13.10.12

Subsidi Pangan Dipertahankan

Kebijakan Pertanian I Kajian dan Rekomendasi OECD Menyesatkan

JAKARTA - Kementerian Pertanian akan tetap mempertahankan model subsidi untuk pangan, dan tidak akan menggubris rekomendasi Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi atau Organization for Economic and Development (OECD). "Apa yang disampaikan OECD itu sangat tendensius, terutama rekomendasinya yang menyuruh mengurangi subsidi dan menghilangkan raskin, serta tidak perlu orientasi swasembada. Sangat riskan jika rekomendasi tersebut dipenuhi," tegas Menteri Pertanian, Suswono, di Jakarta, Jumat (12/10).

Suswono menegaskan bahwa Kementerian Pertanian tidak akan menggubris rekomendasi OECD dan akan fokus memenuhi amanat dari rancangan undang-undang (RUU) pangan, yang mengamanatkan kemandirian dan kedaulatan pangan. Mentan menambahkan, soal pangan itu menyangkut kedaulatan bangsa sehingga tidak boleh diatur bangsa lain, apalagi bergantung dari impor. Posisi Indonesia saat ini berpeluang meningkatkan produksi dan mencapai swasembada pangan.

"Ke depan, persoalan pangan kita sudah di warning FAO, yang intinya agar setiap negara mengamankan kebutuhan pangan masing-masing. Jadi, kalau kita menggantungkan diri melalui impor, akan riskan dari sisi ekonomi dan politik," ungkap dia. Terkait rekomendasi untuk mengurangi subsidi, Suswono menilai rekomendasi OECD tidak tepat karena kebijakan pemberian subsidi wajar dilakukan setiap negara. Ia menyebutkan negara maju seperti Jerman masih memberikan subsidi bagi petaninya yang memiliki lahan rata-rata 50 hektare setiap tahun. Bahkan, Amerika Serikat karena dilanda kekeringan, pemerintahnya menggelontorkan dana sebesar 30 miliar dollar AS untuk tanaman jagungnya.

"Jadi, rekomendasi OECD itu menyesatkan dan tidak perlu direspons. Yang penting, tekad kita sekarang adalah swasembada harus dilanjutkan, terlepas kapan itu bisa tercapai karena ada kendala. Akan tetapi, semangat itu harus tetap ada," papar dia. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menyatakan kajian dan rekomendasi OECD menyesatkan, dan jika dituruti akan menimbulkan petaka. "Kajian dan rekomendasi itu sebagai jalan sesat yang hanya akan menguntungkan negara anggota OECD. Akan menimbulkan petaka jika kemudian rekomendasi tersebut dipakai untuk kebijakan pertanian kita," kata Manager Advokasi dan Jaringan KRKP, Said Abdullah. Menurut Said, menggantungkan kebijakan pangan kepada negara lain dan pasar internasional, sama saja dengan bunuh diri. Ia mencontohkan, gejolak harga kedelai dan beras terbukti membuat panik kondisi di dalam negeri. Said menegaskan, menyerahkan urusan pangan kepada pasar terbukti telah gagal. Muslihat OECD yang mencoba mengutak-atik subsidi merupakan bagian dari upaya masuknya perusahaan besar ke jaringan bisnis dan menenggelamkan petani dalam jurang kemiskinan.

Eksploitasi Tanah
Secara terpisah, Kepala Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia (SPI), Achmad Ya'kub, menilai kebijakan RAI (responsible agricultural investment) yang dikeluarkan Bank Dunia mendorong eksploitasi tanah yang ada karena membuka peluang bagi perusahaan transnasional. "Dengan diterbitkannya prinsip RAI oleh Bank Dunia, justru menjadi legitimasi pola pencaplokan lahan yang dilakukan oleh pemodal besar," kata Ahmad Yakub dalam konferensi pers bersama sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, RAI merupakan kebijakan Bank Dunia yang merespons banyaknya perampasan tanah oleh perusahaan agribisnis. Dia menjelaskan jika hal ini diimplementasikan, petani kecil di pedesaan akan semakin terpuruk, mendorong terjadinya konflik menghilangkan sumber ekonomi perempuan serta potensi menguatkan ketidakadilan gender. "Tanah akan semakin berpotensi dikuasai oleh kaum pemodal, baik nasional maupun asing serta produsen besar," kata Ahmad.

Dia mengatakan kebijakan yang didorong Bank Dunia adalah kebijakan korporasi sehingga mengancam sektor pertanian di Indonesia. "Warga tani menghilang menjadi buruh perkebunan di kelapa sawit," ujar dia. Menurut dia, program food estate (pertanian tanaman pangan berskala luas) di Merauke, Papua, akan mengarah kepada feodalisme karena peran petani pribumi hanyalah sebagai mitra kerja alias buruh bagi pemodal di food estate. aan/E-3 
sumber http://m.koran-jakarta.com/?id=102948&mode_beritadetail=1 
 
 


Share/Bookmark