-hal yang negatif baik bagi lingkungan hidup maupun bagi usaha tani.
Yakub mencontohkan, beberapa tahun lalu, pemerintah Indonesia menyerahkan impor kedelai kepada pihak swasta besar sehingga petani tidak mampu menjual kedelainya kepada masyarakat karena dikuasai oleh pihak-pihak tertentu saja. Sementara dalam hal impor gandum, pemerintah masih mengimpor sepenuhnya dari luar negeri yang mencapai angka 4 (empat) juta ton per tahun karena petani Indonesia belum dapat memproduksinya sendiri.
“Secara khusus kita ingin transparan sebagai anggota Serikat Petani Indonesia, kita ingatkan kembali Kementerian Pertanian agar tidak terjebak pada sistem produksi pangan yang dikerahkan kepada swasta-swasta besar karena upaya misalnya Food Estate atau MIFE: Merauke Integrated Food and Energy Estate itu adalah membuka peluang sebesar-besarnya bagi investasi swasta besar untuk menguasai luasan lahan pertanian tersebut untuk memproduksi pangan, mendistribusikan dan ini bagi kita akan berpotensi negatif terutama bagi lingkungan hidup kedua bagi usaha tani yang akan terus kesulitan mengakses tanah dan dia akan menjadi buruh pertanian dan yang ketiga secara nasional akan sangat riskan sekali apabila pangan itu kita tergantung dengan perusahaan-perusahaan swasta karena seperti kejadian kedelai yang lampau beberapa tahun lalu itu hanya dikuasai oleh importir-importir tertentu. Demikian juga dengan pangan-pangan yang 100% (seratus persen) kita impor seperti gandum, itu 4 (empat) juta ton per tahun kita impor, nah ini kita mengupayakan harus ada penggantinya dalam kerangka produksi pangan”,ungkapnya .
Bagi bangsa Indonesia, ketahanan pangan merupakan komponen penting dari ketahanan nasional untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, layak, aman, dan terjangkau. Sebagaimana vitalnya pembangunan demokrasi sebagai pilar Negara Kesatuan Repiblik indonesia, keberhasilan mempertahankan serta memperkuat ketahanan pangan memerlukan peran dan kerja keras segenap elemen bangsa.
Yakub berharap, pada masa yang akan datang, ketahanan pangan Indonesia tidak lagi berada di bawah Taiwan, Thailand dan Vietnam sebagaimana yang masih terjadi sampai saat ini.Vsq-Ike(5/10)fks
sumber:
http://id.voi.co.id/fitur/voi-bunga-rampai/6255-hari-pangan-sedunia-ke-30.html
Baca Selanjutnya......

28.9.10

Dalam Kepungan Peraturan Sektoral

Beban petani makin berat, ketika hari ini dunia dilanda oleh perubahan iklim yang membuat para petani di Indonesia sering mengalami gagal panen. Pada hari-hari ini misalnya, ribuan petani tembakau di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mesti mengalami hal itu karena tembakau mereka tenggelam oleh air hujan yang datang mendahului musimnya.

Menurut Sekjen Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, tidak ada jalan lain untuk mengubah nasib petani negeri ini, kecuali dengan menjalankan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. “Secara singkat, UUPA itu mengatur dua hal, yang di dalam perut Bumi jadilah hukum pertambangan, sedang yang di permukaan tanah jadi hukum pertanahan. Yang paling pokok, di sana ada redistribusi lahan konsekuensi kolonialisme sebelumnya dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tapi sekarang yang terjadi adalah tanah terakumulasi pada segelintir konglomerasi usaha, dan petani malahan nggak punya tanah,” paparnya.

Dari sana, lanjut Gunawan, seharusnya seluruh produk hukum turunan yakni hukum pertambangan, hukum pertanahan, hukum air, angkasa, kehutanan, dan seterusnya, harus mengacu pada UUPA. Namun, yang terjadi di awal Orde Baru, pada 1967 justru lahir tiga undang-undang yang sama sekali mengabaikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA 1960, yakni UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pokok Pertambangan. “Dan sejak itu, UUPA dipetieskan dengan dipersepsikan keliru sebagai seolah-olah produk orang-orang komunis,” kata Gunawan.

Selanjutnya, muncullah UU sektoral lainnya, seperti Undang- Undang Perkebunan, Sumber Daya Air, Pangan, Penanaman Modal, Minerba, Konservasi Sumber Daya Alam, Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, Sistem Budi Daya Tanaman, Perlindungan Varietas Tanaman, Perikanan, dan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “UU sektoral lahir oleh semangat komersialisasi. Itulah awal munculnya periode the jungle of regulation, yakni adanya ketidakpastian hukum, karena antar UU Sektoral bisa saling bertentangan atau bertentangan dengan Pancasila dan UUD serta UUPA,” jelas Gunawan. Contoh paling kasat mata dari itu, diterangkan Gunawan, adalah pertama, harusnya birokrasi pertanahan Indonesia dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Indonesia.

