Jakarta, RMOL. Meneropong 94 Hari Kinerja Departemen Pertanian
21 kontrak kerja Menteri Pertanian (Mentan) Suswono selama 94 hari ini dinilai belum menguntungkan petani.
Berdasarkan pendapat sejumlah pengamat pertanian dan anggota DPR bahwa Deptan belum terlihat hasil yang dicapai untuk mensejahterakan petani. Hanya empat keberhasilan yang sudah dicapai.
Pengamat pertanian, Ahmad Yakub mengatakan, dalam 94 hari ini memang sulit mengukur keberhasilan dan kekurangan Deptan. Sebab, itu sangat terlalu singkat.
‘’Saya kira kontrak kerja Mentan selama 94 hari ini belum menguntungkan petani,’’ ujarnya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Dia (Menteri Pertanian) baru merumuskan soal Inpres beras dan strategi pembangunan di masa depan. Kami baru saja diundang mengenai visi misi pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumber daya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan nilai tambah ekspor dan kesejahteraan petani,” ujarnya.
Menurutnya, visi misi yang dikemukakan Menteri Pertanian terlalu bias dengan korporatif pertanian.
“Lahan yang luas hanya disediakan untuk perusahaan besar. Dikhawatirkan petani di sekitar lahan tersebut tidak bisa menggarapnya. Bisa-bisa 25,4 juta keluarga petani hanya menjadi buruh saja,” tuturnya.
Sementara Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN), Donny Pradana mengatakan, Deptan belum memberikan perhatian besar terhadap petani. Ada kesan malah kebijakan pemerintah lebih menguntungkan pemilik modal.
“Perhatian pemerintah terhadap petani sangat kurang. Apalagi kebijakan Renstra tidak akan meningkatkan kesejahteraan petani. Yang diuntungkan kaum pemodal,’ ujarnya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, penyusunan cetak biru swasembada pangan yang dilakukan Deptan terkesan mementingkan pihak investor. Ini demi menciptakan ketahanan pangan.
“Departemen Pertanian menggulirkan kebijakan untuk mencukupi kebutuhan pangan dengan menggunakan sembilan investasi. Jadi yang diuntungkan adalah investor,” ungkapnya.
Dikatakan kebijakan food estate menunjukan kalau pemerintah lebih suka memberi peluang kepada investor ketimbang petani.
“ Saya berharap agar pemerintah memberi hak tanah kepada kaum tani,” ujarnya.
’’Ada Peningkatan Luas Garapan Lahan Petani’’
Suswono, Menteri Pertanian
Menteri Pertanian (Mentan) Suswono mengatakan, kinerja 100 hari memprioritaskan audit lahan pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani.
“Selama ini luas lahan baku pertanian selalu disebutkan 7 juta hektar. Apa itu benar. Padahal, menurut data alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, tiap tahun mencapai 100.000 hektar dan pencetakan sawah baru minim,” ujarnya.
Menurut politisi PKS itu, dengan mengetahui luas lahan baku yang sesungguhnya, akan memudahkan mengambil kebijakan yang tepat. “Kalau dananya memungkinkan, ini bagian dari langkah strategis yang akan saya lakukan,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Suswono, menambah lahan garapan petani. Sebab, selama ini rata-rata lahan garapan petani hanya 0,3 hektar. Menurutnya dengan luas lahan garapan sesempit itu, tidak mungkin petani bisa kaya.
“Harus ada peningkatan luas garapan lahan petani, caranya dengan melakukan reformasi agraria. Meski tidak berarti petani harus memiliki lahan tersebut, tetapi setidaknya ada peningkatan lahan garapan. Idealnya lahan garapan petani 2 hektar,” paparnya.
Sementara visi pertanian yang akan dicanangkan Suswono adalah Pertanian Industrial Unggul Berkelanjutan, yang Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Meningkatkan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Kesejahteraan Petani.
‘’Harus Diperbaiki’’
Siswono Yudo Husodo, Anggota Komisi IV DPR
Anggota Komisi V DPR, Siswono Yudo Husodo mengatakan, belum bisa diukur berhasil atau tidak selama 100 hari kinerja Menteri Pertanian Suswono.
“Dalam 100 hari hanya membuat visi dan planning. Jadi, belum bisa diukur,” katanya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, kalau dari sisi perencanaan Penyusunan Renstra Departemen Pertanian 2010-2014, Suswono cukup bagus. Namun, yang menjadi kendala adalah soal implementasi di lapangan.
Siswono mencontohkan pencanangan swasembada gula yang harusnya tercapai pada tahun 2009, tapi gara-gara tidak tercapai kemudian dicanangkan kembali pada 2010, begitupun dengan kedelai dan daging. “Ini yang harus diperbaiki. Jangan mengulangi seperti menteri sebelumnya,” katanya.
Ke depan, lanjutnya, Mentan hendaknya mengawasi setiap program yang sudah direncakan, sehingga implementasi bisa berjalan dengan baik. “Lakukan evaluasi setiap saat,” katanya.
‘’Pertanian Semakin Semrawut Tuh...’’
Agusdin Pulungan, Ketua Wahana Masyarakat Tani Indonesia
Nasib petani ke depan dikhawatirkan semakin tidak jelas. Sebab, selama 94 hari ini kinerja Departemen Pertanian tidak menunjukkan hasil nyata yang membela kepentingan petani.
Hal ini disampaikan Ketua Wahana Masyarakat Tani Indonesia, Agusdin Pulungan, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
“Tidak kelihatan ada hasilnya. Malah kinerja pemerintah di bidang pertanian semakin semrawut tuh. Tidak ada konstruksi yang jelas,” ujarnya.
Agusdin menunjuk kasus gula pasir sebagai contoh. Seharusnya pemerintah belajar mengatasi kekurangan pasokan gula. Tetapi itu tidak dilakukan.
‘’Makanya impor gula pasir tetap tak terhindarkan,” katanya.
Agusdin menyesalkan kebijakan food estate dalam membangun ketahanan pangan nasional. Kebijakan tersebut sama sekali tidak memihak petani di dalam negeri yang umumnya merupakan petani gurem.
“Namanya juga estate. Itu kan artinya besar. Pertanian pangan dilakukan oleh pengusaha besar secara besar-besaran dan tentu saja dengan modal besar. Petani kecil nantinya hanya sebagai buruh,” katanya.
Menurutnya, food estate merupakan pilihan salah kaprah. Sebab, pendekatan tersebut niscaya berdampak mematikan petani dan berpotensi menimbulkan konflik.
Padahal, untuk meningkatkan ketahanan pangan, seharusnya pemerintah memihak petani dengan memberikan jaminan kemudahan distribusi hasil panen dan subsidi sarana produksi.
‘’Yang Dilakukan Sudah Tepat’’
Ferry Juliantono, Ketua Dewan Tani Indonesia
Menteri Pertanian Suswono dalam 94 hari ini ini sudah melakukan langkah-langkah untuk memperbaiki pertanian. Misalnya, mendata tanah-tanah yang dapat dipergunakan untuk lahan-lahan pertanian, sehingga memperluas lahan pertanian sekitar 27 juta hektar.
Demikian disampaikan Ketua Dewan Tani Indonesia, Ferry Juliantono, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Selain itu, lanjutnya, Suswono juga sudah menyampaikan program pendataan ulang mengenai lahan database kelompok tani yang berguna untuk penyempurnaan program subsidi.
