28.3.11

Satu Abad Sawit: Pemiskinan Buruh, Petani & Rusak Ekosistem

Senin, 28 Maret 2011

Medan-ORBIT: Sawit beserta industrinya telah memasuki tahun ke seratus di Indonesia. Selama itu, anggapan miring tentang keberadaan sawit terus menguak. Dimulai dari penilaian tentang buruh dan petani yang semakin terjerat arus kemiskinan hingga rusaknya tatanan ekosistem. Bahkan mayoritas industri sawit telah bersinggungan dengan penegakan HAM.

Dampak korporasi perkebunan sawit dapat kita lihat pada apa yang sudah dan sedanng terjadi di wilayah Sumatera Utara (Sumut). Beberapa kasus di antaranya konflik antara masyarakat dengan PT Nauli Sawit di Tapanuli Tengah sejak tahun 2004. Lalu permasalahan PT Lonsum yang diduga menyerobot beberapa lahan masyarakat. Hal tersebut terungkap dalam sebuah Konferensi Alternatif dalam menyikapi perayaan seratus tahun sawit di Indonesia. Konferensi yang digelar di Balai Rasa Polonia Hotel Medan Minggu (27/3)  itu menghadirkan beberapa pembicara seperti George Junus Aditjondro, Lely Zailani, Achmad Yakub dan beberapa peneliti lainnya.

George yang juga penullis buku Gurita Cikeas mengungkapkan satu dampak yang belum begitu dipersoalkan masyarakat Sumut adalah sumbangan perkebunan kelapa sawit terhadap pemanasan global. Dikatakannya konversi (perubahan) hutan menjadi perkebunan kelapa sawit tentu saja dimulai dari penebangan pepohonan yang semula berada di  lokasi yang dimaksud.

Namun permasalahan yang ada, katanya, adalah masyarakat harus memahami siapa kekuatan yang bermain di balik keberadaan perkebebunan kelapa sawit. Disebutkannya, stakeholder yang memiliki kekuatan sebagai penopang perkebunan kelapa sawit di Indonesia. “Setidaknya ada 17 perusahaan sawit swasta yang ditopang beberapa stakeholder yang ada, “katanya. Selain itu, sambungnya, adanya keterlibatan militer dalam upaya ekspansi (perluasan) kebun sawit.

Diungkapkannya dari studi kepustakaan maupun pengamatan terhadap penyebaran perkebunan kelapa sawit menunjukkan ekspansi kebun sawit yang berada di wilayah konflik dijaga oleh aparat Kopassus , Kostrad dan Polri. Sejak 2005, katanya, PT Tunas Sawa Erma membuka perkebunan kelapa sawit seluas 14.461 hektare di Distrik Boven Digol yang semula pihak keamanannya adalah seorang pensiunan TNI AD. “Sumut bukan hanya lahan bermain perusahaan swasta melainkan ada beberapa perusahaan BUMN yang bermain di sini,” kata George.

Eksploitasi Wanita Sedangkan Aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) Dananng Widjo dalam paparannya mengungkapkan perkebunan kelapa sawit sarat dengan isu-isu korupsi. Dijelaskannya modus atau pola yangn menjadi jalan masuk supaya korupsi adalah gratifikasi (suap). Dengan memberikan gratifikasi kepada pejabat berwenang, kata Danang, korporasi bisa menemui jalan lurus guna melakukan ekspansi di beberapa wilayah khsususnya hutan. Dengan keadaan yang seperti itu, Danang menilai perkebunan kelapa sawit tidak pernah berpihak kepada rakyat yang semakin terjerat arus kepentingan elit kekuasaan. Sementara itu, berbicara mengenai dampak sawit terhadap pemiskinan buruh dan petani, Kordiantor Pelaksana Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatana pangan (KRKP) Witoro memaparkan, produsen pangan skala kecil baik petani maupun buruh sering dianggap tidak produktif karena memproduksi dengan skala kecil. Dengan alasan seperti itu, mereka (buruh dan tani) tidak pernah mendapat dukungan dari pemerintah.

Keberadaan seperti itu, menurutnya, liberalisasi perdagangan dan berkembanganya agro industri yang dikuasai perusahaan besar. “Pemerintah berambisi untuk mnjadikan Indonesia sebagai penghasil minyak nomor satu. Untuk itu luas perkebunan sawit akan terus ditingkatkan dengan mengkesampingkan keberlanjutan usaha buruh dan tani kecil tadi,” ujar Witoro. Tak hanya itu, dampak ekspansi perkebunan sawit juga merambah pada eksploitasi perempuan dan anak-anak pada perusahaan perkebunan sawit.

Pendiri Himpunan Serikat permepuan Indonesia (HAPSARI) Leli Zailani mengungkapkan semakin meningnkatnya kebutuhan akan minyak dunia mengharuskan pemerintah mengambil kesempatan yang ada. Hal tersebut memberi dampak kepada para pencari kerja (pengangguran) untuk mencari kerja . “Dengan anggapan bahwa daripada nnganggur, maka wanita  dan anak-anak yang berada di sekitar lokasi usaha sawit akan berfikir untuk menerima tawaran emas untuk mencari pendapatan yang ada dimata,” ujarnya. Namun kata Leli, keadaan yangn menyatakan penyetaraan gender menjadikan perusahaan seperti ‘berjasa’ karena telah memperkerjakan wanita di zaman sekarang. “Eksploitasi terhadap wanita dan anak-anak dalam kerangka industri kelapa sawit adalah contoh nyata bagaimana sistem kapitalis bermain cerdik dalam kerangka patriarki dan gender,” ujar Leli lagi. Om-12 sumber http://www.harianorbit.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167:damnpak-perkebunan&catid=43:berita-nusantara-nasional&Itemid=18
Baca Selanjutnya......

19.3.11

RI lobbies African nations for top FAO post

-->Mustaqim Adamrah, The Jakarta Post, Jakarta | Sat, 03/19/2011 2:18 PM | World A | A | A |

Industry Minister M.S. Hidayat lobbied a number of African countries Friday to back Indonesia’s candidacy for the top post at the UN’s Food and Agriculture Organization (FAO).

“The industry ministry invited African ambassadors to a dinner to introduce me to them and to gain support from African nations,” Indroyono Susilo, the Indonesian candidate for FAO director general, told The Jakarta Post. He said Indonesia had the support of other ASEAN countries.

As the only candidate from Southeast Asia, Indroyono, who is also secretary to the coordinating public welfare minister, said Indonesia had extensive fisheries, forestry and natural disaster management systems that the country could contribute to the world organization.

He said it was important to integrate and connect food producing areas to areas that lacked foodand it was also important for developing countries to have their own standards and codification system on food they produced but not let them become new non-tariff barriers.

Indonesia, a member of FAO since 1949, received an FAO award for achieving rice self sufficiency in 1985. If Indroyono is elected, he would be the first Indonesian to head one of the UN’s top bodies.

An FAO conference in Rome in July will appoint a new director general for the period from Jan. 1, 2012, to July 31, 2015.

Food observer and economist Bustanul Arifin said an Indonesian candidate was suited to head the FAO as the country successfully mitigated the impact of the 2008 food crisis by focusing on domestic rice stock production and management.

“Indonesia can be a leader in international and regional cooperation for food reserves, starting from ASEAN+3 [China, Japan and South Korea],” he told the Post via text message.

The head of the national strategic studies division at the Indonesian Farmers’ Union (SPI), Achmad Ya’kub, said while he doubted Indroyono’s capability in leading the FAO, an Indonesian candidate was perfectly suited for the role.

“From what I know, Indroyono’s background is engineering, not agriculture. I’ve never heard of his contributions to Indonesian agricultural,” he told the Post.

“I’m not sure he well understands that we have 13 million small-scale farmers with a maximum
300 square meters of land each at a time when food security is promoted to the advantage of big corporations.”

Ya’kub said that to attain food security, what mattered was the availability of food, not who the producer or distributor was.

He added farmers, large and small alike, had been traditionally producing and distributing agricultural crops and food on their own.

Ya’kub cited a 2009-2010 FAO study that showed more than 1 billion people were starving, a large increase from the 825 million people in 1996, underlining the failure of the food security concept.

Candidates for FAO director general

Austria: Franz Fischler
Brazil: José Graziano da Silva
Indonesia: Indroyono Susilo
Iran: Mohammad Saeid Noori Naeini
Iraq: Abdul Latif Rashid
Spain: Miguel Ángel Moratinos Cuyaubé
Source: Food and Agriculture Organization (www.fao.org)
sumber http://www.thejakartapost.com/news/2011/03/19/ri-lobbies-african-nations-top-fao-post.html</span>
Baca Selanjutnya......

28.2.11

Kerja Sama Benih Dengan China Cuma Akal-akalan

MENYIKAPI produksi beras dalam negeri yang terus melorot, pemerintah memilih opsi menggandeng China guna meningkatkan produktivitas beras nasional. Sekretaris Jenderal Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub memandang sinis kerja sama tersebut jika hanya dari segi pengadaan benih hibrida saja.

Menurutnya, kerja sama dengan China untuk mengembangkan pertanian padi yang menggunakan benih hibrida dari China hanya akan meningkatkan ketergantungan impor lebih besar. Faktanya, benih jagung Indonesia masih 43 persen impor. Belum benih holtikultura lainnya juga masih tergantung impor dari Taiwan dan Thailand. "Hibrida hanya bisa sekali" pakai, setelah itu tidak dapat dipakai lagi.

