JAKARTA - Kebergantungan Indonesia pada impor pangan merupakan bom waktu yang sewaktuwaktu bisa meledakkan masalah nasional. Hal itu bisa terjadi karena pemerintah bertahun-tahun mengabaikan kemandirian pangan. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengalokasikan APBN untuk membangun pertanian dengan target utama mampu menyediakan pangan rakyat dari dalam negeri. "Pangan akan jadi masalah serius karena kita mengabaikannya selama ini. Malah, kita menggampangkannya dengan membiarkan derasnya impor pangan.
Akibatnya, kita tidak sadar jika sektor pertanian kita hancur," kata Ketua Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia Achmad Yakub di Jakarta, Selasa (15/11). Sebagai negara agraris, sungguh ironis, kini Indonesia termasuk importir pangan terbesar dunia dengan porsi impor sekitar 65 persen kebutuhan nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor pangan sepanjang Januari–Juni 2011 mencapai 45 triliun rupiah. Komoditas pangan yang diimpor mencapai 28 jenis, mulai dari beras, jagung, kedelai, tepung terigu, cengkih, cabai kering, hingga tembakau. Nilai tersebut meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 39,9 triliun rupiah.
Menurut Yakub, pemerintah seharusnya memprioritaskan kemampuan menyediakan pangan bagi rakyat dari sumber dalam negeri karena hal itu merupakan bagian dari keamanan nasional. Pangan merupakan komoditas strategis yang tidak hanya memiliki unsur ekonomis, tapi juga politis. Selain membuat rakyat Indonesia bergantung pada negara lain dalam hal pangan, lanjut dia, impor memiskinkan petani dalam negeri karena harus bersaing dengan produk impor yang lebih murah, antara lain karena subsidi dari pemerintah negara importir. "Padahal, makanan harus ada saat dibutuhkan sehingga ketahanan pangan dan kemandirian pangan jadi nyata. Idealnya, kebutuhan pangan mampu dipenuhi masing-masing daerah. Makanya, kita tidak bisa berkompromi dengan impor pangan. Kini saatnya kita berkomitmen membangun pertanian tanpa bergantung negara lain," tegas Yakub.
Anggaran Pertanian
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Aris Yunanto, memperkirakan jika kebergantungan pada impor pangan tidak segera diatasi, dalam lima tahun ke depan Indonesia bisa kekurangan pangan. Menurut dia, pemerintah semestinya mau mengoleksi dana dari utang haram semisal utang obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan melakukan moratorium atau penghentian sementara pembayaran kewajiban utang untuk membangun pertanian.
Yakub menambahkan tak ada negara dengan jumlah penduduk besar yang tidak memajukan dan melindungi pertanian dengan tujuan mampu menyediakan pangan dari hasil domestik. Pemerintah seharusnya menyadari arti penting dan strategis kedaulatan pangan di masa mendatang. Ia mencontohkan Jepang yang dikenal sangat memproteksi pertanian dalam negeri dari perdagangan bebas pangan, antara lain dengan cara mengenakan bea masuk impor beras yang sangat tinggi hingga hampir delapan kali lipat. Sebaliknya, nasib petani di Indonesia justru terimpit karena pemerintah lebih memprioritaskan impor dengan dalih harganya lebih murah untuk menjamin pasokan pangan nasional. "Semestinya pemerintah memprioritaskan anggaran pertanian yang memadai karena pangan merupakan bagian dari keamanan nasional," tegas dia.
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih meminta pemerintah tidak masuk blok perdagangan bebas Asia-Pasifi k atau Trans Pacifi c Partnership. Alasannya, perdagangan bebas komoditas strategis seperti pangan akan berdampak buruk bagi kemandirian pangan dan sektor pertanian. "Secara umum, Indonesia akan merugi karena memang mayoritas petani kita belum siap bersaing akibat pemerintah mengabaikan pembangunan pertanian selama bertahun-tahun," jelas dia.
Akibatnya, imbuh Henry, blok perdagangan bebas akan menimbulkan ketimpangan yang luar biasa karena Indonesia akan lebih banyak kebanjiran pangan impor dengan kualitas yang lebih kompetitif dari sisi harga maupun kualitas ketimbang kenaikan ekspor yang umumnya komoditas primer yang bisa habis. "Kecuali jika petani kita seperti Jepang, yang mendapat subsidi besar dari pemerintah dan dilindungi dengan penerapan bea masuk impor pangan yang tinggi," kata dia. Selain mengurangi impor pangan dan memperkuat sektor pertanian, Aris menambahkan kemandirian pangan bisa dilakukan melalui rekayasa atau diversifi kasi pangan selain beras dari bahan yang banyak dijumpai di Tanah Air seperti ubi dan singkong. YK/aan/sur/WP sumber http://bit.ly/uTsgbi
Baca Selanjutnya......
16.10.11
Dampak Berantai Impor Kentang Memukul Petani
Slogan Mendag Hanya Basa-basi
RMOL.Belum selesai kontroversi kebijakan terkait ekspor rotan, kini Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali menuai kontroversi melalui kebijakan impor kentang. Slogan 100 persen cinta produk Indonesia yang sering dinyanyikan Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Elka Pangestu pun dipertanyakan.
Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub mengatakan, kebijakan impor kentang oleh Kemendag sangat memukul petani kecil. Impor kentang dari China lebih murah ketimbang harga yang dijual petani lokal. Hal itu disebabkan negara asal impor memberikan subsidi sebesar 20 persen. Sementara petani Indonesia hanya disubsidi pupuk urea.
“Impor ini tidak hanya merugikan petani melainkan juga mematikan sektor kecil. Petani kita kan hanya memiliki lahan yang terbatas. Sementara skala usaha importir lebih luas. Jelas kita tidak bisa bersaing. Harusnya pemerintah meningkatkan produktivitas petani, bukan dengan impor,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut Achmad, skala impor sepanjang semester I tahun ini sudah melebihi tahun lalu. Tahun 2010, impor kentang mencapai 17 ribu ton. Sementara untuk periode Januari-Juli 2011, impor sudah mencapai 19 ribu ton. Dia kecewa karena kebijakan impor ini tidak pernah meminta pendapat petani. Selain itu, Kemendag juga dinilai minim koordinasi dengan kementerian terkait.
“Kemendag terbukti tidak menjalankan koordinasi yang baik dengan Kemenko dan Kementerian Pertanian,” katanya. Sebelumnya, ratusan petani kentang dari Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, marah dan berdemo di kantor Menteri Perdagangan. Mereka menuntut Mendag menghentikan impor kentang dan sayur. Akibat serbuan produk impor itu, harga kentang lokal anjlok.
“Kami menuntut Menteri Perdagangan menghentikan impor kentang,” teriak Koordinator Asosiasi Petani Kentang M Mudasir di sela-sela aksi unjuk rasa di depan kantor Mendag. Petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kentang ini menuturkan, sejak pertengahan September, harga jual kentang di tingkat petani anjlok hingga 50 persen akibat serbuan kentang dari China dan Bangladesh. Harga normal kentang sebesar Rp 5.500-6.000 per kg, anjlok menjadi Rp 2.500-3.500 per kg. Penurunan harga itu membuat modal petani tidak kembali.
Anggota Komisi IV DPR Rofi Munawar mengecam kebijakan Mendag Mari Elka Pangestu yang membiarkan impor kentang. “Ibu Mendag nampaknya tidak punya solusi lain dalam menstabilkan harga komoditas pertanian, selain dengan impor. Kebijakan perdagangan selalu dihiasi dengan impor, bawang putih impor, buncis impor dan beras impor,” kata Rofi. Kasus impor kentang ini seolah berlawanan dengan slogan Kemendag untuk mencintai produk dalam negeri. Kemendag melakukan kampanye 100 persen Aku Cinta Indonesia (ACI) melalui album kompilasi musik ACI.
“Peluncuran album ACI ini merupakan salah satu wujud nyata untuk menumbuhkan nasionalisme dan rasa cinta dari masyarakat akan Indonesia,” cetus Mari. Padahal, peduli dengan petani Kentang sebetulnya juga bagian cinta produk dalam negeri Bu. [rm] sumber: Rakyat Merdeka Baca Selanjutnya......
RMOL.Belum selesai kontroversi kebijakan terkait ekspor rotan, kini Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali menuai kontroversi melalui kebijakan impor kentang. Slogan 100 persen cinta produk Indonesia yang sering dinyanyikan Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Elka Pangestu pun dipertanyakan.
Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub mengatakan, kebijakan impor kentang oleh Kemendag sangat memukul petani kecil. Impor kentang dari China lebih murah ketimbang harga yang dijual petani lokal. Hal itu disebabkan negara asal impor memberikan subsidi sebesar 20 persen. Sementara petani Indonesia hanya disubsidi pupuk urea.
“Impor ini tidak hanya merugikan petani melainkan juga mematikan sektor kecil. Petani kita kan hanya memiliki lahan yang terbatas. Sementara skala usaha importir lebih luas. Jelas kita tidak bisa bersaing. Harusnya pemerintah meningkatkan produktivitas petani, bukan dengan impor,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut Achmad, skala impor sepanjang semester I tahun ini sudah melebihi tahun lalu. Tahun 2010, impor kentang mencapai 17 ribu ton. Sementara untuk periode Januari-Juli 2011, impor sudah mencapai 19 ribu ton. Dia kecewa karena kebijakan impor ini tidak pernah meminta pendapat petani. Selain itu, Kemendag juga dinilai minim koordinasi dengan kementerian terkait.
“Kemendag terbukti tidak menjalankan koordinasi yang baik dengan Kemenko dan Kementerian Pertanian,” katanya. Sebelumnya, ratusan petani kentang dari Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, marah dan berdemo di kantor Menteri Perdagangan. Mereka menuntut Mendag menghentikan impor kentang dan sayur. Akibat serbuan produk impor itu, harga kentang lokal anjlok.
“Kami menuntut Menteri Perdagangan menghentikan impor kentang,” teriak Koordinator Asosiasi Petani Kentang M Mudasir di sela-sela aksi unjuk rasa di depan kantor Mendag. Petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kentang ini menuturkan, sejak pertengahan September, harga jual kentang di tingkat petani anjlok hingga 50 persen akibat serbuan kentang dari China dan Bangladesh. Harga normal kentang sebesar Rp 5.500-6.000 per kg, anjlok menjadi Rp 2.500-3.500 per kg. Penurunan harga itu membuat modal petani tidak kembali.
Anggota Komisi IV DPR Rofi Munawar mengecam kebijakan Mendag Mari Elka Pangestu yang membiarkan impor kentang. “Ibu Mendag nampaknya tidak punya solusi lain dalam menstabilkan harga komoditas pertanian, selain dengan impor. Kebijakan perdagangan selalu dihiasi dengan impor, bawang putih impor, buncis impor dan beras impor,” kata Rofi. Kasus impor kentang ini seolah berlawanan dengan slogan Kemendag untuk mencintai produk dalam negeri. Kemendag melakukan kampanye 100 persen Aku Cinta Indonesia (ACI) melalui album kompilasi musik ACI.
“Peluncuran album ACI ini merupakan salah satu wujud nyata untuk menumbuhkan nasionalisme dan rasa cinta dari masyarakat akan Indonesia,” cetus Mari. Padahal, peduli dengan petani Kentang sebetulnya juga bagian cinta produk dalam negeri Bu. [rm] sumber: Rakyat Merdeka Baca Selanjutnya......
11.10.11
Serikat Petani Minta Pemerintah Hentikan Impor Kentang
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub meminta kementerian perdagangan menghentikan impor kentang, baik dari China dan Bangladesh. Pemerintah diminta fokus pada peningkatan produksi petani.
"Kita minta kementerian stop impor kentang," kata Yakub pada wartawan di kantor sekretariat Serikat Petani Indonesia, Senin, 10 Oktober 2011.
Yakub menyatakan, impor kentang dari China dan Bangladesh tersebut sudah mulai dirasakan sejak awal bulan Oktober ini. Berdasar penelusuran SPI di lapangan, harga kentang Cina dan Bangladesh tersebut diual di bawah harga kentang lokal, yakni Rp 2.200. Kentang produksi lokal di pasaran biasanya ditawarkan dengan harga Rp 5.500-6.000.
Masuknya kentang impor dua negara tersebut, pedagang kentang terpaksa menurunkan harga hingga Rp 4.000. Padahal, menurut Yakub, petani bisa memperoleh imbal hasil yang cukup jika kentang produksinya dijual dengan harga di atas Rp 4.000 di pasar.
Saat ini biaya produksi per satu musim tanam mencapai Rp 54 juta, dengan hasil panen kentang sebanyak 1,5 ton. Komponen produksi itu termasuk biaya bibit kentang Rp 12 ribu per kilogram. "Setidaknya untuk mendapat untung, petani menjual Rp 5.000 per kilogram," ujar Yakub.
Permasalahan kentang impor bukan hanya masalah harga yang terlalu murah. Tapi juga bentuk kentang yang diimpor. "Biasanya kentang impor dalam bentuk olahan, sekarang kentang yang diimpor dalam bentuk non-olahan," ujar Yakub.
Jika keadaan ini terus menerus berlangsung, Yakub khawatir, petani kentang akan terus terjepit dan kehilangan inisiatif. Lalu produksinya terus menurun seperti yang terjadi pada petani kedelai.
SPI sudah melayangkan surat protes ke Kementerian Perdagangan 6 Oktober lalu. Tapi surat itu belum direspons hingga saat ini. Bahkan, saat dilakukan pengecekan ke Kementerian Pertanian, tidak ada rekomendasi mengenai impor kentang tersebut. "Seharusnya, mekanismenya, sebelum ada impor pangan, harus ada rekomendasi dari kementerian pertanian. Kebutuhan kita cukup atau tidak ? Bisa masuk ke mana saja ? Ini kentang malah masuk ke sentra pasar," ujar Yakub.
Impor kentang masuk dalam 550 pos tarif 0 persen yang diatur dalam ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area). ACFTA ditandatangan sejak 2006 dan mulai berlaku sejak 2010.
Peneliti Jaringan Negara Dunia Ketiga atau World Third Network Lutfiyah Hanim menyatakan, perjanjian bilateral seperti ACFTA ini jadi sektor pertanian tidak memiliki jaringan pengaman yang cukup untuk sektor pertanian. Terutama pada klausul pos tarif.
"Harusnya yang disebut perlindungan di sektor pertanian itu ada di pos tarif. Harusnya jangan nol," ujar Lutfi saat ditemui di kesempatan yang sama. Dan pemberlakukan pos tarif tidak dipukul rata untuk semua komoditas.
FEBRIANA FIRDAUS
sumber http://www.tempo.co/read/news/2011/10/10/090360693/Serikat-Petani-Minta-Pemerintah-Hentikan-Impor-Kentang
Baca Selanjutnya......
"Kita minta kementerian stop impor kentang," kata Yakub pada wartawan di kantor sekretariat Serikat Petani Indonesia, Senin, 10 Oktober 2011.
Yakub menyatakan, impor kentang dari China dan Bangladesh tersebut sudah mulai dirasakan sejak awal bulan Oktober ini. Berdasar penelusuran SPI di lapangan, harga kentang Cina dan Bangladesh tersebut diual di bawah harga kentang lokal, yakni Rp 2.200. Kentang produksi lokal di pasaran biasanya ditawarkan dengan harga Rp 5.500-6.000.
Masuknya kentang impor dua negara tersebut, pedagang kentang terpaksa menurunkan harga hingga Rp 4.000. Padahal, menurut Yakub, petani bisa memperoleh imbal hasil yang cukup jika kentang produksinya dijual dengan harga di atas Rp 4.000 di pasar.
Saat ini biaya produksi per satu musim tanam mencapai Rp 54 juta, dengan hasil panen kentang sebanyak 1,5 ton. Komponen produksi itu termasuk biaya bibit kentang Rp 12 ribu per kilogram. "Setidaknya untuk mendapat untung, petani menjual Rp 5.000 per kilogram," ujar Yakub.
Permasalahan kentang impor bukan hanya masalah harga yang terlalu murah. Tapi juga bentuk kentang yang diimpor. "Biasanya kentang impor dalam bentuk olahan, sekarang kentang yang diimpor dalam bentuk non-olahan," ujar Yakub.
Jika keadaan ini terus menerus berlangsung, Yakub khawatir, petani kentang akan terus terjepit dan kehilangan inisiatif. Lalu produksinya terus menurun seperti yang terjadi pada petani kedelai.
SPI sudah melayangkan surat protes ke Kementerian Perdagangan 6 Oktober lalu. Tapi surat itu belum direspons hingga saat ini. Bahkan, saat dilakukan pengecekan ke Kementerian Pertanian, tidak ada rekomendasi mengenai impor kentang tersebut. "Seharusnya, mekanismenya, sebelum ada impor pangan, harus ada rekomendasi dari kementerian pertanian. Kebutuhan kita cukup atau tidak ? Bisa masuk ke mana saja ? Ini kentang malah masuk ke sentra pasar," ujar Yakub.
Impor kentang masuk dalam 550 pos tarif 0 persen yang diatur dalam ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area). ACFTA ditandatangan sejak 2006 dan mulai berlaku sejak 2010.
Peneliti Jaringan Negara Dunia Ketiga atau World Third Network Lutfiyah Hanim menyatakan, perjanjian bilateral seperti ACFTA ini jadi sektor pertanian tidak memiliki jaringan pengaman yang cukup untuk sektor pertanian. Terutama pada klausul pos tarif.
"Harusnya yang disebut perlindungan di sektor pertanian itu ada di pos tarif. Harusnya jangan nol," ujar Lutfi saat ditemui di kesempatan yang sama. Dan pemberlakukan pos tarif tidak dipukul rata untuk semua komoditas.
FEBRIANA FIRDAUS
sumber http://www.tempo.co/read/news/2011/10/10/090360693/Serikat-Petani-Minta-Pemerintah-Hentikan-Impor-Kentang
Baca Selanjutnya......
10.10.11
CEPA dapat matikan sektor agribisnis Indonesia
Oleh Gloria Natalia
Senin, 10 Oktober 2011
http://www.bisnis.com/articles/cepa-dapat-matikan-sektor-agribisnis-indonesia
JAKARTA: Sejumlah organisasi menilai Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa dapat mematikan pertumbuhan ekonomi sektor agribisnis di Indonesia. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub mengatakan ketentuan CEPA yang menurunkan 95% jenis tarif menuju 0% menyebabkan produk-produk pertanian dari Uni Eropa yang berkualitas baik dapat mudah masuk ke Indonesia.
Dampaknya, dapat meminggirkan produk pertanian Indonesia yang kualitasnya masih rendah. Contohnya, benih kentang granola G4 saja masih diimpor Indonesia. Benih itu kemudian ditanam dan disortir untuk diperoleh benih baru dengan kualitas rendah dibandingkan kualitas sebelumnya. Hasilnya, petani memproduksi kentang berkualitas buruk.
