10.6.08

Daging sapi, awas PMK

Dalam kebijakan peternakan, pemerintah Indonesia melakukan suatu kebijakan yang tidak mendukung tercapainya keberlangsungan produksi dan kehidupan para petani peternak Sapi, dan produsen susu. Hal itu terlihat dari kekurangan produksi dalam negeri hingga 35 persen atau 135,1 ribu ton dari kebutuhan nasional 385 ribu ton (yang setara sekitar 2 juta ekor sapi) di atasi dengan cara mengimpor sapi. Artinya kebijakan pemerintah justru mirip dengan kedelai, yaitu mempermudah impor. Sejak sapi asal Brasil ditolak masuk ke wilayah Eropa, maka mereka mencari pangsa pasar baru. Tentu dengan tawaran harga yang lebih murah, bila semula ditawarkan harga FOB Rp. 47.000/kg kini menjadi Rp. 37.000/kg, sementara harga daging sapi di Indonesia mencapai Rp. 50.000- Rp. 60.000/kg. Hingga kini rata-rata impor sapi bakalan mencapai 600.000 ekor tiap tahunnya

Dengan mengimpor daging sapi dari Brasil seakan menguntungkan karena dengan harga murah. Namun dibalik itu semua ada beberapa ancaman, pertama soal kesehatan manusia dan hewan ternak di Indonesia yang terancam Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) . Kedua, ketergantungan impor daging akan terus lestari. Ketiga, daya jual peternak sapi akan terncam dengan daging impor murah ini.

Terkait dengan susu, sekali lagi melemparkan peternak susu ke pasar adalah jalan yang ditempuh. Saat ini dengan bea masuk lima persen harga susu peternak kalah bersaing dengan impor. Saat ini harga susu internasional merambat turun dari US$ 4.800/metric ton menjadi US$ 2.350/metric ton. Artinya setara dengan Rp. 3.500-an/liter, sedang peternak domestik menjual ke koperasi susu Rp. 3.000 – Rp. 3.500/liter. Namun ke indiustri pengolahan susu (IPS) mencapai Rp. 3.200 – Rp. 3.700/liter. Susu impor mengancam keberadaan dan pendapatan peternak susu. Seharusnya pemerintah menaikan BM susu bukan sebaliknya dinolkan.(tulisan ini menjadi bahan dokumen SPI awal 2009)
Baca Selanjutnya......

15.5.08

Peran BULOG

Badan Urusan Logistik (BULOG) telah berulang kali mengalami perombakan dalam sistem kerja. Perubahan-perubahan terus berlanjut dianggap sebagai langkah untuk menemukan bentuk yang paling tepat untuk menjamin ketersediaan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia, disamping menjamin tercapainya keseimbangan harga antara produsen atau petani padi, dengan konsumen.

Awal bulan September 2007 SK Menteri Koordinator Perekonomian pemerintah memberikan kuasa penuh, tidak perlu lagi menunggu persetujuan pemerintah, bagi BULOG untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengamankan persediaan beras dalam negeri. Kewenangan baru yang diberikan kepada BULOG meliputi monopoli impor, stabilisasi harga regional tanpa perlu menunggu perintah, membeli beras di luar harga pembelian pemerintah (HPP), dan menjaga persediaan minimum beras nasional.

Di satu sisi langkah ini bisa dilihat sebagai langkah upaya baru, dimana kewenangan monopoli impor beras dikembalikan kepada BULOG sebagai lembaga negara. Hal ini penting agar sistem perdagangan, khususnya dalam konteks ekspor impor bahan pangan pokok tidak dikendalikan oleh pihak swasta dan menjadi lahan bagi spekulan. Secara keseluruhan keputusan yang baru ini nampaknya dikeluarkan dalam usaha mengembalikan Public Service Obligation (PSO) dari BULOG.