Kita saja susah melepas ketergantungan berasimpor, sekarang malah ketergantungan benih hibrida impor," sindir Yakub. SPI menganjurkan pemerintah bekerja sama dengan badan penelitian dan pengembangan yang ada di dalam negeri terkait benih hibrida nasional. Dengan begitu, seluruhnya bisa dikelola pemerintah. "Kerja sama seperti itu yang harus dimaksimalkan. Dari penghasilan petani harusnya mampu diserap ke pedesaan untuk meningkatkan daya beli, membuat pertumbuhan ekonomi di desa meningkat. Jadi, kerja sama dengan China saya pikir cuma bagian proses perdagangan benih. Ini akal-akalan," tuduh Yakub.

Sekretaris Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Hermanto menolak jika dikatakan produktivitas pangan yang dihasilkan petani dalam negeri menurun. Menurut Hermanto, produktivitas tidak menurun, hanya kenaikannya tidak sebesar yang diharapkan. Pemerintah sedang berupaya kenaikannya sesuai yang diharapkan. "Belum ada catatan mengenai itu. Seingat saya, belum ada sejarah produksi beras itu menurun, dalam arti tahun ini lebih kurang dari tahun sebelumnya," tuturnya.

Hermanto membenarkan ada rencana kerja sama dengan China terkait melakukan alih teknologi padi hibrida. Namun, dalam hal riset, pemerintah bisa memanfaatkan teknologi yang dimiliki saat ini untuk memproduksi benih hibrida agar tidak tergantung negara lain. Dia mengakui China memang terkenal sebagai Champion dalam teknologi padi hibrida.

"Tugas kita bersama mengejar teknologi itu. Kalau itu sudah kita kuasai dan bisa memproduksi dengan baik, kedaulatan pangan akan tercapai. Di antaranya melalui Research and Development (RD) di bidang teknologi perbenihan jadi maksudnya baik." terang Hermanto. Hermanto juga optimis kondisi Indonesia tidak mengarah pada krisis pangan, mengingat kenaikan harga yang ada sekarang relatif sudah stabil. Apalagi sebentar lagi memasuki musim panen raya. "Pada saat panen, kita harus menyelamatkan gabah pembelian pemerintah.

Pada saat paceklik, kita harus mengamankan harga konsumen agar daya belinya tidak menurun. Itu tugas kita," ungkapnya. Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan adanya kemungkinan kerja sama internasional untuk meningkatkan ketahanan pangan. Kerja sama itu tidak hanya meliputi bagaimana pangan tersedia, tapi mempersiapkan teknologi yang lebih baik. CR-2
Baca Selanjutnya......

27.2.11

Persediaan Cukup, Pemerintah Hentikan Impor Beras

Kementerian Perdagangan akan menghentikan impor beras mulai Maret mendatang, karena stok dalam negeri sudah cukup
Iris Gera | Jakarta  Kamis, 17 Februari 2011

Pemerintah mulai mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand tahun lalu, karena banyaknya gagal panen di dalam negeri. Gagal panen akibat pergantian musim yang ekstrim mendorong pemerintah untuk mengimpor beras sejak tahun lalu. Namun, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengumumkan bahwa mulai bulan Maret depan, pemerintah akan menghentikan impor beras tersebut, karena stok beras dalam negeri sudah mencukupi.

Impor beras, menurut Menteri Mari Pangestu, menyebabkan harga beras dan bahan pangan lainnya belakangan ini terus naik. Sebagai akibatnya, masyarakat kurang mampu pun kesulitan karena tidak dapat mengimbangi kenaikan harga. Pertimbangan ini jugalah yang mendorong pemerintah untuk menghentikan impor beras. "Dari segi stok tidak ada masalah," ujar Mari Pangestu. "Bulog menargetkan stok 1,5 juta ton untuk aman sampai mulai panen. Dan, sekarang sudah mulai panen." Beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan sulitnya mendapat komoditas beras di antaranya adalah karena menurunnya jumlah keluarga tani. Banyak dari keluarga tersebut, menurut BPS,  beralih bekerja di sektor lain, terutama di pabrik-pabrik.

Tapi, menurut Ketua Departemen Kajian Staregis Serikat Petani Indonesia (SPI), Achmad Ya'kub, hal itu tidak benar. Menurutnya, jumlah petani sekarang justru meningkat. “SPI menghitung itu ada sekitar 28, 3 juta keluarga tani. Jumlahnya justru meningkat," kata Achmad Ya'kub, yang kemudian menambahkan kebanyakan dari petani ini lahannya sempit sehingga produksinya pun tidak bisa banyak. Achmad Ya'kub juga memandang bahwa pemerintah tersimak mengorbankan tanaman pangan demi melindungi tanaman untuk ekspor.

"Yang mengerikan ini ada konversi lahan dari pertanian pangan menjadi pertanian industri yang orientasi ekspor, seperti perluasan kelapa sawit” Tahun lalu, pemerintah mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand sebanyak 1,5 juta ton.

Impor tersebut ditujukan agar cadangan beras aman, yang menurut patokan pemerintah harus berada di kisaran 3 juta ton. Pemerintah juga menargetkan produksi beras dalam negeri tahun ini mampu mencapai sekitar 37 juta ton, sementara kebutuhan beras nasional rata-rata 33 juta ton per tahun. Dengan surplus sebanyak empat juta ton ini, maka bila impor beras berlanjut, maka ini akan merugikan para petani lokal.
Baca Selanjutnya......

Kebijakan Pemerintah Cuma Berorientasi Bisnis Dagang

Rakyat Merdeka
PEMERINTAH dituding tidak mampu menyelamatkan sektor pertanian dan menjamin kedaulatan pangan nasional. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Achmad Yakub mengeluhkan, kebijakan pemerintah semata-mata berorientasi bisnis perdagangan. Investasi yang selama ini dianggap menjadi jalan utama dan membawa petani menjadi sejahtera justru melenceng. "Kebijakan yang berorientasi ekspor, bisnis dan monokultur menyebabkan semua hal diserahkan pada mekanisme pasar.

Demi kepentingan pasar kebutuhan nasional seringkali diabaikan," ujar Yakub dalam diskusi bertajuk Tanah dan Pangan Serta Masa Depan Bangsa di Jakarta, belum lama ini. Menurut Yakub, pemerintah tidak mampu mengontrol harga kebutuhan rakyat Misalnya komoditi beras, ketika harga di pasarinternasional naik tinggi pada 2008, anjuran ekspor begitu gencar.

Sebaliknya, ketika harga beras internasional lebih murah dari harga nasional, impor dilakukan bahkan tanpa dikenakan bea masuk. Akibatnya, devisa negara hilang demi menguntungkan korporat. Yakub mengatakan, awal 2011, pemerintah melalui Bulog telah mencapai deal impor sebanyak 1,08 juta ton dari Vietnam dan Thailand. Jika pemerintah mengimpor 1,05 juta ton beras, devisa yang diserap Rp 4,86 triliun. Jadi 1,05 juta ton beras setara dengan produksi yang dihasilkan dari 333 ribu hektar sawah.

Padahal, per hektar petani bisa memproduksi 5 ton gabah atau setara 3 ton beras. "Dari seluruh aturan yang ada, yang diuntungkan bukan petani tapi segelintir orang. Petani kita hanya jadi mesin di industri perburuhan," tukas Yakub.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Idham Arsyad membenarkan hal itu. Ada Perbedaan antara cita-cita pemerintah dengan praktik di lapangan. Ketika berbicara ketahanan pangan, pemerintah selalu bertumpu pada ketersediaan pangan,sehingga hanya mengarah pada produktivitas.

Pemerintah lalai memikirkan kesejahteraan para petani yang memproduksi pangan. "Negara ini sudah tidak produktif juga tidak sejahtera. Petani yang harusnya jadi produsen utama malah menjadi konsumen utama. Seluruh aturan yang ada tidak pernah berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat," kata Idham.

Idham juga menilai, distribusi pangan yang tanpa kontrol dari pemerintah mencerminkan kurangnya perlindungan buat rakyat.

 Menanggapi itu, Sekretaris Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Hermanto mengatakan, seluruh kebijakan yang diambil pemerintah didasarkan ketahanan pangan dalam negeri.

Menurutnya, ada keterkaitan erat antara produksi pangan dan ketahanan pangan. Sebab itu, pemerintah akan mendorong peran swasta tapi tidak mengabai-kan masyarakat dan kelembagaan lainnya dalam ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan.
"Saat ini negara sedang berusaha menjamin hak pangan atas rakyat serta memberikan hak untuk menentukan sistem pertanian pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kami optimis, kedaulatan pangan yang kokoh bisa terwujud," ucap Hermanto.
Dia menambahkan, strategi pertanian ke depan akan lebih jelas terkait reformasi Undang-Undang Agraria. Untuk itu, pemerintah akan mengambil kebijakan. Di antaranya, mengatasi kesenjangan terhadap pemilikan lahan, petani akan memiliki akses pada sumber pendanaan, dukungan yang kuat dari pemerintah pada sektor industri pertanian, serta mengembalikan pengelolaan tanah, air dan ruang sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. cr-2 Sumber      http://ekbis.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=19439
Baca Selanjutnya......