Menurut Yakub, ketika kentang lokal digempur kentang impor dari China yang harganya lebih murah petani Indonesia sudah sengsara. Dia menilai kondisi seperti ini akan terjadi di banyak komoditi pertanian lain bila CEPA diimplementasikan. “Dampaknya ketahanan pangan menjadi tidak stabil. Ini bisa terjadi di komoditas hortikultura dan beras juga, bahkan susu,” katanya di Jakarta hari ini.
Peneliti dari Third Wolrd Network Lutfiah Hanim mengatakan tidak hanya bahan mentah saja, barang setengah jadi dan barang jadi dari Uni Eropa juga mengancam produksi Indonesia. Produk dari Uni Eropa berpotensi masuk Indonesia dengan kuantitas besar dan berharga murah. Dampaknya, produk produk-produk Indonesia semakin terpinggirkan. Kondisi ini bisa terjadi lantaran subsidi pemerintah Uni Eropa terhadap sektor pertanian di sana besar. Dia mencontohkan seorang petani di Uni Eropa memiliki 40 ha lahan pertanian dengan suntikan subsidi besar dari pemerintah. “Sedangkan petani Indonesia punya lahan kecil. Malah lebih banyak petani kita tidak punya lahan. Ketika produk Uni Eropa masuk Indonesia sudah pasti produk pertanian kita kalah,” kata Lutfiah.(api) Baca Selanjutnya......
http://www.bisnis.com/articles/cepa-dapat-matikan-sektor-agribisnis-indonesia
JAKARTA: Sejumlah organisasi menilai Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa dapat mematikan pertumbuhan ekonomi sektor agribisnis di Indonesia. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub mengatakan ketentuan CEPA yang menurunkan 95% jenis tarif menuju 0% menyebabkan produk-produk pertanian dari Uni Eropa yang berkualitas baik dapat mudah masuk ke Indonesia.
Dampaknya, dapat meminggirkan produk pertanian Indonesia yang kualitasnya masih rendah. Contohnya, benih kentang granola G4 saja masih diimpor Indonesia. Benih itu kemudian ditanam dan disortir untuk diperoleh benih baru dengan kualitas rendah dibandingkan kualitas sebelumnya. Hasilnya, petani memproduksi kentang berkualitas buruk.
Menurut Yakub, ketika kentang lokal digempur kentang impor dari China yang harganya lebih murah petani Indonesia sudah sengsara. Dia menilai kondisi seperti ini akan terjadi di banyak komoditi pertanian lain bila CEPA diimplementasikan. “Dampaknya ketahanan pangan menjadi tidak stabil. Ini bisa terjadi di komoditas hortikultura dan beras juga, bahkan susu,” katanya di Jakarta hari ini.
Peneliti dari Third Wolrd Network Lutfiah Hanim mengatakan tidak hanya bahan mentah saja, barang setengah jadi dan barang jadi dari Uni Eropa juga mengancam produksi Indonesia. Produk dari Uni Eropa berpotensi masuk Indonesia dengan kuantitas besar dan berharga murah. Dampaknya, produk produk-produk Indonesia semakin terpinggirkan. Kondisi ini bisa terjadi lantaran subsidi pemerintah Uni Eropa terhadap sektor pertanian di sana besar. Dia mencontohkan seorang petani di Uni Eropa memiliki 40 ha lahan pertanian dengan suntikan subsidi besar dari pemerintah. “Sedangkan petani Indonesia punya lahan kecil. Malah lebih banyak petani kita tidak punya lahan. Ketika produk Uni Eropa masuk Indonesia sudah pasti produk pertanian kita kalah,” kata Lutfiah.(api) Baca Selanjutnya......
25.9.11
Dana Ketahanan Pangan Rawan Diselewengkan
Masih Banyak Petani Sulit Mengakses Bantuan Gagal Panen
Minggu, 25 September 2011 , RMOL.
Dana ketahanan pangan yang digelontorkan pemerintah rawan penyelewengan. Pasalnya, hingga kini dana buat mengganti gagal panen itu banyak yang belum sampai ke tangan petani. Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub mengeluhkan lambannya proses pencairan dana bantuan tersebut.
“Kami mengeluhkan janji Inpres tentang program bantuan pemerintah April lalu akibat iklim ekstrim. Untuk itu petani mengalami kesulitan akses,” kata Yakub kepada Rakyat Merdeka. Yakub mengaku mendapat laporan dari anggota SPI di wilayah Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, juga petani di wilayah Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang gagal panen. Dia mengatakan, ketika para petani itu hendak mencairkan dana bantuan gagal panen ke dinas pertanian setempat, pihak terkait tidak tahu soal ketentuan tersebut, malah bingung bagaimana cara mengaksesnya.
“Petani di daerah banyak yang belum menerima bantuan dana tersebut. Aparaturnya sendiri tidak mengerti ada aturan, itu kan aneh. Berarti di internal mereka tidak siap. Kok bisa begitu, kami jadi khawatir dana itu rawan diselewengkan,” ucap Yakub. Dia menganggap, sosialisasi bantuan buat petani tidak maksimal. Itu sebabnya, dia meminta Menteri Pertanian (Mentan) Suswono memobilisasi aparatnya di daerah untuk melayani petani yang gagal panen supaya dana itu lekas tersalurkan. “Sejak awal kita sudah mewanti-wanti, janji ini sifatnya materil. Pasti sangat dinantikan petani yang mengalami bencana karena tiap tahun bakal ada petani yang gagal panen,” tegas Yakub.
Yakub mengimbau, setiap kebijakan yang dikeluarkan Mentan melibatkan ormas-ormas pertanian. Apalagi, kemungkinan penyimpangan itu selalu ada. Ia juga berharap, dana tersebut bisa digunakan untuk pengembangan teknologi pertanian, pengadaan benih lokal yang bagus dan jaminan harga serta jaminan bila terjadi bencana atau hama.
Pengamat pertanian Bustanul Arifin meyakini swasembada yang dicanangkan pemerintah akan terus bermasalah selama masih ada persoalan produksi dan struktural di tingkat petani. Dia berharap, anggaran yang diusulkan Kementerian Pertanian (Kementan) diarahkan untuk kegiatan yang fokus pada kesejahteraan petani. “Ketahanan pangan di negara kita masih mengkhawatirkan. Saya pikir ini harus ditangani serius, dan solusinya bukan semata pada besarnya anggaran ketahanan pangan,” ujarnya.
Anggota Komisi IV DPR Rofi’ Munawar mempertanyakan target surplus 10 juta ton beras hingga 2015, mengingat data kekeringan yang terjadi pada 2010 masih terdapat 96.721 hektar area tanaman padi yang mengalami kekeringan. Sedangkan untuk tahun ini, hingga Agustus area tanaman padi yang mengalami kekeringan mencapai 95.891 hektar. “Trend kekeringan area tanaman terus meningkat. Ini mengancam pencapaian target surplus 10 juta ton beras yang diinginkan Presiden,” ujar Rofi’. Seperti diketahui, Inpres No.5 Tahun 2011 terkait pengamanan produksi beras nasional dalam menghadapi iklim ekstrim sudah terbit. Inpres ini mengamanatkan pendistribusian bantuan kepada petani seperti bantuan benih, pupuk, pestisida dan bantuan usaha tani bagi daerah yang terkena puso atau gagal panen. Untuk itu, pemerintah siapkan Rp 3 triliun, dengan rincian Rp 1 triliun untuk stabilisasi pangan dan harga, Rp 2 triliun untuk dana darurat ketahanan pangan terkait perubahan iklim. Belum semuanya tersalurkan, pemerintah berencana lagi menambah dana kesiagaan untuk pangan (kontigensi) sebesar Rp 3 triliun pada tahun 2012. Salah satunya untuk mendorong surplus beras 10 juta ton pada 2015. [rm] sumber http://t.co/JRGdTnWD Baca Selanjutnya......
Minggu, 25 September 2011 , RMOL.
Dana ketahanan pangan yang digelontorkan pemerintah rawan penyelewengan. Pasalnya, hingga kini dana buat mengganti gagal panen itu banyak yang belum sampai ke tangan petani. Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub mengeluhkan lambannya proses pencairan dana bantuan tersebut.
“Kami mengeluhkan janji Inpres tentang program bantuan pemerintah April lalu akibat iklim ekstrim. Untuk itu petani mengalami kesulitan akses,” kata Yakub kepada Rakyat Merdeka. Yakub mengaku mendapat laporan dari anggota SPI di wilayah Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, juga petani di wilayah Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang gagal panen. Dia mengatakan, ketika para petani itu hendak mencairkan dana bantuan gagal panen ke dinas pertanian setempat, pihak terkait tidak tahu soal ketentuan tersebut, malah bingung bagaimana cara mengaksesnya.
“Petani di daerah banyak yang belum menerima bantuan dana tersebut. Aparaturnya sendiri tidak mengerti ada aturan, itu kan aneh. Berarti di internal mereka tidak siap. Kok bisa begitu, kami jadi khawatir dana itu rawan diselewengkan,” ucap Yakub. Dia menganggap, sosialisasi bantuan buat petani tidak maksimal. Itu sebabnya, dia meminta Menteri Pertanian (Mentan) Suswono memobilisasi aparatnya di daerah untuk melayani petani yang gagal panen supaya dana itu lekas tersalurkan. “Sejak awal kita sudah mewanti-wanti, janji ini sifatnya materil. Pasti sangat dinantikan petani yang mengalami bencana karena tiap tahun bakal ada petani yang gagal panen,” tegas Yakub.
Yakub mengimbau, setiap kebijakan yang dikeluarkan Mentan melibatkan ormas-ormas pertanian. Apalagi, kemungkinan penyimpangan itu selalu ada. Ia juga berharap, dana tersebut bisa digunakan untuk pengembangan teknologi pertanian, pengadaan benih lokal yang bagus dan jaminan harga serta jaminan bila terjadi bencana atau hama.
Pengamat pertanian Bustanul Arifin meyakini swasembada yang dicanangkan pemerintah akan terus bermasalah selama masih ada persoalan produksi dan struktural di tingkat petani. Dia berharap, anggaran yang diusulkan Kementerian Pertanian (Kementan) diarahkan untuk kegiatan yang fokus pada kesejahteraan petani. “Ketahanan pangan di negara kita masih mengkhawatirkan. Saya pikir ini harus ditangani serius, dan solusinya bukan semata pada besarnya anggaran ketahanan pangan,” ujarnya.
Anggota Komisi IV DPR Rofi’ Munawar mempertanyakan target surplus 10 juta ton beras hingga 2015, mengingat data kekeringan yang terjadi pada 2010 masih terdapat 96.721 hektar area tanaman padi yang mengalami kekeringan. Sedangkan untuk tahun ini, hingga Agustus area tanaman padi yang mengalami kekeringan mencapai 95.891 hektar. “Trend kekeringan area tanaman terus meningkat. Ini mengancam pencapaian target surplus 10 juta ton beras yang diinginkan Presiden,” ujar Rofi’. Seperti diketahui, Inpres No.5 Tahun 2011 terkait pengamanan produksi beras nasional dalam menghadapi iklim ekstrim sudah terbit. Inpres ini mengamanatkan pendistribusian bantuan kepada petani seperti bantuan benih, pupuk, pestisida dan bantuan usaha tani bagi daerah yang terkena puso atau gagal panen. Untuk itu, pemerintah siapkan Rp 3 triliun, dengan rincian Rp 1 triliun untuk stabilisasi pangan dan harga, Rp 2 triliun untuk dana darurat ketahanan pangan terkait perubahan iklim. Belum semuanya tersalurkan, pemerintah berencana lagi menambah dana kesiagaan untuk pangan (kontigensi) sebesar Rp 3 triliun pada tahun 2012. Salah satunya untuk mendorong surplus beras 10 juta ton pada 2015. [rm] sumber http://t.co/JRGdTnWD Baca Selanjutnya......
5.7.11
Industrialisasi Pertanian Bisa Atasi Kemiskinan
Kesenjangan Ekonomi I Ketahanan Pangan Mesti Searah dengan Kesejahteraan Petani
JAKARTA - Pemerintah diperkirakan gagal mengatasi masalah kemiskinan jika tidak mampu membangun industri hasil pertanian secara modern dan hanya mengandalkan ekspor komoditas primer. Pasalnya, sekitar 60 persen penduduk Indonesia dan mayoritas penduduk miskin tinggal di perdesaan dan mengandalkan hidupnya dari sektor pertanian. Pengamat pertanian, HS Dillon, mengemukakan program ekonomi yang disusun pemerintah selama ini tidak berhasil meningkatkaan standar hidup rakyat. Akibatnya, Indonesia tidak bisa lebih maju, bahkan menjadi labil, sehingga jumlah orang miskin akan terus bertambah. "Seharusnya pemerintah membuat suatu aturan yang pro petani. Selama ini, produk pertanian dari dalam negeri banyak yang diekspor dalam bentuk bahan baku sehingga tidak memberikan nilai tambah," kata Dillon di Jakarta, Senin (4/7).
Menurut Dillon, sistem pertanian di dalam negeri masih mengadopsi sistem zaman penjajahan Belanda. Pemerintah diharapkan membangun industri hilir dan menghentikan ekspor bahan baku. "Pembangunan di sektor pertanian harus ditingkatkan dengan membangun pabrik pengolahan yang memberikan nilai tambah dan mampu meningkatkan daya saing. Kebijakan ekspor bahan baku pertanian seperti kopi, kelapa sawit, serta kakao harus segera dihentikan," tegas
Dillon.
Senada dengan Dillon, Ketua Departeman Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub mengatakan sejak Orde Baru hingga masa reformasi negara belum pernah secara nyata memihak kepada industri rakyat. Sebaliknya, negara justru selalu berpihak kepada sosok industriawan dalam negeri yang berwatak eksploitatif daripada pengusaha yang inovatif.
"Kita bisa lihat bagaimana berkuasanya sekarang pengusaha tambang batu bara atau pengusaha kelapa sawit dibandingkan pengusaha di sektor lain. Padahal, batu bara dan sawit hanya mengeksploitasi SDA (sumber daya alam) kita. Yang ada hanya keruk dan jual," kata Yakub. Ia menyatakan fakta bahwa pertanian di negeri ini hancur, padahal 60 persen penduduk negeri ini adalah petani, menunjukkan kebijakan ekonomi hanya mengabdi pada rente yang sangat bias perkotaan.
Pemerintah, sampai hari ini, belum mampu menyelesaikan ketersediaan lahan yang sangat kecil bagi pertanian, meski negeri ini masih memiliki jutaan lahan telantar. Sebaliknya, sumber dana pembangunan selama ini lebih banyak diarahkan untuk sektor yang konsumtif, seperti membangun gedung dan pusat perbelanjaan. Akibatnya, saat ini Indonesia bisa dikatakan sebagai negara dengan jumlah mal terbanyak di dunia, mengalahkan negara-negara maju. Menurut Yakub, jika pemerintah serius membangun sektor pertanian, selain penyerapan tenaga kerja dalam jangka panjang akan lebih banyak, perputaran uang di perdesaan juga bakal menumbuhkan perekonomian desa. Dillon menambahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, pemerintah harus meningkatkan kemampuan sumber daya manusia sehingga sektor pendidikan juga perlu dibenahi. "Pemerintah harus meningkatkan kemampuan petani dengan memberikan penyuluhan dan pendidikan mengenai pola tanam yang baik. Selain itu, perlu dibangun sekolah kejuruan tentang pertanian agar masyarakat bisa membangun perdesaan," jelas dia.
Industri Hilir
Pengamat pertanian dari Universitas Lampung (Unila), Bustanul Arifin, mengatakan program ketahanan pangan yang disasar pemerintah tidak ada artinya kalau pada saat bersamaan kesejahteraan petani justru menurun. Bahkan, ada kecenderungan petani semakin miskin akibat rendahnya daya beli termakan oleh inflasi.
"Ketahanan pangan jangan sampai membawa dampak bagi kearifan lokal. Selain itu, pembangunan industri hilir masih kurang maksimal sehingga banyak produk pertanian yang belum memiliki nilai tambah," kata Bustanul.
Menurut dia, pemerintah harus meningkatkan program hilirisasi industri, khususnya di sektor pertanian, untuk menjamin peningkatan kesejahteraan petani. "Pangan bukan hanya beras, namun semua komoditas pertanian. Selain itu, akses masyarakat miskin terhadap pangan juga harus diperhatikan," ujar Bustanul.
Ia mengungkapkan kelompok masyarakat miskin di Indonesia mayoritas adalah petani. Karena itu, akan sangat sulit kalau petani sulit mengakses pangan. "Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah stabilitas harga di pasar serta keamanan pangan. Selama ini, produsen besar cenderung mengambil bahan baku untuk diekspor dan pemerintah kurang tegas terhadap masalah tersebut," tegas dia.
Sementara itu, staf pengajar Lemhanas John Palinggi mengatakan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sangat melukai rasa keadilan rakyat Indonesia. Selain harus ikut menanggung beban utang, rakyat miskin juga kehilangan kesempatan menikmati anggaran pembangunan negara yang telah tersedot untuk membayar bunga obligasi eks BLBI setiap tahun. Ia menambahkan belakangan ini kredit perbankan cenderung diarahkan untuk industri dan sektor properti karena kekuatan ekonomi saat ini dikuasai oleh sekelompok orang. "Ada sindikasi yang menguasai ekonomi kita saat ini. Dan ini sangat berbahaya untuk jangka panjang," papar John. lex/ind/fan/YK/WP sumber http://bit.ly/mCoKws Baca Selanjutnya......
JAKARTA - Pemerintah diperkirakan gagal mengatasi masalah kemiskinan jika tidak mampu membangun industri hasil pertanian secara modern dan hanya mengandalkan ekspor komoditas primer. Pasalnya, sekitar 60 persen penduduk Indonesia dan mayoritas penduduk miskin tinggal di perdesaan dan mengandalkan hidupnya dari sektor pertanian. Pengamat pertanian, HS Dillon, mengemukakan program ekonomi yang disusun pemerintah selama ini tidak berhasil meningkatkaan standar hidup rakyat. Akibatnya, Indonesia tidak bisa lebih maju, bahkan menjadi labil, sehingga jumlah orang miskin akan terus bertambah. "Seharusnya pemerintah membuat suatu aturan yang pro petani. Selama ini, produk pertanian dari dalam negeri banyak yang diekspor dalam bentuk bahan baku sehingga tidak memberikan nilai tambah," kata Dillon di Jakarta, Senin (4/7).
