17.10.05

Menelusuri Palembang SEPANJANG MUSI


LAMA tak berjumpa Palembang banyak mengubah wajahnya. Ibukota propinsi Sumatera Selatan, kota tertua di Indonesia pada Juni 2005 berumur 1322 tahun. Tak lagi mempersembahkan gambaran sungai-sungai yang kotor atau berjejalnya rumah-rumah rakit dipinggiran sungai Musi. Tahun 2005 ini diadakan Festival Sriwijaya yang ke XIV.
Sejak 3 tahun terakhir, sudah berdiri berbagai hotel berbintang seperti Novotel, Sandjaja, dan Aston. Tempat-tempat belanja, Palembang Trade Centre atau Palembang Square yang megah dan nyaman. Ada juga tempat untuk sekedar berleha-leha dengan kekasih, bercengkrama bersama keluarga beserta anak-anak di taman depan Benteng Kuto Besak. Persis disisi sungai Musi.
Angan kota palembang menjadi ‘water front city’ atau Venezia from east, mejadi pemacu pemerintah kota untuk berbebah-benah. Dari kota yang seram, kriminal tinggi, menjadi kota tujuan wisata. Keberhasilan menjadi tuan rumah PON XVI tahun 2004 lalu, dijadikan modal promosi yang cukup berhasil.
Sebenarnya cukup banyak tempat untuk dikunjungi di kota empek-empek ini. Termasuk jembatan Ampera yang terbentang di sungai Musi, yang terkenal itu atau singgah di bangunan bersejarah seperti Benteng Kuto Besak.

Jembatan Ampera
MASIH teringat dalam kenangan Pak Midun (52), warga 5 Ilir, bila ‘pertunjukan’ itu berlangsung. Yakni ketika badan Jembatan Ampera yang panjang, tepat ditengah-tengahnya terangkat naik dengan ketinggian di atas sembilan meter. Ini terjadi bila ada kapal-kapal besar dan tinggi yang mengarungi sungai musi melintasi jembatan. kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Baik yang menuju Hilir ataupun yang ke hulu.
Proses naik turun memakan waktu lebih dari 39 menit. Itulah kenapa sejak 35 tahun lalu atau sekitar 1970-an pengangkatan dan penurunan jembatan tak difungsikan lagi. Alasannya menyebabkan kemacetan arus lalu lintas antara seberang Ulu dan seberang Ilir, dua daerah kota Palembang yang dipisahkan oleh sungai Musi.

Banyak kalangan generasi muda mengira pembangunan jembatan Ampera pada masa penjajahan Belanda atau Jepang. Padahal pembangunan jembatan gerak ini dimulai setelah Indonesia merdeka, tahun 1962 oleh pemerintahan Ir. Soekarno. Awalnya jembatan yang panjangnya 1.177 meter dan lebar 22 meter diberi nama Jembatan Bung Karno. Dua menara pengangkatnya berdiri tegak setinggi 63 meter. Jarak antara dua menara ini 75 meter. Menara dilengkapi dengan dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton.
Pada tahun 1965 jembatan diresmikan pemakaiannya, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Akan tetapi, setelah pergolakan politik pada tahun 1966, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera, Amanat Penderitaan Rakyat.
Warna cat pada jembatan ini juga kental bernuansa politik. Pada tahun 1990-an kemenangan GOLKAR, maka jembatan ini berwarna kuning. Namun ketika Megawati menjadi Presiden, jembatan ini menjadi berubah warna....ehm sesuai warna Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yaitu warna merah, terang benderang hingga kini.
Menelusuri sungai Musi
BILA sudah jenuh melihat pemandangan dari atas jembatan Ampera, maka saatnya menjelajahi sungai Musi yang panjangya sekitar 550 kilo meter. Kita dapat menyewa perahu ketek atau speedboat 4 PK.

Dermaga di depan Kuto Besak Ketek isi Bensin Speed Boat
Untuk mengetahui lebih banyak kota Palembang, sebaiknya menyewa perahu ketek saja. Perahu didapati didermaga depan museum Sultan Mahmud Badaruddin II atau depan Benteng Kuto Besak. Jangan takut dengan cerita miring kasarnya wong kito, sekarang sekitar tempat itu banyak polisi-polisi wisata berseliweran naik bajaj sisa PON XVI. Harga sewa tergantung keahlian kita tawar menawar, biasanya sekitar 100 ribu rupiah/perahu ketek ukuran sedang dengan mesin kecil. Yah cukup nyaman tidak lebih dari lima orang.

Perahu Ketek di S. Musi Sang Penjelajah
Perahu melintasi jembatan Ampera, seakan kita berada dibawah kaki-kaki raksasa, perahu ketek pun menjadi kecil sekali tak sebanding dengan bangunan jembatan yang gagah. Sementara, bus, mobil dan berbagai kendaraan lainnya melintas di atas jembatan, dan perahu ketek berlomba dengan gelombang sungai akibat terpaan angin. Terpental kiri dan kanan, air menerpa wajah. Suasana yang cukup menegangkan, ditengah sungai Musi yang dalam hingga puluhan meter. Ha...Untuk yang tidak bisa berenang, lebih baik pikir-pikir lagi.
Dengan menjelajahi sungai Musi ke Hilir kita bisa datangi Pulo Kemaro. Pulau ini merupakan sebuah delta di sungai Musi, sekitar 5 km sebelah hilir Jembatan Ampera. Dipulau ini terdapat sebuah vihara. Dalam perayaan Cap Go Me ribuan masyarakat Cina termasuk yang datang dari berbagai kota bahkan dari luar negeri berkunjung ke pulau kemaro untuk melakukan sembahyang atau berziarah. Perayaan ini berlangsung sampai 2-3 hari. Dari pulau kemaro dapat juga disaksikan kilang minyak Plaju dan Sungai Gerong serta pabrik pupuk PT. PUSRI.