“Yang dilakukan sudah tepat, cuma hasil akhirnya belum diketahui karena bekerja masih relatif singkat. Dalam setahun nanti kita evaluasi secara menyeluruh,” ungkapnya.
Suswono, lanjutnya, memang mempunyai background pertenakan, sehingga identifikasi dalam sektor peternakan baru untuk daging sapi sudah dilaksanakan.
‘’Hasilnya Nggak Kelihatan Deh...’’
Rusman Ali, Pengamat Pertanian
Program Departemen Pertanian 2010-2014 dalam cetak biru swasembada pangan untuk kedelai, gula, dan daging sapi serta Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang food estate merupakan program yang bagus.
Demikian disampaikan pengamat pertanian, Rusman Ali, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, belum lama ini.
‘’Anehnya, hasilnya nggak kelihatan deh dalam 94 hari ini,’’ katanya.
Yang harus dilakukan, lanjutnya, Mentan hendaknya banyak turun ke lapangan merealisasikan program-program yang telah direncanakan. Kalau tidak rajin turun dijamin program-program tidak akan berhasil .
“Jangan hanya pintar di atas kertas saja dong, tapi implementasinya juga harus bisa,” katanya.
Menurutnya, pupuk yang berlimpah sering kali dimanfaatkan tidak baik. Akibatnya, pupuk menjadi langka. Kemudian, subsidi pupuk yang terlalu tinggi. “Ini yang memicu penyelundupan pupuk,” katanya. (RM)
sumber
http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/01/21/86781/Kontrak-Kerja-Mentan-Belum-Untungkan-Petani
Baca Selanjutnya......
17.1.09
Pembaruan agraria sekedar janji Presiden
Sejak tahun 2006 petani dan rakyat miskin di Indonesia dijanjikan suatu program landreform melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang sudah disebut-sebut SBY-JK dalam kampanye pemilihan presiden tahun 2004. Bahkan dalam pidato awal tahunnya, pada tanggal 31 Januari 2007, Presiden mengumumkan jumlah lahan-lahan pertanian yang akan didistribusikan seluas 9,25 juta hektar.
Pada bulan Mei 2007 pemerintah mengeluarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang PPAN. Dari draft tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum PPAN hanya berbicara masalah pembagian tanah saja, dan bukan pelaksanaan pembaruan agraria secara hakiki. RPP tersebut juga menunjukkan tidak jelasnya proses penyediaan tanah yang disebutkan akan berasal dari tanah bekas HGU, bekas kawasan pertambangan dan kawasan hutan. Peta lokasi objek tanah yang akan dibagikan dan waktu pelaksanaan PPAN tidak dijelaskan secara gamblang.
Seiring dengan plin-plannya PPAN, konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian terus semakin menggila. Tercatat konversi lahan sawah sedikitnya 10 ribu hektar per tahun. Kepemilikan lahan oleh petani semakin gurem, yakni tinggal 0.3 hektar di Pulau Jawa dan 1.19 hektar di luar Jawa .(1) Bahkan akibat konversi lahan ini, di Kalimantan Timur semakin banyak petani tanpa tanah. Setidaknya 5.000 ha lahan pertanian menjadi lahan pertambangan batu bara yang tersebar di 12 kabupaten. (2) Belum lagi konflik agraria yang terus terjadi. Setidaknya enam orang petani tewas akibat konflik sepanjang tahun 2008.
Dalam keadaan seperti itu PPAN malah menjelma menjadi sekadar program sertipikasi lahan-lahan pertanian (3). Lagi-lagi pembaruan agraria direduksi menjadi persoalan administrasi pertanahan belaka. Seperti halnya Program Layanan Rakyat untuk Sertipikasi Lahan (Larasita)(4).
Menurut catatan penulis kemauan politik ini sejak awal sudah terasa janggal dan kini mulai terbuka tanda-tanda kebohongannya. Karena sejatinya pembaruan agraria ditujukan untuk mengurangi bahkan meniadakan ketidakadilan struktur agraria. Namun dengan percepatan sertipikasi justru di khawatirkan akan memperkuat struktur ketidakadilan itu dan mempercepat mekanisme penciptaan pasar tanah. Kondisi ini sesuai dengan keinginan Bank Dunia yang mengusung landreform berdasarkan konsep pasar tanah (land market). Dalam konsep Bank Dunia, siapa yang mampu membeli tanah dia yang mendapatkannya.
Tujuan dari landreform yang sesungguhnya untuk menumbuhkan keadilan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah masih jauh dari harapan. Padahal konstitusi kita mengamanatkan bahwa penerima redistribusi tanah dalam landreform adalah petani miskin, penggarap, buruh tani dan subyek lainnya sesuai Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria atau lebih dikenal dengan UUPA 1960. Bukan untuk kepetingan investor seperti yang diinginkan Bank Dunia dan diakomodasi oleh pemerintah SBY-JK.
Jadi sesuatu yang mengherankan bila pada bulan Maret 2007 pemerintah mengesahkan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang isinya adalah meluaskan kekuasaan modal pada penguasaan dan kepemilikan agraria. Undang-undang ini sangat kental dan sarat dengan ideologi pasar, serta dengan gampangnya menggantungkan nasib bangsa di tangan investor. Undang-undang ini juga berpotensi menambah konflik agraria terutama dengan tanah petani di pedesaan, kawasan hutan dan tanah ulayat.
Lebih lanjut, substansi di dalam undang-undang ini akhirnya digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh organisasi petani yakni Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama gerakan rakyat lainnya yang tergabung dalam GERAK LAWAN. Akhirnya judicial review tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi pada bulan Maret 2008. Intinya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 20 (tentang Hak Guna Usaha yang dapat diperpanjang sekaligus dimuka menjadi 95 tahun) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Jadi apa yang disampaikan oleh kepala BPN dan Presiden SBY Dalam pidatonya pada peluncuran Larasita 16 Desember 2008 lalu, mengenai prioritas kerja BPN kedepan (yakni pembaruan Agraria, Penyelesaian Konflik Agraria, Penyelesaian persoalan tanah terlantar distribusinya kepada rakyat dan percepatan sertifikasi pertanahan) merupakan janji yang diulangi lagi. Terlalu berat rasanya pembaruan agraria secara sungguh-sungguh menjadi program utama yang akan terlaksana mengingat kekuasaan pemerintah akan segera berakhir dalam hitungan bulan saja.
Dapat disimpulkan selama kurun waktu 2008, janji pemerintahan SBY-JK yang terus diulang-ulang mengenai pembaruan agraria tidak akan berubah pada tahun 2009 ini. Indikasinya adalah pertama, jalan yang ditempuh untuk realisasi pembaruan agraria adalah salah arah, yakni sebatas administrasi pertanahan. Berupa sertipikasi, yang barang tentu tidak akan mengubah ketimpangan struktur agraria/tanah. Kedua, RPP tentang refroma agraria sebagai jalan legal yang menterjemahkan UUPA 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria hingga detik ini tidak diterbitkan. Ketiga, meningkatnya petani korban yang tergusur dan yang dikriminalisasi dalam konflik agraria. Di sisi lain penyelesaian konflik agraria mandeg. Keempat, terkait subyek dan objek penerima manfaat pembaruan agraria yang tidak jelas.