Menurut Dillon, sistem pertanian di dalam negeri masih mengadopsi sistem zaman penjajahan Belanda. Pemerintah diharapkan membangun industri hilir dan menghentikan ekspor bahan baku. "Pembangunan di sektor pertanian harus ditingkatkan dengan membangun pabrik pengolahan yang memberikan nilai tambah dan mampu meningkatkan daya saing. Kebijakan ekspor bahan baku pertanian seperti kopi, kelapa sawit, serta kakao harus segera dihentikan," tegas
Dillon.
Senada dengan Dillon, Ketua Departeman Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub mengatakan sejak Orde Baru hingga masa reformasi negara belum pernah secara nyata memihak kepada industri rakyat. Sebaliknya, negara justru selalu berpihak kepada sosok industriawan dalam negeri yang berwatak eksploitatif daripada pengusaha yang inovatif.
"Kita bisa lihat bagaimana berkuasanya sekarang pengusaha tambang batu bara atau pengusaha kelapa sawit dibandingkan pengusaha di sektor lain. Padahal, batu bara dan sawit hanya mengeksploitasi SDA (sumber daya alam) kita. Yang ada hanya keruk dan jual," kata Yakub. Ia menyatakan fakta bahwa pertanian di negeri ini hancur, padahal 60 persen penduduk negeri ini adalah petani, menunjukkan kebijakan ekonomi hanya mengabdi pada rente yang sangat bias perkotaan.
Pemerintah, sampai hari ini, belum mampu menyelesaikan ketersediaan lahan yang sangat kecil bagi pertanian, meski negeri ini masih memiliki jutaan lahan telantar. Sebaliknya, sumber dana pembangunan selama ini lebih banyak diarahkan untuk sektor yang konsumtif, seperti membangun gedung dan pusat perbelanjaan. Akibatnya, saat ini Indonesia bisa dikatakan sebagai negara dengan jumlah mal terbanyak di dunia, mengalahkan negara-negara maju. Menurut Yakub, jika pemerintah serius membangun sektor pertanian, selain penyerapan tenaga kerja dalam jangka panjang akan lebih banyak, perputaran uang di perdesaan juga bakal menumbuhkan perekonomian desa. Dillon menambahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, pemerintah harus meningkatkan kemampuan sumber daya manusia sehingga sektor pendidikan juga perlu dibenahi. "Pemerintah harus meningkatkan kemampuan petani dengan memberikan penyuluhan dan pendidikan mengenai pola tanam yang baik. Selain itu, perlu dibangun sekolah kejuruan tentang pertanian agar masyarakat bisa membangun perdesaan," jelas dia.
Industri Hilir
Pengamat pertanian dari Universitas Lampung (Unila), Bustanul Arifin, mengatakan program ketahanan pangan yang disasar pemerintah tidak ada artinya kalau pada saat bersamaan kesejahteraan petani justru menurun. Bahkan, ada kecenderungan petani semakin miskin akibat rendahnya daya beli termakan oleh inflasi.
"Ketahanan pangan jangan sampai membawa dampak bagi kearifan lokal. Selain itu, pembangunan industri hilir masih kurang maksimal sehingga banyak produk pertanian yang belum memiliki nilai tambah," kata Bustanul.
Menurut dia, pemerintah harus meningkatkan program hilirisasi industri, khususnya di sektor pertanian, untuk menjamin peningkatan kesejahteraan petani. "Pangan bukan hanya beras, namun semua komoditas pertanian. Selain itu, akses masyarakat miskin terhadap pangan juga harus diperhatikan," ujar Bustanul.
Ia mengungkapkan kelompok masyarakat miskin di Indonesia mayoritas adalah petani. Karena itu, akan sangat sulit kalau petani sulit mengakses pangan. "Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah stabilitas harga di pasar serta keamanan pangan. Selama ini, produsen besar cenderung mengambil bahan baku untuk diekspor dan pemerintah kurang tegas terhadap masalah tersebut," tegas dia.
Sementara itu, staf pengajar Lemhanas John Palinggi mengatakan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sangat melukai rasa keadilan rakyat Indonesia. Selain harus ikut menanggung beban utang, rakyat miskin juga kehilangan kesempatan menikmati anggaran pembangunan negara yang telah tersedot untuk membayar bunga obligasi eks BLBI setiap tahun. Ia menambahkan belakangan ini kredit perbankan cenderung diarahkan untuk industri dan sektor properti karena kekuatan ekonomi saat ini dikuasai oleh sekelompok orang. "Ada sindikasi yang menguasai ekonomi kita saat ini. Dan ini sangat berbahaya untuk jangka panjang," papar John. lex/ind/fan/YK/WP sumber http://bit.ly/mCoKws Baca Selanjutnya......
26.5.11
Saatnya Ubah Paradigma Pembangunan
Kesenjangan Ekonomi| Pendapatan Per Kapita Tak Atasi Kemiskinan
ilustrasi
JAKARTA – Pemerintah diharapkan mengubah paradigma pembangunan ekonomi yang dinilai tidak mampu menjawab persoalan klasik negeri ini, yakni kesenjangan kesejahteraan, dan kemiskinan. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dinilai atraktif belakangan ini ternyata hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat mampu.
Peneliti Ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam, mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi tidak menjawab persoalan kesejahteraan masyarakat. Ini antara lain tecermin dari melebarnya kesenjangan antara kemiskinan dan pengangguran. Jika dilihat dari selisih persentase penurunan kemiskinan dengan pengangguran, terlihat jelas jumlah orang yang bekerja namun berkategori miskin masih cukup besar.
"Contohnya pada 2010, angka kemiskinan 13,33 persen, sedangkan pengangguran 7,41 persen. Artinya ada selisih 5,94 persen dan itu adalah jumlah orang-orang yang bekerja tetapi masih miskin," kata Latif di Jakarta, Rabu (25/5). Dengan kata lain, lanjut Latif, terjadi deviasi yang cukup besar antara penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Idealnya, seperti di negara lain, pengurangan pengangguran sudah otomatis menekan kemiskinan.
"Penyebabnya paradigma kebijakan ekonomi pemerintah yang keliru dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi. Dari tahun ke tahun memang investasi di Tanah Air meningkat, tetapi lebih banyak masuk ke sektor usaha yang rendah penciptaan lapangan kerjanya," ujar Latief. Direktur International Center for Applied Fnance and Economics (InterCAFE) IPB Iman Sugema menambahkan ketimpangan masih belum bisa diatasi dengan baik. Masih ada 15,3 persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan 20 persen penduduk hampir miskin.
"Pemerintah harus mengatasi masalah kemiskinan di dalam negeri. Dengan pendapatan per kapita sebesar 3.000 dollar AS seharusnya penduduk miskin bisa berkurang," ujar Iman. Tidak Mewakili Menyinggung ukuran keberhasilan pembangunan, Deputi Direktur International NGO Forum on Indonesia Development (Infid) Dian Kartikasari mengungkapkan pendekatan pendapatan rakyat berdasarkan produk domestik bruto (PDB) tidak mewakili keseluruhan fakta situasional yang masyarakat miskin rasakan.
"Terbukti, Bank Pembangunan Asia melaporkan di Indonesia diperkirakan sekitar 169 juta rakyat hingga kini belum menikmati akses air bersih," kata dia. Menurut dia, belum meratanya hasil pembangunan dan masih tingginya angka kemiskinan menunjukkan kebijakan pemerataan pembangunan belum membuahkan hasil. Penyebabnya antara lain sistem distribusi pendapatan nasional yang tidak pro kemiskinan. "Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak pro-poor hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja sehingga ini menjadi isu sangat penting dalam menyikapi tingginya angka kemiskinan hingga saat ini," jelas Dian.
Sedangkan Ketua Dept. Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Ya'kub mengatakan pendekatan kesejahteraan atas dasar PDB per kapita adalah matematika keliru untuk menghitung kenyataan kemakmuran di Indonesia. Pasalnya, PDB Indonesia lebih banyak disumbang oleh sektor keuangan dan sektor lain yang padat modal dan teknologi yang minim penyerapan tenaga kerja.
"Kalau mau melihat kenyataan di Indonesia, lihatlah dunia pertanian di mana jumlah tenaga kerja di sektor ini adalah 40 persen dari total angkatan kerja atau 42,8 juta orang dari 107,4 juta orang. Berapa pendapatan mereka?" jelasnya. Dalam hitungan yang pernah dibuat SPI, petani penyewa lahan sebesar 1 hektare dengan biaya sewa 10 juta rupiah per tahun akan mampu panen 3 kali setahun. Dari biaya penjualan gabah atau beras dipotong biaya produksi, hanya didapat angka pendapatan rata-rata hanya 7.500 rupiah per hari.
"Kita ini tak ada strategi penciptaan lapangan kerja, jadi PDB per kapita jelas tak ada hubungannya dengan kemakmuran karena mayoritas pekerja kita menyelesaikan sendiri masalahnya di sektor informal," papar Yakub.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan per kapita Indonesia pada 2010 mencapai 3.000 dollar AS atau sekitar 27 juta rupiah per tahun. Namun, menurut ekonom Hendrawan Supratikno, ketimpangan ekonomi masih lebar. Ini anatara lain karena terjadi perbedaan akses terhadap sumber daya ekonomi. "Ketimpangan juga terlihat dari indeks Gini yang masih 0,33 persen pada 2010 atau tetap di atas 0,3 persen sejak 2007. Ini artinya masih terjadi ketimpangan kesejahteraan di Indonesia," kata Hendrawan. Menurutnya, ketimpangan pendapatan merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. "Disparitas distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan hampir terjadi di semua negara sedang berkembang," ujarnya. lex/fia/ind/YK/WP Baca Selanjutnya......
JAKARTA – Pemerintah diharapkan mengubah paradigma pembangunan ekonomi yang dinilai tidak mampu menjawab persoalan klasik negeri ini, yakni kesenjangan kesejahteraan, dan kemiskinan. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dinilai atraktif belakangan ini ternyata hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat mampu.
Peneliti Ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam, mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi tidak menjawab persoalan kesejahteraan masyarakat. Ini antara lain tecermin dari melebarnya kesenjangan antara kemiskinan dan pengangguran. Jika dilihat dari selisih persentase penurunan kemiskinan dengan pengangguran, terlihat jelas jumlah orang yang bekerja namun berkategori miskin masih cukup besar.
"Contohnya pada 2010, angka kemiskinan 13,33 persen, sedangkan pengangguran 7,41 persen. Artinya ada selisih 5,94 persen dan itu adalah jumlah orang-orang yang bekerja tetapi masih miskin," kata Latif di Jakarta, Rabu (25/5). Dengan kata lain, lanjut Latif, terjadi deviasi yang cukup besar antara penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Idealnya, seperti di negara lain, pengurangan pengangguran sudah otomatis menekan kemiskinan.
"Penyebabnya paradigma kebijakan ekonomi pemerintah yang keliru dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi. Dari tahun ke tahun memang investasi di Tanah Air meningkat, tetapi lebih banyak masuk ke sektor usaha yang rendah penciptaan lapangan kerjanya," ujar Latief. Direktur International Center for Applied Fnance and Economics (InterCAFE) IPB Iman Sugema menambahkan ketimpangan masih belum bisa diatasi dengan baik. Masih ada 15,3 persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan 20 persen penduduk hampir miskin.
"Pemerintah harus mengatasi masalah kemiskinan di dalam negeri. Dengan pendapatan per kapita sebesar 3.000 dollar AS seharusnya penduduk miskin bisa berkurang," ujar Iman. Tidak Mewakili Menyinggung ukuran keberhasilan pembangunan, Deputi Direktur International NGO Forum on Indonesia Development (Infid) Dian Kartikasari mengungkapkan pendekatan pendapatan rakyat berdasarkan produk domestik bruto (PDB) tidak mewakili keseluruhan fakta situasional yang masyarakat miskin rasakan.
"Terbukti, Bank Pembangunan Asia melaporkan di Indonesia diperkirakan sekitar 169 juta rakyat hingga kini belum menikmati akses air bersih," kata dia. Menurut dia, belum meratanya hasil pembangunan dan masih tingginya angka kemiskinan menunjukkan kebijakan pemerataan pembangunan belum membuahkan hasil. Penyebabnya antara lain sistem distribusi pendapatan nasional yang tidak pro kemiskinan. "Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak pro-poor hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja sehingga ini menjadi isu sangat penting dalam menyikapi tingginya angka kemiskinan hingga saat ini," jelas Dian.
Sedangkan Ketua Dept. Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Ya'kub mengatakan pendekatan kesejahteraan atas dasar PDB per kapita adalah matematika keliru untuk menghitung kenyataan kemakmuran di Indonesia. Pasalnya, PDB Indonesia lebih banyak disumbang oleh sektor keuangan dan sektor lain yang padat modal dan teknologi yang minim penyerapan tenaga kerja.
"Kalau mau melihat kenyataan di Indonesia, lihatlah dunia pertanian di mana jumlah tenaga kerja di sektor ini adalah 40 persen dari total angkatan kerja atau 42,8 juta orang dari 107,4 juta orang. Berapa pendapatan mereka?" jelasnya. Dalam hitungan yang pernah dibuat SPI, petani penyewa lahan sebesar 1 hektare dengan biaya sewa 10 juta rupiah per tahun akan mampu panen 3 kali setahun. Dari biaya penjualan gabah atau beras dipotong biaya produksi, hanya didapat angka pendapatan rata-rata hanya 7.500 rupiah per hari.
"Kita ini tak ada strategi penciptaan lapangan kerja, jadi PDB per kapita jelas tak ada hubungannya dengan kemakmuran karena mayoritas pekerja kita menyelesaikan sendiri masalahnya di sektor informal," papar Yakub.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan per kapita Indonesia pada 2010 mencapai 3.000 dollar AS atau sekitar 27 juta rupiah per tahun. Namun, menurut ekonom Hendrawan Supratikno, ketimpangan ekonomi masih lebar. Ini anatara lain karena terjadi perbedaan akses terhadap sumber daya ekonomi. "Ketimpangan juga terlihat dari indeks Gini yang masih 0,33 persen pada 2010 atau tetap di atas 0,3 persen sejak 2007. Ini artinya masih terjadi ketimpangan kesejahteraan di Indonesia," kata Hendrawan. Menurutnya, ketimpangan pendapatan merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. "Disparitas distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan hampir terjadi di semua negara sedang berkembang," ujarnya. lex/fia/ind/YK/WP Baca Selanjutnya......
22.5.11
Program GPPK Buat Petani Diragukan
22 May 2011 Ekonomi Rakyat Merdeka
UPAYA pemerintah memperkenalkan Gerakan Produksi Pangan Sistem Korporasi (GPPK) diragukan keberhasilannya. Pasalnya, beberapa pihak beranggapan pencapaian surplus pangan nasional tak bisa dilakukan instan dengan cara itu. Apalagi jika mekanismenya tak diatur secara benar.
Direktur Institute for Developmeht of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, efektif atau tidaknya program itu bisa terlihat dari mampu tidaknya menyelesaikan pokok persoalan. Menurutnya, masalah yang dihadapi petani sekarang yakni pasokan dan distribusi yang tidak merata. Persoalan utama masalah pangan dalam negeri masih berkutat pada suplai yang lebih rendah dari kebutuhan konsumsi. Pada akhirnya membuat harga fluktuatif (naik turun).
"Kalau program itu tidak bisa menyelesaikan masalah, ya nanti ujungnya sama aja. Lihat saja, program subsidi pupuk dari korporasi, seringkali distribusinya nggak pernah tepat. Kapan pupuk itu dibutuhkan petani tidak ada. Tapi, ketika petani nggak butuh, pupuk itu ada. Kalaupun ada. harganya tidak sesuai dengan harga eceran petani." papar Enny kepada Rakyat Merdeka.
Enny mengatakan, jika pemerintah ingin mengupayakan tidak terjadi krisis pangan, yang dibenahi seharusnya persoalan apa yang saat ini menimpa petani, seperti mahalnya ongkos tenaga kerja di sektor pertanian. "Sudah banyak program yang diluncurkan pemerintah, tapi nggak ada hasilnya. Faktanya, tidak meningkatkan kesejahteraan petani dan tidak juga menyelesaikan persoalan," sindir Enny.
Enny menilai, petani selama ini tidak berdaya karena beban ongkos produksi yang harus ditanggung itu luar biasa. Sementara sistem korporasi yang diluncurkan pemerintah hanya diproyeksikan untuk mengelola output-nya saja. "Petani kita itu masih tradisional. Sistem korporasi bagaimana bisa langsung tune in. sementara petani di sini nggak seperti petani di luar negeri yang terbiasa dikelola secara korporasi. Jika ingin melibatkan korporasi, harusnya ada standarisasi yang jelas-," ujar Enny.
Dewan Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub menyatakan, sudah semestinya negara bahu membahu mengatasi krisis pangan. "Mekanismenya haras jelas.. Nggak boleh asal. Pemerintah punya upaya, sayangnya metodologinya keliru, masih pendekatan korporasi bukan pemberdayaan masyarakatnya.
Pemerintah harusnya mendorong petani supaya tangguh untuk meningkatkan produksi," ujar Yakub. Ia menyayangkan sikap pemerintah yang hanya melakukan pendekatan kepada perusahaan besar dan cenderung mengabaikan pendekatan terhadap kope-rasi-koperasi masyarakat.
Pemerintah melalui sejumlah BUMN memang menyiapkan dana Rp 4,1 triliun hingga 2014 untuk membantu Gerakan Peningkatan Produksi Pangan dan Sinergi Petani (GPPPK). "Dari Rp 4,1 triliun dana untuk membantu program pemerintah meningkatkan ketahanan pangan nasional itu. Rp 1,3-1,5 triliun di antaranya dialokasikan tahun ini," kata Menteri BUMN Mustafa Abubakar. YAN Sumber http://bataviase.co.id/node/683027 Baca Selanjutnya......
UPAYA pemerintah memperkenalkan Gerakan Produksi Pangan Sistem Korporasi (GPPK) diragukan keberhasilannya. Pasalnya, beberapa pihak beranggapan pencapaian surplus pangan nasional tak bisa dilakukan instan dengan cara itu. Apalagi jika mekanismenya tak diatur secara benar.
Direktur Institute for Developmeht of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, efektif atau tidaknya program itu bisa terlihat dari mampu tidaknya menyelesaikan pokok persoalan. Menurutnya, masalah yang dihadapi petani sekarang yakni pasokan dan distribusi yang tidak merata. Persoalan utama masalah pangan dalam negeri masih berkutat pada suplai yang lebih rendah dari kebutuhan konsumsi. Pada akhirnya membuat harga fluktuatif (naik turun).
