22.10.12
Kebijakan Jadi Satu Pintu, UU Pangan Persempit Aksi Mafia
Pemerintah Nggak Mau Ruwet, Bulog Akan Tetap Jadi Stabilisator
RMOL. Pemerintah kelihatannya ngotot mempertahankan keberadaan Perum Bulog. Soalnya, dalam UU Pangan yang baru disahkan DPR, mesti dibentuk lembaga ketahanan pangan baru di bawah Presiden dan keberadaan Bulog pun terancam. Menko Perkonomian Hatta Rajasa mengaku kurang setuju jika harus dibentuk lembaga baru selain Bulog. “Kementerian atau lembaga baru selain Bulog itu kan perlu transisi, tidak perlu lah. Yang penting ada saja daripada ruwet,” kata Hatta.
Menurut dia, pemerintah akan mengeluarkan aturan baru yang menjadikan Bulog sebagai stabilisator pangan di Indonesia. Pemerintah juga sedang menaikkan status lembaga itu jadi stabilisator penyangga gula dan kedelai. “Saya minta Inpres (Instruksi Presiden) disiapkan karena kita tak ingin ada gejolak harga. Bulog akan jadi stabilisator,” tegasnya.
Dari pihak Bulog, belum ada yang bisa dimintai komentar terkait pembentukan lembaga baru dan melebur Bulog di dalamnya. Namun, sebelumnya Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso kepada Rakyat Merdeka mengatakan, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah terkait keberadaan Bulog.
Wakil Ketua Komisi IV DPR yang juga Pimpinan Panitia Kerja (Panja) RUU Pangan Firman Soebagyo mengatakan, mempertahankan dan melebur Bulog diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah sesuai amanat Undang-Undang Pangan yang baru disahkan. “Jika pemerintah tetap ngotot mempertahankan Bulog atau menjadi leading, maka fungsinya harus dikembalikan seperti dulu, bukan menjadi Perum lagi,” katanya kepada Rakyat Merdeka. Firman mengatakan, pembentukan lembaga baru justru dibutuhkan untuk memangkas kesemrawutan dalam penyediaan dan distribusi pangan saat ini. “Justru dengan lembaga ini bakal memupus kartel dan mafia pangan,” cetusnya.
Apalagi, pemerintah dan DPR telah menyepakati lembaga baru pangan yang independen langsung di bawah koordinasi Presiden. Selama ini pengelolaan pangan masih mengikuti mekanisme pasar yang dikuasai swasta. Akhirnya, harga mahal, pasokan sulit karena swasta yang mengatur. Ia berharap, keberadaan Bulog nantinya bisa dilebur dalam lembaga baru serta berubah fungsi untuk dikembalikan sebagai buffer stock sejumlah bahan pangan.
Ketua Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia Achmad Yakub mengatakan, yang cocok menjadi leading dari lembaga ketahanan pangan adalah Dewan Ketahanan Pangan (DKP), karena lembaga itu di bawah langsung Presiden. “Sebaiknya Bulog dilebur ke lembaga baru saja,” kata Yakub Dia berharap, lembaga tersebut bisa mengambil peran penyaluran beras public service obligation (PSO) yang selama ini dikerjakan Bulog. Dengan adanya lembaga ini, diharapkan kebijakan pangan dalam negeri menjadi satu pintu. Sekarang, kata Yakub, kebijakan pangan ada di berbagai kementerian. Kementerian Perdagangan fokus untuk impor dan bisnisnya. Sedangkan Kementerian Pertanian peningkatan produksi dalam negeri, sehingga tidak pernah nyambung.
Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Benny Pasaribu mengatakan, pihaknya menunggu implementasi dari Undang-Undang Pangan yang sudah disahkan. Dengan adanya kebijakan yang mengatur persoalan pangan, diharapkan bisa membenahi permasalahan pangan dan mempercepat swasembada pangan. Menurut Benny, Bulog harus diberikan tugas dan kewenangan untuk menjadi stabilisator harga. Bulog harus membeli di saat petani sedang panen dan harus ada kebijakan harga dasarnya.