25.2.11

Petani Tagih janji lahan



Pengaruh politik sangat kontaminatif terhadap suatu kebijakan.'' Prasetyantoko Ekonom Atma Jaya Pembiayaan enam program prorakyat akan memanfaatkan hasil penghematan anggaran kementerian.

BERBAGAI konflik kemiskinan, salah satunya disebabkan molor nya pelaksanaan reforma agraria yang dicanangkan pemerintah sejak 2007. Saat itu, pemerintah menjanjikan sertifi kasi dan lahan hingga 9,25 juta hektare (ha). “Sisi lain masih tingginya angka kemiskinan ialah tidak terealisasinya reformasi agraria hingga sekarang,” kata Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub di Jakarta, kemarin.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 19,9 juta orang atau sekitar dua pertiga dari total penduduk miskin di Indonesia. Adapun mayoritas penduduk di perdesaan bekerja di sektor pertanian atau kelautan. Sementara itu, dari sensus BPS pa da 2003, jumlah petani guram atau petani dengan lahan kurang dari 0,5 ha, mencapai 13,7 juta rumah tangga. SPI memprediksi, angka itu naik mencapai 15,6 juta rumah tangga pada 2010. “Jumlah itu masih bisa naik se iring dengan agenda korpora tisasi pangan dan pertani an melalui perusahaan-perusahaan agrobisnis,” tandas Yakub.

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Idham Ar syad menambahkan, pemerintah harus konsentrasi mengurangi jumlah petani guram sebagai sasaran utama penurunan kemiskinan. Apalagi, sebagian besar adalah petani tanpa lahan yang menggantungkan hidup pada tuan-tuan tanah. Sebenarnya, tahun lalu, telah terbit Peraturan Pemerintah No 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Menurut Badan Pertanahan Nasional, ada 7,3 juta ha tanah telantar yang akan ditertibkan. Dari jumlah itu, 2 juta ha akan diperuntukkan pertanian. Namun, hingga kini janji pemerintah itu belum terealisasi.

Sebelumnya, ekonom LIPI Latif Adam mengimbau pemerintah untuk menyertakan program reforma agraria (land reform) guna mengatasi kemiskinan di perdesaan. Pasalnya, ia menilai enam program prorakyat terbaru pemerintah belum signifikan menyentuh konsentrasi penduduk miskin di wilayah tersebut. Adapun enam program prorakyat yang dicanangkan Presiden Yudhoyono pada awal pekan ini adalah penyediaan rumah murah, angkutan umum murah, air bersih, listrik murah dan hemat, serta peningkatan kehidupan nelayan dan masyarakat pinggiran kota.

Kegagalan implementasi Di sisi lain, ekonom Atma Jaya Prasetyantoko menilai enam program itu sebagai ino vasi dari program penanggulangan kemiskinan yang sudah ada. Namun, ia mengingatkan pemerintah agar mengawasi implementasinya. Sebab, sering kali program yang sebenarnya bagus, pelaksanaannya tidak sesuai harapan. "Pengaruh politik sangat kontaminatif terhadap suatu kebijakan, bahkan di tingkat dirjen (direktur jenderal) pun pengaruh partai sangat kuat.

Sementara kompetensi pejabat itu sendiri masih kurang," jelasnya. Sementara itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana mengatakan pemerintah sedang mempertajam program penanggulangan kemiskinan baik yang sudah berjalan maupun belum. Khusus program rumah murah, Kementerian Perumahan Rakyat akan mematangkan konsepnya dalam 1-2 minggu.

Nantinya, rumah yang akan dibanderol Rp20 juta-Rp25 juta per unit itu ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan di bawah Rp1,2 juta. Adapun soal listrik murah dan hemat serta elektrifikasi perdesaan, program akan fokus pada pemanfaatan potensi daerah dalam penyediaan listrik. "Misalnya microhydro, biomass," kata Armida seusai rapat di Kementerian Koordinator Perekonomian, di Jakarta, Rabu malam (23/2).

Secara terpisah, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan pembiayaan enam program prorakyat akan memanfaatkan hasil penghematan anggaran kementerian dan lembaga. Saat ini, taksiran penghematan yang bisa dicapai pemerintah adalah Rp15 triliun dari target Rp20 triliun. Pembiayaan juga akan dikombinasikan dengan dana BUMN via program kemitraan dan bina lingkungan. (Tup/Ant/E-3) asni@mediaindonesia.com marchelo@mediaindonesia.com
sumber http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/02/25/ArticleHtmls/25_02_2011_017_029.shtml?Mode=0 
Baca Selanjutnya......

4.2.11

Akibat Pemerintah Singkirkan Petani Kecil

Home Republika
Rabu, 02 Februari 2011 pukul 08:00:00
Achmad Yakub
Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI

Oleh EH Ismail

Petani banyak gagal panen, ada faktor penyebab lain kecuali cuaca?

Secara umum memang kegagalan panen ini akibat cuaca yang anomali. Tapi, jangan menyepelekan penyebab yang bersumber dari kebijakan pemerintah. Saat ini tidak ada grand design yang baik tentang arah pembangunan pertanian nasional. Saat ini, pemerintah menjalankan pembangunan pertanian ke arah pertanian korporasi.
Pemerintah menyusun regulasi dan program-program pertanian yang diperuntukkan untuk para pengusaha yang ingin bergerak di bidang pertanian. Food estate, misalnya. Lahan sangat luas disediakan untuk korporat yang ingin mengembangkan komoditas pertanian. Tidak hanya pangan, hortikultura juga. Sementara masyarakat petani gurem makin tidak diperhatikan.

Kebijakan seperti apa yang turut menyebabkan kegagalan panen petani hortikultura?

Dengan pertanian model korporat, petani-petani kecil menjadi tersingkirkan. Mereka tidak lagi punya kesempatan menguasai lahan yang lebih luas dan terus-menerus berada di angka rata-rata kepemilikan lahan 0,3 hektare per petani. Akhirnya, petani menjadi terdemotivasi untuk melakukan produksi yang lebih bagus.
Kalaupun berhasil panen bagus, pemerintah segera membanjiri pasar dengan produk-produk impor. Buah-buahan dan sayur-sayuran dari Cina, Thailand, dan Vietnam masuk saat petani panen. Akibatnya harga turun. Nah, kalau selalu seperti ini, mana mau petani bekerja keras menjaga tanaman mereka biar bisa panen bagus. Ini salah satu masalah kecil saja sebagai contoh.
Cuaca itu saat ini menjadi pembenar di balik kegagalan panen hortikultura dan tanaman pangan kita. Tapi, selama kebijakan pemerintah yang terus menyingkirkan petani kecil tidak dievaluasi, maka cuaca sebagus apa pun tidak ada yang bisa membuat pertanian kita mencetak prestasi produksi yang gemilang. wulan tunjung palupi
(-)
Index Koran sumber; http://republika.co.id:8080/koran/0/128392/Akibat_Pemerintah_Singkirkan_Petani_Kecil
Baca Selanjutnya......

13.1.11

Empat langkah strategis menyelamatkan Pertanian dan Menjamin kedaulatan pangan

tulisan ini untuk berkontribusi dalam mengatasi persoalan; pangan, pertanian dan kesejahteraan petani

Oleh A. Yakub

Pendahuluan
Belakangan ini terutama sejak krisis harga pangan dimulai 2007 dan kelaparan global yang meningkat hingga 1 milyar orang, dunia terhenyak akan arti pertanian, agraria dan pembangunan perdesaan. Tidak tanggung-tanggung dalam mekanisme PBB tahun 2008 membentuk UN High-Level Task Force on Global Food Crisis. Sebelumnya yakni tahun 2006 sebenarnya secara global juga sudah ada konferensi Internasional di Porto Alegre, Brasil yang membahas tentang reforma agraria, dan pembangunan perdesaan (ICARRD). Dalam konferensi ICARRD tersebut negara-negara peserta menyadari betapa pentingnya hak atas pangan, akses yang lebih luas atas tanah, air dan sumber alam lainnya (keseluruhan dikenal sebagai agraria). Demikian juga pembahasan global di arena KTT Pangan yang tiap tahunnya digelar di Roma yang terus berambisi mengurangi kelaparan, hingga kini belum berhasil.

Bagaimana di Inonesia? Pemerintah Indonesia sejak awal jauh sebelumnya (khususnya setelah reformasi 1998) sudah menyadari betapa vitalnya pertanian dan agraria tersebut. Untuk itu masih segar ingatan kita ketika pada Pada Sabtu, 11 Juni 2005 di Purwakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta beberapa menterinya mencanangkan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) . Program ini merupakan realisasi dari tiga jalur agenda pembangunan jangka menengah (RPJM) Kabinet Indonesia Bersatu. Dua strategi lainnya adalah, peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,6 persen pertahun dicapai melalui percepatan investasi dan ekspor serta pembenahan sektor riil untuk membuka lapangan kerja. RPPK juga menetapkankan lahan pertanian abadi seluas 15 juta hektar lahan ber-irigasi dan 15 juta hektar lahan kering, total 30 juta hektar.

Fokus dari RPPK adalah semata-mata bisnis, dengan perdagangan dan investasi dianggap jalan utama dan satu-satunya yang akan membawa petani menjadi sejahtera. Anggapan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di pasar menjadi agenda utama pemerintah. Kemudian pelaku usaha yang didorong untuk melakukan aktivitas agriibisnis adalah melalui korporasi dalam negeri maupun modal asing. Sederhananya pemerintahan SBY ingin men shifting dari pertanian keluarga-keluarga tani dan usaha kecil peredsaan menjadi pertanian yang dikendalikan oleh korporat.