"Kalau program itu tidak bisa menyelesaikan masalah, ya nanti ujungnya sama aja. Lihat saja, program subsidi pupuk dari korporasi, seringkali distribusinya nggak pernah tepat. Kapan pupuk itu dibutuhkan petani tidak ada. Tapi, ketika petani nggak butuh, pupuk itu ada. Kalaupun ada. harganya tidak sesuai dengan harga eceran petani." papar Enny kepada Rakyat Merdeka.
Enny mengatakan, jika pemerintah ingin mengupayakan tidak terjadi krisis pangan, yang dibenahi seharusnya persoalan apa yang saat ini menimpa petani, seperti mahalnya ongkos tenaga kerja di sektor pertanian. "Sudah banyak program yang diluncurkan pemerintah, tapi nggak ada hasilnya. Faktanya, tidak meningkatkan kesejahteraan petani dan tidak juga menyelesaikan persoalan," sindir Enny.
Enny menilai, petani selama ini tidak berdaya karena beban ongkos produksi yang harus ditanggung itu luar biasa. Sementara sistem korporasi yang diluncurkan pemerintah hanya diproyeksikan untuk mengelola output-nya saja. "Petani kita itu masih tradisional. Sistem korporasi bagaimana bisa langsung tune in. sementara petani di sini nggak seperti petani di luar negeri yang terbiasa dikelola secara korporasi. Jika ingin melibatkan korporasi, harusnya ada standarisasi yang jelas-," ujar Enny.
Dewan Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub menyatakan, sudah semestinya negara bahu membahu mengatasi krisis pangan. "Mekanismenya haras jelas.. Nggak boleh asal. Pemerintah punya upaya, sayangnya metodologinya keliru, masih pendekatan korporasi bukan pemberdayaan masyarakatnya.
Pemerintah harusnya mendorong petani supaya tangguh untuk meningkatkan produksi," ujar Yakub. Ia menyayangkan sikap pemerintah yang hanya melakukan pendekatan kepada perusahaan besar dan cenderung mengabaikan pendekatan terhadap kope-rasi-koperasi masyarakat.
Pemerintah melalui sejumlah BUMN memang menyiapkan dana Rp 4,1 triliun hingga 2014 untuk membantu Gerakan Peningkatan Produksi Pangan dan Sinergi Petani (GPPPK). "Dari Rp 4,1 triliun dana untuk membantu program pemerintah meningkatkan ketahanan pangan nasional itu. Rp 1,3-1,5 triliun di antaranya dialokasikan tahun ini," kata Menteri BUMN Mustafa Abubakar. YAN Sumber http://bataviase.co.id/node/683027 Baca Selanjutnya......
28.3.11
Satu Abad Sawit: Pemiskinan Buruh, Petani & Rusak Ekosistem
Senin, 28 Maret 2011
Medan-ORBIT: Sawit beserta industrinya telah memasuki tahun ke seratus di Indonesia. Selama itu, anggapan miring tentang keberadaan sawit terus menguak. Dimulai dari penilaian tentang buruh dan petani yang semakin terjerat arus kemiskinan hingga rusaknya tatanan ekosistem. Bahkan mayoritas industri sawit telah bersinggungan dengan penegakan HAM.
Dampak korporasi perkebunan sawit dapat kita lihat pada apa yang sudah dan sedanng terjadi di wilayah Sumatera Utara (Sumut). Beberapa kasus di antaranya konflik antara masyarakat dengan PT Nauli Sawit di Tapanuli Tengah sejak tahun 2004. Lalu permasalahan PT Lonsum yang diduga menyerobot beberapa lahan masyarakat. Hal tersebut terungkap dalam sebuah Konferensi Alternatif dalam menyikapi perayaan seratus tahun sawit di Indonesia. Konferensi yang digelar di Balai Rasa Polonia Hotel Medan Minggu (27/3) itu menghadirkan beberapa pembicara seperti George Junus Aditjondro, Lely Zailani, Achmad Yakub dan beberapa peneliti lainnya.
George yang juga penullis buku Gurita Cikeas mengungkapkan satu dampak yang belum begitu dipersoalkan masyarakat Sumut adalah sumbangan perkebunan kelapa sawit terhadap pemanasan global. Dikatakannya konversi (perubahan) hutan menjadi perkebunan kelapa sawit tentu saja dimulai dari penebangan pepohonan yang semula berada di lokasi yang dimaksud.
Namun permasalahan yang ada, katanya, adalah masyarakat harus memahami siapa kekuatan yang bermain di balik keberadaan perkebebunan kelapa sawit. Disebutkannya, stakeholder yang memiliki kekuatan sebagai penopang perkebunan kelapa sawit di Indonesia. “Setidaknya ada 17 perusahaan sawit swasta yang ditopang beberapa stakeholder yang ada, “katanya. Selain itu, sambungnya, adanya keterlibatan militer dalam upaya ekspansi (perluasan) kebun sawit.
Diungkapkannya dari studi kepustakaan maupun pengamatan terhadap penyebaran perkebunan kelapa sawit menunjukkan ekspansi kebun sawit yang berada di wilayah konflik dijaga oleh aparat Kopassus , Kostrad dan Polri. Sejak 2005, katanya, PT Tunas Sawa Erma membuka perkebunan kelapa sawit seluas 14.461 hektare di Distrik Boven Digol yang semula pihak keamanannya adalah seorang pensiunan TNI AD. “Sumut bukan hanya lahan bermain perusahaan swasta melainkan ada beberapa perusahaan BUMN yang bermain di sini,” kata George.
Eksploitasi Wanita Sedangkan Aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) Dananng Widjo dalam paparannya mengungkapkan perkebunan kelapa sawit sarat dengan isu-isu korupsi. Dijelaskannya modus atau pola yangn menjadi jalan masuk supaya korupsi adalah gratifikasi (suap). Dengan memberikan gratifikasi kepada pejabat berwenang, kata Danang, korporasi bisa menemui jalan lurus guna melakukan ekspansi di beberapa wilayah khsususnya hutan. Dengan keadaan yang seperti itu, Danang menilai perkebunan kelapa sawit tidak pernah berpihak kepada rakyat yang semakin terjerat arus kepentingan elit kekuasaan. Sementara itu, berbicara mengenai dampak sawit terhadap pemiskinan buruh dan petani, Kordiantor Pelaksana Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatana pangan (KRKP) Witoro memaparkan, produsen pangan skala kecil baik petani maupun buruh sering dianggap tidak produktif karena memproduksi dengan skala kecil. Dengan alasan seperti itu, mereka (buruh dan tani) tidak pernah mendapat dukungan dari pemerintah.
Keberadaan seperti itu, menurutnya, liberalisasi perdagangan dan berkembanganya agro industri yang dikuasai perusahaan besar. “Pemerintah berambisi untuk mnjadikan Indonesia sebagai penghasil minyak nomor satu. Untuk itu luas perkebunan sawit akan terus ditingkatkan dengan mengkesampingkan keberlanjutan usaha buruh dan tani kecil tadi,” ujar Witoro. Tak hanya itu, dampak ekspansi perkebunan sawit juga merambah pada eksploitasi perempuan dan anak-anak pada perusahaan perkebunan sawit.
Pendiri Himpunan Serikat permepuan Indonesia (HAPSARI) Leli Zailani mengungkapkan semakin meningnkatnya kebutuhan akan minyak dunia mengharuskan pemerintah mengambil kesempatan yang ada. Hal tersebut memberi dampak kepada para pencari kerja (pengangguran) untuk mencari kerja . “Dengan anggapan bahwa daripada nnganggur, maka wanita dan anak-anak yang berada di sekitar lokasi usaha sawit akan berfikir untuk menerima tawaran emas untuk mencari pendapatan yang ada dimata,” ujarnya. Namun kata Leli, keadaan yangn menyatakan penyetaraan gender menjadikan perusahaan seperti ‘berjasa’ karena telah memperkerjakan wanita di zaman sekarang. “Eksploitasi terhadap wanita dan anak-anak dalam kerangka industri kelapa sawit adalah contoh nyata bagaimana sistem kapitalis bermain cerdik dalam kerangka patriarki dan gender,” ujar Leli lagi. Om-12 sumber http://www.harianorbit.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167:damnpak-perkebunan&catid=43:berita-nusantara-nasional&Itemid=18 Baca Selanjutnya......
Medan-ORBIT: Sawit beserta industrinya telah memasuki tahun ke seratus di Indonesia. Selama itu, anggapan miring tentang keberadaan sawit terus menguak. Dimulai dari penilaian tentang buruh dan petani yang semakin terjerat arus kemiskinan hingga rusaknya tatanan ekosistem. Bahkan mayoritas industri sawit telah bersinggungan dengan penegakan HAM.
Dampak korporasi perkebunan sawit dapat kita lihat pada apa yang sudah dan sedanng terjadi di wilayah Sumatera Utara (Sumut). Beberapa kasus di antaranya konflik antara masyarakat dengan PT Nauli Sawit di Tapanuli Tengah sejak tahun 2004. Lalu permasalahan PT Lonsum yang diduga menyerobot beberapa lahan masyarakat. Hal tersebut terungkap dalam sebuah Konferensi Alternatif dalam menyikapi perayaan seratus tahun sawit di Indonesia. Konferensi yang digelar di Balai Rasa Polonia Hotel Medan Minggu (27/3) itu menghadirkan beberapa pembicara seperti George Junus Aditjondro, Lely Zailani, Achmad Yakub dan beberapa peneliti lainnya.
George yang juga penullis buku Gurita Cikeas mengungkapkan satu dampak yang belum begitu dipersoalkan masyarakat Sumut adalah sumbangan perkebunan kelapa sawit terhadap pemanasan global. Dikatakannya konversi (perubahan) hutan menjadi perkebunan kelapa sawit tentu saja dimulai dari penebangan pepohonan yang semula berada di lokasi yang dimaksud.
Namun permasalahan yang ada, katanya, adalah masyarakat harus memahami siapa kekuatan yang bermain di balik keberadaan perkebebunan kelapa sawit. Disebutkannya, stakeholder yang memiliki kekuatan sebagai penopang perkebunan kelapa sawit di Indonesia. “Setidaknya ada 17 perusahaan sawit swasta yang ditopang beberapa stakeholder yang ada, “katanya. Selain itu, sambungnya, adanya keterlibatan militer dalam upaya ekspansi (perluasan) kebun sawit.
Diungkapkannya dari studi kepustakaan maupun pengamatan terhadap penyebaran perkebunan kelapa sawit menunjukkan ekspansi kebun sawit yang berada di wilayah konflik dijaga oleh aparat Kopassus , Kostrad dan Polri. Sejak 2005, katanya, PT Tunas Sawa Erma membuka perkebunan kelapa sawit seluas 14.461 hektare di Distrik Boven Digol yang semula pihak keamanannya adalah seorang pensiunan TNI AD. “Sumut bukan hanya lahan bermain perusahaan swasta melainkan ada beberapa perusahaan BUMN yang bermain di sini,” kata George.
Eksploitasi Wanita Sedangkan Aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) Dananng Widjo dalam paparannya mengungkapkan perkebunan kelapa sawit sarat dengan isu-isu korupsi. Dijelaskannya modus atau pola yangn menjadi jalan masuk supaya korupsi adalah gratifikasi (suap). Dengan memberikan gratifikasi kepada pejabat berwenang, kata Danang, korporasi bisa menemui jalan lurus guna melakukan ekspansi di beberapa wilayah khsususnya hutan. Dengan keadaan yang seperti itu, Danang menilai perkebunan kelapa sawit tidak pernah berpihak kepada rakyat yang semakin terjerat arus kepentingan elit kekuasaan. Sementara itu, berbicara mengenai dampak sawit terhadap pemiskinan buruh dan petani, Kordiantor Pelaksana Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatana pangan (KRKP) Witoro memaparkan, produsen pangan skala kecil baik petani maupun buruh sering dianggap tidak produktif karena memproduksi dengan skala kecil. Dengan alasan seperti itu, mereka (buruh dan tani) tidak pernah mendapat dukungan dari pemerintah.
Keberadaan seperti itu, menurutnya, liberalisasi perdagangan dan berkembanganya agro industri yang dikuasai perusahaan besar. “Pemerintah berambisi untuk mnjadikan Indonesia sebagai penghasil minyak nomor satu. Untuk itu luas perkebunan sawit akan terus ditingkatkan dengan mengkesampingkan keberlanjutan usaha buruh dan tani kecil tadi,” ujar Witoro. Tak hanya itu, dampak ekspansi perkebunan sawit juga merambah pada eksploitasi perempuan dan anak-anak pada perusahaan perkebunan sawit.
Pendiri Himpunan Serikat permepuan Indonesia (HAPSARI) Leli Zailani mengungkapkan semakin meningnkatnya kebutuhan akan minyak dunia mengharuskan pemerintah mengambil kesempatan yang ada. Hal tersebut memberi dampak kepada para pencari kerja (pengangguran) untuk mencari kerja . “Dengan anggapan bahwa daripada nnganggur, maka wanita dan anak-anak yang berada di sekitar lokasi usaha sawit akan berfikir untuk menerima tawaran emas untuk mencari pendapatan yang ada dimata,” ujarnya. Namun kata Leli, keadaan yangn menyatakan penyetaraan gender menjadikan perusahaan seperti ‘berjasa’ karena telah memperkerjakan wanita di zaman sekarang. “Eksploitasi terhadap wanita dan anak-anak dalam kerangka industri kelapa sawit adalah contoh nyata bagaimana sistem kapitalis bermain cerdik dalam kerangka patriarki dan gender,” ujar Leli lagi. Om-12 sumber http://www.harianorbit.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167:damnpak-perkebunan&catid=43:berita-nusantara-nasional&Itemid=18 Baca Selanjutnya......
19.3.11
RI lobbies African nations for top FAO post
-->Mustaqim Adamrah, The Jakarta Post,
Jakarta | Sat, 03/19/2011 2:18 PM | World
A | A
| A |
Industry Minister M.S. Hidayat lobbied a number of African countries Friday to back Indonesia’s candidacy for the top post at the UN’s Food and Agriculture Organization (FAO).
“The industry ministry invited African ambassadors to a dinner to introduce me to them and to gain support from African nations,” Indroyono Susilo, the Indonesian candidate for FAO director general, told The Jakarta Post. He said Indonesia had the support of other ASEAN countries.
As the only candidate from Southeast Asia, Indroyono, who is also secretary to the coordinating public welfare minister, said Indonesia had extensive fisheries, forestry and natural disaster management systems that the country could contribute to the world organization.
He said it was important to integrate and connect food producing areas to areas that lacked foodand it was also important for developing countries to have their own standards and codification system on food they produced but not let them become new non-tariff barriers.
Indonesia, a member of FAO since 1949, received an FAO award for achieving rice self sufficiency in 1985. If Indroyono is elected, he would be the first Indonesian to head one of the UN’s top bodies.
An FAO conference in Rome in July will appoint a new director general for the period from Jan. 1, 2012, to July 31, 2015.
Food observer and economist Bustanul Arifin said an Indonesian candidate was suited to head the FAO as the country successfully mitigated the impact of the 2008 food crisis by focusing on domestic rice stock production and management.
“Indonesia can be a leader in international and regional cooperation for food reserves, starting from ASEAN+3 [China, Japan and South Korea],” he told the Post via text message.
The head of the national strategic studies division at the Indonesian Farmers’ Union (SPI), Achmad Ya’kub, said while he doubted Indroyono’s capability in leading the FAO, an Indonesian candidate was perfectly suited for the role.
“From what I know, Indroyono’s background is engineering, not agriculture. I’ve never heard of his contributions to Indonesian agricultural,” he told the Post.
“I’m not sure he well understands that we have 13 million small-scale farmers with a maximum
300 square meters of land each at a time when food security is promoted to the advantage of big corporations.”
Ya’kub said that to attain food security, what mattered was the availability of food, not who the producer or distributor was.
He added farmers, large and small alike, had been traditionally producing and distributing agricultural crops and food on their own.
Ya’kub cited a 2009-2010 FAO study that showed more than 1 billion people were starving, a large increase from the 825 million people in 1996, underlining the failure of the food security concept.
Candidates for FAO director general
Austria: Franz Fischler
Brazil: José Graziano da Silva
Indonesia: Indroyono Susilo
Iran: Mohammad Saeid Noori Naeini
Iraq: Abdul Latif Rashid
Spain: Miguel Ángel Moratinos Cuyaubé
Source: Food and Agriculture Organization (www.fao.org)
sumber http://www.thejakartapost.com/news/2011/03/19/ri-lobbies-african-nations-top-fao-post.html</span>
Baca Selanjutnya......
Industry Minister M.S. Hidayat lobbied a number of African countries Friday to back Indonesia’s candidacy for the top post at the UN’s Food and Agriculture Organization (FAO).
“The industry ministry invited African ambassadors to a dinner to introduce me to them and to gain support from African nations,” Indroyono Susilo, the Indonesian candidate for FAO director general, told The Jakarta Post. He said Indonesia had the support of other ASEAN countries.
As the only candidate from Southeast Asia, Indroyono, who is also secretary to the coordinating public welfare minister, said Indonesia had extensive fisheries, forestry and natural disaster management systems that the country could contribute to the world organization.
He said it was important to integrate and connect food producing areas to areas that lacked foodand it was also important for developing countries to have their own standards and codification system on food they produced but not let them become new non-tariff barriers.
Indonesia, a member of FAO since 1949, received an FAO award for achieving rice self sufficiency in 1985. If Indroyono is elected, he would be the first Indonesian to head one of the UN’s top bodies.
An FAO conference in Rome in July will appoint a new director general for the period from Jan. 1, 2012, to July 31, 2015.
Food observer and economist Bustanul Arifin said an Indonesian candidate was suited to head the FAO as the country successfully mitigated the impact of the 2008 food crisis by focusing on domestic rice stock production and management.
“Indonesia can be a leader in international and regional cooperation for food reserves, starting from ASEAN+3 [China, Japan and South Korea],” he told the Post via text message.
The head of the national strategic studies division at the Indonesian Farmers’ Union (SPI), Achmad Ya’kub, said while he doubted Indroyono’s capability in leading the FAO, an Indonesian candidate was perfectly suited for the role.
“From what I know, Indroyono’s background is engineering, not agriculture. I’ve never heard of his contributions to Indonesian agricultural,” he told the Post.
“I’m not sure he well understands that we have 13 million small-scale farmers with a maximum
300 square meters of land each at a time when food security is promoted to the advantage of big corporations.”
Ya’kub said that to attain food security, what mattered was the availability of food, not who the producer or distributor was.
He added farmers, large and small alike, had been traditionally producing and distributing agricultural crops and food on their own.
Ya’kub cited a 2009-2010 FAO study that showed more than 1 billion people were starving, a large increase from the 825 million people in 1996, underlining the failure of the food security concept.
