18.10.10

Kelaparan Belum Teratasi, Petani Harus Kuasai Lahan

OLEH: EFFATHA TAMBURIAN
Sinar Harapan, 16 oktober 2010

Jakarta - Masalah kelaparan atau rawan pangan di Indonesia belum juga dapat diatasi. Bahkan, perubahan iklim sekarang ini akan memperberat persoalan tersebut sebagai akibat rendahnya produksi pangan di dalam negeri.
Namun, banyaknya kasus kelaparan itu malah diperberat dengan kebijakan pemerintah yang menyerahkan pengusahaan pangan kepada perusahaan besar melalui Program Food Estate.
Demikian ditegaskan Ketua Departemen Kajian Stra¬tegis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) A Yakub saat dihubungi SH, Sabtu (16/10). “Dalam situasi seperti ini belum bisa dikatakan sudah terselesaikan. Masih banyak tantangan, terutama karena perubahan iklim. Itu baru tantangan alam, ditambah kebijakan pemerintah yang menyerahkan pangan kepada korporat besar,” ujarnya.
Yakub mencatat, berda¬sar¬kan peta yang dirilis oleh Kementerian Pertanian dan Food Agriculture Organisation (FAO/Organisasi Pangan PBB) pada Agustus 2010, kasus kelaparan akibat rawan pangan dan sangat rawan pangan ma¬sih terjadi di 100 kabupaten. Paling banyak ada di wilayah Indonesia Timur, Papua, NTT, dan sebagian Pulau Sulawesi serta Kalimantan. Seratus kabupaten tersebut masuk prioritas 1-3 yang asupan pangannya antara 1.900-2.100 kilokalori (kkal)/kapita/hari, di mana untuk prioritas 1 adalah kategori sangat rawan pangan.
Sebelumnya, Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Bayu Krisnamurthi mengatakan kasus kelaparan di Indonesia secara makro telah teratasi, meskipun masih ada beberapa daerah kantung yang masih rawan pangan. “Untuk kasus di Indonesia, hanya dengan kemandirian pangan kita bisa menghadapi kelaparan,” ujarnya, Jumat (15/10). Bayu juga mengacu pada data FAO tahun 2009, yaitu jika dilihat dari kasus kurang asupan pangan (under-nourishment) terdapat perkembangan yang cukup baik di Indonesia dibanding¬kan dengan kawasan lain seperti Asia Pasifik, Asia Tenggara, bahkan dunia.
Di lain pihak, kasus rawan pangan diakui oleh Wakil Gubernur DIY Paku Alam IX. Menurutnya, di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), secara makro ketersediaan pangan sudah mencukupi, bahkan terjadi surplus. Namun untuk angka konsumsi pangan, baik kuantitas maupun kualitas, berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2009, masih di bawah target yang ditetapkan.
“Saat ini didapati sekitar 94 desa rawan pangan yang mayoritas disebabkan oleh faktor kemiskinan,” kata Paku Alam IX, saat membuka Sekolah Lapangan Desa Mandiri Pangan (SL-Demapan) tahun 2010, di Balai Desa Munthuk, Dlingo, Bantul, Selasa (12/10) lalu. Dari 94 desa rawan pangan itu, tujuh desa di antaranya berlokasi di Kabupaten Bantul, yaitu Desa Argodadi, Caturharjo, Tamanan, Argosari, Jambidan, Bawuran, serta Wonolelo.
Pantauan SH memperlihatkan, rawan pangan juga masih terjadi di Kabupaten Gunung Kidul, DIY. Ketika mengunjungi Desa Kamal, Kelurahan Wunung, Kecamatan Wonosari, Rabu (13/10), SH menyaksikan betapa para petani di sana kesulitan air sehingga sawah mereka tidak membawa hasil sama sekali. Petani bernama Suyatmi (35), misalnya, terpaksa menghemat makanan dan minuman untuk kebutuhan sehari-hari. Padahal, ia hanya panen satu kali dalam satu tahun, di mana hasil panen itulah yang dipakai untuk makan selama satu tahun.
Kalau sedang musim kemarau seperti sekarang, Suyatmi dan petani lainnya hanya sanggup mencari rumput kolomenjono untuk bahan makanan sapi peliharaan mereka. “Kami di sini untuk makan saja susah. Hanya, sapi inilah harta benda kami,” kata Suyatmi, janda dengan satu anak ini. Ia sangat berharap pemerintah membantu mengatasi persoalan air di Wonosari.