Hemat penulis, peran PSO BULOG akan sulit tercapai karena sampai saat ini PP RI No.7/2003 yang mengatur perubahan BULOG dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) belum dicabut. Bulog juga terikat aturan pasar karena perannya tidak hanya sebagai public service obligation (PSO) lagi, melainkan sudah mencari profit. Adalah rasional jika dalam keadaan demikian Bulog lebih berorientasi impor dalam keadaan kekurangan stok dan kenaikan harga. Misalnya Ketika harga jual petani lebih tinggi dari harga beras impor BULOG tentu akan memilih untuk membeli beras impor, ditambah dengan kebebasannya saat ini untuk tidak perlu berkonsultasi dengan pemerintah terlebih dahulu untuk mengimpor beras. Pengalaman selama ini membeli dengan harga HPP saja -yang bagi para petani seringkali tidak dapat menutupi biaya produksi- BULOG kerap enggan dan memilih untuk membeli beras impor yang lebih murah. Dan sebaliknya.

Tidak bisa ditampik bahwa peran Bank Dunia, IMF dan WTO juga berpengaruh langsung terhadap kebijakan beras di Indonesia—terutama menyangkut masalah rantai perdagangan. IMF menghapus peran PSO Bulog melalui LoI 1998, sehingga monopoli Bulog dalam pengaturan stok dan harga beras dikebiri.

Praktek-praktek liberalisasi, deregulasi dan privatisasi seperti anjuran IMF, Bank Dunia dan WTO telah merusak pasar nasional dan melemahkan BULOG. Harusnya BULOG bisa lebih aktif menjalankan fungsi Public Service Obligation bukan menjadi lembaga pencari laba. Artinya BULOG harus menjadi lembaga penyangga pangan yang memiliki kewenangan dan fungsi pelayanan publik.



Baca Selanjutnya......

15.4.08

Krisis HARGA Pangan

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) telah mengeluarkan peringatan mengenai krisis pangan dunia pada akhir Desember 2007. Krisis pangan yang berupa peningkatan harga dunia membawa ancaman kepada negara dunia ketiga yang tidak memiliki kekuatan ekonomi seperti negara-negara maju. Laporan FAO tersebut terbukti, diawal 2008 harga pangan di sebagian besar negara dunia ketiga mengalami kenaikan yang sangat tinggi, termasuk di Indonesia.

Padahal di saat yang bersamaan produksi pangan dunia mengalami peningkatan. Produksi gandum dunia yang harganya naik pada awal 2008 ini ternyata mengalami peningkatan yang lebih besar lagi yaitu hingga 9,34 juta ton antara tahun 2006 dan 2007. Sementara produksi gula dunia juga meningkat sebesar 4,44 juta ton sepanjang tahun 2007 lalu. Suatu angka yang cukup mencengangkan ditunjukkan dalam produksi jagung dunia pada tahun 2007/2008 lalu yang mencapai rekor produksi 792,3 juta ton atau meningkat 80,1 juta ton dari tahun 2006/2007. Hanya kedelai yang mengalami penurunan produksi sebesar 17 persen, itu pun karena ada penuyusutan lahan di Amerika Serikat sebesar 15 persen untuk proyek biofuel.

Di Indonesia menghadapi situasi kenaikan harga bahan-bahan pangan secara pesat. Pada pertengahan 2007 rakyat Indonesia dipusingkan dengan melonjaknya harga minyak goreng yang kini telah mencapai Rp 15.000 per kg atau naik 43 persen dibandingkan harga periode yang sama tahun sebelumnya. Harga kedelai meningkat lebih dari 100 persen pada awal tahun 2008 hingga kisaran Rp. 7.800 sampai 8000 per kg yang merupakan harga tertinggi sejak 24 tahun terakhir. Menyusul kenaikan harga bahan pangan lainnya seperti beras, jagung, gula, susu hingga daging.

Hal ini tentu sangat berat dampaknya terhadap kehidupan rakyat Indonesia, khususnya masyarakat miskin. Karena memang pada kenyataanya persentase pengeluaran terbesar rumah tangga miskin adalah untuk pangan, yaitu sekitar 50 hingga 70 persen dari total pengeluaran rumah tangga.