Dengan demikian penulis berpendapat bahwa konflik agraria akan terus terjadi selama pembaruan agraria yang berpihak kepada rakyat tidak dilaksanakan. Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Indonesia setidaknya ada 2.810 konflik agraria. Sementara itu, sepanjang awal tahun 2007 sampai akhir tahun 2008 tercatat 139 konflik, yang menyebabkan 14 orang tewas, 55.524 KK tergusur, dan 478 orang ditangkap, dipenjara dan dikriminalisasikan. Konflik agraria akan terus terjadi karena ketimpangan agraria hanya diselesaikan dengan sertipikasi lahan bukan penyelesaian struktural. Seharusnya dilakukan penghentian dan pencegahan perluasan kepemilikan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber agraria yang melampaui batas dan segera dilaksanakan landreform. untuk itu penulis apabila pembaruan agraria seperti yang dimandatkan UUPA 1960 tidak dijalankan maka Indonesia akan terus dibayangi oleh kelaparan, konflik agraria, rusaknya infrastruktur pedesaan, impor pangan, urbanisasi tak terkendali.
(tulisan ini menjadi bahan dokumen SPI awal 2009)
endnotes:
(1)Akhir 2007, kepemilikan lahan oleh petani pun makin gurem, yakni tinggal 0.3 hektar di Pulau Jawa dan 1.19 hektar di luar Pulau Jawa. Dari sebelumnya di tahun 2003-2006 “masih” 0,58 ha di pulau jawa dan 1,19 ha diluar pulau jawa (BPS dan Suara Pembaruan diolah)
(2)Dilaporkan bahwa dalam 5 tahun terakhir ini konversi lahan yang terbesar adalah di wilayah kabupaten /kota Kutai kartanegara dan Kota Samarinda sisanya tersebar di 12 kabupaten di Kaltim.
(3)Seperti yang diberitakan oleh SPI Sumatra Utara bahwa Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Sumatra Utara tak jauh beda Prona jaman Orde Baru yaitu program sertipikat tanah seperti di wilayah Kecamatan Silangkitang Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Deli Serdang, Binjai, Tapanuli, Mandailing Natal dan Pematang Siantar
(4)Program ini merupakan tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional (BPN) diluncurkan pada 16 Desember 2008 di Prambanan Jawa Tengah yang dihadiri oleh Presiden.
Baca Selanjutnya......
Pada bulan Mei 2007 pemerintah mengeluarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang PPAN. Dari draft tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum PPAN hanya berbicara masalah pembagian tanah saja, dan bukan pelaksanaan pembaruan agraria secara hakiki. RPP tersebut juga menunjukkan tidak jelasnya proses penyediaan tanah yang disebutkan akan berasal dari tanah bekas HGU, bekas kawasan pertambangan dan kawasan hutan. Peta lokasi objek tanah yang akan dibagikan dan waktu pelaksanaan PPAN tidak dijelaskan secara gamblang.
Seiring dengan plin-plannya PPAN, konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian terus semakin menggila. Tercatat konversi lahan sawah sedikitnya 10 ribu hektar per tahun. Kepemilikan lahan oleh petani semakin gurem, yakni tinggal 0.3 hektar di Pulau Jawa dan 1.19 hektar di luar Jawa .(1) Bahkan akibat konversi lahan ini, di Kalimantan Timur semakin banyak petani tanpa tanah. Setidaknya 5.000 ha lahan pertanian menjadi lahan pertambangan batu bara yang tersebar di 12 kabupaten. (2) Belum lagi konflik agraria yang terus terjadi. Setidaknya enam orang petani tewas akibat konflik sepanjang tahun 2008.
Dalam keadaan seperti itu PPAN malah menjelma menjadi sekadar program sertipikasi lahan-lahan pertanian (3). Lagi-lagi pembaruan agraria direduksi menjadi persoalan administrasi pertanahan belaka. Seperti halnya Program Layanan Rakyat untuk Sertipikasi Lahan (Larasita)(4).
Menurut catatan penulis kemauan politik ini sejak awal sudah terasa janggal dan kini mulai terbuka tanda-tanda kebohongannya. Karena sejatinya pembaruan agraria ditujukan untuk mengurangi bahkan meniadakan ketidakadilan struktur agraria. Namun dengan percepatan sertipikasi justru di khawatirkan akan memperkuat struktur ketidakadilan itu dan mempercepat mekanisme penciptaan pasar tanah. Kondisi ini sesuai dengan keinginan Bank Dunia yang mengusung landreform berdasarkan konsep pasar tanah (land market). Dalam konsep Bank Dunia, siapa yang mampu membeli tanah dia yang mendapatkannya.
Tujuan dari landreform yang sesungguhnya untuk menumbuhkan keadilan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah masih jauh dari harapan. Padahal konstitusi kita mengamanatkan bahwa penerima redistribusi tanah dalam landreform adalah petani miskin, penggarap, buruh tani dan subyek lainnya sesuai Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria atau lebih dikenal dengan UUPA 1960. Bukan untuk kepetingan investor seperti yang diinginkan Bank Dunia dan diakomodasi oleh pemerintah SBY-JK.
Jadi sesuatu yang mengherankan bila pada bulan Maret 2007 pemerintah mengesahkan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang isinya adalah meluaskan kekuasaan modal pada penguasaan dan kepemilikan agraria. Undang-undang ini sangat kental dan sarat dengan ideologi pasar, serta dengan gampangnya menggantungkan nasib bangsa di tangan investor. Undang-undang ini juga berpotensi menambah konflik agraria terutama dengan tanah petani di pedesaan, kawasan hutan dan tanah ulayat.
Lebih lanjut, substansi di dalam undang-undang ini akhirnya digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh organisasi petani yakni Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama gerakan rakyat lainnya yang tergabung dalam GERAK LAWAN. Akhirnya judicial review tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi pada bulan Maret 2008. Intinya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 20 (tentang Hak Guna Usaha yang dapat diperpanjang sekaligus dimuka menjadi 95 tahun) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Jadi apa yang disampaikan oleh kepala BPN dan Presiden SBY Dalam pidatonya pada peluncuran Larasita 16 Desember 2008 lalu, mengenai prioritas kerja BPN kedepan (yakni pembaruan Agraria, Penyelesaian Konflik Agraria, Penyelesaian persoalan tanah terlantar distribusinya kepada rakyat dan percepatan sertifikasi pertanahan) merupakan janji yang diulangi lagi. Terlalu berat rasanya pembaruan agraria secara sungguh-sungguh menjadi program utama yang akan terlaksana mengingat kekuasaan pemerintah akan segera berakhir dalam hitungan bulan saja.
Dapat disimpulkan selama kurun waktu 2008, janji pemerintahan SBY-JK yang terus diulang-ulang mengenai pembaruan agraria tidak akan berubah pada tahun 2009 ini. Indikasinya adalah pertama, jalan yang ditempuh untuk realisasi pembaruan agraria adalah salah arah, yakni sebatas administrasi pertanahan. Berupa sertipikasi, yang barang tentu tidak akan mengubah ketimpangan struktur agraria/tanah. Kedua, RPP tentang refroma agraria sebagai jalan legal yang menterjemahkan UUPA 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria hingga detik ini tidak diterbitkan. Ketiga, meningkatnya petani korban yang tergusur dan yang dikriminalisasi dalam konflik agraria. Di sisi lain penyelesaian konflik agraria mandeg. Keempat, terkait subyek dan objek penerima manfaat pembaruan agraria yang tidak jelas.