Vihara di P. Kemaro Belanja kebutuhan dapur di perahu
Kemudian kita juga akan melewati pelabuhan bom baru di 5 Ilir, sebelumnya juga melewati pasar Kuto. Ditempat ini akan kita dapati pemandangan bongkar muat, kuli-kuli angkut naik turun kapal tongkang. Begitu eksotik.
Sebaliknya bila ke Hulu sungai, kita dapat mampir ke taman purbakala kerajaan Sriwijaya di karang Anyar.
Baca Selanjutnya......

Beras Import miskinkan 70% Rakyat Indonesia; Petani




Impor Beras Jangan Dipaksakan!

Rencana impor beras sebanyak 250.000 ton agaknya tetap akan dipaksakan oleh pemerintah. Seperti di kutip Bisnis Indonesia (26/9), Menteri Perdagangan Mari E Pangestu mengatakan tidak ada yang berubah dalam sikap pemerintah terhadap rencana impor beras walaupun ada resistensi publik yang cukup besar atas rencana impor beras tersebut. Mari selanjutnya mengatakan jika harga beras eceran kelas menengah melampaui Rp 3500 dan stok Bulog dibawah satu juta ton impor akan dilakukan. Syarat itu sendiri ditetapkan oleh rapat sejumlah menteri yang dipimpin oleh Wapres Jusuf Kalla.

Dengan adanya kenaikan harga BBM 1 Oktober lalu yang memicu kenaikan ongkos transportasi dan sejumlah kebutuhan pokok lainnya, harga beras ditingkat eceran berpotensi naik. Selain itu, untuk mengantisipasi gejolak akibat kenaikan harga BBM, Bulog memajukan pelepasan raskin bulan November menjadi akhir Oktober. Kepala Humas Perum Bulog Rochyad Natajuda membenarkan bahwa raskin untuk November diajukan menjadi akhir Oktober (Kompas(13/10)). Pemerintah beralasan langkah impor beras tersebut sebagai antisipasi melinjaknya kebutuhan beras masyarakat, khususnya menjelang bulan puasa, lebaran, natal, hingga tahun baru 2006.

Sekjen Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Henry Saragih menilai langkah-langkah yang diambil pemerintah tidak fair. Dalam hal ini pemerintah terkesan gali lobang tutup lobang, dengan kata lain pemerintah menimpakan beban yang ditimbulkan akibat kebijakan menaikan harga BBM kepada petani. Pemerintah menggunakan alasan naiknya harga beras di tingkat pengecer dan “kritisnya” stok Bulog untuk melakukan impor beras. “Padahal situasi seperti itu sengaja diciptakan, contohnya dengan melepas stok Bulog bulan November di akhir Oktober agar terkesan stok Bulog menipis. Hal itu untuk menguatkan alasan mengimpor beras,” ujarnya.

Henry berargumen dugaan pemerintah tidak berpihak kepada petani bukannya tanpa alasan, mengingat Menteri Pertanian Anton Apriyantono berulang kali menyatakan stok beras nasional mencukupi. Bahkan berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) sampai awal Desember 2005 mendatang kelebihan stok masih sekitar 3,39 juta ton dengan asumsi bahwa sisa stok bulan sebelumnya sebesar 5,06 juta ton ditambah produksi 1,04 juta ton. Jadi ketersediaan stok beras bulan Desember mencapai 6,1 juta ton, sedangkan konsumsi sekitar 2,71 juta ton.

Apabila pemerintah tetap memaksakan kebijakan impor beras, pihak yang paling dirugikan adalah petani dan buruh tani, khususnya petani beras. Harga gabah di tingkat petani akan terus terkoreksi semakin rendah. Ujung-ujungnya pendapatan petani akan tertekan. Padahal selama ini petani merupakan lapisan masyarakat yang paling rentan terhadap kemiskinan. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin malah akan terus bertambah. Hal ini bertentangan dengan niat pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan itu sendiri.

Menurut Achmad Ya'kub (deputi pengkajian kebijakan dan kampanye FSPI), berdasarkan fakta-fakta yang ada pemerintah tidak mempunyai alasan untuk untuk mengimpor beras. Pemerintah mengambil langkah tersebut semata-mata karena tekanan pihak luar. Ada kepentingan bisnis yang selalu berupaya agar negara kita bergantung terhadap beras impor. Hal ini tercermin dari perundingan-perundingan tentang pertanian di WTO. “Pemerintah tidak bisa lagi menetapkan larangan impor beras akibat perjanjiannya dengan WTO, karena itu kebijakan melarang import beras ini harus didukung oleh setiap elemen masyarakat,” tegas Ya’kub.

Sebaiknya pemerintah bercermin dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, sekali keran impor dibuka maka harga gabah di tingkat petani akan tertekan. Ditambah lagi dengan mentalitas birokrasi dan aparat yang korup, kemungkinan penyelundupan beras akibat dibukanya keran impor semakin terbuka lebar. Henry juga menilai, selama ini politik pangan pemerintah tidak berpihak kepada petani. Pemerintah lebih mementingkan kepentingan segelintir dunia usaha (importir). Langkah keliru ini masih saja tetap dipertahankan, padahal dengan mengangkat kesejahteraan petani, soal kemiskinan di Indonesia akan lebih terkurangi. Karena sebagian besar rakyat (terutama yang tinggal di pedesaan) masih bergantung kepada sektor ini, dan ironisnya petani dan buruh tani merupakan porsi terbesar dari masyarakat miskin di Indonesia. (selesai) Baca Selanjutnya......