Secara teori istilah korporat (corporate) dikenalkan pertama kali di Amerika Serikat pada 1957 dengan istilah agribusiness oleh J.H Davis dan R. Goldberg. Mereka mendefenisikan agribisnis sebagai keseluruhan rantai proses pertanian, mulai dari input pertanian sampai ke tingkat eceran (the entire supply chain, from farm inputs to retail ). Jesper S. Lee dari Virginia, Amerika Serikat, dalam bukunya Agribusiness procedures and records juga menyebutkan bahwa tidak efisien apabila petani memproduksi sendiri benih, pupuk, ataupun mesin pertanian; namun akan lebih mudah apabila dibeli dari agribisnis yang spesialis memproduksi barang-barang tersebut.

Selanjutnya agribisnis akan menimbulkan spesialisasi pada tiap lininya, mulai dari on farm sampai off farm. Agribisnis juga yang mendorong tumbuhnya perkebunan-perkebunan, sampai terjadinya food estate. Melalui agribisnis, pertanian diproduksi secara industri, dalam jumlah sebanyak-sebanyaknya dengan ukuran seragam dan bersifat monokultur.

Agribisnis juga memunculkan free market (pasar bebas) di dunia pertanian, agar tidak muncul hambatan dalam transaksi antar lini agribisnis. Paham free market inilah yang selalu menginginkan untuk menguasai pasar, sehingga bagi yang tidak kompetitif akan kalah dari persaingan merebut pasar. Free Market juga berorientasi untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga produksi ditentukan dari permintaan dan penguasaan pasar. Hal ini menyebabkan kegiatan bertani bukan lagi untuk kehidupan tapi untuk memproduksi komoditas. Selanjutnya pemodal kuat akan menguasai pasar pertanian sehingga petani kecil hanya menjadi bagian dari elemen agribisnis saja (buruh murah misalnya)2. Bahkan lebih itu, petani menjadi kelompok yang paling dahulu dan parah bila mengalami kerugian bila cuaca buruk, serangan hama, puso atau gagal panen.

Kebijakan orientasi ekspor, bisnis dan monokulture menyebabkan semua hal diserahkan pada mekanisme pasar. Demi kepentingan pasar kebutuhan nasional diabaikan. Sebut saja kasus kelapa sawit yang sebagian besar diekspor yang mengakibatkan harga minyak makan didalam negeri naik pesat. Apa yang terjadi dengan komoditi cabe, merupakan hal nyata bagaimana pemerintah tidak berdaya untuk mengatur atau mengontrol harga kebutuhan rakyatnya. Misalnya ketika harga beras dipasar Internasional naik tinggi sekitar Rp. 10.000/kg ditahun 2008, maka anjuran untuk ekspor begitu gencarnya. Sebaliknya ketika harga beras internasional lebih murah dari harga dinasional maka cepat-cepat dikatakan harus segera impor bahkan dengan bea masuk nol rupiah.

Akibatnya devisa negara yang begitu besar akan hilang begitu saja menguntungkan korporasi. Sebagai contohnya saat ini (2010-awal 2011), pemerintah melalui Bulog telah mencapai deal impor sebanyak 1,08 juta ton dari Vietnam dan Thailand. Berdasarkan hitungan penulis, jika pemerintah mengimpor 1,05 juta ton beras saja, devisa yang diserap nilainya sekitar Rp4,86 triliun. Terlebih, 1,05 juta ton beras ini setara dengan produksi yang dihasilkan dari 333.000 hektare sawah. Jika rata-rata per hektare petani bisa memproduksi 5 ton gabah atau setara 3 ton beras, maka jumlah devisa yang dihabiskan ini setara dengan kehilangan pendapatan 666 ribu kepala keluarga petani di Indonesia. Perhitungan ini didapat dari asumsi bahwa setiap keluarga petani memiliki 0,3-0,5 hektare.

Yang diuntungkan bukan petani-petani didunia ini namun hanya segelintir orang melalui perusahaan-perusahaan multi nasional. Termasuk didalamnya adalah perusahaan yang menjual benih, pestisida, pabrik pupuk petrokimia, dan alat-alat pertanian. Demikian juga dengan konsumen mereka nasibnya sama dengan petani, hanya menanti ketidakpastian harga dikarenakan maraknya spekulasi yang secara umum dimudah dengan model pertanian saat ini, dimana negara ikat dalam berbagai perjanjian internasional. Sebut saja misalnya ada WTO, ACFTA, IJEPA, AANZ dan perjanjian perdagangan bebas lainnya baik regional maupun bilateral.

Sisi lain berbagai konflik agraria terus terjadi, PPAN akhirnya tidak bertaji. Hingga sekarang tiada realisasi. Bukan pembaruan agraria yang dijalankan, tapi justru program Layanan Rakyat untuk Sertipikasi Tanah (Larasita) dalam kerangka pasar tanah ala Bank Dunia dan ADB.

Sekarang ini menurut BPS (2010) masih ada 31.2 juta penduduk berada dalam kondisi miskin dengan komposisi orang miskin desa lebih banyak yakni 19,93 juta penduduk dan 11.1 juta penduduk kota. Tingkat kemiskinan di pedesaan sebenarnya bisa disetarakan dengan jumlah petani gurem, karena mereka inilan kelompok yang rentan. Menurut katagori BPS petani gurem adalah Petani yang tanah garapan kurang dari 0.5 ha. Hasil Sensus Pertanian terakhir (2003) menunjukkan bahwa jumlah keluarga petani gurem berjumlah 13.7 juta jiwa dan hasil proyeksi SPI jumlah keluarga petani gurem pada tahun 2008 berjumlah 15.6 juta jiwa. Bila setiap KK mempunyai 3 anak saja, maka jumlah penduduk miskin berjumlah 78 juta jiwa. Pada tahun 2010 jumlah petani tersebut diperkirakan akan meningkat, seiring dengan agenda korporatisasi pangan dan pertanian pemerintah melalui investor dan perusahaan-perusahaan agribisnis.

Rakyat miskin di Indonesia juga terus bertarung untuk bertahan hidup dengan berbagai tekanan himpitan ekonomi, kenaikan harga pangan pokok. Banyak diantaranya harus berutang, menganti pola makan agar hemat, bahkan ada yang bunuh diri. Beberapa kasus bunuh diri di bulan Januari 2011 memang kenyataannya berlatar belakang kesulitan ekonomi. Suami istri Maksum (35) dan Rohani (33) yang bekerja sebagai buruh kebun tebu di Cirebon memilih jalan gantung diri karena sudah tidak kuat dengan desakan ekonomi yang melanda keluarganya. Suami istri yang memiliki tiga orang anak ini hanya berpenghasilan Rp 25.000 per hari, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarganya sehari-hari

Begitu juga Samsul Fatah (20), yang bekerja sebagai buruh tani di Kebumen, diketemukan tewas setelah meminum racun serangga. Samsul menjadi tulang punggung keluarga dan hanya diupah Rp 25.000 per hari dari hasil kerjanya. Samsul kemudian nekat minum racun serangga karena tidak sanggup menaggung beban untuk menanggung hidup keluarganya3. Bahkan bertepatan dengan pernyataan pemerintah melalui Menko Ekuin yang mengungkapkan berbagai keberhasilan pertumbuhan perekonomian di Indonesia, 6 orang bersaudara eninggal dunia karena keracunan setelah sarapan tiwul. Mereka terpaksa makan tiwul karena keluarga tidak mampu untuk membeli beras.

Jadi tidak heran ketika kemiskinan dekat dengan kurang gizi dan busung lapar. Desa tidak menjadi pembuka lapangan kerja. Desa menjadi pengekspor utama buruh migran dan pekerja informal diperkotaan. Dari kebijakan pemerintah sejak 2004-2011 dibidang pertanian, dapat dikatakan terjadi stagnasi kemajuan di pedesaan, pertanian, tiadanya kedaulatan pangan dan makin rentannya nasib petani.

Langkah strategis untuk menyelamatkan pertanian dan kedaulatan pangan
Di tengah situasi seperti yang ada saat ini apa yang sesungguhnya bisa di lakukan untuk menyelamatkan pertanian dan kedaulatan pangan yang beroreintasi pada kesejahteraan petani dan pemenuhan kebutuhan nasional. Bagi penulis setidaknya ada empat aspek langkah strategis yang harus dilaksanakan yaitu aspek pertanahan, proses produksi, distribusi dan kelembagaan petani.

Pertama, aspek pertanahan. Melalui sejumlah kebijakan pertanahan yang dapat dilihat dibagian sebelumnya nampak betapa pemerintah masih belum atau tidak menyadari pentingnya penguasaan alat produksi, dalam hal ini ialah tanah, bagi kepentingan perkembangan kesejahteraan kaum tani.