Seperti yang dialami rumah tangga petani kecil, umumnya kenaikan harga bahan pangan ini tidak memberikan keuntungan yang signifikan. Karena disaat yang sama berbagai kebutuhan pokok naik. misalnya yang dialami oleh para petani kelapa sawit anggota SPI di Jambi. Ketika harga CPO sudah melambung tinggi menembus angka US$ 1100 per ton (sekitar Rp 9.900.000 per ton) harga TBS sawit di tingkat petani sawit di Jambi misalnya masih sekitar Rp1200 per kg atau Rp 1.200.000 per ton. Sementara harga minyak goreng terus meningkat hingga mencapai Rp 15.000 per kg, sehingga para petani sawit ini juga terbebani untuk memenuhi berbagai bahan kebutuhan pokok di tingkat rumah tangga. Demekian juga yang dialami petani tanaman pangan.

Kemudian apa yang dilakukan pemerintah? Pemerintah pada bulan April 2008 mengeluarkan Inpres I/2008 mengenai HPP untuk GKP,GKG dan Beras. walau demikian tetap tidak cukup bagi petani untuk meningkatkan pendapatannya. Ditambah lagi kebijakan HPP 2008 itu hangus oleh kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008. Dan juga beberapa komponen pangan impor seperti gandum dan kedelai Bmnya diturunkan. Yang tentu akibatnya adalah persaingan antara petani Indonesia dengan pasar internasional yang tidak imbang.

Artinya dapat dikatakan bahwa krisis harga pangan dan kenaikan harga minyak saat itu (tahun 2008) Internasional direspon oleh pemerintah dengan berbagai kebijakan yang pro-pasar yakni liberalisasi, deregulasi dan memperkuat privatisasi pangan.Mustahil tercipta kedaulatan pangan kalau suatu bangsa dan rakyatnya tidak memiliki kedaulatan atas proses produksi dan konsumsi pangannya. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan bagi setiap bangsa dan rakyat untuk dapat mempunyai hak dalam menentukan makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal dan perdagangan di tingkat wilayah.

Dengan demikian petani dibiarkan berjuang sendirian tanpa ada perlindungan yang memadai dari negara. Petani terus berproduksi walaupun menerima harga yang tidak sesuai dari produksinya, yang tentu telah mensubsidi seluruh masyarakat dengan harga relatif terjangkau. Petani telah menyelamatkan Indonesia dari krisis harga pangan.
Baca Selanjutnya......

13.2.08

Proyek UU pertanahan ditengah janji manis PPAN

Desakan besar untuk pelaksanaan pembaruan agraria sebenarnya telah ditanggapi secara langsung oleh Presiden yang dinyatakan dalam pidato awal tahun 2007 silam dengan janji Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Hal ini kemudian dikuatkan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) sebagai wakil dari pemerintah menjanjikan untuk memastikan kemurnian UUPA 1960. Bagi ormas tani program itu artinya menjalankan UUPA 1960 (Undang-undang Pokok Agraria) dan menjadikan UUPA 1960 sebagai satu-satunya payung hukum agraria nasional.

Namun sejak “ditemukannya” dokumen technical assistance ADB (Asian Development Bank) yang mengatur teknis penyusunan RUU pertanahan oleh BPN, semua janji tertulis itu sepertinya akan jauh panggang dari api. Karena ketika ditelusuri, ternyata penyusunan RUU pertanahan ini menjadi bagian dari proyek penyusunan kerangka hukum dan kerangka administrative pertanahan dalam kerangka kerja yang terkait dengan proyek LMPDP (Land Management and Policy Development Project) yang diprakarsai oleh Bank dunia sejak tahun 2005 lalu. Untuk proyek penyusunan RUU pertanahan ini, BPN selaku implementator berhasil mengajukan proposal kepada ADB yang membuahkan komitmen ADB berupa pembiayaan proyek sebesar 500.000 US$ dari total biaya proyek sebesar 625.000 US$.