Dengan demikian penulis berpendapat bahwa konflik agraria akan terus terjadi selama pembaruan agraria yang berpihak kepada rakyat tidak dilaksanakan. Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Indonesia setidaknya ada 2.810 konflik agraria. Sementara itu, sepanjang awal tahun 2007 sampai akhir tahun 2008 tercatat 139 konflik, yang menyebabkan 14 orang tewas, 55.524 KK tergusur, dan 478 orang ditangkap, dipenjara dan dikriminalisasikan. Konflik agraria akan terus terjadi karena ketimpangan agraria hanya diselesaikan dengan sertipikasi lahan bukan penyelesaian struktural. Seharusnya dilakukan penghentian dan pencegahan perluasan kepemilikan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber agraria yang melampaui batas dan segera dilaksanakan landreform. untuk itu penulis apabila pembaruan agraria seperti yang dimandatkan UUPA 1960 tidak dijalankan maka Indonesia akan terus dibayangi oleh kelaparan, konflik agraria, rusaknya infrastruktur pedesaan, impor pangan, urbanisasi tak terkendali.
(tulisan ini menjadi bahan dokumen SPI awal 2009)
endnotes:
(1)Akhir 2007, kepemilikan lahan oleh petani pun makin gurem, yakni tinggal 0.3 hektar di Pulau Jawa dan 1.19 hektar di luar Pulau Jawa. Dari sebelumnya di tahun 2003-2006 “masih” 0,58 ha di pulau jawa dan 1,19 ha diluar pulau jawa (BPS dan Suara Pembaruan diolah)
(2)Dilaporkan bahwa dalam 5 tahun terakhir ini konversi lahan yang terbesar adalah di wilayah kabupaten /kota Kutai kartanegara dan Kota Samarinda sisanya tersebar di 12 kabupaten di Kaltim.
(3)Seperti yang diberitakan oleh SPI Sumatra Utara bahwa Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Sumatra Utara tak jauh beda Prona jaman Orde Baru yaitu program sertipikat tanah seperti di wilayah Kecamatan Silangkitang Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Deli Serdang, Binjai, Tapanuli, Mandailing Natal dan Pematang Siantar
(4)Program ini merupakan tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional (BPN) diluncurkan pada 16 Desember 2008 di Prambanan Jawa Tengah yang dihadiri oleh Presiden.
Baca Selanjutnya......
10.6.08
Daging sapi, awas PMK
Dalam kebijakan peternakan, pemerintah Indonesia melakukan suatu kebijakan yang tidak mendukung tercapainya keberlangsungan produksi dan kehidupan para petani peternak Sapi, dan produsen susu. Hal itu terlihat dari kekurangan produksi dalam negeri hingga 35 persen atau 135,1 ribu ton dari kebutuhan nasional 385 ribu ton (yang setara sekitar 2 juta ekor sapi) di atasi dengan cara mengimpor sapi. Artinya kebijakan pemerintah justru mirip dengan kedelai, yaitu mempermudah impor. Sejak sapi asal Brasil ditolak masuk ke wilayah Eropa, maka mereka mencari pangsa pasar baru. Tentu dengan tawaran harga yang lebih murah, bila semula ditawarkan harga FOB Rp. 47.000/kg kini menjadi Rp. 37.000/kg, sementara harga daging sapi di Indonesia mencapai Rp. 50.000- Rp. 60.000/kg. Hingga kini rata-rata impor sapi bakalan mencapai 600.000 ekor tiap tahunnya
Dengan mengimpor daging sapi dari Brasil seakan menguntungkan karena dengan harga murah. Namun dibalik itu semua ada beberapa ancaman, pertama soal kesehatan manusia dan hewan ternak di Indonesia yang terancam Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) . Kedua, ketergantungan impor daging akan terus lestari. Ketiga, daya jual peternak sapi akan terncam dengan daging impor murah ini.
Terkait dengan susu, sekali lagi melemparkan peternak susu ke pasar adalah jalan yang ditempuh. Saat ini dengan bea masuk lima persen harga susu peternak kalah bersaing dengan impor. Saat ini harga susu internasional merambat turun dari US$ 4.800/metric ton menjadi US$ 2.350/metric ton. Artinya setara dengan Rp. 3.500-an/liter, sedang peternak domestik menjual ke koperasi susu Rp. 3.000 – Rp. 3.500/liter. Namun ke indiustri pengolahan susu (IPS) mencapai Rp. 3.200 – Rp. 3.700/liter. Susu impor mengancam keberadaan dan pendapatan peternak susu. Seharusnya pemerintah menaikan BM susu bukan sebaliknya dinolkan.(tulisan ini menjadi bahan dokumen SPI awal 2009) Baca Selanjutnya......
Dengan mengimpor daging sapi dari Brasil seakan menguntungkan karena dengan harga murah. Namun dibalik itu semua ada beberapa ancaman, pertama soal kesehatan manusia dan hewan ternak di Indonesia yang terancam Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) . Kedua, ketergantungan impor daging akan terus lestari. Ketiga, daya jual peternak sapi akan terncam dengan daging impor murah ini.
Terkait dengan susu, sekali lagi melemparkan peternak susu ke pasar adalah jalan yang ditempuh. Saat ini dengan bea masuk lima persen harga susu peternak kalah bersaing dengan impor. Saat ini harga susu internasional merambat turun dari US$ 4.800/metric ton menjadi US$ 2.350/metric ton. Artinya setara dengan Rp. 3.500-an/liter, sedang peternak domestik menjual ke koperasi susu Rp. 3.000 – Rp. 3.500/liter. Namun ke indiustri pengolahan susu (IPS) mencapai Rp. 3.200 – Rp. 3.700/liter. Susu impor mengancam keberadaan dan pendapatan peternak susu. Seharusnya pemerintah menaikan BM susu bukan sebaliknya dinolkan.(tulisan ini menjadi bahan dokumen SPI awal 2009) Baca Selanjutnya......
15.5.08
Peran BULOG
Badan Urusan Logistik (BULOG) telah berulang kali mengalami perombakan dalam sistem kerja. Perubahan-perubahan terus berlanjut dianggap sebagai langkah untuk menemukan bentuk yang paling tepat untuk menjamin ketersediaan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia, disamping menjamin tercapainya keseimbangan harga antara produsen atau petani padi, dengan konsumen.
Awal bulan September 2007 SK Menteri Koordinator Perekonomian pemerintah memberikan kuasa penuh, tidak perlu lagi menunggu persetujuan pemerintah, bagi BULOG untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengamankan persediaan beras dalam negeri. Kewenangan baru yang diberikan kepada BULOG meliputi monopoli impor, stabilisasi harga regional tanpa perlu menunggu perintah, membeli beras di luar harga pembelian pemerintah (HPP), dan menjaga persediaan minimum beras nasional.
Di satu sisi langkah ini bisa dilihat sebagai langkah upaya baru, dimana kewenangan monopoli impor beras dikembalikan kepada BULOG sebagai lembaga negara. Hal ini penting agar sistem perdagangan, khususnya dalam konteks ekspor impor bahan pangan pokok tidak dikendalikan oleh pihak swasta dan menjadi lahan bagi spekulan. Secara keseluruhan keputusan yang baru ini nampaknya dikeluarkan dalam usaha mengembalikan Public Service Obligation (PSO) dari BULOG.