Candidates for FAO director general
Austria: Franz Fischler
Brazil: José Graziano da Silva
Indonesia: Indroyono Susilo
Iran: Mohammad Saeid Noori Naeini
Iraq: Abdul Latif Rashid
Spain: Miguel Ángel Moratinos Cuyaubé
Source: Food and Agriculture Organization (www.fao.org)
sumber http://www.thejakartapost.com/news/2011/03/19/ri-lobbies-african-nations-top-fao-post.html</span>
Baca Selanjutnya......
28.2.11
Kerja Sama Benih Dengan China Cuma Akal-akalan
MENYIKAPI produksi beras dalam negeri yang terus melorot, pemerintah memilih opsi menggandeng China guna meningkatkan produktivitas beras nasional.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub memandang sinis kerja sama tersebut jika hanya dari segi pengadaan benih hibrida saja.
Menurutnya, kerja sama dengan China untuk mengembangkan pertanian padi yang menggunakan benih hibrida dari China hanya akan meningkatkan ketergantungan impor lebih besar. Faktanya, benih jagung Indonesia masih 43 persen impor. Belum benih holtikultura lainnya juga masih tergantung impor dari Taiwan dan Thailand. "Hibrida hanya bisa sekali" pakai, setelah itu tidak dapat dipakai lagi.
Kita saja susah melepas ketergantungan berasimpor, sekarang malah ketergantungan benih hibrida impor," sindir Yakub. SPI menganjurkan pemerintah bekerja sama dengan badan penelitian dan pengembangan yang ada di dalam negeri terkait benih hibrida nasional. Dengan begitu, seluruhnya bisa dikelola pemerintah. "Kerja sama seperti itu yang harus dimaksimalkan. Dari penghasilan petani harusnya mampu diserap ke pedesaan untuk meningkatkan daya beli, membuat pertumbuhan ekonomi di desa meningkat. Jadi, kerja sama dengan China saya pikir cuma bagian proses perdagangan benih. Ini akal-akalan," tuduh Yakub.
Sekretaris Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Hermanto menolak jika dikatakan produktivitas pangan yang dihasilkan petani dalam negeri menurun. Menurut Hermanto, produktivitas tidak menurun, hanya kenaikannya tidak sebesar yang diharapkan. Pemerintah sedang berupaya kenaikannya sesuai yang diharapkan. "Belum ada catatan mengenai itu. Seingat saya, belum ada sejarah produksi beras itu menurun, dalam arti tahun ini lebih kurang dari tahun sebelumnya," tuturnya.
Hermanto membenarkan ada rencana kerja sama dengan China terkait melakukan alih teknologi padi hibrida. Namun, dalam hal riset, pemerintah bisa memanfaatkan teknologi yang dimiliki saat ini untuk memproduksi benih hibrida agar tidak tergantung negara lain. Dia mengakui China memang terkenal sebagai Champion dalam teknologi padi hibrida.
"Tugas kita bersama mengejar teknologi itu. Kalau itu sudah kita kuasai dan bisa memproduksi dengan baik, kedaulatan pangan akan tercapai. Di antaranya melalui Research and Development (RD) di bidang teknologi perbenihan jadi maksudnya baik." terang Hermanto. Hermanto juga optimis kondisi Indonesia tidak mengarah pada krisis pangan, mengingat kenaikan harga yang ada sekarang relatif sudah stabil. Apalagi sebentar lagi memasuki musim panen raya. "Pada saat panen, kita harus menyelamatkan gabah pembelian pemerintah.
Pada saat paceklik, kita harus mengamankan harga konsumen agar daya belinya tidak menurun. Itu tugas kita," ungkapnya. Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan adanya kemungkinan kerja sama internasional untuk meningkatkan ketahanan pangan. Kerja sama itu tidak hanya meliputi bagaimana pangan tersedia, tapi mempersiapkan teknologi yang lebih baik. CR-2 Baca Selanjutnya......
Menurutnya, kerja sama dengan China untuk mengembangkan pertanian padi yang menggunakan benih hibrida dari China hanya akan meningkatkan ketergantungan impor lebih besar. Faktanya, benih jagung Indonesia masih 43 persen impor. Belum benih holtikultura lainnya juga masih tergantung impor dari Taiwan dan Thailand. "Hibrida hanya bisa sekali" pakai, setelah itu tidak dapat dipakai lagi.
Kita saja susah melepas ketergantungan berasimpor, sekarang malah ketergantungan benih hibrida impor," sindir Yakub. SPI menganjurkan pemerintah bekerja sama dengan badan penelitian dan pengembangan yang ada di dalam negeri terkait benih hibrida nasional. Dengan begitu, seluruhnya bisa dikelola pemerintah. "Kerja sama seperti itu yang harus dimaksimalkan. Dari penghasilan petani harusnya mampu diserap ke pedesaan untuk meningkatkan daya beli, membuat pertumbuhan ekonomi di desa meningkat. Jadi, kerja sama dengan China saya pikir cuma bagian proses perdagangan benih. Ini akal-akalan," tuduh Yakub.
Sekretaris Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Hermanto menolak jika dikatakan produktivitas pangan yang dihasilkan petani dalam negeri menurun. Menurut Hermanto, produktivitas tidak menurun, hanya kenaikannya tidak sebesar yang diharapkan. Pemerintah sedang berupaya kenaikannya sesuai yang diharapkan. "Belum ada catatan mengenai itu. Seingat saya, belum ada sejarah produksi beras itu menurun, dalam arti tahun ini lebih kurang dari tahun sebelumnya," tuturnya.
Hermanto membenarkan ada rencana kerja sama dengan China terkait melakukan alih teknologi padi hibrida. Namun, dalam hal riset, pemerintah bisa memanfaatkan teknologi yang dimiliki saat ini untuk memproduksi benih hibrida agar tidak tergantung negara lain. Dia mengakui China memang terkenal sebagai Champion dalam teknologi padi hibrida.
"Tugas kita bersama mengejar teknologi itu. Kalau itu sudah kita kuasai dan bisa memproduksi dengan baik, kedaulatan pangan akan tercapai. Di antaranya melalui Research and Development (RD) di bidang teknologi perbenihan jadi maksudnya baik." terang Hermanto. Hermanto juga optimis kondisi Indonesia tidak mengarah pada krisis pangan, mengingat kenaikan harga yang ada sekarang relatif sudah stabil. Apalagi sebentar lagi memasuki musim panen raya. "Pada saat panen, kita harus menyelamatkan gabah pembelian pemerintah.
Pada saat paceklik, kita harus mengamankan harga konsumen agar daya belinya tidak menurun. Itu tugas kita," ungkapnya. Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan adanya kemungkinan kerja sama internasional untuk meningkatkan ketahanan pangan. Kerja sama itu tidak hanya meliputi bagaimana pangan tersedia, tapi mempersiapkan teknologi yang lebih baik. CR-2 Baca Selanjutnya......
27.2.11
Persediaan Cukup, Pemerintah Hentikan Impor Beras
Kementerian Perdagangan akan menghentikan impor beras mulai Maret mendatang, karena stok dalam negeri sudah cukup
Iris Gera | Jakarta Kamis, 17 Februari 2011
Pemerintah mulai mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand tahun lalu, karena banyaknya gagal panen di dalam negeri. Gagal panen akibat pergantian musim yang ekstrim mendorong pemerintah untuk mengimpor beras sejak tahun lalu. Namun, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengumumkan bahwa mulai bulan Maret depan, pemerintah akan menghentikan impor beras tersebut, karena stok beras dalam negeri sudah mencukupi.
Impor beras, menurut Menteri Mari Pangestu, menyebabkan harga beras dan bahan pangan lainnya belakangan ini terus naik. Sebagai akibatnya, masyarakat kurang mampu pun kesulitan karena tidak dapat mengimbangi kenaikan harga. Pertimbangan ini jugalah yang mendorong pemerintah untuk menghentikan impor beras. "Dari segi stok tidak ada masalah," ujar Mari Pangestu. "Bulog menargetkan stok 1,5 juta ton untuk aman sampai mulai panen. Dan, sekarang sudah mulai panen." Beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan sulitnya mendapat komoditas beras di antaranya adalah karena menurunnya jumlah keluarga tani. Banyak dari keluarga tersebut, menurut BPS, beralih bekerja di sektor lain, terutama di pabrik-pabrik.
Tapi, menurut Ketua Departemen Kajian Staregis Serikat Petani Indonesia (SPI), Achmad Ya'kub, hal itu tidak benar. Menurutnya, jumlah petani sekarang justru meningkat. “SPI menghitung itu ada sekitar 28, 3 juta keluarga tani. Jumlahnya justru meningkat," kata Achmad Ya'kub, yang kemudian menambahkan kebanyakan dari petani ini lahannya sempit sehingga produksinya pun tidak bisa banyak. Achmad Ya'kub juga memandang bahwa pemerintah tersimak mengorbankan tanaman pangan demi melindungi tanaman untuk ekspor.
"Yang mengerikan ini ada konversi lahan dari pertanian pangan menjadi pertanian industri yang orientasi ekspor, seperti perluasan kelapa sawit” Tahun lalu, pemerintah mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand sebanyak 1,5 juta ton.
Impor tersebut ditujukan agar cadangan beras aman, yang menurut patokan pemerintah harus berada di kisaran 3 juta ton. Pemerintah juga menargetkan produksi beras dalam negeri tahun ini mampu mencapai sekitar 37 juta ton, sementara kebutuhan beras nasional rata-rata 33 juta ton per tahun. Dengan surplus sebanyak empat juta ton ini, maka bila impor beras berlanjut, maka ini akan merugikan para petani lokal. Baca Selanjutnya......
Iris Gera | Jakarta Kamis, 17 Februari 2011
Pemerintah mulai mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand tahun lalu, karena banyaknya gagal panen di dalam negeri. Gagal panen akibat pergantian musim yang ekstrim mendorong pemerintah untuk mengimpor beras sejak tahun lalu. Namun, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengumumkan bahwa mulai bulan Maret depan, pemerintah akan menghentikan impor beras tersebut, karena stok beras dalam negeri sudah mencukupi.
Impor beras, menurut Menteri Mari Pangestu, menyebabkan harga beras dan bahan pangan lainnya belakangan ini terus naik. Sebagai akibatnya, masyarakat kurang mampu pun kesulitan karena tidak dapat mengimbangi kenaikan harga. Pertimbangan ini jugalah yang mendorong pemerintah untuk menghentikan impor beras. "Dari segi stok tidak ada masalah," ujar Mari Pangestu. "Bulog menargetkan stok 1,5 juta ton untuk aman sampai mulai panen. Dan, sekarang sudah mulai panen." Beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan sulitnya mendapat komoditas beras di antaranya adalah karena menurunnya jumlah keluarga tani. Banyak dari keluarga tersebut, menurut BPS, beralih bekerja di sektor lain, terutama di pabrik-pabrik.
Tapi, menurut Ketua Departemen Kajian Staregis Serikat Petani Indonesia (SPI), Achmad Ya'kub, hal itu tidak benar. Menurutnya, jumlah petani sekarang justru meningkat. “SPI menghitung itu ada sekitar 28, 3 juta keluarga tani. Jumlahnya justru meningkat," kata Achmad Ya'kub, yang kemudian menambahkan kebanyakan dari petani ini lahannya sempit sehingga produksinya pun tidak bisa banyak. Achmad Ya'kub juga memandang bahwa pemerintah tersimak mengorbankan tanaman pangan demi melindungi tanaman untuk ekspor.
"Yang mengerikan ini ada konversi lahan dari pertanian pangan menjadi pertanian industri yang orientasi ekspor, seperti perluasan kelapa sawit” Tahun lalu, pemerintah mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand sebanyak 1,5 juta ton.
Impor tersebut ditujukan agar cadangan beras aman, yang menurut patokan pemerintah harus berada di kisaran 3 juta ton. Pemerintah juga menargetkan produksi beras dalam negeri tahun ini mampu mencapai sekitar 37 juta ton, sementara kebutuhan beras nasional rata-rata 33 juta ton per tahun. Dengan surplus sebanyak empat juta ton ini, maka bila impor beras berlanjut, maka ini akan merugikan para petani lokal. Baca Selanjutnya......
Kebijakan Pemerintah Cuma Berorientasi Bisnis Dagang
Rakyat Merdeka
PEMERINTAH dituding tidak mampu menyelamatkan sektor pertanian dan menjamin kedaulatan pangan nasional. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Achmad Yakub mengeluhkan, kebijakan pemerintah semata-mata berorientasi bisnis perdagangan. Investasi yang selama ini dianggap menjadi jalan utama dan membawa petani menjadi sejahtera justru melenceng. "Kebijakan yang berorientasi ekspor, bisnis dan monokultur menyebabkan semua hal diserahkan pada mekanisme pasar.
Demi kepentingan pasar kebutuhan nasional seringkali diabaikan," ujar Yakub dalam diskusi bertajuk Tanah dan Pangan Serta Masa Depan Bangsa di Jakarta, belum lama ini. Menurut Yakub, pemerintah tidak mampu mengontrol harga kebutuhan rakyat Misalnya komoditi beras, ketika harga di pasarinternasional naik tinggi pada 2008, anjuran ekspor begitu gencar.
Sebaliknya, ketika harga beras internasional lebih murah dari harga nasional, impor dilakukan bahkan tanpa dikenakan bea masuk. Akibatnya, devisa negara hilang demi menguntungkan korporat. Yakub mengatakan, awal 2011, pemerintah melalui Bulog telah mencapai deal impor sebanyak 1,08 juta ton dari Vietnam dan Thailand. Jika pemerintah mengimpor 1,05 juta ton beras, devisa yang diserap Rp 4,86 triliun. Jadi 1,05 juta ton beras setara dengan produksi yang dihasilkan dari 333 ribu hektar sawah.
Padahal, per hektar petani bisa memproduksi 5 ton gabah atau setara 3 ton beras. "Dari seluruh aturan yang ada, yang diuntungkan bukan petani tapi segelintir orang. Petani kita hanya jadi mesin di industri perburuhan," tukas Yakub.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Idham Arsyad membenarkan hal itu. Ada Perbedaan antara cita-cita pemerintah dengan praktik di lapangan. Ketika berbicara ketahanan pangan, pemerintah selalu bertumpu pada ketersediaan pangan,sehingga hanya mengarah pada produktivitas.
Pemerintah lalai memikirkan kesejahteraan para petani yang memproduksi pangan. "Negara ini sudah tidak produktif juga tidak sejahtera. Petani yang harusnya jadi produsen utama malah menjadi konsumen utama. Seluruh aturan yang ada tidak pernah berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat," kata Idham.
Idham juga menilai, distribusi pangan yang tanpa kontrol dari pemerintah mencerminkan kurangnya perlindungan buat rakyat.
Menanggapi itu, Sekretaris Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Hermanto mengatakan, seluruh kebijakan yang diambil pemerintah didasarkan ketahanan pangan dalam negeri.
Menurutnya, ada keterkaitan erat antara produksi pangan dan ketahanan pangan. Sebab itu, pemerintah akan mendorong peran swasta tapi tidak mengabai-kan masyarakat dan kelembagaan lainnya dalam ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan.
"Saat ini negara sedang berusaha menjamin hak pangan atas rakyat serta memberikan hak untuk menentukan sistem pertanian pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kami optimis, kedaulatan pangan yang kokoh bisa terwujud," ucap Hermanto.
Dia menambahkan, strategi pertanian ke depan akan lebih jelas terkait reformasi Undang-Undang Agraria. Untuk itu, pemerintah akan mengambil kebijakan. Di antaranya, mengatasi kesenjangan terhadap pemilikan lahan, petani akan memiliki akses pada sumber pendanaan, dukungan yang kuat dari pemerintah pada sektor industri pertanian, serta mengembalikan pengelolaan tanah, air dan ruang sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. cr-2 Sumber http://ekbis.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=19439 Baca Selanjutnya......
PEMERINTAH dituding tidak mampu menyelamatkan sektor pertanian dan menjamin kedaulatan pangan nasional. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Achmad Yakub mengeluhkan, kebijakan pemerintah semata-mata berorientasi bisnis perdagangan. Investasi yang selama ini dianggap menjadi jalan utama dan membawa petani menjadi sejahtera justru melenceng. "Kebijakan yang berorientasi ekspor, bisnis dan monokultur menyebabkan semua hal diserahkan pada mekanisme pasar.
Demi kepentingan pasar kebutuhan nasional seringkali diabaikan," ujar Yakub dalam diskusi bertajuk Tanah dan Pangan Serta Masa Depan Bangsa di Jakarta, belum lama ini. Menurut Yakub, pemerintah tidak mampu mengontrol harga kebutuhan rakyat Misalnya komoditi beras, ketika harga di pasarinternasional naik tinggi pada 2008, anjuran ekspor begitu gencar.
Sebaliknya, ketika harga beras internasional lebih murah dari harga nasional, impor dilakukan bahkan tanpa dikenakan bea masuk. Akibatnya, devisa negara hilang demi menguntungkan korporat. Yakub mengatakan, awal 2011, pemerintah melalui Bulog telah mencapai deal impor sebanyak 1,08 juta ton dari Vietnam dan Thailand. Jika pemerintah mengimpor 1,05 juta ton beras, devisa yang diserap Rp 4,86 triliun. Jadi 1,05 juta ton beras setara dengan produksi yang dihasilkan dari 333 ribu hektar sawah.
Padahal, per hektar petani bisa memproduksi 5 ton gabah atau setara 3 ton beras. "Dari seluruh aturan yang ada, yang diuntungkan bukan petani tapi segelintir orang. Petani kita hanya jadi mesin di industri perburuhan," tukas Yakub.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Idham Arsyad membenarkan hal itu. Ada Perbedaan antara cita-cita pemerintah dengan praktik di lapangan. Ketika berbicara ketahanan pangan, pemerintah selalu bertumpu pada ketersediaan pangan,sehingga hanya mengarah pada produktivitas.
Pemerintah lalai memikirkan kesejahteraan para petani yang memproduksi pangan. "Negara ini sudah tidak produktif juga tidak sejahtera. Petani yang harusnya jadi produsen utama malah menjadi konsumen utama. Seluruh aturan yang ada tidak pernah berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat," kata Idham.
Idham juga menilai, distribusi pangan yang tanpa kontrol dari pemerintah mencerminkan kurangnya perlindungan buat rakyat.
Menanggapi itu, Sekretaris Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Hermanto mengatakan, seluruh kebijakan yang diambil pemerintah didasarkan ketahanan pangan dalam negeri.
Menurutnya, ada keterkaitan erat antara produksi pangan dan ketahanan pangan. Sebab itu, pemerintah akan mendorong peran swasta tapi tidak mengabai-kan masyarakat dan kelembagaan lainnya dalam ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan.