“Kalau Bulog tidak bisa menangani, pemerintah daerah bisa membentuk perusahaan baru tetapi bukan untuk impor, melainkan untuk membeli produk-produk dari petani,” jelasnya. Kendati begitu, Benny menyarankan, Bulog tidak harus dibubarkan atau ditutup secara kelembagaan. Karena, yang menyebabkan kinerja Bulog menurun itu jajaran direksinya.
“Mungkin ada yang tidak beres, bubarkan saja direksinya. Ganti dengan orang-orang yang berkompeten dan ahli,” ujarnya. Untuk diketahui, DPR akhirnya mensahkan RUU Pangan menjadi UU, Kamis (18/10). Dalam pasal 129 RUU Pangan disebutkan, dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan nasional, maka dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan. sumber [Harian Rakyat Merdeka] Baca Selanjutnya......
18.10.12
Monopoli Mematikan Pengembangan Pangan Lokal
Kemandirian Pangan
JAKARTA - Pembiaran pengusaha besar importir terigu nasional melakukan praktik monopoli selama puluhan tahun telah merusak potensi rakyat untuk mengembangkan tepung berbahan baku lokal. Lebih dari itu, monopoli pasar impor terigu domestik warisan Orde Baru tersebut telah membuat pedagang kecil pengolah terigu menjadi tidak berdaya untuk mendapatkan terigu yang lebih murah.
"Kalau pemerintah tidak turun tangan, yang terjadi seperti sekarang ini, sekelompok pengusaha warisan Orde Baru menjadi pemain tunggal dan seenaknya mengatur perdagangan terigu. Sedihnya lagi, petani yang mengembangkan tepung berbahan baku lokal menjadi kalah bersaing dengan terigu impor," kata Ketua Divisi Kajian dan Propaganda Serikat Petani Indonesia (SPI), Achmad Ya'kub, di Jakarta, Rabu (17/10).
Ya'kub menambahkan pemerintah seharusnya membela rakyatnya daripada melanggengkan sekelompok pengusaha besar importir terigu nasional melakukan praktik monopoli. Alasannya, karena kebergantungan pada segelintir importir terigu akan memengaruhi stabilitas pangan nasional. "Pengalaman berkurangnya pasokan gandum dari Rusia, beberapa tahun lalu, seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk tidak membiarkan praktik monopoli terigu nasional berkembang. Padahal, Indonesia tidak sebutir pun menanam gandum, namun kenyataannya pemerintah tampak panik ketika pasokan gandum dari Rusia dan Amerika berkurang beberapa waktu lalu," kata dia.
Koordinator Perkumpulan Pedagang Kecil Pengolah Terigu (PPKPT), Didi Rachmat, menambahkan saat ini pasar impor terigu di Tanah Air didominasi oleh satu perusahaan nasional yang menguasai hingga 80 persen pasar. Penguasaan pasar ini berpotensi terjadinya oligopoli yang mengarah pada monopoli pasar terigu sehingga menyebabkan harga terigu tinggi. "Anehnya lagi, manakala Turki menawarkan terigu dengan harga lebih murah dari yang ada sekarang, sekelompok pengusaha nasional mengajukan keberatan dan meminta pemerintah untuk membatasinya dengan menambah bea masuk tindakan pengaman atau safeguard," kata dia.
Menurut Didi, pengadangan masuknya terigu murah dari Turki tersebut juga pernah terjadi sebelumnya. Ketika itu, sekelompok pengusaha nasional menuding Turki melakukan dumping sehingga mendesak Komite Antidumping Indonesia (KADI) untuk mengeluarkan rekomendasi Bea Masuk Antidumping (BMAD). Kini, sekelompok pengusaha nasional itu kembali beraksi dengan mendesak Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) untuk mengeluarkan rekomendasi bea masuk tindakan pengamanan (safeguard) terhadap melonjaknya volume terigu dari Turki.
Dipaksa Impor
Sementara itu, pengamat ekonomi pertanian, Khudori, membenarkan monopoli pasar terigu berbahan gandum berdampak pada sulitnya tepung berbahan lokal untuk berkembang. Akibatnya, setiap tahun, Indonesia dipaksa mengimpor enam juta ton gandum untuk terigu. "Selama ini, kalau ada upaya substitusi terigu berbahan gandum menjadi tepung dari bahan lokal, seperti ubi jalar dan ganyong, selalu dihambat importir yang memonopoli pasar," kata dia. YK/aan/mza/AR-2 KORAN JAKARTA/WACHYU AP http://m.koran-jakarta.com/?id=103385&mode_beritadetail=1 Baca Selanjutnya......