Hemat penulis, peran PSO BULOG akan sulit tercapai karena sampai saat ini PP RI No.7/2003 yang mengatur perubahan BULOG dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) belum dicabut. Bulog juga terikat aturan pasar karena perannya tidak hanya sebagai public service obligation (PSO) lagi, melainkan sudah mencari profit. Adalah rasional jika dalam keadaan demikian Bulog lebih berorientasi impor dalam keadaan kekurangan stok dan kenaikan harga. Misalnya Ketika harga jual petani lebih tinggi dari harga beras impor BULOG tentu akan memilih untuk membeli beras impor, ditambah dengan kebebasannya saat ini untuk tidak perlu berkonsultasi dengan pemerintah terlebih dahulu untuk mengimpor beras. Pengalaman selama ini membeli dengan harga HPP saja -yang bagi para petani seringkali tidak dapat menutupi biaya produksi- BULOG kerap enggan dan memilih untuk membeli beras impor yang lebih murah. Dan sebaliknya.
Tidak bisa ditampik bahwa peran Bank Dunia, IMF dan WTO juga berpengaruh langsung terhadap kebijakan beras di Indonesia—terutama menyangkut masalah rantai perdagangan. IMF menghapus peran PSO Bulog melalui LoI 1998, sehingga monopoli Bulog dalam pengaturan stok dan harga beras dikebiri.
Praktek-praktek liberalisasi, deregulasi dan privatisasi seperti anjuran IMF, Bank Dunia dan WTO telah merusak pasar nasional dan melemahkan BULOG. Harusnya BULOG bisa lebih aktif menjalankan fungsi Public Service Obligation bukan menjadi lembaga pencari laba. Artinya BULOG harus menjadi lembaga penyangga pangan yang memiliki kewenangan dan fungsi pelayanan publik.
Baca Selanjutnya......
Awal bulan September 2007 SK Menteri Koordinator Perekonomian pemerintah memberikan kuasa penuh, tidak perlu lagi menunggu persetujuan pemerintah, bagi BULOG untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengamankan persediaan beras dalam negeri. Kewenangan baru yang diberikan kepada BULOG meliputi monopoli impor, stabilisasi harga regional tanpa perlu menunggu perintah, membeli beras di luar harga pembelian pemerintah (HPP), dan menjaga persediaan minimum beras nasional.
Di satu sisi langkah ini bisa dilihat sebagai langkah upaya baru, dimana kewenangan monopoli impor beras dikembalikan kepada BULOG sebagai lembaga negara. Hal ini penting agar sistem perdagangan, khususnya dalam konteks ekspor impor bahan pangan pokok tidak dikendalikan oleh pihak swasta dan menjadi lahan bagi spekulan. Secara keseluruhan keputusan yang baru ini nampaknya dikeluarkan dalam usaha mengembalikan Public Service Obligation (PSO) dari BULOG.
Hemat penulis, peran PSO BULOG akan sulit tercapai karena sampai saat ini PP RI No.7/2003 yang mengatur perubahan BULOG dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) belum dicabut. Bulog juga terikat aturan pasar karena perannya tidak hanya sebagai public service obligation (PSO) lagi, melainkan sudah mencari profit. Adalah rasional jika dalam keadaan demikian Bulog lebih berorientasi impor dalam keadaan kekurangan stok dan kenaikan harga. Misalnya Ketika harga jual petani lebih tinggi dari harga beras impor BULOG tentu akan memilih untuk membeli beras impor, ditambah dengan kebebasannya saat ini untuk tidak perlu berkonsultasi dengan pemerintah terlebih dahulu untuk mengimpor beras. Pengalaman selama ini membeli dengan harga HPP saja -yang bagi para petani seringkali tidak dapat menutupi biaya produksi- BULOG kerap enggan dan memilih untuk membeli beras impor yang lebih murah. Dan sebaliknya.
Tidak bisa ditampik bahwa peran Bank Dunia, IMF dan WTO juga berpengaruh langsung terhadap kebijakan beras di Indonesia—terutama menyangkut masalah rantai perdagangan. IMF menghapus peran PSO Bulog melalui LoI 1998, sehingga monopoli Bulog dalam pengaturan stok dan harga beras dikebiri.
Praktek-praktek liberalisasi, deregulasi dan privatisasi seperti anjuran IMF, Bank Dunia dan WTO telah merusak pasar nasional dan melemahkan BULOG. Harusnya BULOG bisa lebih aktif menjalankan fungsi Public Service Obligation bukan menjadi lembaga pencari laba. Artinya BULOG harus menjadi lembaga penyangga pangan yang memiliki kewenangan dan fungsi pelayanan publik.
Baca Selanjutnya......
15.4.08
Krisis HARGA Pangan
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) telah mengeluarkan peringatan mengenai krisis pangan dunia pada akhir Desember 2007. Krisis pangan yang berupa peningkatan harga dunia membawa ancaman kepada negara dunia ketiga yang tidak memiliki kekuatan ekonomi seperti negara-negara maju. Laporan FAO tersebut terbukti, diawal 2008 harga pangan di sebagian besar negara dunia ketiga mengalami kenaikan yang sangat tinggi, termasuk di Indonesia.
Padahal di saat yang bersamaan produksi pangan dunia mengalami peningkatan. Produksi gandum dunia yang harganya naik pada awal 2008 ini ternyata mengalami peningkatan yang lebih besar lagi yaitu hingga 9,34 juta ton antara tahun 2006 dan 2007. Sementara produksi gula dunia juga meningkat sebesar 4,44 juta ton sepanjang tahun 2007 lalu. Suatu angka yang cukup mencengangkan ditunjukkan dalam produksi jagung dunia pada tahun 2007/2008 lalu yang mencapai rekor produksi 792,3 juta ton atau meningkat 80,1 juta ton dari tahun 2006/2007. Hanya kedelai yang mengalami penurunan produksi sebesar 17 persen, itu pun karena ada penuyusutan lahan di Amerika Serikat sebesar 15 persen untuk proyek biofuel.
Di Indonesia menghadapi situasi kenaikan harga bahan-bahan pangan secara pesat. Pada pertengahan 2007 rakyat Indonesia dipusingkan dengan melonjaknya harga minyak goreng yang kini telah mencapai Rp 15.000 per kg atau naik 43 persen dibandingkan harga periode yang sama tahun sebelumnya. Harga kedelai meningkat lebih dari 100 persen pada awal tahun 2008 hingga kisaran Rp. 7.800 sampai 8000 per kg yang merupakan harga tertinggi sejak 24 tahun terakhir. Menyusul kenaikan harga bahan pangan lainnya seperti beras, jagung, gula, susu hingga daging.
Hal ini tentu sangat berat dampaknya terhadap kehidupan rakyat Indonesia, khususnya masyarakat miskin. Karena memang pada kenyataanya persentase pengeluaran terbesar rumah tangga miskin adalah untuk pangan, yaitu sekitar 50 hingga 70 persen dari total pengeluaran rumah tangga.
Seperti yang dialami rumah tangga petani kecil, umumnya kenaikan harga bahan pangan ini tidak memberikan keuntungan yang signifikan. Karena disaat yang sama berbagai kebutuhan pokok naik. misalnya yang dialami oleh para petani kelapa sawit anggota SPI di Jambi. Ketika harga CPO sudah melambung tinggi menembus angka US$ 1100 per ton (sekitar Rp 9.900.000 per ton) harga TBS sawit di tingkat petani sawit di Jambi misalnya masih sekitar Rp1200 per kg atau Rp 1.200.000 per ton. Sementara harga minyak goreng terus meningkat hingga mencapai Rp 15.000 per kg, sehingga para petani sawit ini juga terbebani untuk memenuhi berbagai bahan kebutuhan pokok di tingkat rumah tangga. Demekian juga yang dialami petani tanaman pangan.