Dalam hal pertanahan setidaknya pemerintah harus mengambil langkah-langkah, (i) pemerintah dengan sungguh-sungguh menjalankan Pembaruan Agraria yang berpihak kepada petani. Hal itu dapat dilakukan dengan menjadikan tanah-tanah yang dikuasai perusahaan-perusahaan perkebunan, dan kehutanan tersebut sebagai tanah obyek landreform. Kemudian saat ini di Indonesia masih terdapat 12.418.0564 hektar tanah terlantar yang akan sangat bermanfaat jika didistribusikan untuk dimanfaatkan oleh keluarga-keluarga tani. Pendistribusian ini hendaknya mengutamakan keluarga tani yang tak bertanah, buruh tani dan petani-petani kecil dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar. Jika rata-rata satu keluarga tani mendapatkan 2 hektar tanah untuk digarap, sesuai pasal 8 Perpu No.56/1960 untuk batas minimum yang dapat menjamin kelangsungan hidup keluarga, maka terdapat 6.209.028 keluarga yang akan mendapatkan sumber penghidupan yang layak disamping untuk memenuhi kebutuhan pangan dan produk pertanian nasional.

(ii) menghentikan program food estate, perkebunan pangan skala luas yang diperuntukan bagi korporasi. Pengembangan food estate bertentangan dengan upaya pemerintah memenuhi kemandirian pangan, ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani. Dengan adanya pembukaan food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari pertanian berbasis keluarga petani ataupun koperasi menjadi korporasi/perusahaan produksi pertanian dan pangan. Kondisi ini akan melemahkan kedaulatan pangan Indonesia dengan menyerahkan pengelolaan kebutuhan dasar rakyat ke tangan perusahaan. (iii) tidak melakukan alih fungsi lahan-lahan subur yang digunakan untuk pertanian menjadi peruntukkan lain di luar sektor pertanian terutama yang tidak menguntungkan bagi rakyat banyak. Serta pembatasan modal asing dalam pengelolaan sumber daya agraria. (iv) pengaturan kembali atau mencabut undang-undang sektoral yang saling bertabrakan dan tidak menguntungkan rakyat dan negara Indonesia seperti UU Perkebunan No.18/2004, UU Pengelolaan Sumber Daya Air No.7/2004, UU Kehutanan No. 19/2004, UU Penanaman Modal No. 25/2007 dan UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara.


Kedua aspek produksi. Sistem produksi pertanian yang bersifat agribisnis seperti yang saat ini didorong oleh pemerintah Indonesia hanya akan membuat pangan dan pertanian berada dalam kontrol perusahaan mulai dari input hingga produksinya. Sistem tersebut hanya akan membuat petani dan rakyat Indonesia menjadi buruh di tanahnya sendiri. Upaya untuk meningkatkan produktifitas hasil pertanian saat ini jangan sampai menjadi Revolusi Hijau jilid II yang membuat petani tergantung dan terikat pada perusahaan-perusahaan penghasil input pertanian seperti benih, pupuk dan pestisida. Saatnya pemerintah Indonesia untuk ke depannya membangun kemandirian dan kedaulatan kaum tani.

Mendorong dilaksanakannya pertanian rakyat yang berkelanjutan misalnya hendaknya bukan saja didorong untuk memperbaiki kualitas tanah, lingkungan dan produksi yang aman bagi kesehatan manusia. Program tersebut hendaknya dijalankan dengan sungguh-sungguh sebagai upaya untuk melepas ketergantungan terhadap perusahaan-perusahaan transnasional penghasil input pertanian. Melalui penjualan input-input pertanian perusahaan-perusahaan tersebut telah menangguk keuntungan besar-besaran. Sebagai contoh nilai bisnis benih dunia pada tahun 2008 mencapai 31 milyar dolar dan bisnis agrokimia bahkan rata-rata mendapat keuntungan sebesar 35 milyar dolar per tahunnya.

Dengan semangat meningkatkan pertanian dan kesejahteraan petani Indonesia beberapa langkah yang harus dan mendesak untuk dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia antara lain; (i) memandirikan produksi benih secara nasional. Sebagai contoh tahun 2008 Sebagian besar benih untuk tanaman pangan dikontrol oleh perusahaan multinasional, seperti jagung hibrida yang mencapai 43 persen dipasok oleh syngenta dan Bayern Corp. Dukungan bagi pengembangan benih pangan berbasis komunitas harus dijadikan sebagai salah satu cara memandirikan petani. Karena setidaknya Indonesia hampir di setiap propinsi memilki universitas-universitas yang mumpuni untuk mendorong penelitian-penelitian yang dilakukan oleh petani. Ke depan harapannya, secara perbenihan Indonesia bisa maju dan mandiri.

(ii) mengubah arah kebijakan subsidi pertanian agar ditujukan langsung kepada keluarga-keluarga tani dan bukannya kepada perusahaan penghasil sarana produksi ataupun distributor besar. Saat ini sistem subsidi masih ditujukan kepada perusahaan penghasil sarana produksi dan distributor besar baik swasta maupun BUMN, tanpa disertai pengawasan lebih lanjut hingga ke tingkat petani. Situasi ini menyebabkan hampir setiap tahun petani senantiasa mengalami kelangkaan pupuk maupun benih.

(iii) pertanian rakyat berkelanjutan menjawab kebutuhan teknologi bagi petani kecil. Inovasi teknologi pada petani kecil ini memiliki beberapa karakter yakni penghematan input dan biaya, pengurangan resiko kegagalan, dikembangkan untuk lahan marjinal, cocok dengan sistem pertanian keluarga tani, dan meningkatkan pemenuhan nutrisi, kesehatan, dan lingkungan. Sistem ini sudah sesuai dan sejalan dengan kriteria pengembangan teknologi bagi petani kecil. Kriteria tersebut adalah berbasiskan pengetahuan lokal dan rasional; layak secara ekonomi dan dapat diakses dengan menggunakan sumber-sumber lokal; sensitive pada lingkungan, nilai sosial dan kebudayaan; mengurangi resiko dan bisa diadaptasi oleh petani; serta meningkatkan secara keseluruhan produktivitas dan stabilitas pertanian. Demikian juga tidak terjebak dengan model monokulture. Upaya yang praktis adalah mengimplementasikan kembali program Go organic 2010, dengan berbagai perbaikan seperti diatas.


Ketiga, Aspek distribusi. Kebijakan distribusi yang ada saat ini juga sangat merugikan petani. Dengan serbuan impor pangan murah, petani kehilangan insentif untuk terus berproduksi. Bukan hanya petani, rakyat Indonesia secara luas juga mengalami kerugian dengan sistem distribusi yang ada. Secara nasional juga pemerintah tidak berdaya menghadapi spekulasi perdagangan hasil pertanian dan pangan.

Untuk mencegah semakin luasnya krisis pangan dan kelaparan di Indonesia sesungguhnya kebijakan distribusi pangan dan hasil pertanian memiliki peranan yang sangat vital. penulis memandang bahwa perubahan kebijakan distribusi pertanian harus lah segera dilaksanakan, dan dalam jangka pendek sejumlah alternatif yang bisa dilakukan antara lain; (i) pengaturan tata niaga bahan pangan yang harus diatur oleh badan pemerintah, jangan diserahkan kepada mekanisme pasar yang sifatnya oligopoli bahkan pada komoditas tertentu dimonopoli oleh beberapa korporasi dalam negeri maupun asing.

(ii) Menetapkan harga dasar terutama untuk kebutuhan pokok yang dapat menutupi ongkos produksi dan memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga petani. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan.5 Harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan keuntungan petani dan kemampuan konsumen. menetapkan harga dasar yang dapat menutupi ongkos produksi dan memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga petani. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan.6 Harga harus dapat menutupi ongkos produksi dan kebutuhan hidup petani namun juga tidak merugikan konsumen.

(iii) melakukan pengaturan ekspor impor produk pertanian yang disesuaikan dengan kebutuhan dan bukan dengan melihat keuntungan yang diperoleh. Mengurangi ekspor bahan pangan ke luar negeri dengan menetapkan quota dan tidak melakukan ekspor bahan pangan pokok ketika kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi. Melindungi petani dari dumping produk pertanian luar negeri dengan tidak mengurangi atau menghapuskan pajak impor. (iv) peran pemerintah, dalam hal ini Bulog sebagai lembaga yang berperan menjaga stabilitas harga dan persediaan pangan dalam negeri secara luas harus ditegakkan kembali, terutama menyangkut bahan pangan pokok seperti beras, jagung, kedelai, minyak goreng dan gula. Pemerintah harus berani bersikap melindungi pertanian nasional, jangan terpaku dengan berbagai perjanjian liberalisasi pertanian yang diusung oleh WTO ataupun berbagai FTA, baik regional maupun bilateral. Praktek-praktek liberalisasi, deregulasi dan privatisasi seperti anjuran IMF, Bank Dunia dan WTO telah merusak pasar nasional (sebagai contoh bea masuk import beras yang nol persen) dan melemahkan BULOG. Harusnya BULOG bisa lebih aktif menjalankan fungsi Public Service Obligation bukan menjadi lembaga pencari laba. Artinya BULOG harus menjadi lembaga penyangga pangan yang memiliki kewenangan dan fungsi pelayanan publik.

(v) mengambil langkah tegas untuk mencegah terjadinya spekulasi produk pertanian yang dapat merugikan masyarakat luas. Perlunya melakukan investigasi dan penyelidikan terhadap kemungkinan penimbunan bahan pangan yang dilakukan oleh para pelaku bisnis pangan dan spekulan.