JAKARTA - Pembiaran pengusaha besar importir terigu nasional melakukan praktik monopoli selama puluhan tahun telah merusak potensi rakyat untuk mengembangkan tepung berbahan baku lokal. Lebih dari itu, monopoli pasar impor terigu domestik warisan Orde Baru tersebut telah membuat pedagang kecil pengolah terigu menjadi tidak berdaya untuk mendapatkan terigu yang lebih murah.
"Kalau pemerintah tidak turun tangan, yang terjadi seperti sekarang ini, sekelompok pengusaha warisan Orde Baru menjadi pemain tunggal dan seenaknya mengatur perdagangan terigu. Sedihnya lagi, petani yang mengembangkan tepung berbahan baku lokal menjadi kalah bersaing dengan terigu impor," kata Ketua Divisi Kajian dan Propaganda Serikat Petani Indonesia (SPI), Achmad Ya'kub, di Jakarta, Rabu (17/10).
Ya'kub menambahkan pemerintah seharusnya membela rakyatnya daripada melanggengkan sekelompok pengusaha besar importir terigu nasional melakukan praktik monopoli. Alasannya, karena kebergantungan pada segelintir importir terigu akan memengaruhi stabilitas pangan nasional. "Pengalaman berkurangnya pasokan gandum dari Rusia, beberapa tahun lalu, seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk tidak membiarkan praktik monopoli terigu nasional berkembang. Padahal, Indonesia tidak sebutir pun menanam gandum, namun kenyataannya pemerintah tampak panik ketika pasokan gandum dari Rusia dan Amerika berkurang beberapa waktu lalu," kata dia.
Koordinator Perkumpulan Pedagang Kecil Pengolah Terigu (PPKPT), Didi Rachmat, menambahkan saat ini pasar impor terigu di Tanah Air didominasi oleh satu perusahaan nasional yang menguasai hingga 80 persen pasar. Penguasaan pasar ini berpotensi terjadinya oligopoli yang mengarah pada monopoli pasar terigu sehingga menyebabkan harga terigu tinggi. "Anehnya lagi, manakala Turki menawarkan terigu dengan harga lebih murah dari yang ada sekarang, sekelompok pengusaha nasional mengajukan keberatan dan meminta pemerintah untuk membatasinya dengan menambah bea masuk tindakan pengaman atau safeguard," kata dia.
Menurut Didi, pengadangan masuknya terigu murah dari Turki tersebut juga pernah terjadi sebelumnya. Ketika itu, sekelompok pengusaha nasional menuding Turki melakukan dumping sehingga mendesak Komite Antidumping Indonesia (KADI) untuk mengeluarkan rekomendasi Bea Masuk Antidumping (BMAD). Kini, sekelompok pengusaha nasional itu kembali beraksi dengan mendesak Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) untuk mengeluarkan rekomendasi bea masuk tindakan pengamanan (safeguard) terhadap melonjaknya volume terigu dari Turki.
Dipaksa Impor
Sementara itu, pengamat ekonomi pertanian, Khudori, membenarkan monopoli pasar terigu berbahan gandum berdampak pada sulitnya tepung berbahan lokal untuk berkembang. Akibatnya, setiap tahun, Indonesia dipaksa mengimpor enam juta ton gandum untuk terigu. "Selama ini, kalau ada upaya substitusi terigu berbahan gandum menjadi tepung dari bahan lokal, seperti ubi jalar dan ganyong, selalu dihambat importir yang memonopoli pasar," kata dia. YK/aan/mza/AR-2 KORAN JAKARTA/WACHYU AP http://m.koran-jakarta.com/?id=103385&mode_beritadetail=1 Baca Selanjutnya......
17.10.12
SPI Minta Pemerintah Prioritaskan Revitalisasi Institusi Petani
Jakarta (ANTARA) - Serikat Petani Indonesia minta pemerintah prioritaskan revitalisasi institusi dan kelembagaan petani sehingga memperkuat akses untuk meningkatkan produksi pertanian dibandingkan mengembangkan konsep agribisnis.
