24.12.06

Tahun 2006 Dipenuhi Janji, Miskin Realisasi


Bagi petani, tahun 2006 yang dijalani hingga saat ini seperti tahun-tahun sebelumnya, janji-janji sejahtera selalu menjadi bunga-bunga saja. Masih hangat dalam ingatan bagaimana Presiden SBY-JK pada Juni 2005 mencanangkan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan (RPPK). Seakan pencanangan ini harga yang harus dibayar oleh kaum tani dan kalangan masyarakat lainnya atas Perpres 36/2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan untuk kepentingan umum.
Ancaman lebih nyata daripada harapan yang dijanjikan. Perpres tersebut tak ada klausul satupun yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan pembangunan adalah pembangunan pedesaan dan pertanian. Yang ada justru proyek-proyek bagi kepentingan modal yang lebih luas. Demikian juga Perpres 65/2006 sebagai revisi atas perpres 36/2005, makin menunjukan belang penguasa ini yang sangat berpihak kepada pemodal. Berbagai kepentingan umum yang melayani rakyat banyak ditiadakan seperti sarana pendidikan, peribadatan, serta kesehatan. Yang dikedepankan adalah proyek-proyek sepeti jalan tol, bandar udara, dan lainnya. Secara sederhana bisa kita pahami bahwa kekuatan asing melalui lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan seperti World Bank dan IMF begitu kuat cengkeremannya hingga dapat mendikte berbagai kebijakan pemerintah.

Padahal kita tahu SBY mendapatkan gelar Doktornya dalam bidang pertanian, seharusnya beliau mengerti apa yang dibutuhkan rakyat tani. Belum lagi politik pangan murah dengan import, menjadi agenda tahunan pemerintah. Contohnya Tahun 2005 pemerintah impor beras 304 ribu ton, tak berbeda tahun 2006 juga diputuskan impor sebanyak 840 ribu ton (sebagian diputuskan akhir tahun yang akan masuk pada awal tahun 2007). Pemerintah melalui Menteri Pertanian menegaskan dengan lantang bahwa tidak akan ada lagi impor beras, nyatanya dengan berbagai alasan apakah itu disebabkan oleh situasi alam ataupun lainnya impor tetap dilakukan. Secara internasional, pemerintah mengakui adanya tekanan dari organisasi perdagangan dunia (WTO-World Trade Organisation). Di WTO inilah sebagai anggotanya Indonesia terikat atas aturan mainnya. Padahal didalam WTO kepentingan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa lebih mendominasi dan menguasai daripada kepetingan negara di selatan.

Kebijakan agraria menemukan momentumnya ketika Presiden beserta pembantunya yaitu Menteri Pertanain, Menteri Kehutanan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional pada akhir September 2006 mengumumkan akan melaksanakan reforma agraria. Hal ini didasari kesadaran untuk mengurangi konflik agraria dan mengurangi kemiskinan yang mencapai 40 juta jiwa-- itu tersebar lebih banyak di daerah pedesaan. Rencana yang bagus itu ternyata tak sesuai harapan rakyat tani. Karena pemerintah dalam konsep Program Pembaruan Agraria Nasionalnya (PPAN) masih mengakomodir perusahaan/privat dalam program ini. Padahal kita tahu bahwa konflik-konflik agraria terutama yang melibatkan petani sebagian besar berhadapan dengan perusahaan swasta. Sebut saja di Sulawesi Selatan, di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan propinsi lainnya. Bagaimana mungkin pihak privat diuntungkan dalam program reforma agraria yang selama ini paling menikmati, meguasai dan mengusahakan serta merusak derngan luasan lahan yang mencapai jutaan hektar. Juga sejatinya reforma agraria itu adalah sebagai upaya menghapuskan ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan lahan, bukan sekedar serampangan bagi-bagi tanah. Didalamnya terdapat redistribusi. Artinya mendistribusikan kembali agar terciptanya keadilan agraria seperti yang dicita-citakan dalam UUPA 1960.

Belum lagi bencana alam diakhir tahun 2006, seperti longsor, banjir serta berbagai kecelakaan akibat kesalahan manusia. Dapat dikatakan bahwa janji-janji manis sepanjang tahun 2006 menuai berbagai bencana alam dan bencana kebijakan. Yang harus dipahami disini bahwa banyak bencana alam yang diakibatkan oleh ulah manusia. Manusia ini tak mungkin kita generalisir, karena sesungguhnya mereka yang mempunyai akses ekonomi dan politiklah yang punya andil beasr dalam perusakan alam. Petani sepanjang kita ketahui bersama dapat dipastikan akan menjaga alamnya agar mendukung proses produksi pertanian, bukan merusak. Bencana kebijakan yang dimaksudkan adalah kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat banyak, demi kepetingan penguasa yang pengusaha itu. Terakhir, memang tak mungkin rakyat tani hanya menunggu kebaikan hati penguasa/pemerintah dalam segala aspek kehidupan. Sudah saatnya kita mengawali tahun 2007 nanti dengan lebih memperkuat organisasi tani, memperluas persatuan rakyat dan melakukan praktek organisasi yang baik menuju cita-cita bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Baca Selanjutnya......

29.11.06

Tuntaskan persoalan pupuk dengan cara Pertanian Berkelanjutan


Rutinitas dalam kehidupan petani Indonesia adalah kekeringan, banjir serangan hama, kelangkaan pupuk dan persoalan lain yang tiap tahun terjadi. Tantangan berat petani tidak hanya dari faktor alam namun juga dari guncangan dasyat dari kebijakan pemerintah, seperti kebijakan harga gabah, harga pupuk, import beras hingga kepada kebijakan liberalisasi pertanian dan kekayaan alam.

Dengan situasi seperti ini, langkah zig-zag yang diambil oleh pemerintah tak memberikan solusi jangka panjang dan permanen. Kebijakan sistem rayonisasi, penetapan subsidi langsung ke pabrik pupuk, termasuk kebijakan penaikan harga pupuk justru makin mempersulit posisi petani.

Langka dan mahalnya harga pupuk awal tahun lalu dijawab dengan menaikkan harga pupuk oleh pemerintah. Kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk per 17 mei 2006 melalui surat Kepmentan No. 17/Permentan/SR.130/5/2006. kenaikan yang terjadi adalah sebesar 14,29% untuk urea, 10,71% untuk SP-36, 10.53% untuk ZA, dan 9,38% untuk NPK. Kenaikan ini memicu kenaikan biaya transpotasi, biaya produksi dan bongkar muat bagi produksi pertanian.

Penaikan ini dirasionalkan oleh pemerintah akibat dari harga gas dipasar Internasional yang juga naik. Kita tahu bahwa persoalan utama dihadapi pabrik pupuk adalah ketersediaan gas, misalnya gas merupakan unsur terbesar dari struktur biaya produksi pupuk urea yaitu sekitar 50-60 persen. Tapi yang perlu kita ingat Indonesia sendiri sebenarnya tak kekurangan pasokan gas. Data Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas menunjukkan bahwa produksi gas mencapai 7,8 miliar kaki kubik per hari dan akan mencapai puncaknya pada 2008 dengan total produksi 8,3 miliar kaki kubik per hari. Ekspor gas hingga Oktober mencapai US$ 7,52 miliar, 21 persen lebih tinggi dibanding 2004. Belum lagi cadangan gas yang masih cukup untuk 64 tahun ke depan. Bukti lain adalah gencarnya Presiden mengkampanyekan agar kendaraan mobil menggunakan gas. Jadi dengan logika sederhana, harga internasional naik, gas berlimpah kenapa devisa negara tidak deras untuk mensubsidi petani dan rakyat secara umum?

Seperti yang dilansir oleh banyak media Presiden SBY pada penutupan sidang pleno konferensi Dewan Ketahanan Pangan ke-3 di Istana Bogor, merespon dengan menyatakan kepada menteri pertanian agar mencari jalan atas persoalan pupuk yang selama ini menjadi agenda tahunan yang membebani baik pemerintah maupun petani. Kemudian dalam pengarahannya Presiden juga menyatakan sangatlah ironis jika Indonesia yang merdeka selama 61 tahun, tetapi hingga kini sebagian petani kecil dan para buruh tani tetap miskin dan kelaparan. Semoga saja pernyataan ini tak sekedar menyenangkan hati petani, mengingat banyak sudah janji-janji yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah. Baik janji secara lisan maupun secara terdokumentasi dan terpogram sekalipun.