Keempat, Aspek kelembagaan petani. Kebijakan kelembagaan yang mengurus kepentingan petani dan pertanian serta pembangunan pedesaan hingga sekarang belumlah ada. Program dan kelembagaan yang ada sifatnya parsial tidak menyeluruh dan kuat. Beberapa hal untuk membangun kelambagaan petani dan pertanian yang harus dilakukan adalah;

(i) dibangunnya pemahaman agraria secara nasional sehingga kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah tidaklah sepotong-sepotong. Kelembagaan yang dimaksud adalah yang mampu mengurus dan menangani persoalan petani dan pertanian mulai dari alat produksi, input produksi, proses produksi, distribusi dan keuangan. Artinya juga menangani soal pendidikan, teknologi dan pengembangan infrastruktur, serta koperasi dan organisasi petani.

(ii) memberikan kesempatan yang sama kepada berbagai organisasi tani dalam mendapatkan pelayanan baik dalam subsidi maupun pelatihan tekhnik pertanian. Pemerintah perlu menetapkan jaminan yang mendukung tumbuhnya organisasi tani yang mandiri serta memperbesar alokasi dana dan pengaturan distribusi dana untuk usaha pertanian yang menguntungkan petani dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Terlebih pada dukungan harga pasca produksi.

Penutup
Banyaknya kebijakan dan program pangan dan pertanian yang dicanangkan pemerintah seharusnya menjadi tanda keseriusan pemerintah untuk membenahi sektor ini termasuk meningkatkan kesejahteraan petani kecil. Namun sayangnya berbagai program ini justru didorong demi melayani kepentingan para investor.

Pemerintah tidak lagi mendukung keluarga-keluarga petani yang telah menyediakan kebutuhan pangan bagi jutaan penduduk negeri ini selama puluhan tahun. Saat ini pemerintah justru menyerahkan kepada perusahaan-perusahaan pertanian untuk mengelola sumberdaya agraria dan memproduksi pangan bagi negeri ini. Cara pikir seperti inilah yang justru akan semakin memperlemah kedaulatan pangan bangsa.

Untuk itu, masih ada waktu empat tahun lagi bagi pemerintah sekarang ini untuk mengambil langkah-langkah yang berpihak kepada kaum tani. Tentu dengan kembali kepada Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) sebagai penjabaran dari UUD 1945 pasal 33. Hal ini merupakan agenda yang mendasar bagi Indonesia untuk terjadinya perombakan, pembaruan, pemulihan dan penataan sistem agraria nasional yang sejati demi keadilan dan kemakmuran bagi petani, dan seluruh rakyat Indonesia.
Baca Selanjutnya......

22.12.10

Pemerintah Gagal Jaga Stabilitas Harga Pangan

JAKARTA, BANGKA POS.com — Melambungnya harga cabai akhir-akhir ini menurut peneliti dari Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub, menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam menjaga stabilitas harga pangan.

Ditegaskannya, di Jakarta, Rabu (22/12/2010), kenaikkan harga cabai bukan saja dipengaruhi oleh kondisi cuaca saja. Menurutnya, itu juga disebabkan distribusi yang tidak lancar.

“Sekarang pemerintah terfokus pada kenaikkan harga beras, sehingga melupakan stabilitasi kondisi harga bahan pokok yang lainnya,” tandasnya.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa pemerintah terlihat lepas tangan dalam mengantisipasi kenaikan harga cabai. Harusnya, nilainya, pemerintah mampu mengantisipasi.

Pemerintah, menurutnya, harusnya mempunyai bupper stok cabai dan mempunyai grand design kalender tanam untuk stabilitasi kebutuhan bahan pokok.

Sekarang, imbuhnya, pemerintah memebebaskan petani untuk menanam apa saja. Harusnya, kata dia, itu disesuaikan dengan kebutuhan nasional sehingga kedepan tidak lagi terjadi kenaikkan harga bahan pokok yang signifikan.

Sementara itu, di beberapa daerah, terlihat harga cabai kian merangkak naik. Di Gresik, Jawa Timur, hari ini, harga cabai rawit, misalnya, telah menembus harga Rp 50 ribu per kilogramnya. Padahal, sebelumnya dijual dengan harga Rp 30 ribu per kilogram.

Selain lonjakan harga pada cabai rawit, harga cabai merah pun mengalami kenaikan. Saat ini harganya sekitar Rp 35 ribu per kilogram atau naik Rp 10 ribu.

Sementara itu, harga cabai merah di Lebak, Banten, terbilang elatif tinggi. Di Pasar Induk Kota Rangkasbitung, harga eceran cabai merah yang dua pekan lalu Rp 25 ribu per kilogram, saat ini sudah mencapai Rp 70 ribu per kilogram. Harga cabai rawit juga naik hampir tiga kali lipat, dari Rp 15 ribu menjadi Rp 40 ribu per kilogram. (tribunnews.com)
sumber http://www.bangkapos.com/2010/12/22/pemerintah-gagal-jaga-stabilitas-harga-pangan/
Baca Selanjutnya......

18.11.10

Pemerintah Perluas Uji Coba Subsidi Pupuk Langsung

Rabu, 17 November 2010
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-–Pemerintah memperluas uji coba subsidi pupuk langsung ke petani di delapan provinsi pada 2011. Namun basis pendataan petani pun menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan agar subsidi tepat sasaran.

Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), A Yakub, mengatakan SPI sepakat dengan semangat pemerintah menyediakan subsidi pupuk langsung kepada petani. “Namun yang jadi catatan perlu mengidentifikasi buruh tani dan penyewa lahan karena databasenya berubah dari tahun ke tahun, sehingga jumlah subsidi pupuk yang disediakan juga dapat sesuai,” kata Yakub kepada Republika, Rabu (17/11).

Selain itu, ujarnya, dalam operasionalisasi penyerahan subsidi pupuk langsung kepada petani setidaknya dapat melibatkan pemangku kepentingan sektor pertanian. Dalam pendataan pun dapat melibatkan aparat desa, pemerintah setempat, maupun organisasi tani.

Dengan perluasan uji coba subsidi pupuk langsung, tambah Yakub, diharapkan dapat memperluas dan memberikan subsidi kepada yang berhak dan tepat dengan melakukan pendataan yang sesuai sehingga masyarakat yang memang menggarap lahan pertanian langsung memperoleh subsidi, bukan pemilik lahan yang luas diatas 5 ha.

Direktur Jenderal Sarana dan Prasarana Kementerian Pertanian, Gatot Irianto, mengatakan uji coba subsidi pupuk langsung kepada petani menjadi salah satu program utama untuk menjawab kontrak kinerja menteri pertanian dengan presiden. “Pada 2011 kita akan meningkatkan jumlah kabupaten untuk uji coba subsidi pupuk langsung ke delapan kabupaten di delapan provinsi,” katanya.

Wilayah yang menjadi tempat uji coba pada 2011 adalah Karawang (Jawa Barat), Sragen (Jawa Tengah), Nganjuk (Jawa Timur), Simalungun (Sumatra Utara), Lombok Tengah (Nusa Tenggara Barat), Gianyar (Bali), Hulu Sungai Tengah (Kalimantan Selatan), dan Sidrap (Sulawesi Selatan). Untuk uji coba subsidi pupuk langsung ke petani pada tahun depan, pemerintah menyediakan anggaran Rp 700 miliar.

Pada tahun ini uji coba subsidi pupuk langsung kepada petani baru dilakukan di Karawang pada Oktober-Desember 2010. Dalam program uji coba subsidi pupuk langsung ini para petani mendapatkan subsidi berupa uang tunai langsung dari pemerintah setelah membeli pupuk di distributor.
Red: Budi Raharjo
Rep: Yogie Respati
sumber koran republika http://bit.ly/cfAVN6
Baca Selanjutnya......

26.10.10

Harga Beras Naik Terus

Penulis : Bunga Pertiwi JAKARTA--MICOM:

Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub mengatakan harga beras petani cenderung naik. "Dari sekitar Rp5000, saat ini menjadi Rp5.500 hingga Rp6.500 untuk jenis IR 64," ujarnya ketika dihubungi Media Indonesia, Senin (25/10).

Menurutnya, harga naik lantaran hambatan distribusi karena cuaca hujan dan juga rendemen yang kurang. Senada dengan Yakub, Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Sutarto Alimoeso mengakui harga yang didapat Bulog dari petani juga naik. "Menurut data Bulog, masih ada beras yang harga Rp 5.060 per kilogram sehingga tetap masuk di Bulog.

Tapi harga dari petani banyak yang naik sehingga mereka lebih cenderung menjualnya ke pasar daripada ke Bulog," jelas Sutarto kepada Media Indonesia, Senin (25/10). Ia mengungkapkan untuk membeli beras komersial (non HPP), modal yang dikeluarkan Bulog Rp6.100 per kilogram. Sementara itu, untuk harga beras Vietnam dan Thailand dengan patahan 15%, rata-rata berada pada kisaran Rp4.175 hingga Rp4.320 per kilogram atau US$465 hingga US$480 per ton. Dengan asumsi, US$1 sama dengan Rp9.000. (*) Baca Selanjutnya......

Govt urged to set up land reform agency with more authority

"Achmad Yakub, the chairman of the national policy studies department for the Indonesian Farmers Union, known as SPI, said any government-appointed institution mandated to implement land reform should first identify the objectives of land reform. BPN should have the guts to issue a moratorium on the apparently unstoppable increasing ownership and use of large land holdings owned by big private companies, he went on. “The question is: Can the agency do that? If it had the authority, it could."