Kemudian apa yang dilakukan pemerintah? Pemerintah pada bulan April 2008 mengeluarkan Inpres I/2008 mengenai HPP untuk GKP,GKG dan Beras. walau demikian tetap tidak cukup bagi petani untuk meningkatkan pendapatannya. Ditambah lagi kebijakan HPP 2008 itu hangus oleh kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008. Dan juga beberapa komponen pangan impor seperti gandum dan kedelai Bmnya diturunkan. Yang tentu akibatnya adalah persaingan antara petani Indonesia dengan pasar internasional yang tidak imbang.
Artinya dapat dikatakan bahwa krisis harga pangan dan kenaikan harga minyak saat itu (tahun 2008) Internasional direspon oleh pemerintah dengan berbagai kebijakan yang pro-pasar yakni liberalisasi, deregulasi dan memperkuat privatisasi pangan.Mustahil tercipta kedaulatan pangan kalau suatu bangsa dan rakyatnya tidak memiliki kedaulatan atas proses produksi dan konsumsi pangannya. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan bagi setiap bangsa dan rakyat untuk dapat mempunyai hak dalam menentukan makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal dan perdagangan di tingkat wilayah.
Dengan demikian petani dibiarkan berjuang sendirian tanpa ada perlindungan yang memadai dari negara. Petani terus berproduksi walaupun menerima harga yang tidak sesuai dari produksinya, yang tentu telah mensubsidi seluruh masyarakat dengan harga relatif terjangkau. Petani telah menyelamatkan Indonesia dari krisis harga pangan.
Baca Selanjutnya......
Padahal di saat yang bersamaan produksi pangan dunia mengalami peningkatan. Produksi gandum dunia yang harganya naik pada awal 2008 ini ternyata mengalami peningkatan yang lebih besar lagi yaitu hingga 9,34 juta ton antara tahun 2006 dan 2007. Sementara produksi gula dunia juga meningkat sebesar 4,44 juta ton sepanjang tahun 2007 lalu. Suatu angka yang cukup mencengangkan ditunjukkan dalam produksi jagung dunia pada tahun 2007/2008 lalu yang mencapai rekor produksi 792,3 juta ton atau meningkat 80,1 juta ton dari tahun 2006/2007. Hanya kedelai yang mengalami penurunan produksi sebesar 17 persen, itu pun karena ada penuyusutan lahan di Amerika Serikat sebesar 15 persen untuk proyek biofuel.
Di Indonesia menghadapi situasi kenaikan harga bahan-bahan pangan secara pesat. Pada pertengahan 2007 rakyat Indonesia dipusingkan dengan melonjaknya harga minyak goreng yang kini telah mencapai Rp 15.000 per kg atau naik 43 persen dibandingkan harga periode yang sama tahun sebelumnya. Harga kedelai meningkat lebih dari 100 persen pada awal tahun 2008 hingga kisaran Rp. 7.800 sampai 8000 per kg yang merupakan harga tertinggi sejak 24 tahun terakhir. Menyusul kenaikan harga bahan pangan lainnya seperti beras, jagung, gula, susu hingga daging.
Hal ini tentu sangat berat dampaknya terhadap kehidupan rakyat Indonesia, khususnya masyarakat miskin. Karena memang pada kenyataanya persentase pengeluaran terbesar rumah tangga miskin adalah untuk pangan, yaitu sekitar 50 hingga 70 persen dari total pengeluaran rumah tangga.
Seperti yang dialami rumah tangga petani kecil, umumnya kenaikan harga bahan pangan ini tidak memberikan keuntungan yang signifikan. Karena disaat yang sama berbagai kebutuhan pokok naik. misalnya yang dialami oleh para petani kelapa sawit anggota SPI di Jambi. Ketika harga CPO sudah melambung tinggi menembus angka US$ 1100 per ton (sekitar Rp 9.900.000 per ton) harga TBS sawit di tingkat petani sawit di Jambi misalnya masih sekitar Rp1200 per kg atau Rp 1.200.000 per ton. Sementara harga minyak goreng terus meningkat hingga mencapai Rp 15.000 per kg, sehingga para petani sawit ini juga terbebani untuk memenuhi berbagai bahan kebutuhan pokok di tingkat rumah tangga. Demekian juga yang dialami petani tanaman pangan.
Kemudian apa yang dilakukan pemerintah? Pemerintah pada bulan April 2008 mengeluarkan Inpres I/2008 mengenai HPP untuk GKP,GKG dan Beras. walau demikian tetap tidak cukup bagi petani untuk meningkatkan pendapatannya. Ditambah lagi kebijakan HPP 2008 itu hangus oleh kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008. Dan juga beberapa komponen pangan impor seperti gandum dan kedelai Bmnya diturunkan. Yang tentu akibatnya adalah persaingan antara petani Indonesia dengan pasar internasional yang tidak imbang.
Artinya dapat dikatakan bahwa krisis harga pangan dan kenaikan harga minyak saat itu (tahun 2008) Internasional direspon oleh pemerintah dengan berbagai kebijakan yang pro-pasar yakni liberalisasi, deregulasi dan memperkuat privatisasi pangan.Mustahil tercipta kedaulatan pangan kalau suatu bangsa dan rakyatnya tidak memiliki kedaulatan atas proses produksi dan konsumsi pangannya. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan bagi setiap bangsa dan rakyat untuk dapat mempunyai hak dalam menentukan makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal dan perdagangan di tingkat wilayah.
Dengan demikian petani dibiarkan berjuang sendirian tanpa ada perlindungan yang memadai dari negara. Petani terus berproduksi walaupun menerima harga yang tidak sesuai dari produksinya, yang tentu telah mensubsidi seluruh masyarakat dengan harga relatif terjangkau. Petani telah menyelamatkan Indonesia dari krisis harga pangan.
Baca Selanjutnya......
13.2.08
Proyek UU pertanahan ditengah janji manis PPAN
Desakan besar untuk pelaksanaan pembaruan agraria sebenarnya telah ditanggapi secara langsung oleh Presiden yang dinyatakan dalam pidato awal tahun 2007 silam dengan janji Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Hal ini kemudian dikuatkan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) sebagai wakil dari pemerintah menjanjikan untuk memastikan kemurnian UUPA 1960. Bagi ormas tani program itu artinya menjalankan UUPA 1960 (Undang-undang Pokok Agraria) dan menjadikan UUPA 1960 sebagai satu-satunya payung hukum agraria nasional.
Namun sejak “ditemukannya” dokumen technical assistance ADB (Asian Development Bank) yang mengatur teknis penyusunan RUU pertanahan oleh BPN, semua janji tertulis itu sepertinya akan jauh panggang dari api. Karena ketika ditelusuri, ternyata penyusunan RUU pertanahan ini menjadi bagian dari proyek penyusunan kerangka hukum dan kerangka administrative pertanahan dalam kerangka kerja yang terkait dengan proyek LMPDP (Land Management and Policy Development Project) yang diprakarsai oleh Bank dunia sejak tahun 2005 lalu. Untuk proyek penyusunan RUU pertanahan ini, BPN selaku implementator berhasil mengajukan proposal kepada ADB yang membuahkan komitmen ADB berupa pembiayaan proyek sebesar 500.000 US$ dari total biaya proyek sebesar 625.000 US$.