Belajar dari kenaikan pupuk dan gas dalam konteks yang lebih luas
BPPT menyatakan bahwa pasokan gas dalam negeri yang dialokasikan setelah dieksport adalah sebesar 30,48% dengan hanya 10,61%-nya untuk mencukupi kebutuhan pabrik pupuk dan petrokimia. Artinya hampir lebih setengahnya dieksport ke luar negeri. Hingga wajar saja ketika PT. AAF (Acheh Asean Fertilizer) dan PT. PIM (Pupuk Iskandar Muda) yang berada di pusatnya gas tak kebagian sejak tahun 2003. Karena perusahaan asing yang mendapat konsensi disana, ExxonMobil Oil Company (perusahaan minyak asing di Arun, NAD), lebih mengutamakan penjualan gas ke luar negeri dalam bentuk LNG (liquid natural gas), akibat harga di luar negeri lebih tinggi dibandingkan harga untuk industri pupuk. Pemerintah yang diamanatkan oleh UUD 1945 untuk menyejahterakan rakyat tak berdaya oleh kekuatan modal besar asing dan kekuasaan pasar internasional yang begitu kuat.

Kebijakan pertambangan, air dan kekayaan alam lainnya terus diliberalisasi atas pesanan negara-negara kaya dan perusahaan besar melalui Bank Dunia, IMF dan WTO. Privatisasi air dibenarkan oleh UU No.7/2004 tentang Sumber daya air, perluasaan kebun-kebun swasta dan “berizin “ puluhan tahun diperbolehkan oleh UU Perkebunan, dan Kontrak karya perusahaan asing dikuatkan oleh UU PMA yang sekarang sedang di revisi sebagai tanda jadi bagi masuknya investasi asing yang begitu diyakini oleh penguasa sebagai jalan kesejahteraan rakyat. Padahal sebaliknya gas, minyak, kekayaan hutan, laut dan sumber agraria lainnya diangkut keluar negeri. Bangsa kita hanyalah mengais rente dari proses itu semua, mengorbankan jutaan keluarga miskin.

Jadi menurut hemat penulis, persoalan harga pupuk tidak berdiri sendiri akibat ketidakmampuan pemerintah mengawasi peredaran pupuk, eksport gelap atau permainan pengusaha pupuk saja. Namun ada sistem yang besar yang menyebabkan ketergantungan bangsa atas negara-negara kaya sulit dilepaskan. Mereka menggunakan banyak jalan baik melalui tekanan militer hingga institusi internasional dengan aturan-aturannya yang mengikat, legally binding. Penjajahan dalam bentuk baru.

Menuntaskan ketergantungan pupuk dengan jalan pertanian berkelanjutan
Dalam konteks nasional, soal gas dan kekayaan alam lainnya seperti hutan, perkebunan, pertanian skala luas dan padat modal, hasil laut, emas, minyak bumi dan lainnya dituntaskan melalui program pembaruan agraria. Dimana dalam program besar itu terjadinya perombakan sistem kepemilikan, penguasaan, peruntukan, pemanfaatan dan keberlanjutannya yang berpihak kepada rakyat sesuai amanah dari UUD 1945 pasal 33 dan UUPA 1960. Saya rasa harus ada ruang khusus untuk membedah hal ini.

Kemudian dalam konteks pembangunan nasional, pencanangan program revitalisasi pertanian jadi macan kertas. Karena pemerintah masih berputar pada wilayah input pertanian, bukan menyentuh pada wilayah alat produksi. Berapapun harga pupuk kimia, jumlah petani miskin dan gurem dan buruh tani akan terus meningkat. Karena persoalan pokok struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang timpang tak disentuh.

Pengalaman revolusi hijau, yang membombardir petani dengan modernisasi pertanian dengan teknik bertani praktis menggunakan pupuk kimia, bibit unggul produk tertentu, pestisida dengan tujuan produksi meningkat. Sejarah pernah mencatat jaman ‘keemasan’ pada produksi beras. Fenomena ini terjadi karena adanya Revolusi Hijau (RH) yang dilakukan pada sekitar tahun 1966/1967. Rencana ini merupakan lanjutan dari rintisan proyek Kasimo tahun 1948. Hasilnya cukup menakjubkan dari segi produksi: pada tahun 1965 produksi beras hanya 1,7 ton per hektar, pada tahun 1980 meningkat drastis menjadi 3,3 ton per hektar. Indonesia pun swasembada beras pada tahun 1984.

Tapi inilah borok RH, ‘keemasan’ yang malah membuat petani makin tergantung. Petani tidak dibuat menjadi mandiri, melainkan tergantung pada sarana produksi yang notabene merupakan skala ekonomi. Benih, pupuk dan pestisida semakin mencekik, dan hasilnya Indonesia tidak dapat mempertahankan produksi beras. Hasil semakin turun, pertanian pun stagnan. Juga makin meningkatnya petani gurem dan petani tak bertanah serta buruh tani. Celakanya lagi, Indonesia terjerumus dalam perjanjian-perjanjian yang semakin menindas setelah bergabung dengan WTO (1994).

Menghentikan proses ketergantungan petani terhadap pihak lain menyangkut soal pupuk, termasuk juga sarana produksi pertanian lainnya, dapat dilakukan manakala rejim sistem produksi pangan revolusi hijau bisa dihentikan dan digantikan oleh sistem produksi pangan organik (organic farming), yang dilaksanakan dalam bingkai pembaruan agraria.

Pertanian organik bukan sekedar sistem pertanian yang menggunakan pupuk organik dan perlindungan tanaman yang ramah lingkungan. Tetapi juga sangat penting adalah untuk memangkas pola ketergantungan sebagai penyebab kemiskinan petani selama ini. Bahkan sebagai alternatif sistem pertanian organik malah akan kembali menghidupkan perekonomian pedesaan.

Beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dengan sistem produksi pangan organik, seperti yang di yang sudah dialami oleh organisasi seperti La Via Campesina, gerakan buruh tani dan petani kecil internasional. Pertama, petani dapat memberi pupuk pada tanamannya tepat waktu atau tidak lagi mengalami kerugian akibat pemupukan yang melewati umur tanaman.

Kedua, tidak lagi terjadi arus kas keluar dari keluarga petani dan desa ke pabrik dan wilayah kota untuk membeli pupuk. Arus kas petani yang biasanya keluar selanjutnya bisa menjadi tabungan.

Ketiga, kegiatan perekonomian pedesaan akan kembali bergairah, karena produksi pupuk organik relatif padat karya sehingga dapat membuka lapangan kerja baru.

Keempat, sistem peternakan kecil yang selama ini tergantikan oleh peternakan skala industri bisa kembali hidup, karena produksi pupuk memerlukan kotoran ternak. Dalam hal ini peningkatan pemenuhan protein di pedesaan sekaligus dapat dicapai. Juga sebagai upaya membalikkan situasi bahwa Indonesia adalah pengimpor impor ternak sapi 600.000 ekor/tahun.

Kelima, pemerintah dapat mengurangi bahkan tidak perlu lagi untuk mengalokasikan anggaran untuk memberikan subsidi pembelian gas alam dan perawatan pabrik pupuk. Tetapi menggantikannya menjadi insentif buat petani untuk memproduksi pupuk organik termasuk membuat pelatihan.

Keenam, pemakaian pupuk organik secara bertahap akan dapat mengembalikan kesuburan lahan pertanian yang selama ini banyak dibuktikan telah miskin unsur hara. Kembali suburnya lahan pertanian ini tentunya sangat penting karena merupakan salah satu syarat dalam menjamin kecukupan pangan.

Ketujuh, pangan hasil pertanian organik adalah jenis pangan berkelas premium, karena bebas pestisida dan pupuk kimia. Perubahan konsumsi pangan konvensional ke pangan organik akan berdampak pada peningkatan tingkat kesehatan. Hasil penelitian telah menunjukan bahwa pestisida dan pupuk kimiawi yang terlarut dalam pangan adalah salah penyebab berbagai penyakit, termasuk kanker.