The Jakarta Post, Jakarta | Tue, 10/26/2010 9:16 AM | National
The government urgently needs to set up a more authoritative land reform body to accelerate rural change, activists say. Activists agreed on Monday that the National Land Agency (BPN) might be failing to solve the problem of unequal ownership and land use due to its limited authority to make “cross-sectoral” decisions.

Usep Setiawan, the chairman of the Consortium for Agrarian Reform’s national council, said the BPN’s limited authority could impede progress toward achieving “genuine land reform programs”.

“For instance, the agency is not authorized to attend Cabinet-level meetings, or to make any decisions at ministerial level,” Usep said.

So, this meant that BPN was unable to solve any land disputes involving peasants and ministerial bodies because the agency was not vested with any authority to take on such disputes, he added.

In any countries that take land reform seriously, such as South Africa, they usually had a special body—the authority of which was equivalent to that of a ministry—tasked with implementing land reform programs and managing inputs from the farming and business communities, Usep added. “They also have a special court to process land disputes.”

Under a 2006 Presidential Decree, the government had appointed the National Land Agency, known as BPN, to spearhead the Lands for Justice and People’s Welfare Program as part of its efforts to implement land reform at national level.

President Susilo Bambang Yudhoyono reportedly promised in 2007 that government would provide between eight and nine million hectares of land to poor farmers, yet the agency plans to distribute only 142,000 hectares to 389 villages in 21 provinces by the end of 2010.

Radhar Tribaskoro, a political and economic advisor to the Consortium for Agrarian Reform, concurred, saying that BPN should be upgraded or replaced by an institution with clearer functions and more power.

“BPN must focus not only on the provision and equal distribution of land to farmers, but also on the improvement of access to infrastructure and facilities,” Radhar said.

BPN is still not clear on its farming access programs which need solid cooperation with other ministries, including the Trade Ministry, says Radhar.

Real land reform should be based on a grand design and should be aligned with comprehensive economic policies in the hope of improving people’s welfare, he said.

Meanwhile, Achmad Yakub, the chairman of the national policy studies department for the Indonesian Farmers Union, known as SPI, said any government-appointed institution mandated to implement land reform should first identify the objectives of land reform.

“It needs to identify poor farmers eligible for access to land distribution or allocation, as well as the land to be distributed,” Achmad said.

BPN should have the guts to issue a moratorium on the apparently unstoppable increasing ownership and use of large land holdings owned by big private companies, he went on. “The question is: Can the agency do that? If it had the authority, it could.”

“But the government needs to ensure and guarantee that any certified land given to farmers will not be resold to big business owners,” he said.

In 2008, SPI recorded that there were 28.3 million farmer families in Indonesia, but with 45 percent of the total land area owned by only 11 percent of such families. There are now more than 12.4 million hectares of abandoned land across the country, yet most farmers in Java only possess an average of less than 0.5 hectares of land.

According to SPI, between 2007 and 2008, there were 139 reported cases related to land disputes involving farmers, the government, and the business sector, with more than 45,000 farming families evicted, and 14 people dead as the result of such disputes. (tsy) sumber:http://www.thejakartapost.com/news/2010/10/26/govt-urged-set-land-reform-agency-with-more-authority.html
Baca Selanjutnya......

25.10.10

Land reform program not genuine: Experts

....the President’s move Thursday represented only a key “precondition” for the country’s still far-fetched genuine land reform ~ GWR today
Headlines

The Jakarta Post, Jakarta | Mon, 10/25/2010 9:26 AM |
Activists and agrarian experts agreed on Sunday that the government’s effort to distribute hundreds of hectares of land to farmers was still far from a “genuine land reform program”.

President Susilo Bambang Yu-dhoyono on Thursday presented symbolic land certificates that granted 260 hectares of land to more than 5,100 farmers in four villages in Cilacap, Central Java, with each farmer reportedly receiving 500 square meters of land.

H.C. Gunawan Wiradi, an expert who has authored more than 270 publications on agrarian issues, told The Jakarta Post that the President’s move Thursday represented only a key “precondition” for the country’s still far-fetched genuine land reform.

“Real land reform is usually very drastic in nature, has a fixed implementation time, and is usually fast. The reform is to completely alter the structural ownership and use of not only land, but also land holdings, including plantation, large ranches and agribusiness plots,” Gunawan said.The government has so far been unable to lay the prerequisites for such a reform, he added.



Those prerequisites include a strong political will, better understanding of agrarian issues, a solid national farmers’ organization, and a separation of the political elite from the business sector, as well as the provision of national agrarian data and analyses.

In the latter case, Gunawan said he did not understand why the Central Statistics Agency had not been able to produce accurate data on how much land the country had and was available for farming.

“The Netherlands East Indies once conducted agrarian research in 1860, surveying more than 888 villages across the country for two years to obtain thorough agrarian-related information. Why can’t we do the same thing?” he said.

Gunawan, who received his honoris causa from the Bogor Institute of Agriculture, added that all sectors would also need to sit down together to discuss the possibility of forming a national institution, the tasks of which would be to execute and monitor the national land reform programs.

Meanwhile, Usep Setiawan, the chairman of the Consortium for Agrarian Reform’s national council, said that what the President did Thursday was positive, but said the government also needed to provide farmers with access to better infrastructure and farming facilities.

“Land reform is also about access reform,” he said. The government has launched its Land for Justice and People’s Welfare program in 2007, and it plans to distribute 142,000 hectares of land scattered over 389 villages in 21 provinces by the end of 2010.

According to the Indonesian Farmers Union (SPI), there are now more than 12.4 million hectares of abandoned land. It recommends that the land be distributed to each farmer’s family owning an average of less than 0.5 hectares of land.

In Central Java, many farming families possess less than 0.25 hectares of land.
SPI also said in 2008 there were 28.3 million farmer families in Indonesia, with 45 percent of the total land area owned by only 11 percent of such families. In the case of crude and palm oil plantation, the state and private sector dominate 66 percent of the total plantation area in the country. (tsy)

sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2010/10/25/land-reform-program-not-genuine-experts.html
Baca Selanjutnya......

23.10.10

SBY: Distribusi Tanah Belum Adil

Sinar Harapan-Cetak
Kamis, 21 Oktober 2010 12:32

"Salah satu pengurus SPI, A Yakub, dihubungi SH mengatakan bahwa program pembaharuan agraria mestinya bukan semata-mata pemberian sertifikasi tanah kepada petani dan masyarakat lainnya, tapi harus memastikan adanya hak pemberian atas tanah kepada petani gurem yang memiliki tanah 0,3 hektare sebanyak 13 juta petani"


Bogor - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta pendistribusian tanah negara dilakukan secara lebih adil. “Saya melihat pendistribusian tanah negara belum dilakukan secara adil. Dengan distribusi yang lebih adil, rak¬yat yang tadinya tidak punya apa-apa mulai memiliki sesuatu yang bisa dijadikan modal,” katanya dalam Peringatan 50 Tahun Agraria Nasional di Istana Bogor, Kamis (21/10). Presiden meminta agar lahan-lahan telantar milik negara dapat didistribusikan secara lebih adil kepada semua. Kepala Negara juga mengingatkan agar pendistribusian dilaksanakan secara matang agar ada status hukum yang jelas.
“Apabila semua itu kita lakukan dengan benar, dengan perencanaan, dan manajemen jelas maka akan ada kejelasan status hukum. Mana yang Hak Guna, mana yang Hak Milik. Kalau status hukum jelas maka akan mencegah konflik dan benturan karena urusan tanah,”jelasnya. Untuk itu, Presiden meminta agar amanat dalam Undang-Undang (UU) Pokok Agraria, Peraturan Peme¬rin¬tah, dan Peraturan Presiden dijalankan secara konsisten. “Dengan kebijakan yang tepat, kita bisa melakukan pendayagunaan tanah termasuk pen¬distribusian,” tambahnya. Kepala Negara juga mengingatkan agar Badan Pertanahan Nasional (BPN) terus melakukan tugasnya dan menjadi garda terdepan dalam pendistribusian tanah bagi rakyat. Dalam peringatan yang mengambil tema besar “Tanah untuk Keadilan dan untuk Kesejahetraan Rakyat” itu Yudhoyono meminta agar rakyat bisa menjadi tuan tanah di negerinya sendiri.
“Mari kita camkan betul agar di negeri kita, rakyat tuan tanah yang memiliki bumi, air, dan kekayaan alam,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Kepala Negara dan Kepala BPN Joyo Winoto secara simbolis menyerahkan setifikat objek land reform pada 5.141 keluarga dari empat desa di Kabupaten Cilacap.
Sejak tahun 2000 BPN telah menetapkan objek land reform seluas 142.159 hektare di 389 desa yang tersebar di 21 provinsi.

Regulasi Khusus
Saat dihubungi terpisah, Ketua Dewan Nasional Kon¬sor¬sium Pembaruan Agraria Usep Setiawan mendesak Presiden Yudhoyono segera menerbitkan regulasi khusus reformasi agraria, juga lembaga khusus untuk reformasi agra¬ria yang otoritatif dan multisektor.