Proyek penyusunan RUU pertanahan akan dimulai pada Februari 2008 hingga Januari 2010 mendatang, ADB telah menyetujui proyek ini pada tanggal 20 Desember 2007. Hal ini menunjukkan bahwa ditengah janjinya menegakkan UUPA sebagai kerangka legal pelaksanaan Pembaruan Agraria, pemerintah secara terang-terangan membuka kesempatan bagi agenda liberalisasi sumber agraria melalui pembuatan RUU pertanahan ini.
Tiga alasan yang membuat proyek ini patut diwaspadai. Pertama, keterkaitan proyek penyusunan RUU pertanahan dengan kerangka kerja proyek LMPDP yang secara nyata telah bermaksud untuk mendorong terjadinya pasar tanah. Proyek ini salah satunya bertujuan untuk peningkatan keamanan penguasaan tanah dan peningkatan efesiensi, transparansi, dan perbaikan pemberian layanan dalam pendaftaran dan pemberian sertifikat tanah. Seperti yang tercantum dalam dokumen proyek, sertifikasi tanah ini memberikan basis yang signifikan dalam menyiapkan pasar tanah yang efisien dan untuk meningkatkan jaminan atas investasi asing serta menjadikan tanah sebagai aset yang bisa menjadi agunan dan bisa diperjual belikan dengan mudah. Tanah sekedar jadi komoditi.
Kedua, keterkaitan proyek penyusunan RUU pertanahan dengan Pepres 36/2005 yang diamandemen dengan Pepres 65/2006 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum (pencabutan hak atas tanah) yang saat ini masih kontroversial dan dinilai memarginalkan masyarakat miskin yang terkena penggusuran. Ketiga, disejajarkannya RUU pertanahan dengan undang-undang sektoral yang diklaim sebagai turunan UUPA namun nyata-nyata justru bertentangan secara ideologis dengan UUPA 1960.
Ketiga alasan itulah yang justru membuat kita mempertanyakan kembali komitmen pemerintah untuk melaksanakan Pembaruan Agraria. Janji pemerintah untuk redistribusi tanah seluas 9,25 juta hektar melalui PPAN (program Pembaruan Agraria Nasional) tak kunjung diimplementasikan. Tahun 2007 bahkan PPAN telah mengalami 2 kali penundaan. Hal tersebut nyata-nyata telah menunjukkan komitmen yang kurang dari pemerintah dalam menepati janjinya.
Pasar tanah
Tidak kunjung diimplementasikannya reforma agraria bukanlah tanpa alasan. Hingga saat ini masih terjadi konflik kepentingan didalam tubuh pemerintahan sendiri. Faktanya, setelah keluar undang-undang sektoral yang memfasilitasi penguasaan aset secara sektoral oleh para pemodal. Kini kepentingan pemodal besar hendak melegalkan sepak terjangnya terhadap penguasaan bumi Indonesia melalui penyusunan RUU pertanahan ini. Terkait dengan implementasi reforma agraria, penyusunan RUU pertanahan sama sekali tidak relevan. Hal tersebut bisa dilihat dari latar belakangnya pembuatan RUU pertanahan yakni karena adanya kesulitan dalam proses pengadaan tanah dan pemukiman kembali penduduk yang tanah yang terkena proyek pembangunan infrastruktur.
Ketidak relevanan lainnya juga terdapat pada sertifikasi tanah sebagai salah satu output dari RUU pertanahan yang justru ideologinya berbeda dengan apa yang dimaksudkan dengan pendaftaran tanah seperti yang tercantum dalam UUPA. Jika dalam UUPA pendaftaran tanah dilakukan untuk memudahkan redistribusi lahan, maka dalam RUU pertanahan ini perdaftaran tanah dilakukan untuk menghasilkan sertifikat tanah yang hanya akan memudahkan pemodal dalam menguasai tanah rakyat kecil—petani--melalui pasar tanah. Ini terjadi karena kebijakan sektoral lainnya seperti UU No. 7/2004 tentang sumber daya air dan UU 18/2004 tentang perkebunan telah menjadi alat legal bagi investor untuk menguasai sumber alam.
Terdapat beberapa contoh yang memperlihatkan bahwa pasar tanah bukan solusi yang bisa dipakai untuk mencapai kesejahteraan rakyat kecil dan petani. Pada tahun 1994 Afrika Selatan menerapkan pasar tanah melalui sertifikasi lahan. Namun, persoalan ketersediaan tanah yang mau dijual menjadi masalah utama, kalaupun ada yang mau menjual tanah tersebut terbatas pada tanah yang tidak subur dan tidak strategis, dan tuan tanah menginginkan harga yang cukup tinggi untuk pembayarannya. Hal ini menyebabkan petani miskin tetap tidak mengakses tanah, kalaupun ada yang mampu menguasai tanah, tersebut adalah tanah yang tidak subur dan diperlukan harga yang tinggi untuk membelinya.
Hal serupa terjadi di Srilanka yang pada 2002 memberikan sertifikat lahan seluas 2 juta hektar tanah kepada 1.2 juta petani--dikenal dengan istilah Jayaboomi. Pemerian sertifikat ini disertai dengan kebijakan yang tidak pro pada petani yang akhirnya membuat petani semakin mudah untuk menggadaikan dan menjual tanah pertaniannya.
Dua contoh tersebut menunjukkan bahwa ketika masuk mekanisme pasar, maka pemilik modal akan berkuasa. Secara otomatis, upaya penantaan atas ketimpangan struktur ekonomi dan sosial yang menjadi cita-cita reforma agraria tidak akan tercapai. Hanya dengan redistribusi tanah dan sumber-sumber agraria kepada rakyatlah maka ketimpangan dan polarisasi kesejahteraan akan tercapai. Untuk mencapai hal tersebut menurut Gunawan Wiradi (ahli Agraria) diperlukan beberapa prasyarat yaitu, (1) Kemauan politik (political will) yang kuat dari pemerintah; (2) Organisasi rakyat, khususnya organisasi tani yang kuat; (3) Tersedianya data mengenai keagrariaan yang lengkap dan teliti; (4) Dukungan dari pihak militer; (5) Elite penguasa harus terpisah dari elite bisnis; dan (6) Aparat birokrasi yang bersih,jujur,dan mengerti. Oleh karenanya, selama pemerintah masih belum berpihak kepada rakyat dan selama elit penguasa masih tercampur dengan elit bisnis maka reforma agraria tidak akan bisa terwujudkan. Selama itu pula petani tetap menjadi gurem (penguasaan tanah yang sempit 0,3 ha) dan Indonesia akan terus menjadi juara importir produk pangan internasional.=##+
Jakarta, 11 Februari 2008
Achmad Ya’kub dan Susan Lusiana, ayakub@spi.or.id
Baca Selanjutnya......