Proyek penyusunan RUU pertanahan akan dimulai pada Februari 2008 hingga Januari 2010 mendatang, ADB telah menyetujui proyek ini pada tanggal 20 Desember 2007. Hal ini menunjukkan bahwa ditengah janjinya menegakkan UUPA sebagai kerangka legal pelaksanaan Pembaruan Agraria, pemerintah secara terang-terangan membuka kesempatan bagi agenda liberalisasi sumber agraria melalui pembuatan RUU pertanahan ini.

Tiga alasan yang membuat proyek ini patut diwaspadai. Pertama, keterkaitan proyek penyusunan RUU pertanahan dengan kerangka kerja proyek LMPDP yang secara nyata telah bermaksud untuk mendorong terjadinya pasar tanah. Proyek ini salah satunya bertujuan untuk peningkatan keamanan penguasaan tanah dan peningkatan efesiensi, transparansi, dan perbaikan pemberian layanan dalam pendaftaran dan pemberian sertifikat tanah. Seperti yang tercantum dalam dokumen proyek, sertifikasi tanah ini memberikan basis yang signifikan dalam menyiapkan pasar tanah yang efisien dan untuk meningkatkan jaminan atas investasi asing serta menjadikan tanah sebagai aset yang bisa menjadi agunan dan bisa diperjual belikan dengan mudah. Tanah sekedar jadi komoditi.

Kedua, keterkaitan proyek penyusunan RUU pertanahan dengan Pepres 36/2005 yang diamandemen dengan Pepres 65/2006 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum (pencabutan hak atas tanah) yang saat ini masih kontroversial dan dinilai memarginalkan masyarakat miskin yang terkena penggusuran. Ketiga, disejajarkannya RUU pertanahan dengan undang-undang sektoral yang diklaim sebagai turunan UUPA namun nyata-nyata justru bertentangan secara ideologis dengan UUPA 1960.

Ketiga alasan itulah yang justru membuat kita mempertanyakan kembali komitmen pemerintah untuk melaksanakan Pembaruan Agraria. Janji pemerintah untuk redistribusi tanah seluas 9,25 juta hektar melalui PPAN (program Pembaruan Agraria Nasional) tak kunjung diimplementasikan. Tahun 2007 bahkan PPAN telah mengalami 2 kali penundaan. Hal tersebut nyata-nyata telah menunjukkan komitmen yang kurang dari pemerintah dalam menepati janjinya.

Pasar tanah
Tidak kunjung diimplementasikannya reforma agraria bukanlah tanpa alasan. Hingga saat ini masih terjadi konflik kepentingan didalam tubuh pemerintahan sendiri. Faktanya, setelah keluar undang-undang sektoral yang memfasilitasi penguasaan aset secara sektoral oleh para pemodal. Kini kepentingan pemodal besar hendak melegalkan sepak terjangnya terhadap penguasaan bumi Indonesia melalui penyusunan RUU pertanahan ini. Terkait dengan implementasi reforma agraria, penyusunan RUU pertanahan sama sekali tidak relevan. Hal tersebut bisa dilihat dari latar belakangnya pembuatan RUU pertanahan yakni karena adanya kesulitan dalam proses pengadaan tanah dan pemukiman kembali penduduk yang tanah yang terkena proyek pembangunan infrastruktur.

Ketidak relevanan lainnya juga terdapat pada sertifikasi tanah sebagai salah satu output dari RUU pertanahan yang justru ideologinya berbeda dengan apa yang dimaksudkan dengan pendaftaran tanah seperti yang tercantum dalam UUPA. Jika dalam UUPA pendaftaran tanah dilakukan untuk memudahkan redistribusi lahan, maka dalam RUU pertanahan ini perdaftaran tanah dilakukan untuk menghasilkan sertifikat tanah yang hanya akan memudahkan pemodal dalam menguasai tanah rakyat kecil—petani--melalui pasar tanah. Ini terjadi karena kebijakan sektoral lainnya seperti UU No. 7/2004 tentang sumber daya air dan UU 18/2004 tentang perkebunan telah menjadi alat legal bagi investor untuk menguasai sumber alam.

