26.5.11

Saatnya Ubah Paradigma Pembangunan

Kesenjangan Ekonomi| Pendapatan Per Kapita Tak Atasi Kemiskinan ilustrasi

JAKARTA – Pemerintah diharapkan mengubah paradigma pembangunan ekonomi yang dinilai tidak mampu menjawab persoalan klasik negeri ini, yakni kesenjangan kesejahteraan, dan kemiskinan. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dinilai atraktif belakangan ini ternyata hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat mampu.

Peneliti Ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam, mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi tidak menjawab persoalan kesejahteraan masyarakat. Ini antara lain tecermin dari melebarnya kesenjangan antara kemiskinan dan pengangguran. Jika dilihat dari selisih persentase penurunan kemiskinan dengan pengangguran, terlihat jelas jumlah orang yang bekerja namun berkategori miskin masih cukup besar.

"Contohnya pada 2010, angka kemiskinan 13,33 persen, sedangkan pengangguran 7,41 persen. Artinya ada selisih 5,94 persen dan itu adalah jumlah orang-orang yang bekerja tetapi masih miskin," kata Latif di Jakarta, Rabu (25/5). Dengan kata lain, lanjut Latif, terjadi deviasi yang cukup besar antara penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Idealnya, seperti di negara lain, pengurangan pengangguran sudah otomatis menekan kemiskinan.

"Penyebabnya paradigma kebijakan ekonomi pemerintah yang keliru dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi. Dari tahun ke tahun memang investasi di Tanah Air meningkat, tetapi lebih banyak masuk ke sektor usaha yang rendah penciptaan lapangan kerjanya," ujar Latief. Direktur International Center for Applied Fnance and Economics (InterCAFE) IPB Iman Sugema menambahkan ketimpangan masih belum bisa diatasi dengan baik. Masih ada 15,3 persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan 20 persen penduduk hampir miskin.

"Pemerintah harus mengatasi masalah kemiskinan di dalam negeri. Dengan pendapatan per kapita sebesar 3.000 dollar AS seharusnya penduduk miskin bisa berkurang," ujar Iman. Tidak Mewakili Menyinggung ukuran keberhasilan pembangunan, Deputi Direktur International NGO Forum on Indonesia Development (Infid) Dian Kartikasari mengungkapkan pendekatan pendapatan rakyat berdasarkan produk domestik bruto (PDB) tidak mewakili keseluruhan fakta situasional yang masyarakat miskin rasakan.

"Terbukti, Bank Pembangunan Asia melaporkan di Indonesia diperkirakan sekitar 169 juta rakyat hingga kini belum menikmati akses air bersih," kata dia. Menurut dia, belum meratanya hasil pembangunan dan masih tingginya angka kemiskinan menunjukkan kebijakan pemerataan pembangunan belum membuahkan hasil. Penyebabnya antara lain sistem distribusi pendapatan nasional yang tidak pro kemiskinan. "Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak pro-poor hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja sehingga ini menjadi isu sangat penting dalam menyikapi tingginya angka kemiskinan hingga saat ini," jelas Dian.

Sedangkan Ketua Dept. Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Ya'kub mengatakan pendekatan kesejahteraan atas dasar PDB per kapita adalah matematika keliru untuk menghitung kenyataan kemakmuran di Indonesia. Pasalnya, PDB Indonesia lebih banyak disumbang oleh sektor keuangan dan sektor lain yang padat modal dan teknologi yang minim penyerapan tenaga kerja.

 "Kalau mau melihat kenyataan di Indonesia, lihatlah dunia pertanian di mana jumlah tenaga kerja di sektor ini adalah 40 persen dari total angkatan kerja atau 42,8 juta orang dari 107,4 juta orang. Berapa pendapatan mereka?" jelasnya. Dalam hitungan yang pernah dibuat SPI, petani penyewa lahan sebesar 1 hektare dengan biaya sewa 10 juta rupiah per tahun akan mampu panen 3 kali setahun. Dari biaya penjualan gabah atau beras dipotong biaya produksi, hanya didapat angka pendapatan rata-rata hanya 7.500 rupiah per hari.