Pada kenyataannya, BPN tidak memiliki wewenang terhadap tanah yang di atasnya berupa hutan. “Padahal hutan adalah wilayah paling besar di indonesia. Salah satu hambatan reformasi agraria adalah bahwa Kementerian Kehutanan tidak mau mengonversi hutan untuk rakyat. Dalam UUPA, hukum soal kehutanan tidak disebut hak atas tanah, di sana hanya disebut sebagai hak memungut hasil hutan,” katanya. Yang kedua, BPN sebenarnya memiliki wewenang menyelesaikan konflik, tapi ternyata dibatasi yakni di luar konfl ik antara perhutani dan masyarakat. Masalahnya, hak atas tanah pada setiap konflik, masyarakat menuntut BPN, tapi ternyata itu adalah hak Kementerian Kehutanan.

“Begitu juga UU Sumber Daya Air yang mengakibatkan wilayah publik bisa diprivatkan, yakni sumber air bisa berubah menjadi pabrik minuman mineral, jelas ini bertentangan dengan Pancasila dan Pasal 33 UUD,” jelas Gunawan. Titik Balik Harapan baru muncul pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mencanangkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) pada awal Januari 2007 dan ditegaskan lagi pada awal Januari 2010. “Dan BPN telah menerima Inpres No 1 Tahun 2010 yang salah satunya untuk menyusun RUU Pertanahan. Prinsip dasar yang ditegaskan oleh kepala BPN sehubungan dengan RUU Pertanahan adalah harus bisa menerjemahkan muatan substantif yang diusung oleh UUPA.

Dan itu sikap yang sangat baik. Ada titik balik di mana UUPA akan kita rujuk secara total,” papar Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BPN, Endriatmo Sutarto. RUU Pertanahan pun telah masuk dalam agenda Prolegnas 2010- 2011. Dengan RUU Pertanahan ini, Endriatmo mengatakan, akan terjadi harmonisasi antar UU Sektoral yang selama ini telah berlaku. Tapi, mungkinkah harmonisasi itu bisa terjadi karena begitu banyak kepentingan pemilik modal yang akan menjadi korban. Endriatmo mengatakan bahwa kemauan politik seperti ini harus diback up penuh oleh elemen-elemen bangsa, termasuk kampus-kampus dan organisasi masyarakat yang concern terhadap persoalan pertanahan dan pertanian di negeri ini.

“Apakah harmonisasi mungkin terjadi? Jawabannya harus. Harus menjadi komitmen, bukan hanya komitmen pemerintah, tapi komitmen semua komponen elemen agraria,” tandasnya. Presiden SBY juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Pasal 15 PP tersebut secara jelas menyebutkan bahwa peruntukan, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah telantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reformasi agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya.

“Tanah telantar jumlahnya sekitar 7,3 juta hektare. Sekarang masih dalam proses inventarisasi. Setelah peringatan ketiga, jika pemilik tanah tidak juga mendayagunakan, maka akan diambil alih. Jadi mungkin baru 2011 kita dapat fi nal list tanah telantar,” ungkap Endriatmo.

Namun, Serikat Petani Indonesia (SPI), dalam siaran resminya berjudul UUPA No 5 Tahun 1960 Harus Diperjuangkan, mengatakan bahwa implementasi tiga tahun agenda PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) tidak jelas dan disorientasi untuk kehidupan petani. Hal ini, kata siaran SPI, terbukti dengan konfl ik agraria yang makin marak sepanjang 2009 – 2010, tanah telantar 9,2 juta hektare yang akan dibagikan tidak jelas lokasinya, dan berbagai implementasi PPAN yang lebih mengutamakan pada pemodal. “Intinya, petani dan ormas tani harus mengontrol dengan ketat proses semua ini, tak ada makan siang gratis,” kata Kepala Divisi Kebijakan Nasional SPI, Achmad Ya’kub. YK/L-1sumber Koran Jakarta
Baca Selanjutnya......

22.1.10

Kontrak Kerja Mentan Belum Untungkan Petani

Jakarta, RMOL. Meneropong 94 Hari Kinerja Departemen Pertanian

21 kontrak kerja Menteri Pertanian (Mentan) Suswono selama 94 hari ini dinilai belum menguntungkan petani.

Berdasarkan pendapat sejum­lah pengamat pertanian dan anggota DPR bahwa Deptan be­lum terlihat hasil yang dicapai untuk mensejahterakan petani. Ha­nya empat keberhasilan yang sudah dicapai.

Pengamat pertanian, Ah­mad Yakub mengatakan, dalam 94 hari ini memang sulit meng­ukur keberhasilan dan ke­ku­rangan Deptan. Sebab, itu sa­ngat terlalu singkat.