"Saat ini negara sedang berusaha menjamin hak pangan atas rakyat serta memberikan hak untuk menentukan sistem pertanian pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kami optimis, kedaulatan pangan yang kokoh bisa terwujud," ucap Hermanto.
Dia menambahkan, strategi pertanian ke depan akan lebih jelas terkait reformasi Undang-Undang Agraria. Untuk itu, pemerintah akan mengambil kebijakan. Di antaranya, mengatasi kesenjangan terhadap pemilikan lahan, petani akan memiliki akses pada sumber pendanaan, dukungan yang kuat dari pemerintah pada sektor industri pertanian, serta mengembalikan pengelolaan tanah, air dan ruang sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. cr-2 Sumber http://ekbis.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=19439 Baca Selanjutnya......
25.2.11
Petani Tagih janji lahan
Pengaruh politik sangat kontaminatif terhadap suatu kebijakan.'' Prasetyantoko Ekonom Atma Jaya Pembiayaan enam program prorakyat akan memanfaatkan hasil penghematan anggaran kementerian.
BERBAGAI konflik kemiskinan, salah satunya disebabkan molor nya pelaksanaan reforma agraria yang dicanangkan pemerintah sejak 2007. Saat itu, pemerintah menjanjikan sertifi kasi dan lahan hingga 9,25 juta hektare (ha). “Sisi lain masih tingginya angka kemiskinan ialah tidak terealisasinya reformasi agraria hingga sekarang,” kata Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub di Jakarta, kemarin.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 19,9 juta orang atau sekitar dua pertiga dari total penduduk miskin di Indonesia. Adapun mayoritas penduduk di perdesaan bekerja di sektor pertanian atau kelautan. Sementara itu, dari sensus BPS pa da 2003, jumlah petani guram atau petani dengan lahan kurang dari 0,5 ha, mencapai 13,7 juta rumah tangga. SPI memprediksi, angka itu naik mencapai 15,6 juta rumah tangga pada 2010. “Jumlah itu masih bisa naik se iring dengan agenda korpora tisasi pangan dan pertani an melalui perusahaan-perusahaan agrobisnis,” tandas Yakub.
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Idham Ar syad menambahkan, pemerintah harus konsentrasi mengurangi jumlah petani guram sebagai sasaran utama penurunan kemiskinan. Apalagi, sebagian besar adalah petani tanpa lahan yang menggantungkan hidup pada tuan-tuan tanah. Sebenarnya, tahun lalu, telah terbit Peraturan Pemerintah No 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Menurut Badan Pertanahan Nasional, ada 7,3 juta ha tanah telantar yang akan ditertibkan. Dari jumlah itu, 2 juta ha akan diperuntukkan pertanian. Namun, hingga kini janji pemerintah itu belum terealisasi.
Sebelumnya, ekonom LIPI Latif Adam mengimbau pemerintah untuk menyertakan program reforma agraria (land reform) guna mengatasi kemiskinan di perdesaan. Pasalnya, ia menilai enam program prorakyat terbaru pemerintah belum signifikan menyentuh konsentrasi penduduk miskin di wilayah tersebut. Adapun enam program prorakyat yang dicanangkan Presiden Yudhoyono pada awal pekan ini adalah penyediaan rumah murah, angkutan umum murah, air bersih, listrik murah dan hemat, serta peningkatan kehidupan nelayan dan masyarakat pinggiran kota.
Kegagalan implementasi Di sisi lain, ekonom Atma Jaya Prasetyantoko menilai enam program itu sebagai ino vasi dari program penanggulangan kemiskinan yang sudah ada. Namun, ia mengingatkan pemerintah agar mengawasi implementasinya. Sebab, sering kali program yang sebenarnya bagus, pelaksanaannya tidak sesuai harapan. "Pengaruh politik sangat kontaminatif terhadap suatu kebijakan, bahkan di tingkat dirjen (direktur jenderal) pun pengaruh partai sangat kuat.
Sementara kompetensi pejabat itu sendiri masih kurang," jelasnya. Sementara itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana mengatakan pemerintah sedang mempertajam program penanggulangan kemiskinan baik yang sudah berjalan maupun belum. Khusus program rumah murah, Kementerian Perumahan Rakyat akan mematangkan konsepnya dalam 1-2 minggu.
Nantinya, rumah yang akan dibanderol Rp20 juta-Rp25 juta per unit itu ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan di bawah Rp1,2 juta. Adapun soal listrik murah dan hemat serta elektrifikasi perdesaan, program akan fokus pada pemanfaatan potensi daerah dalam penyediaan listrik. "Misalnya microhydro, biomass," kata Armida seusai rapat di Kementerian Koordinator Perekonomian, di Jakarta, Rabu malam (23/2).
Secara terpisah, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan pembiayaan enam program prorakyat akan memanfaatkan hasil penghematan anggaran kementerian dan lembaga. Saat ini, taksiran penghematan yang bisa dicapai pemerintah adalah Rp15 triliun dari target Rp20 triliun. Pembiayaan juga akan dikombinasikan dengan dana BUMN via program kemitraan dan bina lingkungan. (Tup/Ant/E-3) asni@mediaindonesia.com marchelo@mediaindonesia.com
sumber http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/02/25/ArticleHtmls/25_02_2011_017_029.shtml?Mode=0 Baca Selanjutnya......
4.2.11
Akibat Pemerintah Singkirkan Petani Kecil
Home Republika
Rabu, 02 Februari 2011 pukul 08:00:00
Achmad Yakub
Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI
Oleh EH Ismail
Petani banyak gagal panen, ada faktor penyebab lain kecuali cuaca?
Secara umum memang kegagalan panen ini akibat cuaca yang anomali. Tapi, jangan menyepelekan penyebab yang bersumber dari kebijakan pemerintah. Saat ini tidak ada grand design yang baik tentang arah pembangunan pertanian nasional. Saat ini, pemerintah menjalankan pembangunan pertanian ke arah pertanian korporasi.
Pemerintah menyusun regulasi dan program-program pertanian yang diperuntukkan untuk para pengusaha yang ingin bergerak di bidang pertanian. Food estate, misalnya. Lahan sangat luas disediakan untuk korporat yang ingin mengembangkan komoditas pertanian. Tidak hanya pangan, hortikultura juga. Sementara masyarakat petani gurem makin tidak diperhatikan.
Kebijakan seperti apa yang turut menyebabkan kegagalan panen petani hortikultura?
Dengan pertanian model korporat, petani-petani kecil menjadi tersingkirkan. Mereka tidak lagi punya kesempatan menguasai lahan yang lebih luas dan terus-menerus berada di angka rata-rata kepemilikan lahan 0,3 hektare per petani. Akhirnya, petani menjadi terdemotivasi untuk melakukan produksi yang lebih bagus.
Kalaupun berhasil panen bagus, pemerintah segera membanjiri pasar dengan produk-produk impor. Buah-buahan dan sayur-sayuran dari Cina, Thailand, dan Vietnam masuk saat petani panen. Akibatnya harga turun. Nah, kalau selalu seperti ini, mana mau petani bekerja keras menjaga tanaman mereka biar bisa panen bagus. Ini salah satu masalah kecil saja sebagai contoh.
Cuaca itu saat ini menjadi pembenar di balik kegagalan panen hortikultura dan tanaman pangan kita. Tapi, selama kebijakan pemerintah yang terus menyingkirkan petani kecil tidak dievaluasi, maka cuaca sebagus apa pun tidak ada yang bisa membuat pertanian kita mencetak prestasi produksi yang gemilang. wulan tunjung palupi
(-)
Index Koran sumber; http://republika.co.id:8080/koran/0/128392/Akibat_Pemerintah_Singkirkan_Petani_Kecil Baca Selanjutnya......
Rabu, 02 Februari 2011 pukul 08:00:00
Achmad Yakub
Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI
Oleh EH Ismail
Petani banyak gagal panen, ada faktor penyebab lain kecuali cuaca?
Secara umum memang kegagalan panen ini akibat cuaca yang anomali. Tapi, jangan menyepelekan penyebab yang bersumber dari kebijakan pemerintah. Saat ini tidak ada grand design yang baik tentang arah pembangunan pertanian nasional. Saat ini, pemerintah menjalankan pembangunan pertanian ke arah pertanian korporasi.
Pemerintah menyusun regulasi dan program-program pertanian yang diperuntukkan untuk para pengusaha yang ingin bergerak di bidang pertanian. Food estate, misalnya. Lahan sangat luas disediakan untuk korporat yang ingin mengembangkan komoditas pertanian. Tidak hanya pangan, hortikultura juga. Sementara masyarakat petani gurem makin tidak diperhatikan.
Kebijakan seperti apa yang turut menyebabkan kegagalan panen petani hortikultura?
Dengan pertanian model korporat, petani-petani kecil menjadi tersingkirkan. Mereka tidak lagi punya kesempatan menguasai lahan yang lebih luas dan terus-menerus berada di angka rata-rata kepemilikan lahan 0,3 hektare per petani. Akhirnya, petani menjadi terdemotivasi untuk melakukan produksi yang lebih bagus.
Kalaupun berhasil panen bagus, pemerintah segera membanjiri pasar dengan produk-produk impor. Buah-buahan dan sayur-sayuran dari Cina, Thailand, dan Vietnam masuk saat petani panen. Akibatnya harga turun. Nah, kalau selalu seperti ini, mana mau petani bekerja keras menjaga tanaman mereka biar bisa panen bagus. Ini salah satu masalah kecil saja sebagai contoh.
Cuaca itu saat ini menjadi pembenar di balik kegagalan panen hortikultura dan tanaman pangan kita. Tapi, selama kebijakan pemerintah yang terus menyingkirkan petani kecil tidak dievaluasi, maka cuaca sebagus apa pun tidak ada yang bisa membuat pertanian kita mencetak prestasi produksi yang gemilang. wulan tunjung palupi
(-)
Index Koran sumber; http://republika.co.id:8080/koran/0/128392/Akibat_Pemerintah_Singkirkan_Petani_Kecil Baca Selanjutnya......
13.1.11
Empat langkah strategis menyelamatkan Pertanian dan Menjamin kedaulatan pangan
tulisan ini untuk berkontribusi dalam mengatasi persoalan; pangan, pertanian dan kesejahteraan petani
Oleh A. Yakub
Pendahuluan
Belakangan ini terutama sejak krisis harga pangan dimulai 2007 dan kelaparan global yang meningkat hingga 1 milyar orang, dunia terhenyak akan arti pertanian, agraria dan pembangunan perdesaan. Tidak tanggung-tanggung dalam mekanisme PBB tahun 2008 membentuk UN High-Level Task Force on Global Food Crisis. Sebelumnya yakni tahun 2006 sebenarnya secara global juga sudah ada konferensi Internasional di Porto Alegre, Brasil yang membahas tentang reforma agraria, dan pembangunan perdesaan (ICARRD). Dalam konferensi ICARRD tersebut negara-negara peserta menyadari betapa pentingnya hak atas pangan, akses yang lebih luas atas tanah, air dan sumber alam lainnya (keseluruhan dikenal sebagai agraria). Demikian juga pembahasan global di arena KTT Pangan yang tiap tahunnya digelar di Roma yang terus berambisi mengurangi kelaparan, hingga kini belum berhasil.
Bagaimana di Inonesia? Pemerintah Indonesia sejak awal jauh sebelumnya (khususnya setelah reformasi 1998) sudah menyadari betapa vitalnya pertanian dan agraria tersebut. Untuk itu masih segar ingatan kita ketika pada Pada Sabtu, 11 Juni 2005 di Purwakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta beberapa menterinya mencanangkan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) . Program ini merupakan realisasi dari tiga jalur agenda pembangunan jangka menengah (RPJM) Kabinet Indonesia Bersatu. Dua strategi lainnya adalah, peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,6 persen pertahun dicapai melalui percepatan investasi dan ekspor serta pembenahan sektor riil untuk membuka lapangan kerja. RPPK juga menetapkankan lahan pertanian abadi seluas 15 juta hektar lahan ber-irigasi dan 15 juta hektar lahan kering, total 30 juta hektar.
Fokus dari RPPK adalah semata-mata bisnis, dengan perdagangan dan investasi dianggap jalan utama dan satu-satunya yang akan membawa petani menjadi sejahtera. Anggapan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di pasar menjadi agenda utama pemerintah. Kemudian pelaku usaha yang didorong untuk melakukan aktivitas agriibisnis adalah melalui korporasi dalam negeri maupun modal asing. Sederhananya pemerintahan SBY ingin men shifting dari pertanian keluarga-keluarga tani dan usaha kecil peredsaan menjadi pertanian yang dikendalikan oleh korporat.
Secara teori istilah korporat (corporate) dikenalkan pertama kali di Amerika Serikat pada 1957 dengan istilah agribusiness oleh J.H Davis dan R. Goldberg. Mereka mendefenisikan agribisnis sebagai keseluruhan rantai proses pertanian, mulai dari input pertanian sampai ke tingkat eceran (the entire supply chain, from farm inputs to retail ). Jesper S. Lee dari Virginia, Amerika Serikat, dalam bukunya Agribusiness procedures and records juga menyebutkan bahwa tidak efisien apabila petani memproduksi sendiri benih, pupuk, ataupun mesin pertanian; namun akan lebih mudah apabila dibeli dari agribisnis yang spesialis memproduksi barang-barang tersebut.
Selanjutnya agribisnis akan menimbulkan spesialisasi pada tiap lininya, mulai dari on farm sampai off farm. Agribisnis juga yang mendorong tumbuhnya perkebunan-perkebunan, sampai terjadinya food estate. Melalui agribisnis, pertanian diproduksi secara industri, dalam jumlah sebanyak-sebanyaknya dengan ukuran seragam dan bersifat monokultur.
Agribisnis juga memunculkan free market (pasar bebas) di dunia pertanian, agar tidak muncul hambatan dalam transaksi antar lini agribisnis. Paham free market inilah yang selalu menginginkan untuk menguasai pasar, sehingga bagi yang tidak kompetitif akan kalah dari persaingan merebut pasar. Free Market juga berorientasi untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga produksi ditentukan dari permintaan dan penguasaan pasar. Hal ini menyebabkan kegiatan bertani bukan lagi untuk kehidupan tapi untuk memproduksi komoditas. Selanjutnya pemodal kuat akan menguasai pasar pertanian sehingga petani kecil hanya menjadi bagian dari elemen agribisnis saja (buruh murah misalnya)2. Bahkan lebih itu, petani menjadi kelompok yang paling dahulu dan parah bila mengalami kerugian bila cuaca buruk, serangan hama, puso atau gagal panen.
Kebijakan orientasi ekspor, bisnis dan monokulture menyebabkan semua hal diserahkan pada mekanisme pasar. Demi kepentingan pasar kebutuhan nasional diabaikan. Sebut saja kasus kelapa sawit yang sebagian besar diekspor yang mengakibatkan harga minyak makan didalam negeri naik pesat. Apa yang terjadi dengan komoditi cabe, merupakan hal nyata bagaimana pemerintah tidak berdaya untuk mengatur atau mengontrol harga kebutuhan rakyatnya. Misalnya ketika harga beras dipasar Internasional naik tinggi sekitar Rp. 10.000/kg ditahun 2008, maka anjuran untuk ekspor begitu gencarnya. Sebaliknya ketika harga beras internasional lebih murah dari harga dinasional maka cepat-cepat dikatakan harus segera impor bahkan dengan bea masuk nol rupiah.
Akibatnya devisa negara yang begitu besar akan hilang begitu saja menguntungkan korporasi. Sebagai contohnya saat ini (2010-awal 2011), pemerintah melalui Bulog telah mencapai deal impor sebanyak 1,08 juta ton dari Vietnam dan Thailand. Berdasarkan hitungan penulis, jika pemerintah mengimpor 1,05 juta ton beras saja, devisa yang diserap nilainya sekitar Rp4,86 triliun. Terlebih, 1,05 juta ton beras ini setara dengan produksi yang dihasilkan dari 333.000 hektare sawah. Jika rata-rata per hektare petani bisa memproduksi 5 ton gabah atau setara 3 ton beras, maka jumlah devisa yang dihabiskan ini setara dengan kehilangan pendapatan 666 ribu kepala keluarga petani di Indonesia. Perhitungan ini didapat dari asumsi bahwa setiap keluarga petani memiliki 0,3-0,5 hektare.
Yang diuntungkan bukan petani-petani didunia ini namun hanya segelintir orang melalui perusahaan-perusahaan multi nasional. Termasuk didalamnya adalah perusahaan yang menjual benih, pestisida, pabrik pupuk petrokimia, dan alat-alat pertanian. Demikian juga dengan konsumen mereka nasibnya sama dengan petani, hanya menanti ketidakpastian harga dikarenakan maraknya spekulasi yang secara umum dimudah dengan model pertanian saat ini, dimana negara ikat dalam berbagai perjanjian internasional. Sebut saja misalnya ada WTO, ACFTA, IJEPA, AANZ dan perjanjian perdagangan bebas lainnya baik regional maupun bilateral.
Sisi lain berbagai konflik agraria terus terjadi, PPAN akhirnya tidak bertaji. Hingga sekarang tiada realisasi. Bukan pembaruan agraria yang dijalankan, tapi justru program Layanan Rakyat untuk Sertipikasi Tanah (Larasita) dalam kerangka pasar tanah ala Bank Dunia dan ADB.
Sekarang ini menurut BPS (2010) masih ada 31.2 juta penduduk berada dalam kondisi miskin dengan komposisi orang miskin desa lebih banyak yakni 19,93 juta penduduk dan 11.1 juta penduduk kota. Tingkat kemiskinan di pedesaan sebenarnya bisa disetarakan dengan jumlah petani gurem, karena mereka inilan kelompok yang rentan. Menurut katagori BPS petani gurem adalah Petani yang tanah garapan kurang dari 0.5 ha. Hasil Sensus Pertanian terakhir (2003) menunjukkan bahwa jumlah keluarga petani gurem berjumlah 13.7 juta jiwa dan hasil proyeksi SPI jumlah keluarga petani gurem pada tahun 2008 berjumlah 15.6 juta jiwa. Bila setiap KK mempunyai 3 anak saja, maka jumlah penduduk miskin berjumlah 78 juta jiwa. Pada tahun 2010 jumlah petani tersebut diperkirakan akan meningkat, seiring dengan agenda korporatisasi pangan dan pertanian pemerintah melalui investor dan perusahaan-perusahaan agribisnis.