Memang terdapat beberapa kalangan yang mengkhawatirkan bahwa kembali ke sistem produksi pangan organik akan mengakibatkan produksi nasional menjadi menurun. Tetapi pendapat tersebut sebenarnya tidak memiliki dasar ilmiah dan bukti empiris lapangan yang kuat. Buktinya di beberapa daerah petani anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) yang menerapkan pertanian padi organik justru mengalami peningkatan produktifitas dibanding dengan sistem produksi ala green revolution.

Pandangan yang menganggap pertanian organik adalah teknologi primitif dan tidak modern juga merupakan salah satu hambatan. Tetapi seiring dengan banyaknya kerusakan lingkungan dan penyakit di dunia, pandangan modernitas dalam bidang pertanian pun telah makin bergeser. Kini makna modernitas telah bergeser kepada aktivitas dan sistem produksi yang sesuai dengan ekosistem dan bukan yang melawan ekosistem alam.

Sewindu sudah usia reformasi, tetapi kehidupan para petani justru makin sulit. Agaknya tidak terlalu berlebihan jika petani menuntut pemerintah pelaksanaan sistem produksi pangan yang berkelanjutan berdasarkan pertanian keluarga (sustainable on food production based on family
farming)
dengan pertanian organik. Tentu semua ini harus dalam bingkai pembaruan agraria, yakni dijaminnya petani yang produktif atas kepemilikan dan penguasaan tanah, benih, teknologi dan harga yang menguntungkan.

dimuat di Harian Sore Suara Pembaruan, 30 November 2006

Baca Selanjutnya......

17.10.06

Kalaparan dan Reforma Agraria di Indonesia


Dalam rangka Hari Pangan Sedunia 16 oktober 2006

Menurut FAO pada tahun 1996 terdapat 854 juta dari 5,67 milyar penduduk dunia yang menderita kurang pangan, diantaranya 200 juta balita menderita kurang gizi terutama energi dan protein. Laporan PBB juga mencatat bahwa 3 – 5 ribu orang mati setiap hari akibat kelaparan dan dampaknya. Angka ini lebih besar lagi terjadi di negara – negara Sub Sahara – Afrika, negara – negara miskin dan didaerah yang terlibat konflik perang. Untuk itulah pada World Food Summit (WFS) Food and Agriculture Organization (FAO) bulan November 1996 di Roma, para pemimpin negara mengdeklarasikan komitment dan kemauan politik untuk mencapai ketahanan pangan serta melanjutkan upaya menghapuskan kelaparan di semua negara anggota dengan mengurangi separuhnya jumlah penderita kekurangan pangan pada tahun 2015.

Sejarahnya sendiri, hari pangan sedunia bermula dari konferensi FAO ke 20, bulan Nopember 1976 di Roma yang memutuskan untuk dicetuskannya resolusi No. 179 mengenai World Food Day. Resolusi disepakati oleh 147 negara anggota FAO, termasuk Indonesia, menetapkan bahwa mulai tahun 1981 segenap negara anggota FAO setiap tanggal 16 Oktober memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS).

Pertanian menjadi pemain pinggiran dalam ekonomi industri, namun ia memainkan peran yang sentral didunia dalam mengatasi kelaparan. Hal tergambar dari total investasi dipertanian yang U$ 9 milyar per tahun pada tahun 1980-an, jatuh menjadi kurang dari U$ 5 milyar ditahun 1990-an. Itulah mengapa akhirnya pada tahun ini Hari Pangan Sedunia diperingati dengan tema "Investing in Agriculture for Food Security". Model kerjasama yang diharapkan dapat berjalan antara masyarakat dengan sektor swasta dalam pembangunan pedesaan salah satunya adalah menaikan mutu dan standar, menyediakan infrastruktur pedesaan dan kebersamaan antara petani dengan pengusaha.

Masalah kelaparan, rawan pangan, gizi buruk dan kesehatan yang diakibatkan kurang pangan adalah persoalan kronis yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Penyebabnya selain kemiskinan adalah akibat dari produksi pangan yang kurang dalam suatu wilayah, tidak adanya akses terhadap pangan, bencana alam, perubahan iklim dan kemunduran sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam penguasaan dan kepemilikan sumber-sumber agraria seperti tanah-tanah pertanian, mahalnya biaya produksi pertanian, infrastruktur dan teknologi yang tak memadai.

Di Indonesia berdasarkan data yang dipublikasikan oleh UNICEF jumlah balita penderita gizi buruk pada tahun 2005 sekitar 1,8 juta, meningkat menjadi 2,3 juta pada tahun 2006. Dari angka kematian bayi yang 37 per 1.000 kelahiran setengahnya akibat dari kurang gizi. Untuk wanita usia subur, dari 118 juta jiwa sebanyak 11,5 juta jiwa mengalami anemia gizi. Kurang energi kronis juga dialami 30 juta orang dari kelompok produktif. Semua kejadian tersebut diatas tidak hanya terjadi dipropinsi seperti NTT, NTB, Sumatra Barat, Papua dan lainnya melainkan juga terjadi di Ibukota negara, DKI Jakarta. Yang mengenaskan lagi, hampir sebagian besar kasus kelaparan/kurang gizi terjadi diwilayah pedesaan yang notabene adalah daerah penghasil makanan. Juga didaerah perkebunan untuk komoditi eksport seperti yang terjadi beberapa bulan lalu di Kabupaten Sikka, NTT. Belum lagi jumlah orang miskin yang sudah mencapai 39 juta jiwa, dibarengi dengan jumlah pengangguran terbuka 10,2 juta jiwa pada tahun 2005.

Ketimpangan lahan pertanian dan kedaulatan pangan
Disaat bersamaan dengan situasi kelaparan diatas, rata-rata kepemilikan lahan petani makin menyusut dan makin meningkatnya petani gurem. Tahun 1983 persentase petani yang menguasai (memiliki atau menyewa dari pihak lain) tanah kurang dari 0,5 hektar (petani gurem) mencapai 40,8 %. Sepuluh tahun kemudian, persentase ini meningkat menjadi 48,5 %, dan Sensus Pertanian tahun 2003 memperlihatkan semakin meningkatnya jumlah petani gurem, mencapai 56,5 % dari seluruh keluarga petani di Indonesia. Peningkatan yang cepat terutama di P. Jawa. Sementara jumlah rumah tangga petani dalam 10 tahun terakhir meningkat dari 20,8 juta keluarga menjadi 25,6 juta. Kenyataan itu diperburuk dengan ketimpangan dalam distribusi penguasaan lahan. Sekitar 70% petani hanya menguasai 13 % lahan, sementara yang 30 % justru menguasai 87 % lahan yang ada.

Keadaan sempitnya lahan pertanian yang dikuasai dan dimiliki petani, juga diperparah dengan tindak kekerasan dan konflik agraria yang dialami oleh petani. Hingga saat ini sudah terjadi ribuan konflik agraria, tewasnya petani, dibakarnya rumah-rumah dan lahan pertanian.

Dengan tema hari pangan secara nasional "Membangun Kemandirian Pangan Berbasis Pedesaan", diharapkan pemerintah kembali menatap persoalan dipedesaan yang tak hanya pada ujungnya, produksi pangan. Dalam kondisi itulah kemudian menjalankan pembaruan agraria yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 menjadi hal yang mendesak.
Rasanya informasi yang diumumkan oleh pemerintah tentang keinginan menjalankan reforma agraria. Yaitu dengan jalan membagikan tanah-tanah bekas HPH/HTI seluas 9 juta Ha dengan komposisi 60% bagi masyarakat dan 40% untuk investasi asing maupun nasional juga disediakan 1,5 juta ha tanah-tanah perhutani di P. Jawa. Bahkan pemerintah menyediakan tanah-tanah pertanian seluas 8,2 juta ha untuk lahan-lahan pertanian diseluruh Indonesia. Menyisakan banyak tanda tanya.

Jikalaupun pemerintah berniat tulus menjalankan reforma agraria, bukanlah hal yang sedehana begitu saja. Karena keberhasilan landreform setidaknya memerlukan enam syarat utama (seperti yang ungkapkan oleh Gunawan Wiradi dalam diskusi di FSPI, 2006). Pertama, adanya kemauan politik pemerintah. Kedua, data yang lengkap dan teliti. Ketiga, organisasi rakyat yang kuat. Keempat, elite penguasa yang terpisah dari elite bisnis. Kelima, dari atas sampai ke bawah harus memahami, minimal pengetahuan elementer tentang agraria. Dan keenam, didukung militer (dan polisi). Dari keenam syarat pokok itu, ada beberapa hal yang perlu dicatat misalnya dilakukan secara drastis, ada ukuran jangka waktu tertentu dan terencana.