‘’Saya kira kontrak ker­ja Mentan selama 94 hari ini belum menguntungkan petani,’’ ujarnya ke­pa­da Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Dia (Menteri Pertanian) baru me­rumuskan soal Inpres beras dan strategi pembangunan di ma­sa depan. Kami baru saja di­un­dang mengenai visi misi per­ta­nian industrial unggul ber­ke­lanjutan yang berbasis sumber da­ya lokal untuk meningkatkan ke­mandirian pangan nilai tambah ekspor dan kesejahteraan petani,” ujarnya.

Menurutnya, visi misi yang dikemukakan Menteri Pertanian terlalu bias dengan korporatif pertanian.

“Lahan yang luas hanya disediakan untuk perusahaan besar. Dikhawatirkan petani di sekitar lahan tersebut tidak bisa meng­garapnya. Bisa-bisa 25,4 juta keluarga petani hanya men­jadi buruh saja,” tuturnya.

Sementara Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN), Donny Pradana mengatakan, Dep­tan belum memberikan per­hatian besar terhadap petani. Ada kesan malah kebijakan pe­me­rintah lebih menguntungkan pe­milik modal.

“Perhatian pemerintah ter­ha­dap petani sangat kurang. Apalagi ke­bijakan Renstra tidak akan me­ningkatkan kesejahteraan petani. Yang diuntungkan kaum pe­mo­dal,’ ujarnya kepada Rakyat Mer­deka, di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, penyusunan cetak biru swasembada pangan yang dila­kukan Deptan terkesan me­men­tingkan pihak investor. Ini demi menciptakan ketahanan pangan.

“Departemen Pertanian meng­gu­lirkan kebijakan untuk men­cu­kupi kebutuhan pangan dengan menggunakan sembilan investasi. Jadi yang diuntungkan adalah in­vestor,” ungkapnya.

Dikatakan kebijakan food estate menunjukan kalau pe­me­rintah lebih suka memberi pe­luang kepada investor ketimbang petani.

“ Saya berharap agar pe­me­rintah memberi hak tanah kepada kaum tani,” ujarnya.

’’Ada Peningkatan Luas Garapan Lahan Petani’’
Suswono, Menteri Pertanian

Menteri Pertanian (Mentan) Suswono mengatakan, kinerja 100 hari memprioritaskan audit lahan pertanian dan mening­kat­kan kesejahteraan petani.

“Selama ini luas lahan baku per­tanian selalu disebutkan 7 juta hektar. Apa itu benar. Padahal, me­nurut data alih fungsi lahan per­ta­nian ke nonpertanian, tiap tahun men­capai 100.000 hektar dan pencetakan sawah baru minim,” ujarnya.

Menurut politisi PKS itu, dengan mengetahui luas lahan baku yang sesungguhnya, akan me­mudahkan mengambil kebija­kan yang tepat. “Kalau dananya me­mungkinkan, ini bagian dari lang­kah strategis yang akan saya lakukan,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Suswono, me­nambah lahan garapan petani. Sebab, selama ini rata-rata lahan ga­rapan petani hanya 0,3 hektar. Me­nurutnya dengan luas lahan ga­rapan sesempit itu, tidak mung­kin petani bisa kaya.

“Harus ada peningkatan luas garapan lahan petani, caranya dengan melakukan reformasi agraria. Meski tidak berarti petani harus memiliki lahan tersebut, tetapi setidaknya ada peningkatan lahan garapan. Idealnya lahan garapan petani 2 hektar,” pa­parnya.

Sementara visi pertanian yang akan dicanangkan Suswono ada­lah Per­tanian Industrial Unggul Ber­kelanjutan, yang Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Meningkatkan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Kesejahteraan Petani.

‘’Harus Diperbaiki’’
Siswono Yudo Husodo, Anggota Komisi IV DPR

Anggota Komisi V DPR, Siswono Yudo Husodo menga­ta­kan, belum bisa diukur berhasil atau tidak selama 100 hari kinerja Menteri Pertanian Suswono.

“Dalam 100 hari hanya mem­buat visi dan planning. Jadi, be­lum bisa diukur,” katanya kepada Rakyat Mer­deka, di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, kalau dari sisi perencanaan Penyusunan Renstra Departemen Pertanian 2010-2014, Suswono cukup bagus. Na­mun, yang menjadi kendala ada­lah soal implementasi di lapangan.

Siswono mencontohkan pen­ca­nangan swasembada gula yang harusnya tercapai pada tahun 2009, tapi gara-gara tidak ter­capai kemudian dicanangkan kem­bali pada 2010, begitupun dengan kedelai dan daging. “Ini yang harus diperbaiki. Jangan mengulangi seperti menteri sebelumnya,” katanya.