"Tema pemerintah untuk Hari Pangan Sedunia tahun ini tidak tepat yang mengembangkan agroindustri, karena lebih tepat merevitalisasi institusi dan kelembagaan petani," kata Ketua Serikat Petani Indonesia, Achmad Yakub kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan ketika kelembagaan atau institusi petani sudah kuat maka mereka mudah mendapatkan akses permodalan ke bank dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) maupun Kredit Usaha Tani (KUT). Selain itu, menurut dia, akses petani mendapatkan benih unggul dan pupuk akan lebih baik dan murah sebab harga itu akan tinggi apabila petani membelinya secara individu.
"Revitalisasi lembaga petani, memastikan pembelian harga jual yang bagus dari petani, ada proses penyediaan benih unggul dari koperasi, tersedianya pupuk tepat waktu untuk keperluan petani kecil," ujarnya.
Menurut Ahmad, secara lebih luas lembaga petani itu akan mampu membangun industri pedesaan berbasis pertanian dengan mengembangkan hasil pertanian. Dia mencontohkan singkong yang bisa diolah menjadi keripik singkong dan tepung tapioka sehingga meningkatkan nilai tambah dari hasil pertanian.
"Pengolahan berbasis di desa itu fungsi koperasi tani dan juga membuka lapangan kerja desa pasca panen, selain itu lembaga itu memastikan harga jual bagus dari panen," katanya.
Menurut dia, konsep agribisnis yang digunakan pemerintah itu mengambil dari tema pertanian internasional tanpa memperhatikan kontekstualisasi kondisi pertanian Indonesia. Dia mengatakan, pola pertanian Indonesia jauh berbeda dengan yang ada di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia dan Uni Eropa.
Di negara-negara itu menurut dia, para petani kecil minimal memiliki tanah diatas 100 hektare dengan menggunakan alat-alat berat. Dia membandingkan dengan petani di Indonesia yang lahannya hanya 0,3 hektare dan dikerjakan dengan konsep padat karya.
"Tema internasional itu diterjemahkan bulat-bulat oleh Kementerian Pertanian tanpa melihat kontekstualisasi petani di Indonesia yang rata-rata merupakan petani gurem dengan lahan hanya 0,3 hektare," katanya.
Sebelumnya, Indonesia akan memperingati Hari Pangan Sedunia ke 32 tahun ini dengan tema "Agroindustri Berbasis Kemitraan Petani Menuju Kemandirian Pangan" di Palangkaraya pada 18-21 Oktober 2012.
Kementerian Pertanian menilai pengembangan agroindustri berbasis petani perlu diangkat karena kondisi pertanian saat ini masih terpusat pada kegiatan hulu dengan nilai tambah yang relatif rendah.
Kementan menilai kegiatan agroindustri mempunyai kontribusi penting dalam proses industrialisasi dan peningkatan pendapatan petani terutama di wilayah pedesaan.
Kementan melansir data dalam lima tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan jumlah unit usaha agroindustri rata-rata mencapai 5,52 persen per tahun. (tp)
sumber Antara Baca Selanjutnya......
13.10.12
Subsidi Pangan Dipertahankan
Kebijakan Pertanian I Kajian dan Rekomendasi OECD Menyesatkan
JAKARTA - Kementerian Pertanian akan tetap mempertahankan model subsidi untuk pangan, dan tidak akan menggubris rekomendasi Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi atau Organization for Economic and Development (OECD). "Apa yang disampaikan OECD itu sangat tendensius, terutama rekomendasinya yang menyuruh mengurangi subsidi dan menghilangkan raskin, serta tidak perlu orientasi swasembada. Sangat riskan jika rekomendasi tersebut dipenuhi," tegas Menteri Pertanian, Suswono, di Jakarta, Jumat (12/10).
Suswono menegaskan bahwa Kementerian Pertanian tidak akan menggubris rekomendasi OECD dan akan fokus memenuhi amanat dari rancangan undang-undang (RUU) pangan, yang mengamanatkan kemandirian dan kedaulatan pangan. Mentan menambahkan, soal pangan itu menyangkut kedaulatan bangsa sehingga tidak boleh diatur bangsa lain, apalagi bergantung dari impor. Posisi Indonesia saat ini berpeluang meningkatkan produksi dan mencapai swasembada pangan.