Terdapat beberapa contoh yang memperlihatkan bahwa pasar tanah bukan solusi yang bisa dipakai untuk mencapai kesejahteraan rakyat kecil dan petani. Pada tahun 1994 Afrika Selatan menerapkan pasar tanah melalui sertifikasi lahan. Namun, persoalan ketersediaan tanah yang mau dijual menjadi masalah utama, kalaupun ada yang mau menjual tanah tersebut terbatas pada tanah yang tidak subur dan tidak strategis, dan tuan tanah menginginkan harga yang cukup tinggi untuk pembayarannya. Hal ini menyebabkan petani miskin tetap tidak mengakses tanah, kalaupun ada yang mampu menguasai tanah, tersebut adalah tanah yang tidak subur dan diperlukan harga yang tinggi untuk membelinya.

Hal serupa terjadi di Srilanka yang pada 2002 memberikan sertifikat lahan seluas 2 juta hektar tanah kepada 1.2 juta petani--dikenal dengan istilah Jayaboomi. Pemerian sertifikat ini disertai dengan kebijakan yang tidak pro pada petani yang akhirnya membuat petani semakin mudah untuk menggadaikan dan menjual tanah pertaniannya.
Dua contoh tersebut menunjukkan bahwa ketika masuk mekanisme pasar, maka pemilik modal akan berkuasa. Secara otomatis, upaya penantaan atas ketimpangan struktur ekonomi dan sosial yang menjadi cita-cita reforma agraria tidak akan tercapai. Hanya dengan redistribusi tanah dan sumber-sumber agraria kepada rakyatlah maka ketimpangan dan polarisasi kesejahteraan akan tercapai. Untuk mencapai hal tersebut menurut Gunawan Wiradi (ahli Agraria) diperlukan beberapa prasyarat yaitu, (1) Kemauan politik (political will) yang kuat dari pemerintah; (2) Organisasi rakyat, khususnya organisasi tani yang kuat; (3) Tersedianya data mengenai keagrariaan yang lengkap dan teliti; (4) Dukungan dari pihak militer; (5) Elite penguasa harus terpisah dari elite bisnis; dan (6) Aparat birokrasi yang bersih,jujur,dan mengerti. Oleh karenanya, selama pemerintah masih belum berpihak kepada rakyat dan selama elit penguasa masih tercampur dengan elit bisnis maka reforma agraria tidak akan bisa terwujudkan. Selama itu pula petani tetap menjadi gurem (penguasaan tanah yang sempit 0,3 ha) dan Indonesia akan terus menjadi juara importir produk pangan internasional.=##+
Jakarta, 11 Februari 2008
Achmad Ya’kub dan Susan Lusiana, ayakub@spi.or.id
Baca Selanjutnya......

5.1.08

Kedelai, terperangkap impor

Awal tahun 2008 ditandainya dengan krisis harga pangan yang terjadi di dunia termasuk di Indonesia. Seperti kenaikan harga kedelai yang mencapai 100 persen lebih, yang dimulai sejak pertengahan tahun 2007 yang terus merangkak naik sampai pada awal tahun 2008. Yakni kurang lebih dari Rp. 3.450/kg menjadi Rp. 7.500/kg. Krisis ini disebabkan berbagai faktor mulai dari isu bahan bakar nabati, liberalisasi perdagangan yang dimotori oleh WTO, dan merebaknya spekulasi.

Respons pemerintah adalah dengan menurunkan bea masuk impor kedelai dari 10 persen menjadi nol persen. kemudian pada sisi produksi, menargetkan pencapaian produksi sebanyak 750 ribu ton dengan asumsi lahan yang ditanami 600 ribu ha yang disertai dengan kebijakan subsidi benih kedelai sebanyak 5.500 ton.