Ke depan, lanjutnya, Mentan hendaknya mengawasi setiap program yang sudah diren­cakan­, sehingga implementasi bisa berjalan dengan baik. “La­kukan evaluasi setiap saat,” katanya.

‘’Pertanian Semakin Semrawut Tuh...’’
Agusdin Pulungan, Ketua Wahana Masyarakat Tani Indonesia

Nasib petani ke depan dikha­watirkan semakin tidak jelas. Se­bab, selama 94 hari ini ki­nerja Departemen Pertanian ti­dak menunjukkan hasil nyata yang membela kepentingan petani.

Hal ini disampaikan Ketua Wa­hana Masyarakat Tani In­do­nesia, Agusdin Pulungan, ke­pada Rakyat Mer­deka, di Jakarta, kemarin.

“Tidak kelihatan ada hasil­nya. Malah kinerja pemerintah di bidang pertanian semakin se­mrawut tuh. Tidak ada kon­struk­si yang jelas,” ujarnya.

Agusdin menunjuk kasus gula pasir sebagai contoh. Se­harusnya pemerintah belajar me­ngatasi kekurangan pasokan gula. Tetapi itu tidak dilakukan.

‘’Makanya impor gula pasir tetap tak terhindarkan,” katan­ya.

Agusdin menyesalkan kebija­kan food estate dalam mem­ba­ngun ketahanan pangan na­sional. Kebijakan tersebut sama se­kali tidak memihak petani di dalam negeri yang umumnya merupakan petani gurem.

“Namanya juga estate. Itu kan artinya besar. Pertanian pa­ngan dilakukan oleh pengusaha be­sar secara besar-besaran dan tentu saja dengan modal besar. Pe­tani kecil nantinya hanya se­bagai buruh,” katanya.

Menurutnya, food estate me­rupakan pilihan salah kaprah. Se­bab, pendekatan tersebut nis­caya berdampak mematikan pe­tani dan berpotensi me­nim­bulkan konflik.

Padahal, untuk mening­kat­kan ketahanan pangan, se­ha­rusnya pemerintah memihak pe­tani dengan memberikan ja­minan kemudahan distribusi hasil panen dan subsidi sarana produksi.

‘’Yang Dilakukan Sudah Tepat’’
Ferry Juliantono, Ketua Dewan Tani Indonesia

Menteri Pertanian Suswono dalam 94 hari ini ini sudah me­la­kukan langkah-langkah un­tuk memperbaiki pertanian. Mi­salnya, mendata tanah-tanah yang dapat dipergunakan untuk la­han-lahan pertanian, sehingga me­mperluas lahan pertanian sekitar 27 juta hektar.

Demikian disampaikan Ke­tua Dewan Tani Indonesia, Ferry Juliantono, kepada Rakyat Mer­deka, di Jakarta, kemarin.

Selain itu, lanjutnya, Sus­wo­no juga sudah menyampaikan pro­gram pendataan ulang me­nge­nai lahan database kelom­pok tani yang berguna untuk pe­nyempurnaan program subsidi.

“Yang dilakukan sudah tepat, cuma hasil akhirnya belum diketahui karena bekerja masih relatif singkat. Dalam setahun nanti kita evaluasi secara me­nyeluruh,” ungkapnya.

Suswono, lanjutnya, me­mang mempunyai background perte­na­kan, sehingga iden­tifi­kasi dalam sek­­tor peternakan ba­ru untuk da­ging sapi sudah dilaksanakan.

‘’Hasilnya Nggak Kelihatan Deh...’’
Rusman Ali, Pengamat Pertanian

Program Departemen Per­ta­nian 2010-2014 dalam cetak bi­ru swasembada pangan untuk ke­delai, gula, dan daging sapi ser­ta Penyusunan Peraturan Pe­me­rintah tentang food estate me­rupakan program yang ba­gus.

Demikian disampaikan pe­ngamat pertanian, Rusman Ali, ke­pada Rakyat Mer­deka, di Ja­karta, belum lama ini.

‘’Anehnya, hasilnya nggak ke­lihatan deh dalam 94 hari ini,’’ katanya.

Yang harus dilakukan, lan­jut­nya, Mentan hendaknya banyak turun ke lapangan merea­li­sasikan program-program yang telah direncanakan. Kalau tidak rajin turun dijamin program-program tidak akan berhasil .

“Jangan hanya pintar di atas kertas saja dong, tapi imple­men­tasinya juga harus bisa,” katanya.

Menurutnya, pupuk yang ber­limpah sering kali diman­faat­kan tidak baik. Akibatnya, pu­puk menjadi langka. Ke­mu­dian, subsidi pupuk yang terlalu tinggi. “Ini yang memicu pe­nyelundupan pupuk,” katanya. (RM)

sumber 
http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/01/21/86781/Kontrak-Kerja-Mentan-Belum-Untungkan-Petani
Baca Selanjutnya......