"Ke depan, persoalan pangan kita sudah di warning FAO, yang intinya agar setiap negara mengamankan kebutuhan pangan masing-masing. Jadi, kalau kita menggantungkan diri melalui impor, akan riskan dari sisi ekonomi dan politik," ungkap dia. Terkait rekomendasi untuk mengurangi subsidi, Suswono menilai rekomendasi OECD tidak tepat karena kebijakan pemberian subsidi wajar dilakukan setiap negara. Ia menyebutkan negara maju seperti Jerman masih memberikan subsidi bagi petaninya yang memiliki lahan rata-rata 50 hektare setiap tahun. Bahkan, Amerika Serikat karena dilanda kekeringan, pemerintahnya menggelontorkan dana sebesar 30 miliar dollar AS untuk tanaman jagungnya.
"Jadi, rekomendasi OECD itu menyesatkan dan tidak perlu direspons. Yang penting, tekad kita sekarang adalah swasembada harus dilanjutkan, terlepas kapan itu bisa tercapai karena ada kendala. Akan tetapi, semangat itu harus tetap ada," papar dia. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menyatakan kajian dan rekomendasi OECD menyesatkan, dan jika dituruti akan menimbulkan petaka. "Kajian dan rekomendasi itu sebagai jalan sesat yang hanya akan menguntungkan negara anggota OECD. Akan menimbulkan petaka jika kemudian rekomendasi tersebut dipakai untuk kebijakan pertanian kita," kata Manager Advokasi dan Jaringan KRKP, Said Abdullah. Menurut Said, menggantungkan kebijakan pangan kepada negara lain dan pasar internasional, sama saja dengan bunuh diri. Ia mencontohkan, gejolak harga kedelai dan beras terbukti membuat panik kondisi di dalam negeri. Said menegaskan, menyerahkan urusan pangan kepada pasar terbukti telah gagal. Muslihat OECD yang mencoba mengutak-atik subsidi merupakan bagian dari upaya masuknya perusahaan besar ke jaringan bisnis dan menenggelamkan petani dalam jurang kemiskinan.
Eksploitasi Tanah
Secara terpisah, Kepala Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia (SPI), Achmad Ya'kub, menilai kebijakan RAI (responsible agricultural investment) yang dikeluarkan Bank Dunia mendorong eksploitasi tanah yang ada karena membuka peluang bagi perusahaan transnasional. "Dengan diterbitkannya prinsip RAI oleh Bank Dunia, justru menjadi legitimasi pola pencaplokan lahan yang dilakukan oleh pemodal besar," kata Ahmad Yakub dalam konferensi pers bersama sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, RAI merupakan kebijakan Bank Dunia yang merespons banyaknya perampasan tanah oleh perusahaan agribisnis. Dia menjelaskan jika hal ini diimplementasikan, petani kecil di pedesaan akan semakin terpuruk, mendorong terjadinya konflik menghilangkan sumber ekonomi perempuan serta potensi menguatkan ketidakadilan gender. "Tanah akan semakin berpotensi dikuasai oleh kaum pemodal, baik nasional maupun asing serta produsen besar," kata Ahmad.
Dia mengatakan kebijakan yang didorong Bank Dunia adalah kebijakan korporasi sehingga mengancam sektor pertanian di Indonesia. "Warga tani menghilang menjadi buruh perkebunan di kelapa sawit," ujar dia. Menurut dia, program food estate (pertanian tanaman pangan berskala luas) di Merauke, Papua, akan mengarah kepada feodalisme karena peran petani pribumi hanyalah sebagai mitra kerja alias buruh bagi pemodal di food estate. aan/E-3
sumber http://m.koran-jakarta.com/?id=102948&mode_beritadetail=1
Baca Selanjutnya......
JAKARTA - Kementerian Pertanian akan tetap mempertahankan model subsidi untuk pangan, dan tidak akan menggubris rekomendasi Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi atau Organization for Economic and Development (OECD). "Apa yang disampaikan OECD itu sangat tendensius, terutama rekomendasinya yang menyuruh mengurangi subsidi dan menghilangkan raskin, serta tidak perlu orientasi swasembada. Sangat riskan jika rekomendasi tersebut dipenuhi," tegas Menteri Pertanian, Suswono, di Jakarta, Jumat (12/10).