Rakyat miskin di Indonesia juga terus bertarung untuk bertahan hidup dengan berbagai tekanan himpitan ekonomi, kenaikan harga pangan pokok. Banyak diantaranya harus berutang, menganti pola makan agar hemat, bahkan ada yang bunuh diri. Beberapa kasus bunuh diri di bulan Januari 2011 memang kenyataannya berlatar belakang kesulitan ekonomi. Suami istri Maksum (35) dan Rohani (33) yang bekerja sebagai buruh kebun tebu di Cirebon memilih jalan gantung diri karena sudah tidak kuat dengan desakan ekonomi yang melanda keluarganya. Suami istri yang memiliki tiga orang anak ini hanya berpenghasilan Rp 25.000 per hari, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarganya sehari-hari
Begitu juga Samsul Fatah (20), yang bekerja sebagai buruh tani di Kebumen, diketemukan tewas setelah meminum racun serangga. Samsul menjadi tulang punggung keluarga dan hanya diupah Rp 25.000 per hari dari hasil kerjanya. Samsul kemudian nekat minum racun serangga karena tidak sanggup menaggung beban untuk menanggung hidup keluarganya3. Bahkan bertepatan dengan pernyataan pemerintah melalui Menko Ekuin yang mengungkapkan berbagai keberhasilan pertumbuhan perekonomian di Indonesia, 6 orang bersaudara eninggal dunia karena keracunan setelah sarapan tiwul. Mereka terpaksa makan tiwul karena keluarga tidak mampu untuk membeli beras.
Jadi tidak heran ketika kemiskinan dekat dengan kurang gizi dan busung lapar. Desa tidak menjadi pembuka lapangan kerja. Desa menjadi pengekspor utama buruh migran dan pekerja informal diperkotaan. Dari kebijakan pemerintah sejak 2004-2011 dibidang pertanian, dapat dikatakan terjadi stagnasi kemajuan di pedesaan, pertanian, tiadanya kedaulatan pangan dan makin rentannya nasib petani.
Langkah strategis untuk menyelamatkan pertanian dan kedaulatan pangan
Di tengah situasi seperti yang ada saat ini apa yang sesungguhnya bisa di lakukan untuk menyelamatkan pertanian dan kedaulatan pangan yang beroreintasi pada kesejahteraan petani dan pemenuhan kebutuhan nasional. Bagi penulis setidaknya ada empat aspek langkah strategis yang harus dilaksanakan yaitu aspek pertanahan, proses produksi, distribusi dan kelembagaan petani.
Pertama, aspek pertanahan. Melalui sejumlah kebijakan pertanahan yang dapat dilihat dibagian sebelumnya nampak betapa pemerintah masih belum atau tidak menyadari pentingnya penguasaan alat produksi, dalam hal ini ialah tanah, bagi kepentingan perkembangan kesejahteraan kaum tani.
Dalam hal pertanahan setidaknya pemerintah harus mengambil langkah-langkah, (i) pemerintah dengan sungguh-sungguh menjalankan Pembaruan Agraria yang berpihak kepada petani. Hal itu dapat dilakukan dengan menjadikan tanah-tanah yang dikuasai perusahaan-perusahaan perkebunan, dan kehutanan tersebut sebagai tanah obyek landreform. Kemudian saat ini di Indonesia masih terdapat 12.418.0564 hektar tanah terlantar yang akan sangat bermanfaat jika didistribusikan untuk dimanfaatkan oleh keluarga-keluarga tani. Pendistribusian ini hendaknya mengutamakan keluarga tani yang tak bertanah, buruh tani dan petani-petani kecil dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar. Jika rata-rata satu keluarga tani mendapatkan 2 hektar tanah untuk digarap, sesuai pasal 8 Perpu No.56/1960 untuk batas minimum yang dapat menjamin kelangsungan hidup keluarga, maka terdapat 6.209.028 keluarga yang akan mendapatkan sumber penghidupan yang layak disamping untuk memenuhi kebutuhan pangan dan produk pertanian nasional.
(ii) menghentikan program food estate, perkebunan pangan skala luas yang diperuntukan bagi korporasi. Pengembangan food estate bertentangan dengan upaya pemerintah memenuhi kemandirian pangan, ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani. Dengan adanya pembukaan food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari pertanian berbasis keluarga petani ataupun koperasi menjadi korporasi/perusahaan produksi pertanian dan pangan. Kondisi ini akan melemahkan kedaulatan pangan Indonesia dengan menyerahkan pengelolaan kebutuhan dasar rakyat ke tangan perusahaan. (iii) tidak melakukan alih fungsi lahan-lahan subur yang digunakan untuk pertanian menjadi peruntukkan lain di luar sektor pertanian terutama yang tidak menguntungkan bagi rakyat banyak. Serta pembatasan modal asing dalam pengelolaan sumber daya agraria. (iv) pengaturan kembali atau mencabut undang-undang sektoral yang saling bertabrakan dan tidak menguntungkan rakyat dan negara Indonesia seperti UU Perkebunan No.18/2004, UU Pengelolaan Sumber Daya Air No.7/2004, UU Kehutanan No. 19/2004, UU Penanaman Modal No. 25/2007 dan UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Kedua aspek produksi. Sistem produksi pertanian yang bersifat agribisnis seperti yang saat ini didorong oleh pemerintah Indonesia hanya akan membuat pangan dan pertanian berada dalam kontrol perusahaan mulai dari input hingga produksinya. Sistem tersebut hanya akan membuat petani dan rakyat Indonesia menjadi buruh di tanahnya sendiri. Upaya untuk meningkatkan produktifitas hasil pertanian saat ini jangan sampai menjadi Revolusi Hijau jilid II yang membuat petani tergantung dan terikat pada perusahaan-perusahaan penghasil input pertanian seperti benih, pupuk dan pestisida. Saatnya pemerintah Indonesia untuk ke depannya membangun kemandirian dan kedaulatan kaum tani.
Mendorong dilaksanakannya pertanian rakyat yang berkelanjutan misalnya hendaknya bukan saja didorong untuk memperbaiki kualitas tanah, lingkungan dan produksi yang aman bagi kesehatan manusia. Program tersebut hendaknya dijalankan dengan sungguh-sungguh sebagai upaya untuk melepas ketergantungan terhadap perusahaan-perusahaan transnasional penghasil input pertanian. Melalui penjualan input-input pertanian perusahaan-perusahaan tersebut telah menangguk keuntungan besar-besaran. Sebagai contoh nilai bisnis benih dunia pada tahun 2008 mencapai 31 milyar dolar dan bisnis agrokimia bahkan rata-rata mendapat keuntungan sebesar 35 milyar dolar per tahunnya.
Dengan semangat meningkatkan pertanian dan kesejahteraan petani Indonesia beberapa langkah yang harus dan mendesak untuk dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia antara lain; (i) memandirikan produksi benih secara nasional. Sebagai contoh tahun 2008 Sebagian besar benih untuk tanaman pangan dikontrol oleh perusahaan multinasional, seperti jagung hibrida yang mencapai 43 persen dipasok oleh syngenta dan Bayern Corp. Dukungan bagi pengembangan benih pangan berbasis komunitas harus dijadikan sebagai salah satu cara memandirikan petani. Karena setidaknya Indonesia hampir di setiap propinsi memilki universitas-universitas yang mumpuni untuk mendorong penelitian-penelitian yang dilakukan oleh petani. Ke depan harapannya, secara perbenihan Indonesia bisa maju dan mandiri.
(ii) mengubah arah kebijakan subsidi pertanian agar ditujukan langsung kepada keluarga-keluarga tani dan bukannya kepada perusahaan penghasil sarana produksi ataupun distributor besar. Saat ini sistem subsidi masih ditujukan kepada perusahaan penghasil sarana produksi dan distributor besar baik swasta maupun BUMN, tanpa disertai pengawasan lebih lanjut hingga ke tingkat petani. Situasi ini menyebabkan hampir setiap tahun petani senantiasa mengalami kelangkaan pupuk maupun benih.
(iii) pertanian rakyat berkelanjutan menjawab kebutuhan teknologi bagi petani kecil. Inovasi teknologi pada petani kecil ini memiliki beberapa karakter yakni penghematan input dan biaya, pengurangan resiko kegagalan, dikembangkan untuk lahan marjinal, cocok dengan sistem pertanian keluarga tani, dan meningkatkan pemenuhan nutrisi, kesehatan, dan lingkungan. Sistem ini sudah sesuai dan sejalan dengan kriteria pengembangan teknologi bagi petani kecil. Kriteria tersebut adalah berbasiskan pengetahuan lokal dan rasional; layak secara ekonomi dan dapat diakses dengan menggunakan sumber-sumber lokal; sensitive pada lingkungan, nilai sosial dan kebudayaan; mengurangi resiko dan bisa diadaptasi oleh petani; serta meningkatkan secara keseluruhan produktivitas dan stabilitas pertanian. Demikian juga tidak terjebak dengan model monokulture. Upaya yang praktis adalah mengimplementasikan kembali program Go organic 2010, dengan berbagai perbaikan seperti diatas.
Ketiga, Aspek distribusi. Kebijakan distribusi yang ada saat ini juga sangat merugikan petani. Dengan serbuan impor pangan murah, petani kehilangan insentif untuk terus berproduksi. Bukan hanya petani, rakyat Indonesia secara luas juga mengalami kerugian dengan sistem distribusi yang ada. Secara nasional juga pemerintah tidak berdaya menghadapi spekulasi perdagangan hasil pertanian dan pangan.
Untuk mencegah semakin luasnya krisis pangan dan kelaparan di Indonesia sesungguhnya kebijakan distribusi pangan dan hasil pertanian memiliki peranan yang sangat vital. penulis memandang bahwa perubahan kebijakan distribusi pertanian harus lah segera dilaksanakan, dan dalam jangka pendek sejumlah alternatif yang bisa dilakukan antara lain; (i) pengaturan tata niaga bahan pangan yang harus diatur oleh badan pemerintah, jangan diserahkan kepada mekanisme pasar yang sifatnya oligopoli bahkan pada komoditas tertentu dimonopoli oleh beberapa korporasi dalam negeri maupun asing.
(ii) Menetapkan harga dasar terutama untuk kebutuhan pokok yang dapat menutupi ongkos produksi dan memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga petani. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan.5 Harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan keuntungan petani dan kemampuan konsumen. menetapkan harga dasar yang dapat menutupi ongkos produksi dan memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga petani. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan.6 Harga harus dapat menutupi ongkos produksi dan kebutuhan hidup petani namun juga tidak merugikan konsumen.
(iii) melakukan pengaturan ekspor impor produk pertanian yang disesuaikan dengan kebutuhan dan bukan dengan melihat keuntungan yang diperoleh. Mengurangi ekspor bahan pangan ke luar negeri dengan menetapkan quota dan tidak melakukan ekspor bahan pangan pokok ketika kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi. Melindungi petani dari dumping produk pertanian luar negeri dengan tidak mengurangi atau menghapuskan pajak impor. (iv) peran pemerintah, dalam hal ini Bulog sebagai lembaga yang berperan menjaga stabilitas harga dan persediaan pangan dalam negeri secara luas harus ditegakkan kembali, terutama menyangkut bahan pangan pokok seperti beras, jagung, kedelai, minyak goreng dan gula. Pemerintah harus berani bersikap melindungi pertanian nasional, jangan terpaku dengan berbagai perjanjian liberalisasi pertanian yang diusung oleh WTO ataupun berbagai FTA, baik regional maupun bilateral. Praktek-praktek liberalisasi, deregulasi dan privatisasi seperti anjuran IMF, Bank Dunia dan WTO telah merusak pasar nasional (sebagai contoh bea masuk import beras yang nol persen) dan melemahkan BULOG. Harusnya BULOG bisa lebih aktif menjalankan fungsi Public Service Obligation bukan menjadi lembaga pencari laba. Artinya BULOG harus menjadi lembaga penyangga pangan yang memiliki kewenangan dan fungsi pelayanan publik.
(v) mengambil langkah tegas untuk mencegah terjadinya spekulasi produk pertanian yang dapat merugikan masyarakat luas. Perlunya melakukan investigasi dan penyelidikan terhadap kemungkinan penimbunan bahan pangan yang dilakukan oleh para pelaku bisnis pangan dan spekulan.
Keempat, Aspek kelembagaan petani. Kebijakan kelembagaan yang mengurus kepentingan petani dan pertanian serta pembangunan pedesaan hingga sekarang belumlah ada. Program dan kelembagaan yang ada sifatnya parsial tidak menyeluruh dan kuat. Beberapa hal untuk membangun kelambagaan petani dan pertanian yang harus dilakukan adalah;
(i) dibangunnya pemahaman agraria secara nasional sehingga kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah tidaklah sepotong-sepotong. Kelembagaan yang dimaksud adalah yang mampu mengurus dan menangani persoalan petani dan pertanian mulai dari alat produksi, input produksi, proses produksi, distribusi dan keuangan. Artinya juga menangani soal pendidikan, teknologi dan pengembangan infrastruktur, serta koperasi dan organisasi petani.
(ii) memberikan kesempatan yang sama kepada berbagai organisasi tani dalam mendapatkan pelayanan baik dalam subsidi maupun pelatihan tekhnik pertanian. Pemerintah perlu menetapkan jaminan yang mendukung tumbuhnya organisasi tani yang mandiri serta memperbesar alokasi dana dan pengaturan distribusi dana untuk usaha pertanian yang menguntungkan petani dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Terlebih pada dukungan harga pasca produksi.
Penutup
Banyaknya kebijakan dan program pangan dan pertanian yang dicanangkan pemerintah seharusnya menjadi tanda keseriusan pemerintah untuk membenahi sektor ini termasuk meningkatkan kesejahteraan petani kecil. Namun sayangnya berbagai program ini justru didorong demi melayani kepentingan para investor.
Pemerintah tidak lagi mendukung keluarga-keluarga petani yang telah menyediakan kebutuhan pangan bagi jutaan penduduk negeri ini selama puluhan tahun. Saat ini pemerintah justru menyerahkan kepada perusahaan-perusahaan pertanian untuk mengelola sumberdaya agraria dan memproduksi pangan bagi negeri ini. Cara pikir seperti inilah yang justru akan semakin memperlemah kedaulatan pangan bangsa.
Untuk itu, masih ada waktu empat tahun lagi bagi pemerintah sekarang ini untuk mengambil langkah-langkah yang berpihak kepada kaum tani. Tentu dengan kembali kepada Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) sebagai penjabaran dari UUD 1945 pasal 33. Hal ini merupakan agenda yang mendasar bagi Indonesia untuk terjadinya perombakan, pembaruan, pemulihan dan penataan sistem agraria nasional yang sejati demi keadilan dan kemakmuran bagi petani, dan seluruh rakyat Indonesia.
Baca Selanjutnya......
Oleh A. Yakub
Pendahuluan
Belakangan ini terutama sejak krisis harga pangan dimulai 2007 dan kelaparan global yang meningkat hingga 1 milyar orang, dunia terhenyak akan arti pertanian, agraria dan pembangunan perdesaan. Tidak tanggung-tanggung dalam mekanisme PBB tahun 2008 membentuk UN High-Level Task Force on Global Food Crisis. Sebelumnya yakni tahun 2006 sebenarnya secara global juga sudah ada konferensi Internasional di Porto Alegre, Brasil yang membahas tentang reforma agraria, dan pembangunan perdesaan (ICARRD). Dalam konferensi ICARRD tersebut negara-negara peserta menyadari betapa pentingnya hak atas pangan, akses yang lebih luas atas tanah, air dan sumber alam lainnya (keseluruhan dikenal sebagai agraria). Demikian juga pembahasan global di arena KTT Pangan yang tiap tahunnya digelar di Roma yang terus berambisi mengurangi kelaparan, hingga kini belum berhasil.
Bagaimana di Inonesia? Pemerintah Indonesia sejak awal jauh sebelumnya (khususnya setelah reformasi 1998) sudah menyadari betapa vitalnya pertanian dan agraria tersebut. Untuk itu masih segar ingatan kita ketika pada Pada Sabtu, 11 Juni 2005 di Purwakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta beberapa menterinya mencanangkan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) . Program ini merupakan realisasi dari tiga jalur agenda pembangunan jangka menengah (RPJM) Kabinet Indonesia Bersatu. Dua strategi lainnya adalah, peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,6 persen pertahun dicapai melalui percepatan investasi dan ekspor serta pembenahan sektor riil untuk membuka lapangan kerja. RPPK juga menetapkankan lahan pertanian abadi seluas 15 juta hektar lahan ber-irigasi dan 15 juta hektar lahan kering, total 30 juta hektar.
Fokus dari RPPK adalah semata-mata bisnis, dengan perdagangan dan investasi dianggap jalan utama dan satu-satunya yang akan membawa petani menjadi sejahtera. Anggapan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di pasar menjadi agenda utama pemerintah. Kemudian pelaku usaha yang didorong untuk melakukan aktivitas agriibisnis adalah melalui korporasi dalam negeri maupun modal asing. Sederhananya pemerintahan SBY ingin men shifting dari pertanian keluarga-keluarga tani dan usaha kecil peredsaan menjadi pertanian yang dikendalikan oleh korporat.
Secara teori istilah korporat (corporate) dikenalkan pertama kali di Amerika Serikat pada 1957 dengan istilah agribusiness oleh J.H Davis dan R. Goldberg. Mereka mendefenisikan agribisnis sebagai keseluruhan rantai proses pertanian, mulai dari input pertanian sampai ke tingkat eceran (the entire supply chain, from farm inputs to retail ). Jesper S. Lee dari Virginia, Amerika Serikat, dalam bukunya Agribusiness procedures and records juga menyebutkan bahwa tidak efisien apabila petani memproduksi sendiri benih, pupuk, ataupun mesin pertanian; namun akan lebih mudah apabila dibeli dari agribisnis yang spesialis memproduksi barang-barang tersebut.
Selanjutnya agribisnis akan menimbulkan spesialisasi pada tiap lininya, mulai dari on farm sampai off farm. Agribisnis juga yang mendorong tumbuhnya perkebunan-perkebunan, sampai terjadinya food estate. Melalui agribisnis, pertanian diproduksi secara industri, dalam jumlah sebanyak-sebanyaknya dengan ukuran seragam dan bersifat monokultur.
Agribisnis juga memunculkan free market (pasar bebas) di dunia pertanian, agar tidak muncul hambatan dalam transaksi antar lini agribisnis. Paham free market inilah yang selalu menginginkan untuk menguasai pasar, sehingga bagi yang tidak kompetitif akan kalah dari persaingan merebut pasar. Free Market juga berorientasi untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga produksi ditentukan dari permintaan dan penguasaan pasar. Hal ini menyebabkan kegiatan bertani bukan lagi untuk kehidupan tapi untuk memproduksi komoditas. Selanjutnya pemodal kuat akan menguasai pasar pertanian sehingga petani kecil hanya menjadi bagian dari elemen agribisnis saja (buruh murah misalnya)2. Bahkan lebih itu, petani menjadi kelompok yang paling dahulu dan parah bila mengalami kerugian bila cuaca buruk, serangan hama, puso atau gagal panen.