Untuk itu, lanjut Usep, diperlukan alokasi biaya negara secara penuh demi mengatasi kemiskinan melalui reformasi agraria. Masyarakat tani, melalui organisasi rakyat tani, juga harus dilibatkan dalam program reformasi agraria nasional.
Namun, di atas semua itu, ia menekankan Presiden Yudhoyono harus terlebih dahulu memprioritaskan penyelesaian berbagai kasus konflik agraria yang selama ini terjadi. Usep mencontohkan pemerintah harus menghentikan penyusunan regulasi kebijakan yang dapat menggusur tanah rakyat.
Dengan demikian, tandasnya, Presiden Yuhoyono harus konsisten mengkonkretkan janji reformasi agraria dengan mendistribusikan lahan seluas delapan juta hektare yang dicanangkan sejak awal pemerintahannya pada tahun 2004 lalu.
Sementara itu, di luar Istana Bogor, ratusan petani menggelar unjuk rasa. Massa dari Serikat Petani Indonesia (SPI) yang berasal dari daerah Sukabumi dan Cianjur ini berunjuk rasa mendesak pemerintah mengeluarkan sertifikat tanah bagi lahan garapan mereka.
Salah satu pengurus SPI, A Yakub, dihubungi SH mengatakan bahwa program pembaharuan agraria mestinya bukan semata-mata pemberian sertifikasi tanah kepada petani dan masyarakat lainnya, tapi harus memastikan adanya hak pemberian atas tanah kepada petani gurem yang memiliki tanah 0,3 hektare sebanyak 13 juta petani.
“Selain itu juga untuk petani penggarap yang selama ini tidak terdeteksi, seperti para buruh tani dan yang tidak memiliki tanah, yang oleh BPS disebut orang-orang miskin di pedesaan,” ungkapnya.
Di samping itu, Presiden Yudhoyono harus segera menyelesaikan konflik agraria dengan menghentikan kekerasan dan penangkapan terhadap petani, dan diselesaikannya berbagai konflik pertanian. (novan dwi putranto/effatha tamburian) sumber: http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/sby-distribusi-tanah-belum-adil/
Baca Selanjutnya......

22.10.10

Pemerintah Bagikan Tanah di 21 Provinsi


Fokus
"Belum ada landasan pemaksa pemerintah daerah untuk menjalankannya."

Jum'at, 22 Oktober 2010, 00:52 WIB
Arfi Bambani Amri, Bayu Galih

"Banyak hal lagi seperti seperti kepastian legal bagi petani atas hak atas tanah, penyelesaian konflik pertanahan, dukungan insentif kepada petani pangan berupa bantuan hibah ataupun kredit ini supaya tidak tergadai, yang belum jelas," kata Yakub";

VIVAnews - Peringatan Hari Agraria Nasional kali ini berbeda. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merayakannya di Istana Bogor, Kamis, 21 Oktober 2010, dengan memberikan sertifikat tanah hasil land reform atau redistribusi tanah kepada 5.141 kepala keluarga dari empat desa di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Tanah yang dibagi pada petani Cilacap ini 214 hektare, sehingga setiap kepala keluarga mendapat kurang dari 400 meter persegi. Pemberian tanah kepada para petani Cilacap ini menjadi simbol untuk redistibusi tanah seluas 142.159 hektare di 389 desa yang tersebar di 21 Provinsi.

SBY mengatakan tujuan besar negara di bidang pertanahan adalah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. "Mari kita camkan betul visi besar ini. Agar rakyat jadi tuan tanah, tuan yang memiliki bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Saya terharu," kata SBY.

SBY lalu sempat terdiam beberapa saat seperti menahan tangis. Kemudian dengan suara parau, SBY meminta Pemerintah agar menerapkan konstitusi yang diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar '45.

"Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Kita implementasikan niat luhur pendiri republik, rakyat harus dapat akses lebih luas agar kesejahtraan mereka semakin meningkat di negeri tercinta," ucap SBY.

Janji Kampanye

Iwan Nurdin, Deputi Kajian dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria, yang hadir dalam acara puncak peringatan Hari Agraria itu menyatakan, land reform merupakan bagian dari janji kampanye SBY sejak 2004. Bahkan pada 31 Januari 2007, SBY menegaskan janji melakukan redistribusi tanah untuk kesejahteraan petani. Pernyataan Presiden itu, kata Nurdin, disambut Badan Pertanahan Nasional dengan mengeluarkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).

"Setidaknya, tiga kali Presiden berkomitmen mau mendistribusikan tanah," kata Iwan kepada VIVAnews.
Sebelum pernyataan di Bogor, Presiden pernah menjanjikan hal itu di Prambanan pada awal 2008 dan di Marunda beberapa waktu lalu. Dan akhirnya muncul Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Iwan melihat, agenda pemberian sertifikat pada ribuan kepala keluarga hari ini belum sepenuhnya land reform seperti yang diinginkan petani selama ini. Secara regulasi, belum ada peraturan organik yang memaksa aparat kabupaten untuk menjalankan land reform.

Memang ada Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang menjadi dasar land reform di era Presiden Soekarno. Namun PP yang masih berlaku itu sudah tak bisa diaplikasikan karena lembaga yang menjalankan seperti Panitia Land Reform sudah tak ada.

Namun, KPA mengapresiasi langkah Presiden hari ini. "Presiden memberikan sinyal mendukung land reform, tapi belum sampai tahap operasional," katanya. Mengapresiasi karena program land reform ini bergulir lagi setelah 45 tahun terhenti.

Namun, Serikat Petani Indonesia (SPI), sebuah organisasi petani yang gencar menyuarakan perlunya land reform, mengritik acara hari ini baru sebatas politik pencitraan. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional, Achmad Ya'kub, menyatakan, penyerahan sertifikat hanya ujung dari kerangka besar land reform, belum bisa dikatakan land reform seutuhnya.

"Banyak hal lagi seperti seperti kepastian legal bagi petani atas hak atas tanah, penyelesaian konflik pertanahan, dukungan insentif kepada petani pangan berupa bantuan hibah ini supaya tidak tergadai, yang belum jelas," kata Ya'kub; yang mengaku diundang menghadiri penyerahan sertifikat di Istana Bogor namun memilih berada di luar, berdemonstrasi bersama ribuan petani.

Menurut Ya'kub, land reform yang dicanangkan SBY juga tak akan bisa terlaksana tanpa penguatan peran Badan Pertanahan Nasional menjadi sekelas Kementerian Koordinator. "Dengan begitu, dia bisa membawahi perkebunan, pertanian dan kehutanan."

"Ini saja, BPN katanya reformasi agraria, tapi hak guna usaha perkebunan terus dikeluarkan, dari yang yang hanya 3 juta hektare pada 1990-an, sekarang sudah naik menjadi 7 hektare," kata Ya'kub.
Pada saat yang sama, dia melanjutkan, terjadi konversi besar-besaran lahan pertanian menjadi nonpertanian.

Menurut dia, jika Presiden serius memimpin land reform, akan ada belasan juta rakyat miskin pedesaan yang dientaskan karena terdapat 7,3 juta hektare lahan terlantar milik negara. Jika satu kepala keluarga diberi tanah satu hektare, maka akan ada belasan juta orang yang selesai problem pengangguran, kemiskinan dan kelaparannya.
"Selain itu, juga ada belasan juta suara mendukungnya dalam Pemilu," kata Ya'kub.

Dan strategi ini akan semakin sukses dengan pengaturan tata guna tanah secara ketat, dipisahkan mana lahan pertanian, perumahan dan komersial. "Kemudian seperti di Jepang, tanah hasil land reform diatur hanya boleh diwariskan pada satu orang supaya tidak ada pemecahan lahan," kata Ya'kub.

Kepala BPN Joyo Winoto menyatakan, pemberian sertifikat pada 5.141 petani di Cilacap ini baru sukses kecil dari Reforma Agraria secara damai. Tanah yang dibagi ini adalah tanah sisa dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah seluas 1,6 juta hektare.

Joyo menargetkan, supaya indeks gini rasio penguasaan tanah mencapai 0,37, diperlukan redistribusi lahan tambahan seluas 6 juta hektare. Dan target ini, kata Joyo, semoga bisa dicapai dengan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar berlaku beserta dengan terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria.

Syarat mereka yang bisa menerima tanah itu adalah kategori miskin, tidak memiliki tanah, punya tanah tapi luasnya kecil, dan berbagai syarat lain. Semua proses itu mirip dengan pelaksanaan PP 224 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah.

Menurut Joyo, teknik penerapan ini mencontoh Venezuela yang setelah delapan tahun menerapkan prinsip yang mirip dengan pokok-pokok RPP Reforma Agraria ini. Mereka berhasil membagikan tanah seluas 3,7 juta hektare.

Dalam dua tiga tahun ke depan, Joyo menjelaskan, pemerintah menargetkan 600-700 ribu hektare bisa dibagikan dari tanah sisa PP Tahun 1961. Sementara itu, dengan penerapan RPP Reforma Agraria nantinya diharapkan luas tanah yang dibagikan berkisar 2,8-3,5 juta hektare. Pemerintah menargetkan pembagian tanah itu bisa selesai pada 2025.
Namun, para petani tampaknya belum bisa kelewat senang dulu. Seperti disampaikan Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaruan Agraria, PP Nomor 11 Tahun 2010 belum memiliki perangkat di bawah yang bisa menerapkannya dengan solid. "Belum ada landasan pemaksa pemerintah daerah, atau bahkan instansi-instansi terkait untuk menjalankannya."
• VIVAnews
sumber: http://fokus.vivanews.com/news/read/184200--i-land-reform--i--bergema-lagi-dari-istana
Baca Selanjutnya......