Sebab itu rencana pemerintah untuk meredistribusi lahan kami letakkan dalam kerangka lebih kritis. Info dari koran saja belum cukup memadai untuk menganalisis rencana redistribusi lahan. Perlu info lebih dalam mengenai latar belakangnya. Kiranya Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat menjelaskan kepada masyarakat secara gamblang, bahkan bila perlu harus ada penjelasan dari presiden. Sehingga tidak dijadikan sebagai alat legitimasi bagi dilaksanakannya reforma agraria berdasarkan keinginan modal dan kebijakan yang setengah-setengah. Karena praktek landreform yang sesungguhnya tidak dikenal tanah untuk investor, tapi tanah untuk petani (land to the tiller).
Itulah mengapa bahwasannya ketahanan pangan yang dicita-citakan bersama tak akan pernah terwujud, sebab selalu saja angin politik berpihak kepada pemodal dan investasi agribisnis. Yang nota bene investasi agribisnis itulah yang menguasai lahan-lahan secara luas. Untuk perkebunan kelapa sawit, kopi, kakao maupun karet. Sedikit saja, bahkan hampir tak ada yang berkomitmen menanami dengan tanaman pangan. Dengan investasi agribisnis maka relevansinya adalah secara ketat managemen ekspor dan margin keutungan yang tinggi dengan memantau gerak laju perdagangan komoditas dibursa saham. Dimana posisi petani dan buruh tani? Mereka hanya penyedia lahan pertanian ataupun tenaga-tenaga perkebunan, hanya beberapa yang terdidik menjadi mandor atau kantoran.

Beda halnya bila pemerintah dengan cepat merubah cara pandang dalam dunia pertanian dan pangan. Selain menjalankan landreform plus, yaitu terselenggaranya teknologi murah, bibit terbaik, kredit pertanian, dan industri pengolahan pasca produksi ditingkat kabupaten. Rasanya, mewujudkan kedaulatan pangan sebagai syarat tercapainya ketahanan pangan menjadi hal yang visible.

Kemudian dibuatlah aturan-aturan dalam perdagangan hasil pertanian dengan beberapa catatan pentingnya, pertama melindungi pasar dalam negeri dari serangan harga import murah. Kedua, mengatur produksi untuk kebutuhan pasar dalam negeri untuk mengatasi surplus. Ketiga, menghentikan subsidi bagi usaha pertanian yang tidak berkelanjutan, dan ketiak adilan bagi penyewa dan buruh tani, dan mendukung usaha – usaha yang mendukung dilaksanakannya pembaruan agraria, dan pertanian berkelanjutan. Dan terakhir menghentikan dukungan – dukungan pada usaha pertanian yang secara langsung atau tidak langsung untuk keperluan eksport ###
Baca Selanjutnya......

18.8.06

61 Tahun kemerdekaan Indonesia, Tanah dan air masih tergadai!

Semangat juang dan konfrontasi fisik menuju kemederkaan Indonesia melalui berbagai tonggak sejarah yang heroik dan patriotik. Sebut saja kebangkitan pemuda 1928, adalah ciri gerakan ke-indonesiaan yang begitu menasional. Ditengah berbagai keterbatasan informasi dan ruang gerak. Namun semua itu dapat ditanggulangi. Sejak itu bermunculan berbagai gerakan rakyat yang makin terorganisasi secara baik. Yang bahkan pada tahun 1911 sekalipun sebenarnya sudah muncul organisasi masyarakat. Kesadaran untuk mengembangkan, menyampaikan kepada kahlayak mengenai program-program politiknya diadakanlah koran-koran organisasi. Kemudian cikal bakal kekuatan militer di Indonesia adalah dimulai dari kekuatan pemuda, pelajar dan petani juga kaum ulama.

Demikian catatan kecil mengenai gerakan rakyat menuju kemerdekaan 1945. belum lagi rekaman bagaimana hiruk pikuk kekuatan rakyat bergabung bersama pimpinan-pimpinan revolusi Indonesia saat itu. Tentu kita takkan romantis mengenang perjalanan perjuangan bangsa mengusir imprealisme. Namun disitulah pentingnya rekaman-rekanam tersebut dalam konteks perjuangan hari ini.

Tepat 17 Agustus 1945, dikumandangkan proklamasi. Disusul esoknya dengan pernyataan,
” Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. .............
.........................................

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,..........”

Begitu mendalamnya preambul UUD 1945 itu. Tak sekedar merdeka sebagai bangsa namun juga menyerukan, mengajak dan memproklamirkan kemerdekaan yang hakiki bagi manusia.

Saat ini 61 tahun sudah usia kemerdekaan kita. 61 tahun lamanya mengisi semangat itu. Nyatanya masih saja mayoritas warga negara dala himpitan kemiskinan, kesedihan dan diabaikan. Belum lagi penjajahan baru dalam bentuk campur dalam menentukan kebijakan politik, ekonomi bahkan sosial budaya kita. Sebut saja dibidang pertanian petani gurem yang mencapai 10,8 juta rumah tangga pada tahun 1993, meningkat menjadi 13,7 juta rumah tangga ditahun 2003. peningkatan petani gurem ini juga dibarengi dengan penurunan penguasaan tanah petani gure. Yang awalnya yang memang sudah sempit yaitu 0,5 ha menjadi 0,3 ha. Impor pangan juga tak pernah terkendali mulai dari kacang kedelai sebanyak 1,2 juta ton/tahun, daging sapi, susu, gandum sebanyak 4 juta ton/tahun dan bahkan bawang. Pengganguran yang realtif statis bahkan cenderung meningkat, saat ini saja (tahun 2005) mencapai 41 juta, mayoritas adalah kaum muda. Dari jumlah tersebut pengangguran terbuka (open unemployed) adalah 10 juta jiwa, sedang 31 juta adalah setengah pengangguran (under employed). Jumlah ini berpotensi meningkat lagi akibat kenaikan BBM sebesar 126% pada bulan oktober 2005.

Apa yang dilakukan pemerintah ? mereka cenderung bahkan dengan sadar justru menuruti anjuran lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF?Bank Dunia) , lembaga perdagangan dunia (WTO) maupun perusahaan-perusahaan besar dan negara-negara kaya. Kebijakan-kebijakan yang diambil justru memperkuat dan melanggengkan kemiskinan.

Misalnya saja intervensi dari lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF dan WTO menambah panjang deretan kebijakan yang anti rakyat, sebut saja Perpres 36/2005, penolakan MK terhadap tuntutan rakyat untuk mencabut UU No. 7/2004 tentang Sumber daya air, adanya upaya revisi UUPA 1960, UU Perkebunan No 18/2004 dan lemahnya proteksi terhadap petani.

Dimana Bank Dunia yang mengucurkan dana hutang sebesar $300 juta untuk menggolkan Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan mendukung program Land Administration Project (LAP) yang kesimpulan dari mereka adalah merevisi UUPA 1960 yang saat ini diusulkan oleh Badan Pertanahan Nasional.

Kemerdekaan bagi mayoritas warga negara yang masih miskin dan terbanyak tinggal didesa menjadi sesuatu yang sulit dijamah. Maka itu, bekerja sama, berjuang, berproduksi bersama dalam suatu perserikatan, organisasi dan perkumpulan menjadi bermakna sekali ditengah pemerintah makin jauh dari petani. Organisasi diharapkan mampu menjawab beberapa persoalan anggotanya. Ketidakmampuan pemerintah memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya bukan sekedar tak punya biaya, namun memang tak punya niat. Niat secara totalitas berpihak kepada rakyatnya sendiri. Itulah peran penting dari organisasi tani, buruh, mahasiswa, pemuda dan perempuan untuk membangun gerakan sosial yang muaranya adalah memperjuangkan segenap kepentingan rakyat miskis dan melawan campur tangan asing dalam keputusan berbangsa dan bernegera.