Petani Harus Kuasai Lahan

Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) A.Yakub mengingatkan, pemerintah supaya mendorong masyarakat pedesaan yang umumnya bekerja sebagai petani untuk menguasai lahan, perbenihan, dan teknologi. Bukan malah memberikannya kepada korporat besar dengan dalih investasi di bidang pertanian. “Justru kita sudah punya investasi sumber daya manusia yang besar di pedesaan,” lanjutnya. Apabila pangan dikuasai perusahaan besar, masyarakat pedesaan hanya akan menjadi pembeli atau konsumen, bukan produsen. Oleh karena itu, jelas Yakub, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus segera merealisasikan program pembaruan agraria nasional yang akan mendistribusikan 7,3 juta hektare lahan telantar. Dengan demikian, per kapita akan mendapatkan 2 hektare, dan itu artinya ada 3,6 juta keluarga yang teratasi kemiskinannya, kelaparan, sekaligus terentaskan dari pengangguran.
“Selama ini logika pemerintah mengatasi kelaparan, kemiskinan, dan pengangguran hanya berdasarkan data statistik dan bersifat pragmatis, tetapi tidak secara kualitatif,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Bayu Krisnamurthi mengatakan, kategori kekurangan asupan pangan ialah apabila konsumsi pangan kurang dari 1.800 kilokalori (kkal)/orang/¬hari, dengan ciri-ciri kurang produktif, kurang cerdas, sulit berpikir, dan sering muncul penyakit.
Berdasarkan data FAO tahun 2009, pada periode 1990-1992 jumlah penduduk yang rawan pangan 24 persen dari total penduduk di Asia Teng¬gara, tahun 2005-2007 menjadi 14 persen, di Asia Pasifik 20 persen pada 1990-1992 menjadi 16 persen tahun 2005-2007, sedangkan di Indonesia, pada 1990-1992 sebesar 16 persen, kemudian turun menjadi 13 persen tahun 2005-2007.
Selain itu, dalam lima tahun terakhir ketersediaan pangan total per kapita di Indonesia meningkat 0,4 persen per tahun, serta tingkat konsumsi pangan per kelompok makanan juga terus meningkat. Wamentan mencontohkan, berdasarkan data FAO tahun 2009, untuk konsumsi padi-padian pada 1990-1992, 473 gram/kapita/hari meningkat jadi 483 gram/kapita/hari pada tahun 2005-2007, sedangkan konsumsi susu tahun 1990-1992, 14 gram/kapita/hari meningkat jadi 29 gram/kapita/hari pada tahun 2005-2007, serta konsumsi buah tahun 1990-1992, 89 gram/kapita/hari meningkat jadi 173 gram/kapita/hari pada tahun 2005-2007.
“Jadi, dari data itu menunjukkan secara umum konsumsi orang Indonesia meningkat per harinya,” tegas Bayu.
Ia menekankan, untuk mengatasi kasus rawan pangan yang masih terjadi di dalam negeri, penanganannya harus dilakukan juga pada tingkat mikro, desa/dusun, dan rumah tangga. Terkait Hari Pangan Sedunia (HPS) 2010 yang perayaannya di Indonesia pada 20 Oktober mendatang, Nusa Tenggara Barat (NTB) akan menjadi model penanganan rawan pangan.
Terdapat lima hal yang menjadi perhatian dalam penanganan kondisi rawan pangan, yaitu pertama, pendataan rumah tangga yang berpotensi rawan pangan. Kedua, mekanisme deteksi dini atas kejadian masalah pangan hingga di tingkat rumah tangga. Ketiga, mekanisme respons cepat untuk mengatasi masalah pangan. Keempat, pengawasan dan evaluasi antara program pembangunan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan, dengan penyelesaian masalah pangan. Kelima, komunikasi dan edukasi publik untuk membangun kesadaran dan kepedulian dalam mengatasi masalah pangan. (wahyu dramastuti/yuyuk sugarman)
sumber; http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/kelaparan-belum-teratasi/


Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment

silakan komentar dengan sopan