"Kita ini tak ada strategi penciptaan lapangan kerja, jadi PDB per kapita jelas tak ada hubungannya dengan kemakmuran karena mayoritas pekerja kita menyelesaikan sendiri masalahnya di sektor informal," papar Yakub.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan per kapita Indonesia pada 2010 mencapai 3.000 dollar AS atau sekitar 27 juta rupiah per tahun. Namun, menurut ekonom Hendrawan Supratikno, ketimpangan ekonomi masih lebar. Ini anatara lain karena terjadi perbedaan akses terhadap sumber daya ekonomi. "Ketimpangan juga terlihat dari indeks Gini yang masih 0,33 persen pada 2010 atau tetap di atas 0,3 persen sejak 2007. Ini artinya masih terjadi ketimpangan kesejahteraan di Indonesia," kata Hendrawan. Menurutnya, ketimpangan pendapatan merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. "Disparitas distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan hampir terjadi di semua negara sedang berkembang," ujarnya. lex/fia/ind/YK/WP
Baca Selanjutnya......

22.5.11

Program GPPK Buat Petani Diragukan

22 May 2011 Ekonomi Rakyat Merdeka

UPAYA pemerintah memperkenalkan Gerakan Produksi Pangan Sistem Korporasi (GPPK) diragukan keberhasilannya. Pasalnya, beberapa pihak beranggapan pencapaian surplus pangan nasional tak bisa dilakukan instan dengan cara itu. Apalagi jika mekanismenya tak diatur secara benar.

Direktur Institute for Developmeht of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, efektif atau tidaknya program itu bisa terlihat dari mampu tidaknya menyelesaikan pokok persoalan. Menurutnya, masalah yang dihadapi petani sekarang yakni pasokan dan distribusi yang tidak merata. Persoalan utama masalah pangan dalam negeri masih berkutat pada suplai yang lebih rendah dari kebutuhan konsumsi. Pada akhirnya membuat harga fluktuatif (naik turun).

"Kalau program itu tidak bisa menyelesaikan masalah, ya nanti ujungnya sama aja. Lihat saja, program subsidi pupuk dari korporasi, seringkali distribusinya nggak pernah tepat. Kapan pupuk itu dibutuhkan petani tidak ada. Tapi, ketika petani nggak butuh, pupuk itu ada. Kalaupun ada. harganya tidak sesuai dengan harga eceran petani." papar Enny kepada Rakyat Merdeka.

Enny mengatakan, jika pemerintah ingin mengupayakan tidak terjadi krisis pangan, yang dibenahi seharusnya persoalan apa yang saat ini menimpa petani, seperti mahalnya ongkos tenaga kerja di sektor pertanian. "Sudah banyak program yang diluncurkan pemerintah, tapi nggak ada hasilnya. Faktanya, tidak meningkatkan kesejahteraan petani dan tidak juga menyelesaikan persoalan," sindir Enny.

Enny menilai, petani selama ini tidak berdaya karena beban ongkos produksi yang harus ditanggung itu luar biasa. Sementara sistem korporasi yang diluncurkan pemerintah hanya diproyeksikan untuk mengelola output-nya saja. "Petani kita itu masih tradisional. Sistem korporasi bagaimana bisa langsung tune in. sementara petani di sini nggak seperti petani di luar negeri yang terbiasa dikelola secara korporasi. Jika ingin melibatkan korporasi, harusnya ada standarisasi yang jelas-," ujar Enny.

Dewan Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub menyatakan, sudah semestinya negara bahu membahu mengatasi krisis pangan. "Mekanismenya haras jelas.. Nggak boleh asal. Pemerintah punya upaya, sayangnya metodologinya keliru, masih pendekatan korporasi bukan pemberdayaan masyarakatnya.

Pemerintah harusnya mendorong petani supaya tangguh untuk meningkatkan produksi," ujar Yakub. Ia menyayangkan sikap pemerintah yang hanya melakukan pendekatan kepada perusahaan besar dan cenderung mengabaikan pendekatan terhadap kope-rasi-koperasi masyarakat.

Pemerintah melalui sejumlah BUMN memang menyiapkan dana Rp 4,1 triliun hingga 2014 untuk membantu Gerakan Peningkatan Produksi Pangan dan Sinergi Petani (GPPPK). "Dari Rp 4,1 triliun dana untuk membantu program pemerintah meningkatkan ketahanan pangan nasional itu. Rp 1,3-1,5 triliun di antaranya dialokasikan tahun ini," kata Menteri BUMN Mustafa Abubakar. YAN Sumber http://bataviase.co.id/node/683027
Baca Selanjutnya......