Dirgahayu Indonesia.
tulisan ini juga terbit di pembaruan tani-agustus 2006
Baca Selanjutnya......

15.7.06

Usir saja rakyat dari tanah pertanian, datangkan modal-modal besar

Ketika ada pertemuan petani tingkat desa, percakapan yang kerap muncul adalah bagaimana agar dapat bertani secara aman dan tenang. Dalam forum ini juga kalimat-kalimat aparat, polisi, TNI, DPR, BPN dan pemerintah serta perusahaan berkali-kali meluncur lancar. Walaupun perusahaan itu berbahasa asing, namun fasih diucapkan, akrab disebut dan didengar telinga. Betapa tidak sejak puluhan tahun petani yang berada didaerah dalam sumatra ini bersengketa dengan perusahaan bermodal asing itu
.
“pihak perusahaan berkali-kali melakukan kekerasan melalui security-nya anehnya pihak kepolisian tidak segera menindak. Sebaliknya kita masuk perkebunan, dituduh merusak langsung ditangkap, diadili dan dipenjarakan. Lama juga 11 bulan lebih”.

Itulah ringkasan kata-kata yang sering didengar oleh pengurus-pengurus dan anggota serikat tani betapa meluasnya dampak konflik pertanahan. Yang paling dirasakan langsung adalah tindak kekerasan atau sebelumnya melalui suatu proses pemaksaan.

Bahkan kekerasan itu terjadi tak hanya sekali saja. Bahkan beberapa kali ditempat yang sama, dengan kualitas yang variatif. Peristiwa-pristiwa ini bila ditelusuri lebih jauh ternyata memiliki pola tersendiri. Beberapa yang menonjol adalah dengan cara mengaburkan persoalan utamanya, yaitu konflik pertanahan. Misalnya dengan tuduhan-tuduhan pengrusakan, perbuatan tak menyenangkan, atau tindakan pidana lainnya.

Kemudian bila konflik ini berlarut-larut maka pihak perusahaan ataupun pemerintah—karena biasanya dua lembaga ini lah yang seringkali konflik- menggunakan pendekatan keamanan. Dengan dali berbagai macam untuk mendatangkan aparat kepolisian. Bila sesaat setelah reformasi (tahun 1998-2003) aparat TNI relatif tak terlibat, sekarang ada indikasi keterlibatan mereka lagi dalam kancah konflik agraria ini. Belajar dari beberapa kejadian misalnya di bulan mei 2006 lalu di Cisompet , Garut pemicunya adalah latihan perang-perangan Kodim diwilayah tersebut, atau seperti pada bulan April 2006, Batalyon Infantri 714 Sintuwu Maroso Poso di Kota Tentena, tepatnya di ibu kota Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso dalam rangka latihan di lahan mega proyek PLTA Sulewana Poso dalam situasi proyek tersebut mendapat perlawanan dari warga.

Itulah beberapa pola operasi yang paling sering digunakan dalam penanganan konflik agraria. Modela lainnya adalah penggunaan mekanisme hukum, pendekatan per-undang-undangan. Kita tahu bahwa sejak tahun 2004 telah disahkan UU No. 18/2004 tentang perkebunan. Sejak disahkan tidak sedikit petani yang mendekam dalam dinginnya penjara akibat begitu represifnya pasal-pasal dalam undang-undang tersebut dan dibarengi begitu agresifnya aparat polisi dan pengadilan untuk menegakkan hukum. Hal ini tak terjadi bila yang mengadukan perkaranya adalah dari pihak masyarakat. Bilapun diproses, maka waktunya akan berbeda sekali bila perusahaan yang melapor. Yaitu begitu lama dan administrasi yang sebgaja diperpanjang. Itulah realitasnya. Semua ini telah dipahami oleh masyarakat. Oleh petani.

Atas kesadaran itulah maka apa-apa yang dilontarkan oleh pejabat negara seperti DPR maupun Presiden atau Wakil Presiden sekalipun selalu mengundang skeptis. Contoh konkrit adalah program revitalisasi pertanian, perikanan, dan kelautan. Program itu diluncurkan pada bulan Juni 2005, banyak impian yang akan diwujudkan walau kerangka besarnya tetap kuasa pasar dan modal. Sisi lain presiden justru mengelurkan Perpres 36/2005. penolakan-penolakan bermunculan, hingga mei 2006 muncul revisinya. Semua bertolak belakang. Tanah-tanah pertanian justru dijadikan obyek spekulasi untuk mengundang investasi. Kepastian hukum ada bagi investor, bukan untuk petani-petani. Kekeringan, hama ataupun banjir itu dianggap siklus alam, bencana yang datangnya dari Tuhan. Jadi tak ada tanggung jawab pemerintah didalamnya.

Sirkusnya penguasa ditengah 13,6 juta petani bertanah yang hanya 0,5 ha, dan 15% keluarga petani mengalami pengurangan pendapatan. Kesesakan ini disertai dengan berbagai tindak kekerasan yang dialami petani. Padahal bagi negara sekaliber Amerika sekalipun pertanian itu menjadi tulang punggung dan tak akan menyerahkan urusan perut kepada siapapun. Cerminan ini secara jelas dinyatakan seorang senator di Amerika pada tahun 1982,”bila kita ingin menghimpun dan memimpin orang, serta membuat mereka tergantung, terus mau bekerja untuk kita, itu adalah dengan cara membuat mereka ketergantungan makan dengan kita”.

Artinya silakan usir petani dari tanah pertanian, import pkacang kedelai, gandum, daging sapi dan segera bangun perkebunan-perkebunan besar untuk eksport, segera bangun infrastruktur untuk memfasilitasi masuknya investasi, lakukan terus tindak kekerasan di tanah-tanah pertanian serta datangkan investasi asing sebanyak-banyaknya. Atau jalankan reforma agraria, sediakan kredit murah bagi petani, proteksi petani dari serbuan hasil produksi pertanian luar negeri, bangun teknologi pertanian yang murah, massal dan mudah. Itu hanya tinggal pilihan, apaka kita sebagai bangsa menikmati keterjajahan atau ingin bangkit melawan. Karena bagi petani, apapun resikonya pilihannya adalah jelas, ingin sejahtera, adil dan merdeka.*** dimuat di pembaruan tani juli 2006
Baca Selanjutnya......

9.6.06

Petani Menolak Revisi UUPA 1960 dan menuntut dilaksanakan Reforma Agraria

17 Mei 2006, puluhan ribu petani dari berbagai daerah anggota Federasi Serikat Petani Indonesia bersama organisasi pemuda, buruh dan tani lainnya lagi-lagi mendatangi Ibukota Negara menagih janji pelaksanaan reforma agraria kepada Presiden RI. Tagihan janji ini bukan mengada-ada atau isapan jempol, SBY-JK ketika kampanye mencalonkan diri jadi presiden RI menjanjikan akan menata pertanahan dan melaksanakan pembaruan agraria. Janji itu tak main-main, karena dituangkan dalm buku putih mereka dan diucapkan berkali-kali dihadapan jutaan rakyat Indonesia melalui televisi. Itu dokumen tercatat dan valid.

Demontrasi petani berlangsung secara bersamaan dengan acara konferensi Rakyat Asia pasifik untuk beras dan kedaulatan pangan. Tidak tangung. Petani dari puluhan negara itu menyelenggarakannya sebagai upaya menekan pertemuan FAO-organisasi pangan dunia di Jakarta pada saat yang sama, yaitu 15-19 Mei 2006. Inilah wajah gerakan petani di Indonesia saat ini, yaitu makin menguatnya solidaritas sesama petani yang senasib dan sehaluan. Perjuangan lintas propinsi, negara bahkan benua ini mulai diperhitungkan bagi banyak kalangan. Pun bagi petani sendiri ini membuka tabir bahwa perjuangan pembaruan agraria masih digelorakan dibanyak tempat.
Tema pertemuan konferensi rakyat, Beras adalah kehidupan, kebudayaan dan kedaulatan, slogan ini mengandung arti yang begitu dalam. Selain itu juga memberikan pengertian bahwa bertani terutama beras melingkupi suatu wilayah yang menyeluruh. Mulai dari benih, air, tanah, sistem produksi hingga pada perdagangannya. Ini juga berlaku bagi seluruh petani pangan. Bagi Indonesia beras merupakan makanan pokok 97 persen penduduk Indonesia. Usaha perberasan menghidupi 24 juta keluarga dari total 53 juta keluarga di Indonesia.