Hal tersebut sebenarnya tidak menyentuh persoalan utama dari anjloknya produksi kedelai di Indonesia, yaitu diantaranya gagal panen, menciutnya lahan tanaman pangan, dan bencana alam, keengganan petani menanam kedelai. Namun yang paling vital adalah dikarenakan kebijakan yang keliru. Mengapa petani enggan? Inilah beberapa hal yang perlu dicatat, bahwa pada tahun 1990-an harga kedelai pernah mencapai Rp. 8.000/kg sehingga petani bergairah mengembangkan komoditas tersebut yang menyebabkan produksi nasional mencapai 1,6 juta ton.

Namun sejak Indonesia masuk dalam kerangka liberalisasi dan setelah masuknya kedelai impor yang harganya lebih rendah dari kedelai lokal maka produksi dalam negeri terpinggirkan yang akhirnya petani enggan menanam karena harganya kalah bersaing. Murahnya harga kedelai impor tersebut, khususnya dari AS, karena mendapatkan subsidi ekspor dari pemerintah setempat seperti GSM 102 dan 103 serta PL 480 .(1)

Tahun 2005 harga kedelai impor Rp 2.800, sedangkan harga kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, tahun 2006 harga kedelai impor Rp2.600 sedangkan kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, dan pada 2007 harga kedelai impor Rp3.200 sedangkan kedelai lokal Rp3.400 per kilogram.

Akibat persaingan yang tidak sehat itulah kemudian tiap tahunnya impor semakin banyak dan produksi nasional serta luasan lahan panen kedelai semakin menciut.(2) Indonesia tergantung impor kedelai tiap tahunnya sekitar 65 persen dari kebutuhan nasional. Belum lagi persoalan “kartel” dan spekulasi perdagangan kedelai impor.(3)

Kemudian juga ada konsep “Soybean Estate” yang merupakan suatu kawasan perkebunan kedelai yang direncanakan mencapai 400 ribu ha. Hingga saat ini tidak ada laporan resmi pemerintah atas program ini. Lagipula menurut SPI dengan konsep ini pemerintah masih dalam kerangka mode produksi yang padat modal, monokultur dan masif yang tentu diserahkan kepada sektor private. Padahal keberhasilan pemenuhan pangan selama ini ada karena ditompang oleh keluarga petani yang padat karya dan ramah lingkungan.(tulisan ini menjadi bahan dokumen SPI awal 2009)

end notes:
(1)The Export Credit Guarantee Program (GSM-102) covers credit terms up to three years Dengan subsidi tersebut, maka importir dari negara lain yang mendatangkan kedelai dari AS mendapat kemudahan berupa pembayaran bisa dilakukan setelah tiga tahun selain itu tanpa bunga selama enam bulan.dan the Public Law 480 (P.L. 480) merupaka skema perdagangan pangan yang dibungkus bantuan. Sehingga meungkinkan USDA memberikan subsidi eksport tanpa takut dikatakan dumping.

(2) menurut catatan BPS tahun 2006 produksi kedelai nasional mencapai 747.611 ton, pada tahun 2007 turun menjadi 608.263 ton. Di sisi lain, peningkatan impor kedelai naik 6,7 persen setiap tahunnya. Namun nyatanya sejak tahun 2006-2007 kenaikan impor mencapai 26% lebih , yaitu dari 1,2 juta ton menjadi 1,7 juta ton kedelai yang dilakukan oleh perusahaan. Target 600 ribu ha, dengan efektifitas produksi yang 1,3 ton/ha sama saja melestarikan impor kedelai. Lain halnya bila ada perluasan areal tanam 2,02 juta ha, meningkatkan produktivitas menjadi 2 ton/ha pada 2009, dan insentif kebijakan memperbaiki harga jual kedelai lokal

(3)Laporan dari liputan6 SCTV 25 Januari 2008: Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya menggerebek gudang milik PT Cargill Indonesia di Jalan Dupak Rukuk Surabaya, Jawa Timur, Jumat (25/1). Diduga sebanyak 13 ribu ton kedelai yang ada di gudang merupakan bagian dari penimbunan. Dari data yang ada, PT Cargil Indonesia telah mengimpor kedelai dari Amerika Serikat sebanyak 22 ribu ton
Baca Selanjutnya......