16.11.11

Bom Waktu, Gantungkan Pangan pada Negara Lain

JAKARTA - Kebergantungan Indonesia pada impor pangan merupakan bom waktu yang sewaktuwaktu bisa meledakkan masalah nasional. Hal itu bisa terjadi karena pemerintah bertahun-tahun mengabaikan kemandirian pangan. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengalokasikan APBN untuk membangun pertanian dengan target utama mampu menyediakan pangan rakyat dari dalam negeri. "Pangan akan jadi masalah serius karena kita mengabaikannya selama ini. Malah, kita menggampangkannya dengan membiarkan derasnya impor pangan.

Akibatnya, kita tidak sadar jika sektor pertanian kita hancur," kata Ketua Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia Achmad Yakub di Jakarta, Selasa (15/11). Sebagai negara agraris, sungguh ironis, kini Indonesia termasuk importir pangan terbesar dunia dengan porsi impor sekitar 65 persen kebutuhan nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor pangan sepanjang Januari–Juni 2011 mencapai 45 triliun rupiah. Komoditas pangan yang diimpor mencapai 28 jenis, mulai dari beras, jagung, kedelai, tepung terigu, cengkih, cabai kering, hingga tembakau. Nilai tersebut meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 39,9 triliun rupiah. 

Menurut Yakub, pemerintah seharusnya memprioritaskan kemampuan menyediakan pangan bagi rakyat dari sumber dalam negeri karena hal itu merupakan bagian dari keamanan nasional. Pangan merupakan komoditas strategis yang tidak hanya memiliki unsur ekonomis, tapi juga politis. Selain membuat rakyat Indonesia bergantung pada negara lain dalam hal pangan, lanjut dia, impor memiskinkan petani dalam negeri karena harus bersaing dengan produk impor yang lebih murah, antara lain karena subsidi dari pemerintah negara importir. "Padahal, makanan harus ada saat dibutuhkan sehingga ketahanan pangan dan kemandirian pangan jadi nyata. Idealnya, kebutuhan pangan mampu dipenuhi masing-masing daerah. Makanya, kita tidak bisa berkompromi dengan impor pangan. Kini saatnya kita berkomitmen membangun pertanian tanpa bergantung negara lain," tegas Yakub.

Anggaran Pertanian 
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Aris Yunanto, memperkirakan jika kebergantungan pada impor pangan tidak segera diatasi, dalam lima tahun ke depan Indonesia bisa kekurangan pangan. Menurut dia, pemerintah semestinya mau mengoleksi dana dari utang haram semisal utang obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan melakukan moratorium atau penghentian sementara pembayaran kewajiban utang untuk membangun pertanian. 

Yakub menambahkan tak ada negara dengan jumlah penduduk besar yang tidak memajukan dan melindungi pertanian dengan tujuan mampu menyediakan pangan dari hasil domestik. Pemerintah seharusnya menyadari arti penting dan strategis kedaulatan pangan di masa mendatang. Ia mencontohkan Jepang yang dikenal sangat memproteksi pertanian dalam negeri dari perdagangan bebas pangan, antara lain dengan cara mengenakan bea masuk impor beras yang sangat tinggi hingga hampir delapan kali lipat. Sebaliknya, nasib petani di Indonesia justru terimpit karena pemerintah lebih memprioritaskan impor dengan dalih harganya lebih murah untuk menjamin pasokan pangan nasional. "Semestinya pemerintah memprioritaskan anggaran pertanian yang memadai karena pangan merupakan bagian dari keamanan nasional," tegas dia. 

Sementara itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih meminta pemerintah tidak masuk blok perdagangan bebas Asia-Pasifi k atau Trans Pacifi c Partnership. Alasannya, perdagangan bebas komoditas strategis seperti pangan akan berdampak buruk bagi kemandirian pangan dan sektor pertanian. "Secara umum, Indonesia akan merugi karena memang mayoritas petani kita belum siap bersaing akibat pemerintah mengabaikan pembangunan pertanian selama bertahun-tahun," jelas dia. Akibatnya, imbuh Henry, blok perdagangan bebas akan menimbulkan ketimpangan yang luar biasa karena Indonesia akan lebih banyak kebanjiran pangan impor dengan kualitas yang lebih kompetitif dari sisi harga maupun kualitas ketimbang kenaikan ekspor yang umumnya komoditas primer yang bisa habis. "Kecuali jika petani kita seperti Jepang, yang mendapat subsidi besar dari pemerintah dan dilindungi dengan penerapan bea masuk impor pangan yang tinggi," kata dia. Selain mengurangi impor pangan dan memperkuat sektor pertanian, Aris menambahkan kemandirian pangan bisa dilakukan melalui rekayasa atau diversifi kasi pangan selain beras dari bahan yang banyak dijumpai di Tanah Air seperti ubi dan singkong. YK/aan/sur/WP sumber http://bit.ly/uTsgbi


Share/Bookmark