Karena sifatnya yang berbeda dengan berbagai kegiatan produksi lainnya maka negara harus menjamin bahwa setiap keluarga tani memiliki tanah utnuk berproduksi. Jalan bagi keadilan terhadap pertanahan itu maka tak ada pilihan lain selain menjalankan reforma agraria. Program itu pada tahap awal fokus pada distribusi tanah bagi rakyat tanpa tanah dan petani yang miskin, serta buruh tani.
Tanah dan air harus dikuasai dan dimiliki oleh komunitas lokal. Bagi petani tanah seharusnya milik rakyat kecil dan tunakisma, bukannya milik tuan tanah. Tahap berikutnya mengenai sistem produksi pertanian, petani memperkenalkan kedaulatan pangan. Untuk melindungi ekosistem, menghilangkan kemiskinan, pelestarian tanah, keaneka ragaman hayati, peningkatan kualitas air dan tersedianya pangan dengan harga yang terjangkau bagi konsumen. Inilah kemudian menyambung pada perdagangan. Harus dipastikan bahwa harga yang layak bagi petani dilindungi oleh pemerintah. Memberikan subsidi untuk menutupi biaya produksi dan mendapatkan keuntungan yang cukup yang sesuai dengan biaya kebutuhan hidup para petani.
Namun dari semua buah pikir dan tuntutan petani terhadap pemerintah seperti jauh api dari panggang. Ditengah hiruk pikuknya tuntutan petani kepada pemerintah untuk menjalankan reforma agraria, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif, menaikkan harga pupuk, mengusulkan revisi atas UUPA 1960. Perwakilan petani yang diterima didalam istana oleh Menteri Pertanian dan kepala BPN serta juru bicara presiden pun tak puas.
Mereka lagi-lagi berjanji-berrjanji dan berjanji. Artinya tekanan, kontrol dan keterlibatan petani melalui organisasi menjadi keharusan untuk merealisasikan janji-janji mereka dan menjalankan cita-cita petani dan rakyat miskin lainnya.
Terbukti, tiga minggu setelah demontrasi petani tepatnya 5 Juni 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan perpres 65/ 2006 tentang Tentang Perubahan Atas Perpres 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Perpres 36/2005 tertanggal 3 Mei 2005. artinya tak ada kemauan politk bagi pemerintah untuk melindungi tanah-tanah rakyat apalagi menyediakannya bagi petani. Karena bagi sebagian besar petani, miskin kota yang diperlukan adalah kebijakan mengenai perlindungan tersebut, bukan sebaliknya. Justru bisa dipastikan akan menguntungkan pemodal. Karena perpres ini akan memandulkan UUPA 1960 sebagai landasan hukum dijalankannya reforma agraria di Indonesia.
Jadi tak pelak lagi, pemerintah harus mengubah struktur kebijakannya menjadi kebijakan yang berpihak pada petani. Kalau belum ada cetak biru dan inisiatif secara politik mengenai agraria dan pertanian, maka konflik agraria dan kekerasan terhadap rakyat akan terus terjadi. Reforma agraria harus dijalankan, sebagai syarat utama terpenuhinya kedaulatan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. ***
(dimuat di pembaruan tani juni 2006)
Baca Selanjutnya......

11.4.06

17 April hari perjuangan petani

Hari Besar Petani


Pada saat berlangsungnya Konferensi Internasional Via Campesina Ke II yang dilaksanakan di Tlaxcala, Meksiko, pada tahun 1996, 19 orang buruh tani telah dibunuh oleh polisi militer pada tanggal 17 April 1996, di Eldorado dos Carajaas Brasil. Dalam rangka memperingati kejahatan yang mengerikan ini La Via Campesina mendeklarasikan 17 April sebagai Hari Perjuangan Petani Internasional.

Setiap tahun pada tanggal 17 April, ribuan petani, perempuan dan laki-laki, menyatukan kekuatan untuk melakukan protes melawan kebijakan neoliberal seperti liberalisasi perdagangan pertanian, deregulasi dan privatisasi. Kebijakan ini telah mendorong penghancuran ekonomi petani dan pengusiran petani-petani kecil, buruh tani dan nelayan dari tanah mereka.


Kemudian, atas insiatif berbagai organisasi tani termasuk didalamnya Federasi Serikat Petani Indonesia bersama-sama dengan Komnas HAM, pada tahun 2001 lalu mendeklarasikan Hari Asasi Petani Indonesia pada tanggal 20 April. Sejak itu juga setiap tanggal 20 April , banyak kalangan terutama petani merayakan hari besar ini untuk terus menggelorakan perjuangan petani dalam pemenuhan dan perlindungan hak-haknya.

Saat ini juga Gerakan petani di Indonesia bersama gerakan sosial lainnya seperti pemuda, mahasiswa, kaum buruh, serta lembaga non-pemerintah bersama-sama mengkampanyekan kedaulatan pangan dan memperkuat gerakan untuk Pembaruan Agraria Sejati. Semua berkumpul di Desa Selokan , Kec. Pakis Karawang ratusan petani anggota FSPI, Dewan Tani Karawang dan lainnya merayakan ke-dua hari penting tersebut. Selain itu juga diseluruh bagian dunia, anggota La Via Campesina melakukan berbagai aktivitas seperti di Brasil, Honduras, Canada, India bahkan di Palestina sekalipun dan tempat lainnya.

Pada forum rakyat yang digelar ditengah sawah itu, diadakan juga diskusi massa. Dalam diskusi tersebut muncul bahwa perjuangan kaum tani di Indonesia dalam melawan kebijakan-kebijakan pertanian yang tidak memihak kepada petani tak pernah henti, seperti apa yang telah terjadi yaitu pemerintah Indonesia sejak tahun 1997 sudah tidak lagi memberikan subsidi bagi pengembangan usaha pertanian, membuka pasar dalam negerinya dari import produksi pertanian dari luar dengan selebar-lebarnya melalui penetapan bea import masuk yang rendah, seperti khususnya beras disebutkan bahwa dalam periode September 1998 hingga desember 1999, pemerintah Indonesia mengenakan tariff import beras sebesar 0%. Selanjutnya menentukan tariff khusus sebesar Rp. 430/kg atau sekitar 30% sejak Januari 2000 hingga tahun 2004. belum lagi kebijakan SBY-JK terakhir yang memutuskan untuk import beras sebanyak 70.050 ton pada akhir 2005 dan ditambah ratusan ribun ton diawal tahun 2006. kebijakan tersebut ditengah rakyat tani menyongsong panen hasil-hasil padi. Sementara itu legislatif yang diharapkan berpihak kepada petani ternyata menipu, mereka hanya sekedar pemberi gula-gula manis dalm proses demokrasi. Yang nyata hanya berpihak kepada penguasa yang bermodal itu.


Persoalan pangan, terutama beras bukanlah soal komoditas dagang semata namun juga suatu upaya untuk menegakkan Kedaulatan Pangan, yang merupakan suatu hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri. Kedaulatan pangan adalah merupakan prasyarat dari sebuah keamanan pangan (food Security), maksudnya adalah suatu hal yang mustahil. Keamanan pangan tercipta kalau kedaulatan pangan tidak dimiliki oleh rakyat. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan bagi setiap bangsa dan rakyat untuk dapat mempunyai hak dalam menentukan makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal dan perdagangan di tingkat wilayah.
Kemudian sejurus dengan kedaulatan pangan, penguasaan dan kepemilikan alat produksi bagi petani adalah hal yang tak bisa ditawar. Jalan pembaruan agraria harus ditempuh sebagai pijakan dasar pembangunan bangsa.