Kebijakan orientasi ekspor, bisnis dan monokulture menyebabkan semua hal diserahkan pada mekanisme pasar. Demi kepentingan pasar kebutuhan nasional diabaikan. Sebut saja kasus kelapa sawit yang sebagian besar diekspor yang mengakibatkan harga minyak makan didalam negeri naik pesat. Apa yang terjadi dengan komoditi cabe, merupakan hal nyata bagaimana pemerintah tidak berdaya untuk mengatur atau mengontrol harga kebutuhan rakyatnya. Misalnya ketika harga beras dipasar Internasional naik tinggi sekitar Rp. 10.000/kg ditahun 2008, maka anjuran untuk ekspor begitu gencarnya. Sebaliknya ketika harga beras internasional lebih murah dari harga dinasional maka cepat-cepat dikatakan harus segera impor bahkan dengan bea masuk nol rupiah.
Akibatnya devisa negara yang begitu besar akan hilang begitu saja menguntungkan korporasi. Sebagai contohnya saat ini (2010-awal 2011), pemerintah melalui Bulog telah mencapai deal impor sebanyak 1,08 juta ton dari Vietnam dan Thailand. Berdasarkan hitungan penulis, jika pemerintah mengimpor 1,05 juta ton beras saja, devisa yang diserap nilainya sekitar Rp4,86 triliun. Terlebih, 1,05 juta ton beras ini setara dengan produksi yang dihasilkan dari 333.000 hektare sawah. Jika rata-rata per hektare petani bisa memproduksi 5 ton gabah atau setara 3 ton beras, maka jumlah devisa yang dihabiskan ini setara dengan kehilangan pendapatan 666 ribu kepala keluarga petani di Indonesia. Perhitungan ini didapat dari asumsi bahwa setiap keluarga petani memiliki 0,3-0,5 hektare.
Yang diuntungkan bukan petani-petani didunia ini namun hanya segelintir orang melalui perusahaan-perusahaan multi nasional. Termasuk didalamnya adalah perusahaan yang menjual benih, pestisida, pabrik pupuk petrokimia, dan alat-alat pertanian. Demikian juga dengan konsumen mereka nasibnya sama dengan petani, hanya menanti ketidakpastian harga dikarenakan maraknya spekulasi yang secara umum dimudah dengan model pertanian saat ini, dimana negara ikat dalam berbagai perjanjian internasional. Sebut saja misalnya ada WTO, ACFTA, IJEPA, AANZ dan perjanjian perdagangan bebas lainnya baik regional maupun bilateral.
Sisi lain berbagai konflik agraria terus terjadi, PPAN akhirnya tidak bertaji. Hingga sekarang tiada realisasi. Bukan pembaruan agraria yang dijalankan, tapi justru program Layanan Rakyat untuk Sertipikasi Tanah (Larasita) dalam kerangka pasar tanah ala Bank Dunia dan ADB.
Sekarang ini menurut BPS (2010) masih ada 31.2 juta penduduk berada dalam kondisi miskin dengan komposisi orang miskin desa lebih banyak yakni 19,93 juta penduduk dan 11.1 juta penduduk kota. Tingkat kemiskinan di pedesaan sebenarnya bisa disetarakan dengan jumlah petani gurem, karena mereka inilan kelompok yang rentan. Menurut katagori BPS petani gurem adalah Petani yang tanah garapan kurang dari 0.5 ha. Hasil Sensus Pertanian terakhir (2003) menunjukkan bahwa jumlah keluarga petani gurem berjumlah 13.7 juta jiwa dan hasil proyeksi SPI jumlah keluarga petani gurem pada tahun 2008 berjumlah 15.6 juta jiwa. Bila setiap KK mempunyai 3 anak saja, maka jumlah penduduk miskin berjumlah 78 juta jiwa. Pada tahun 2010 jumlah petani tersebut diperkirakan akan meningkat, seiring dengan agenda korporatisasi pangan dan pertanian pemerintah melalui investor dan perusahaan-perusahaan agribisnis.
Rakyat miskin di Indonesia juga terus bertarung untuk bertahan hidup dengan berbagai tekanan himpitan ekonomi, kenaikan harga pangan pokok. Banyak diantaranya harus berutang, menganti pola makan agar hemat, bahkan ada yang bunuh diri. Beberapa kasus bunuh diri di bulan Januari 2011 memang kenyataannya berlatar belakang kesulitan ekonomi. Suami istri Maksum (35) dan Rohani (33) yang bekerja sebagai buruh kebun tebu di Cirebon memilih jalan gantung diri karena sudah tidak kuat dengan desakan ekonomi yang melanda keluarganya. Suami istri yang memiliki tiga orang anak ini hanya berpenghasilan Rp 25.000 per hari, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarganya sehari-hari
Begitu juga Samsul Fatah (20), yang bekerja sebagai buruh tani di Kebumen, diketemukan tewas setelah meminum racun serangga. Samsul menjadi tulang punggung keluarga dan hanya diupah Rp 25.000 per hari dari hasil kerjanya. Samsul kemudian nekat minum racun serangga karena tidak sanggup menaggung beban untuk menanggung hidup keluarganya3. Bahkan bertepatan dengan pernyataan pemerintah melalui Menko Ekuin yang mengungkapkan berbagai keberhasilan pertumbuhan perekonomian di Indonesia, 6 orang bersaudara eninggal dunia karena keracunan setelah sarapan tiwul. Mereka terpaksa makan tiwul karena keluarga tidak mampu untuk membeli beras.
Jadi tidak heran ketika kemiskinan dekat dengan kurang gizi dan busung lapar. Desa tidak menjadi pembuka lapangan kerja. Desa menjadi pengekspor utama buruh migran dan pekerja informal diperkotaan. Dari kebijakan pemerintah sejak 2004-2011 dibidang pertanian, dapat dikatakan terjadi stagnasi kemajuan di pedesaan, pertanian, tiadanya kedaulatan pangan dan makin rentannya nasib petani.
Langkah strategis untuk menyelamatkan pertanian dan kedaulatan pangan
Di tengah situasi seperti yang ada saat ini apa yang sesungguhnya bisa di lakukan untuk menyelamatkan pertanian dan kedaulatan pangan yang beroreintasi pada kesejahteraan petani dan pemenuhan kebutuhan nasional. Bagi penulis setidaknya ada empat aspek langkah strategis yang harus dilaksanakan yaitu aspek pertanahan, proses produksi, distribusi dan kelembagaan petani.
Pertama, aspek pertanahan. Melalui sejumlah kebijakan pertanahan yang dapat dilihat dibagian sebelumnya nampak betapa pemerintah masih belum atau tidak menyadari pentingnya penguasaan alat produksi, dalam hal ini ialah tanah, bagi kepentingan perkembangan kesejahteraan kaum tani.
Dalam hal pertanahan setidaknya pemerintah harus mengambil langkah-langkah, (i) pemerintah dengan sungguh-sungguh menjalankan Pembaruan Agraria yang berpihak kepada petani. Hal itu dapat dilakukan dengan menjadikan tanah-tanah yang dikuasai perusahaan-perusahaan perkebunan, dan kehutanan tersebut sebagai tanah obyek landreform. Kemudian saat ini di Indonesia masih terdapat 12.418.0564 hektar tanah terlantar yang akan sangat bermanfaat jika didistribusikan untuk dimanfaatkan oleh keluarga-keluarga tani. Pendistribusian ini hendaknya mengutamakan keluarga tani yang tak bertanah, buruh tani dan petani-petani kecil dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar. Jika rata-rata satu keluarga tani mendapatkan 2 hektar tanah untuk digarap, sesuai pasal 8 Perpu No.56/1960 untuk batas minimum yang dapat menjamin kelangsungan hidup keluarga, maka terdapat 6.209.028 keluarga yang akan mendapatkan sumber penghidupan yang layak disamping untuk memenuhi kebutuhan pangan dan produk pertanian nasional.
(ii) menghentikan program food estate, perkebunan pangan skala luas yang diperuntukan bagi korporasi. Pengembangan food estate bertentangan dengan upaya pemerintah memenuhi kemandirian pangan, ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani. Dengan adanya pembukaan food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari pertanian berbasis keluarga petani ataupun koperasi menjadi korporasi/perusahaan produksi pertanian dan pangan. Kondisi ini akan melemahkan kedaulatan pangan Indonesia dengan menyerahkan pengelolaan kebutuhan dasar rakyat ke tangan perusahaan. (iii) tidak melakukan alih fungsi lahan-lahan subur yang digunakan untuk pertanian menjadi peruntukkan lain di luar sektor pertanian terutama yang tidak menguntungkan bagi rakyat banyak. Serta pembatasan modal asing dalam pengelolaan sumber daya agraria. (iv) pengaturan kembali atau mencabut undang-undang sektoral yang saling bertabrakan dan tidak menguntungkan rakyat dan negara Indonesia seperti UU Perkebunan No.18/2004, UU Pengelolaan Sumber Daya Air No.7/2004, UU Kehutanan No. 19/2004, UU Penanaman Modal No. 25/2007 dan UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Kedua aspek produksi. Sistem produksi pertanian yang bersifat agribisnis seperti yang saat ini didorong oleh pemerintah Indonesia hanya akan membuat pangan dan pertanian berada dalam kontrol perusahaan mulai dari input hingga produksinya. Sistem tersebut hanya akan membuat petani dan rakyat Indonesia menjadi buruh di tanahnya sendiri. Upaya untuk meningkatkan produktifitas hasil pertanian saat ini jangan sampai menjadi Revolusi Hijau jilid II yang membuat petani tergantung dan terikat pada perusahaan-perusahaan penghasil input pertanian seperti benih, pupuk dan pestisida. Saatnya pemerintah Indonesia untuk ke depannya membangun kemandirian dan kedaulatan kaum tani.
Mendorong dilaksanakannya pertanian rakyat yang berkelanjutan misalnya hendaknya bukan saja didorong untuk memperbaiki kualitas tanah, lingkungan dan produksi yang aman bagi kesehatan manusia. Program tersebut hendaknya dijalankan dengan sungguh-sungguh sebagai upaya untuk melepas ketergantungan terhadap perusahaan-perusahaan transnasional penghasil input pertanian. Melalui penjualan input-input pertanian perusahaan-perusahaan tersebut telah menangguk keuntungan besar-besaran. Sebagai contoh nilai bisnis benih dunia pada tahun 2008 mencapai 31 milyar dolar dan bisnis agrokimia bahkan rata-rata mendapat keuntungan sebesar 35 milyar dolar per tahunnya.
Dengan semangat meningkatkan pertanian dan kesejahteraan petani Indonesia beberapa langkah yang harus dan mendesak untuk dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia antara lain; (i) memandirikan produksi benih secara nasional. Sebagai contoh tahun 2008 Sebagian besar benih untuk tanaman pangan dikontrol oleh perusahaan multinasional, seperti jagung hibrida yang mencapai 43 persen dipasok oleh syngenta dan Bayern Corp. Dukungan bagi pengembangan benih pangan berbasis komunitas harus dijadikan sebagai salah satu cara memandirikan petani. Karena setidaknya Indonesia hampir di setiap propinsi memilki universitas-universitas yang mumpuni untuk mendorong penelitian-penelitian yang dilakukan oleh petani. Ke depan harapannya, secara perbenihan Indonesia bisa maju dan mandiri.
(ii) mengubah arah kebijakan subsidi pertanian agar ditujukan langsung kepada keluarga-keluarga tani dan bukannya kepada perusahaan penghasil sarana produksi ataupun distributor besar. Saat ini sistem subsidi masih ditujukan kepada perusahaan penghasil sarana produksi dan distributor besar baik swasta maupun BUMN, tanpa disertai pengawasan lebih lanjut hingga ke tingkat petani. Situasi ini menyebabkan hampir setiap tahun petani senantiasa mengalami kelangkaan pupuk maupun benih.
(iii) pertanian rakyat berkelanjutan menjawab kebutuhan teknologi bagi petani kecil. Inovasi teknologi pada petani kecil ini memiliki beberapa karakter yakni penghematan input dan biaya, pengurangan resiko kegagalan, dikembangkan untuk lahan marjinal, cocok dengan sistem pertanian keluarga tani, dan meningkatkan pemenuhan nutrisi, kesehatan, dan lingkungan. Sistem ini sudah sesuai dan sejalan dengan kriteria pengembangan teknologi bagi petani kecil. Kriteria tersebut adalah berbasiskan pengetahuan lokal dan rasional; layak secara ekonomi dan dapat diakses dengan menggunakan sumber-sumber lokal; sensitive pada lingkungan, nilai sosial dan kebudayaan; mengurangi resiko dan bisa diadaptasi oleh petani; serta meningkatkan secara keseluruhan produktivitas dan stabilitas pertanian. Demikian juga tidak terjebak dengan model monokulture. Upaya yang praktis adalah mengimplementasikan kembali program Go organic 2010, dengan berbagai perbaikan seperti diatas.
Ketiga, Aspek distribusi. Kebijakan distribusi yang ada saat ini juga sangat merugikan petani. Dengan serbuan impor pangan murah, petani kehilangan insentif untuk terus berproduksi. Bukan hanya petani, rakyat Indonesia secara luas juga mengalami kerugian dengan sistem distribusi yang ada. Secara nasional juga pemerintah tidak berdaya menghadapi spekulasi perdagangan hasil pertanian dan pangan.
Untuk mencegah semakin luasnya krisis pangan dan kelaparan di Indonesia sesungguhnya kebijakan distribusi pangan dan hasil pertanian memiliki peranan yang sangat vital. penulis memandang bahwa perubahan kebijakan distribusi pertanian harus lah segera dilaksanakan, dan dalam jangka pendek sejumlah alternatif yang bisa dilakukan antara lain; (i) pengaturan tata niaga bahan pangan yang harus diatur oleh badan pemerintah, jangan diserahkan kepada mekanisme pasar yang sifatnya oligopoli bahkan pada komoditas tertentu dimonopoli oleh beberapa korporasi dalam negeri maupun asing.
(ii) Menetapkan harga dasar terutama untuk kebutuhan pokok yang dapat menutupi ongkos produksi dan memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga petani. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan.5 Harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan keuntungan petani dan kemampuan konsumen. menetapkan harga dasar yang dapat menutupi ongkos produksi dan memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga petani. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan.6 Harga harus dapat menutupi ongkos produksi dan kebutuhan hidup petani namun juga tidak merugikan konsumen.
(iii) melakukan pengaturan ekspor impor produk pertanian yang disesuaikan dengan kebutuhan dan bukan dengan melihat keuntungan yang diperoleh. Mengurangi ekspor bahan pangan ke luar negeri dengan menetapkan quota dan tidak melakukan ekspor bahan pangan pokok ketika kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi. Melindungi petani dari dumping produk pertanian luar negeri dengan tidak mengurangi atau menghapuskan pajak impor. (iv) peran pemerintah, dalam hal ini Bulog sebagai lembaga yang berperan menjaga stabilitas harga dan persediaan pangan dalam negeri secara luas harus ditegakkan kembali, terutama menyangkut bahan pangan pokok seperti beras, jagung, kedelai, minyak goreng dan gula. Pemerintah harus berani bersikap melindungi pertanian nasional, jangan terpaku dengan berbagai perjanjian liberalisasi pertanian yang diusung oleh WTO ataupun berbagai FTA, baik regional maupun bilateral. Praktek-praktek liberalisasi, deregulasi dan privatisasi seperti anjuran IMF, Bank Dunia dan WTO telah merusak pasar nasional (sebagai contoh bea masuk import beras yang nol persen) dan melemahkan BULOG. Harusnya BULOG bisa lebih aktif menjalankan fungsi Public Service Obligation bukan menjadi lembaga pencari laba. Artinya BULOG harus menjadi lembaga penyangga pangan yang memiliki kewenangan dan fungsi pelayanan publik.
(v) mengambil langkah tegas untuk mencegah terjadinya spekulasi produk pertanian yang dapat merugikan masyarakat luas. Perlunya melakukan investigasi dan penyelidikan terhadap kemungkinan penimbunan bahan pangan yang dilakukan oleh para pelaku bisnis pangan dan spekulan.
Keempat, Aspek kelembagaan petani. Kebijakan kelembagaan yang mengurus kepentingan petani dan pertanian serta pembangunan pedesaan hingga sekarang belumlah ada. Program dan kelembagaan yang ada sifatnya parsial tidak menyeluruh dan kuat. Beberapa hal untuk membangun kelambagaan petani dan pertanian yang harus dilakukan adalah;
(i) dibangunnya pemahaman agraria secara nasional sehingga kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah tidaklah sepotong-sepotong. Kelembagaan yang dimaksud adalah yang mampu mengurus dan menangani persoalan petani dan pertanian mulai dari alat produksi, input produksi, proses produksi, distribusi dan keuangan. Artinya juga menangani soal pendidikan, teknologi dan pengembangan infrastruktur, serta koperasi dan organisasi petani.
(ii) memberikan kesempatan yang sama kepada berbagai organisasi tani dalam mendapatkan pelayanan baik dalam subsidi maupun pelatihan tekhnik pertanian. Pemerintah perlu menetapkan jaminan yang mendukung tumbuhnya organisasi tani yang mandiri serta memperbesar alokasi dana dan pengaturan distribusi dana untuk usaha pertanian yang menguntungkan petani dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Terlebih pada dukungan harga pasca produksi.
Penutup
Banyaknya kebijakan dan program pangan dan pertanian yang dicanangkan pemerintah seharusnya menjadi tanda keseriusan pemerintah untuk membenahi sektor ini termasuk meningkatkan kesejahteraan petani kecil. Namun sayangnya berbagai program ini justru didorong demi melayani kepentingan para investor.
Pemerintah tidak lagi mendukung keluarga-keluarga petani yang telah menyediakan kebutuhan pangan bagi jutaan penduduk negeri ini selama puluhan tahun. Saat ini pemerintah justru menyerahkan kepada perusahaan-perusahaan pertanian untuk mengelola sumberdaya agraria dan memproduksi pangan bagi negeri ini. Cara pikir seperti inilah yang justru akan semakin memperlemah kedaulatan pangan bangsa.
Untuk itu, masih ada waktu empat tahun lagi bagi pemerintah sekarang ini untuk mengambil langkah-langkah yang berpihak kepada kaum tani. Tentu dengan kembali kepada Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) sebagai penjabaran dari UUD 1945 pasal 33. Hal ini merupakan agenda yang mendasar bagi Indonesia untuk terjadinya perombakan, pembaruan, pemulihan dan penataan sistem agraria nasional yang sejati demi keadilan dan kemakmuran bagi petani, dan seluruh rakyat Indonesia.
Baca Selanjutnya......
Subscribe to:
Posts (Atom)