Suswono menegaskan bahwa Kementerian Pertanian tidak akan menggubris rekomendasi OECD dan akan fokus memenuhi amanat dari rancangan undang-undang (RUU) pangan, yang mengamanatkan kemandirian dan kedaulatan pangan. Mentan menambahkan, soal pangan itu menyangkut kedaulatan bangsa sehingga tidak boleh diatur bangsa lain, apalagi bergantung dari impor. Posisi Indonesia saat ini berpeluang meningkatkan produksi dan mencapai swasembada pangan.
"Ke depan, persoalan pangan kita sudah di warning FAO, yang intinya agar setiap negara mengamankan kebutuhan pangan masing-masing. Jadi, kalau kita menggantungkan diri melalui impor, akan riskan dari sisi ekonomi dan politik," ungkap dia. Terkait rekomendasi untuk mengurangi subsidi, Suswono menilai rekomendasi OECD tidak tepat karena kebijakan pemberian subsidi wajar dilakukan setiap negara. Ia menyebutkan negara maju seperti Jerman masih memberikan subsidi bagi petaninya yang memiliki lahan rata-rata 50 hektare setiap tahun. Bahkan, Amerika Serikat karena dilanda kekeringan, pemerintahnya menggelontorkan dana sebesar 30 miliar dollar AS untuk tanaman jagungnya.
"Jadi, rekomendasi OECD itu menyesatkan dan tidak perlu direspons. Yang penting, tekad kita sekarang adalah swasembada harus dilanjutkan, terlepas kapan itu bisa tercapai karena ada kendala. Akan tetapi, semangat itu harus tetap ada," papar dia. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menyatakan kajian dan rekomendasi OECD menyesatkan, dan jika dituruti akan menimbulkan petaka. "Kajian dan rekomendasi itu sebagai jalan sesat yang hanya akan menguntungkan negara anggota OECD. Akan menimbulkan petaka jika kemudian rekomendasi tersebut dipakai untuk kebijakan pertanian kita," kata Manager Advokasi dan Jaringan KRKP, Said Abdullah. Menurut Said, menggantungkan kebijakan pangan kepada negara lain dan pasar internasional, sama saja dengan bunuh diri. Ia mencontohkan, gejolak harga kedelai dan beras terbukti membuat panik kondisi di dalam negeri. Said menegaskan, menyerahkan urusan pangan kepada pasar terbukti telah gagal. Muslihat OECD yang mencoba mengutak-atik subsidi merupakan bagian dari upaya masuknya perusahaan besar ke jaringan bisnis dan menenggelamkan petani dalam jurang kemiskinan.
Eksploitasi Tanah
Secara terpisah, Kepala Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia (SPI), Achmad Ya'kub, menilai kebijakan RAI (responsible agricultural investment) yang dikeluarkan Bank Dunia mendorong eksploitasi tanah yang ada karena membuka peluang bagi perusahaan transnasional. "Dengan diterbitkannya prinsip RAI oleh Bank Dunia, justru menjadi legitimasi pola pencaplokan lahan yang dilakukan oleh pemodal besar," kata Ahmad Yakub dalam konferensi pers bersama sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, RAI merupakan kebijakan Bank Dunia yang merespons banyaknya perampasan tanah oleh perusahaan agribisnis. Dia menjelaskan jika hal ini diimplementasikan, petani kecil di pedesaan akan semakin terpuruk, mendorong terjadinya konflik menghilangkan sumber ekonomi perempuan serta potensi menguatkan ketidakadilan gender. "Tanah akan semakin berpotensi dikuasai oleh kaum pemodal, baik nasional maupun asing serta produsen besar," kata Ahmad.
Dia mengatakan kebijakan yang didorong Bank Dunia adalah kebijakan korporasi sehingga mengancam sektor pertanian di Indonesia. "Warga tani menghilang menjadi buruh perkebunan di kelapa sawit," ujar dia. Menurut dia, program food estate (pertanian tanaman pangan berskala luas) di Merauke, Papua, akan mengarah kepada feodalisme karena peran petani pribumi hanyalah sebagai mitra kerja alias buruh bagi pemodal di food estate. aan/E-3
sumber http://m.koran-jakarta.com/?id=102948&mode_beritadetail=1
Baca Selanjutnya......
Subscribe to:
Posts (Atom)