Dalam acara itu juga petani mengungkapkan bahwa untuk meningkatkan dalam produksi pertanian yang menjamin kebutuhan-kebutuhan pangan, penghargaan lingkungan dan memberikan para petani suatu kehormatan kehidupan, sebuah intervensi aktif pemerintah merupakan hal yang harus ada. Intervensi ini harus menjamin pertama, Penguasaan dan kepemilikan oleh petani dan buruh tani atas alat-alat produksi seperti tanah, benih, air dan kredit. Kedua, pengendalian impor dalam rangka untuk menstabilkan harga sampai pada tingkatan yang meliputi selurh biaya produksi. Ketiga, pengendalian produksi (contohnya manajemen penawaran) dalam rangka untuk menghindari kelebihan produksi. Keempat, perjanjian-perjanjian komoditi internasional untuk mengontrol penawaran dan menjamin harga-harga yang fair terhadap petani-petani penghasil produk-produk ekspor seperti kopi, kapas dan lainnya dan kelima asistensi publik untuk membantu mengembangkan produksi petani dan pemasaran

Itulah jalan yang didesakan oleh petani beserta kalangan lainnya untuk segera dilaksanakan oleh pemerintah yang berkuasa saat ini SBY-JK. Baca Selanjutnya......

11.3.06

Tak ada pilihan lain, kecuali Melawan




Kaum tani di Indonesia terutama tani miskin dan buruh tani serta masyarakat tak bertanah semakin sulit saja. Dari jaman- ke jaman, dari penguasa ke penguasa, petani menjadi bulan-bulanan kebijakan melulu berpihak kepada pemodal dan kaum kaya di desa dan kota. Perjuangan naik bangun, pasang surut berlangsung panjang. Sejarah perlawanan kaum tani untuk merebut hak-hak demokratis dan hak paling dasar tak pelak mengundang amarah penguasa yang kaya raya. Karena dianggap menganggu arus modal yang masuk ke kocek-nya. Antara pengusaha, aparat polisi dan penguasa seia sekata menjawab gerakan rakyat tani untuk mempertahankan dan merebut hak-hak petani, yaitu melalui moncong senjata, proses hukum berbelit dan penuh rekayasa, politisasi persoalan menjadi kriminal dan pemenjaraan petani-petani. Celaka-nya ini berlaku berulang-ulang. Lihat saja beberapa kasus yang dialami petani anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) diberbagai wilayah yang saat ini sedang menghnagt kembali seperti Bandar Pasir Mandoge, Kab. Asahan Sumatera Utara, di Tanak Awu, Lombok Tengah NTB .

Petani di Bandar Pasir Mandoge Sumut, yang konflik dengan PT. Bakrie Sumatra Plantation Tbk. menjadi korban kekerasan dan penangkapan oleh satuan pengamanan perusahaan bersama aparat kepolisian setempat. Penggusuran paksa, penganiayaan, pelecehan tak henti hingga sekarang ini. Terakhir adalah tanggal 27 Maret 2006, sekitar 100 orang Security PT Bakrie Sumatera Plantations (PT BSP) yang dikawal oleh 6 anggota Brimob dan 4 anggota polisi ke lahan yang disengketakan dengan menggunakan 3 buah truk. Mereka langsung merusak lahan petani yang sudah ditanami dengan menggunakan bulldozer. Kejadian itu diringi dengan penangkapan terhadap empat (4) petani di POLRES Asahan, sehari kemudian dilepas kembali. adalah;
Dari empat (4 ) petani yang ditangkap tersebut yang mengalami luka-luka adalah Bpk. Sidabutar dengan kuku Jempol kaki lepas, Syahmana Damanik dengan luka pukul didada dan tangan berdarah karena pada saat ditangkap diseret dan dipukuli. Ibu Juniar br. Tampubolon saat ini sedang mengasuh bayi berumur 2 bulan.

Seorang petani, Ibu Teti br. Tampubolon mengalami luka bocor dikepala yang kemudian dibawa ke Rumah Sakit Setempat, Ibu Rumena br. Manurung hingga malam ini tidak diketahui keberadaannya kemudian ditemukan warga dalam keadan terborgol dan Eilin (anak Nuraini br. Panjaitan) yang diikut ditangkap yang kemudian dilepas mengalami trauma, serta puluhan petani lainnya yang mengalami luka-luka.
Padahal sebelumnya pada 23 Agustus 2005, lima (5) orang petani telah ditangkap dan dipenjarakan dengan dalih pengrusakan di areal lahan perusahaan, penangkapan tersebut juga dilakukan secara sewenang-wenang dan tidak prosedural oleh aparat kepolisian Kab. Asahan. Sekarang ini kelima petani tersebut mengalami persidangan dan di vonis hukuman penjara rata-rata 12 bulan.
Selanjutnya pada tanggal 9 Februari 2006. Aparat kepolisian (Brimob) melakukan pengusiran paksa kepada para petani penggarap lahan. Akibat pengusiran paksa itu, 23 orang petani perempuan mengalami pemukulan hingga pingsan dan luka-luka.
Di Tanak Awu, kabupaten Lombok Tengah NTB, pada tanggal 23 Maret 2006 persidangan atas petani yang ditangkap berlangsung. Latar belakang penangkapan adalah penghasutan dan perbuatan tak menyenangkan. Inilah karakter konflik agraria, segala cara hukum dipakai.
Hal yang disebutkan diatas bukannya meredupkan perlawanan kaum tani, justru sebaliknya. Petani makin kuat dan teguh serta percaya bahwa tak satupun penguasa apalagi pemodal akan berpihak kepada petani miskin. Bila dicermati, perlawanan masyarakat miskin tak hanya monopoli petani, namun juga buruh, miskin kota, mahasiswa dan pemuda yang menganggur. Dalam bulan Maret ini, banyak aksi-aksi perlawanan rakyat terjadi. Karena saluran demokratis macet. Mulai dari DPR, pemerintah tingkat desa hingga Presiden, partai-partai politik. semua macet. Tak ada jalan lain kecuali melawan. Melawan ini dalam kerangka menjalankan pokok-pokok pikiran Undang-Undang Dasar 1945. Tak ada pilihan lain bagi masyarakat yang dipinggirkan dan ter-alienasi kecuali melawan dengan caranya masing-masing. Melawan dalam rangka menjalankan amanat proklamasi kemerdekaan RI 1945. mewujudkan cita-cita bangsa yang sejahtera, adil makmur dan berkeadilan sosial. Membangun peradaban yang memenuhi hak-hak dasar rakyat, bukannya justru menjual kepada pihak asing. Bukannya menggadaikan kekayaan alam kepada perusahaan asing. Harapan bagi rakyat untuk mencapai cita-cita bangsa sangat yakin digapai. Masyakarat adil makmur bukan impian. Ia akan nyata bila masyarakat menemukan kesadaran kolektifnya bahwa perubahan itu dimulai dari segi yang paling kecil dan berrubah menjadi besar dengan kerja-kerja pendidikan, aksi dan kampanye massa yang aktif dan terus menerus. Bersatunya buruh, petani, dan kalangan lainnya. Jadi tak ush menunggu keajaiban bahwa penguasa yang sebagian besar korup itu akan berpihak kepada rakyat miskin. Tek aperlu menunggu ratu adil itu, bergerak berbareng saat ini juga secara serentak dan bersama-sama. Tak ada pilihan lain kecuali melawan.
(dimuat di pembaruan tani salam, maret 2006) Baca Selanjutnya......

14.1.06

Mati di Hamparan Sawah yang Subur

Beras bagi rakyat Indonesia bahkan beberapa negara didunia terutama di Asia adalah sumber kehidupan: “rice is our life”.
Beras merupakan makanan pokok 97 persen penduduk Indonesia. Usaha perberasan menghidupi 24 juta keluarga dari total 53 juta keluarga di Indonesia.

Karena sangat pentingnya beras bagi kedaulatan pangan, kesejahteraan petani dan stabilitas politik maka banyak pemerintah melakukan kontrol dan intervensi. Tidak hanya negara miskin atau berkembang, tetapi juga negara maju. Negara memberikan berbagai dukungan kepada para petani padi dengan penyediaan input, subsidi, penyuluhan dan jaminan harga yang baik. Agar para petani dapat melanjutkan usaha tani padinya, maka impor beras sangat dibatasi melalui kebijakan tarif impor yang tinggi bahkan pelarangan impor beras. Di Indonesia Presiden SBY selaku ketua Dewan Ketahanan Pangan Nasional mengambil alih kewenangan masalah beras yang berbuntut dibukanya keran impor beras sebesar 110.000 ton per Januari. Kita tahu bahwa motifnya secara jelas adalah untuk kepentingan stabilitas politik dan melanggengkan kekuasaannya. Bagaimana dengan kesejahteraan petani? Tidak sama sekali.

Alasan yang selalu dilontarkan oleh pemerintah dalam meng-import beras adalah, pertama karena harga mencapai atau melebihi titik kritis yaitu Rp. 3. 500/kg. Kedua, karena stok di BULOG kurang dari 1 juta ton beras. Kedua hal inilah yang menjadi dasar kebijakan import beras. Padahal sudah kita tahu, bahwa harga yang mencapai titik kritis tersebut adalah hal yang wajar akibat kenaikan BBM yang mencapai dua kali lipat lebih, karena ongkos produksi petani meningkat dari benih, sewa traktor, ‘obat-obatan dan tranportasi. Petani juga banyak kehilangan potensi yang seharusnya menjadi nilai tambah akibat dari penggilingan dimiliki bukan oleh petani. Mulai dari sekam, menir (beras pecah), dan dedak. Kemudian juga rente ekonomi dalam perdagangan beras ini terlalu panjang, ini harus dipangkas agar konsumen dan petani sama-sama menikmati keuntungan. Lagipula kenaikan harga beras hanya dinikmati segelintir petani yang masih menyimpan gabah hasil panen Desember tahun lalu, sekarang ini gabah-gabah petani sudah menjadi beras. Beras sudah berada pada pedagang bukan petani lagi, indikasi penimbunan beras pada awal tahun 2006 menjadi relevan bila dilihat dari informasi langkanya beras dibeberapa wilayah yang menyebabkan kenaikan secara cepat dan sistematis.

Inilah peran dan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi petani kecil dan konsumen miskin harus diterapkan, akibat dari BBM yang dijual mahal oleh pemerintah. Saat ini akibat kenaikan BBM oktober 2005 lalu yang mencapai 100% lebih, membuat berbagai harga kebutuhan pokok meningkat. Misalnya harga gula mencapai Rp. 6000- Rp. 8000/kg dari sbelumnya rata-rata Rp. 3.500, harga telur mencapai Rp. 8.500 –Rp. 10.00/kg, hal ini juga mengakibatkan lonjakan harga makanan lainnya yang mencapai rata-rata 30%. Artinya pemerintah sendiri tak siap atas dampak ikutan akibat naiknya BBM. Saat ini saja PLN sedang ribut-ribut ingin menaikkan TDL. Jadi mempersoalkan harga beras saja tidak relevan.

Kemudian tentang stok beras, Presiden sebagai ketua umum Dewan Ketahanan Pangan (DKP) sudah berkali-kali diyakinkan oleh Menteri Pertanian sebagai ketua harian DKP bahwa stok beras nasional surplus lebih dari 2, 1 juta ton. Jangan dilupakan bahwa kebijakan import beras tahap pertama Desember 2005 lalu diputuskan setelah Wakil Presiden, Menteri Perdagangan dan menko Kesra melakukan rapat koordinasi pada 22 Oktober 2005 tanpa melibatkan menteri pertanian yang sedikit banyak mempunyai data tentang beras. Masalah stok beras merupakan hal klasik mulai dari tahun 1988 di Indonesia. Tahun ini pulalah yang menandakan Indonesia menjadi net importer beras, yang diselingi dengan “masa aman” selama kurang lebih 9 bulan (Januari 2005-September 2005) saat impor beras dilarang. Data yang tidak akurat dan kericuhan antara Departemen Perdagangan- Departemen Pertanian dalam masalah ini seakan-akan menjadi legitimasi bagi kebijakan impor. Ditambah lagi dengan tekanan internasional dari Organisasi Perdagangan Dunia WTO yang memaksakan pembukaan pasar dan liberalisasi pertanian, dan mental dagang birokrat membuat masalah semakin pelik. Namun satu yang pasti, bahwa petani adalah bagian akhir dari rantai ini yang selalu mendapatkan kerugian terbesar.

Peran BULOG untuk membeli beras petani juga tak maksimal dilakukan, jelas alasannya adalah hitung-hitungan untung rugi belaka. Karena kita tahu BULOG sekarang ini sudah menjadi Perusahaan Umum yang artinya lembaga yang juga mengejar laba. Hal ini terlihat dari rentang waktu yang diberikan untuk membeli beras petani sangat pendek yakni hanya sekitar 12 hari, BULOG hanya konsentrasi di P. Jawa saja padahal di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan beras masih banyak tersedia, juga BULOG sengaja memberikan syarat-syarat yang terlalu berat. Menyoroti peran BULOG yang sejak dikeluarkannya UU No. 19/2003 tentenag BUMN. BULOG merupakan perusahaan umum, bukan lagi Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) artinya perannya hanya pelaksana teknis/operasional. Sebagai pelaksana teknis dilarang ikut campur dalam regulasi pangan dan beras.


Saat ini beras-beras Vietnam (jumlahnya kurang lebih 85.000 ton dari rencana semula 110.000 ton) sudah mulai berdatangan di beberapa pelabuhan berbagai daerah. Menurut Menteri Perdagangan jalur masuk beras import adalah wilayah yang minus, namun nyatanya seperti pelabuhan Belawan (Sumatera Utara) juga menjadi pintu masuk beras. Padahal berdasarkan Kepala Humas Bulog Regional I Sumut Haris Fadillah Lubis, mereka memiliki stok 31. 200 ton beras per 16 Januari 2005. stok ini akan mampu mencukupi kebutuhan beras hingga 4 bulan ke depan (Bisnis Indonesia, 19 Januari 2006).

Larangan Impor beras dan langkah kedepan
Sekarang ini Menteri perdagangan telah menerbitkan Surat Edaran (SE) berisi larangan impor beras hingga Juni 2006 sejak Februari 2006 menyusul kini memasuki masa panen raya musim tanam 2005-2006. Menurut data Departemen hingga April 2006 kita bisa menghasilkan 15 juta ton. Untuk itu diminta kepada BULOG agar siap menyerap gabah petani dengan harga minimal dari HPP yaitu Rp. 1. 730 (GKP). Langkah ini diambil sebagai antisipasi anjloknya harga gabah akibat musim hujan, tranportasi yang mahal, dan melonjaknya harga beras dipasaran.

Satu lagi yang harus dilakukan pemerintah adalah membuat dan melaksnakan cetak biru pembangunan pertanian nasional, yang kini terbengkalai. Semenjak dicanangkan, program Revitalisasi Pertanian dianggap petani hanya sebagai retorika belaka.

Pemerintah SBY-Kalla juga jangan menutup mata dengan reforma agraria, yang merupakan sendi dasar terpenuhinya kedaulatan pangan (food sovereignty) rakyat. Padahal dalam kampanye menuju kursi presiden, SBY menjanjikan reforma agraria sebagai salah satu janji yang harus direalisasikan dalam program ekonomi politik. Di Indonesia, mayoritas petani adalah petani gurem, yang hanya menguasai lahan kurang dari 0.5 hektare. “Jika tak punya tanah, bagaimana produksi mau naik?”. Ketidakseimbangan struktur agraria ini juga yang membuat sektor beras di Indonesia mandeg. Jadi, petani menuntut dilaksanakannya reforma agraria sejati yang diharapkan akan menjadi dasar cetak biru pembangunan pertanian nasional. Dengan reforma agraria ini, produksi beras dan pangan lainnya akan memenuhi permintaan domestik dan dengan terpenuhinya akses petani terhadap sumber produksi akan menjadi titik terang bagi pertanian Indonesia. Jangan sampai devisa kita habis karena tak mampu mengurus pangan. Tiap tahunnya untuk mengimpor beras, kedelai, gula, jagung dan daging sapi hampir mencapai lebih dari p. 17,6 triliun (Meneg BUMN Sugiharto).

Jadi tak pelak lagi, pemerintah harus mengubah struktur kebijakannya menjadi kebijakan yang berpihak pada petani. Kalau belum ada cetak biru dan inisiatif secara politik mengenai pertanian, impor akan terus-menerus menjadi rumus baku untuk memenuhi kebutuhan beras indonesia. Pertanian adalah sektor riil yang harus dilindungi dan menjadi tulang punggung negara, karena Indonesia adalah negara agraris. Reforma agraria harus ditegakkan, sebagai syarat utama terpenuhinya kedaulatan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. ***


Baca Selanjutnya......