Namun sejak “ditemukannya” dokumen technical assistance ADB (Asian Development Bank) yang mengatur teknis penyusunan RUU pertanahan oleh BPN, semua janji tertulis itu sepertinya akan jauh panggang dari api. Karena ketika ditelusuri, ternyata penyusunan RUU pertanahan ini menjadi bagian dari proyek penyusunan kerangka hukum dan kerangka administrative pertanahan dalam kerangka kerja yang terkait dengan proyek LMPDP (Land Management and Policy Development Project) yang diprakarsai oleh Bank dunia sejak tahun 2005 lalu. Untuk proyek penyusunan RUU pertanahan ini, BPN selaku implementator berhasil mengajukan proposal kepada ADB yang membuahkan komitmen ADB berupa pembiayaan proyek sebesar 500.000 US$ dari total biaya proyek sebesar 625.000 US$.
Proyek penyusunan RUU pertanahan akan dimulai pada Februari 2008 hingga Januari 2010 mendatang, ADB telah menyetujui proyek ini pada tanggal 20 Desember 2007. Hal ini menunjukkan bahwa ditengah janjinya menegakkan UUPA sebagai kerangka legal pelaksanaan Pembaruan Agraria, pemerintah secara terang-terangan membuka kesempatan bagi agenda liberalisasi sumber agraria melalui pembuatan RUU pertanahan ini.
Tiga alasan yang membuat proyek ini patut diwaspadai. Pertama, keterkaitan proyek penyusunan RUU pertanahan dengan kerangka kerja proyek LMPDP yang secara nyata telah bermaksud untuk mendorong terjadinya pasar tanah. Proyek ini salah satunya bertujuan untuk peningkatan keamanan penguasaan tanah dan peningkatan efesiensi, transparansi, dan perbaikan pemberian layanan dalam pendaftaran dan pemberian sertifikat tanah. Seperti yang tercantum dalam dokumen proyek, sertifikasi tanah ini memberikan basis yang signifikan dalam menyiapkan pasar tanah yang efisien dan untuk meningkatkan jaminan atas investasi asing serta menjadikan tanah sebagai aset yang bisa menjadi agunan dan bisa diperjual belikan dengan mudah. Tanah sekedar jadi komoditi.
Kedua, keterkaitan proyek penyusunan RUU pertanahan dengan Pepres 36/2005 yang diamandemen dengan Pepres 65/2006 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum (pencabutan hak atas tanah) yang saat ini masih kontroversial dan dinilai memarginalkan masyarakat miskin yang terkena penggusuran. Ketiga, disejajarkannya RUU pertanahan dengan undang-undang sektoral yang diklaim sebagai turunan UUPA namun nyata-nyata justru bertentangan secara ideologis dengan UUPA 1960.
Ketiga alasan itulah yang justru membuat kita mempertanyakan kembali komitmen pemerintah untuk melaksanakan Pembaruan Agraria. Janji pemerintah untuk redistribusi tanah seluas 9,25 juta hektar melalui PPAN (program Pembaruan Agraria Nasional) tak kunjung diimplementasikan. Tahun 2007 bahkan PPAN telah mengalami 2 kali penundaan. Hal tersebut nyata-nyata telah menunjukkan komitmen yang kurang dari pemerintah dalam menepati janjinya.
Pasar tanah
Tidak kunjung diimplementasikannya reforma agraria bukanlah tanpa alasan. Hingga saat ini masih terjadi konflik kepentingan didalam tubuh pemerintahan sendiri. Faktanya, setelah keluar undang-undang sektoral yang memfasilitasi penguasaan aset secara sektoral oleh para pemodal. Kini kepentingan pemodal besar hendak melegalkan sepak terjangnya terhadap penguasaan bumi Indonesia melalui penyusunan RUU pertanahan ini. Terkait dengan implementasi reforma agraria, penyusunan RUU pertanahan sama sekali tidak relevan. Hal tersebut bisa dilihat dari latar belakangnya pembuatan RUU pertanahan yakni karena adanya kesulitan dalam proses pengadaan tanah dan pemukiman kembali penduduk yang tanah yang terkena proyek pembangunan infrastruktur.
Ketidak relevanan lainnya juga terdapat pada sertifikasi tanah sebagai salah satu output dari RUU pertanahan yang justru ideologinya berbeda dengan apa yang dimaksudkan dengan pendaftaran tanah seperti yang tercantum dalam UUPA. Jika dalam UUPA pendaftaran tanah dilakukan untuk memudahkan redistribusi lahan, maka dalam RUU pertanahan ini perdaftaran tanah dilakukan untuk menghasilkan sertifikat tanah yang hanya akan memudahkan pemodal dalam menguasai tanah rakyat kecil—petani--melalui pasar tanah. Ini terjadi karena kebijakan sektoral lainnya seperti UU No. 7/2004 tentang sumber daya air dan UU 18/2004 tentang perkebunan telah menjadi alat legal bagi investor untuk menguasai sumber alam.
Terdapat beberapa contoh yang memperlihatkan bahwa pasar tanah bukan solusi yang bisa dipakai untuk mencapai kesejahteraan rakyat kecil dan petani. Pada tahun 1994 Afrika Selatan menerapkan pasar tanah melalui sertifikasi lahan. Namun, persoalan ketersediaan tanah yang mau dijual menjadi masalah utama, kalaupun ada yang mau menjual tanah tersebut terbatas pada tanah yang tidak subur dan tidak strategis, dan tuan tanah menginginkan harga yang cukup tinggi untuk pembayarannya. Hal ini menyebabkan petani miskin tetap tidak mengakses tanah, kalaupun ada yang mampu menguasai tanah, tersebut adalah tanah yang tidak subur dan diperlukan harga yang tinggi untuk membelinya.
Hal serupa terjadi di Srilanka yang pada 2002 memberikan sertifikat lahan seluas 2 juta hektar tanah kepada 1.2 juta petani--dikenal dengan istilah Jayaboomi. Pemerian sertifikat ini disertai dengan kebijakan yang tidak pro pada petani yang akhirnya membuat petani semakin mudah untuk menggadaikan dan menjual tanah pertaniannya.
Dua contoh tersebut menunjukkan bahwa ketika masuk mekanisme pasar, maka pemilik modal akan berkuasa. Secara otomatis, upaya penantaan atas ketimpangan struktur ekonomi dan sosial yang menjadi cita-cita reforma agraria tidak akan tercapai. Hanya dengan redistribusi tanah dan sumber-sumber agraria kepada rakyatlah maka ketimpangan dan polarisasi kesejahteraan akan tercapai. Untuk mencapai hal tersebut menurut Gunawan Wiradi (ahli Agraria) diperlukan beberapa prasyarat yaitu, (1) Kemauan politik (political will) yang kuat dari pemerintah; (2) Organisasi rakyat, khususnya organisasi tani yang kuat; (3) Tersedianya data mengenai keagrariaan yang lengkap dan teliti; (4) Dukungan dari pihak militer; (5) Elite penguasa harus terpisah dari elite bisnis; dan (6) Aparat birokrasi yang bersih,jujur,dan mengerti. Oleh karenanya, selama pemerintah masih belum berpihak kepada rakyat dan selama elit penguasa masih tercampur dengan elit bisnis maka reforma agraria tidak akan bisa terwujudkan. Selama itu pula petani tetap menjadi gurem (penguasaan tanah yang sempit 0,3 ha) dan Indonesia akan terus menjadi juara importir produk pangan internasional.=##+
Jakarta, 11 Februari 2008
Achmad Ya’kub dan Susan Lusiana, ayakub@spi.or.id
Baca Selanjutnya......
5.1.08
Kedelai, terperangkap impor
Awal tahun 2008 ditandainya dengan krisis harga pangan yang terjadi di dunia termasuk di Indonesia. Seperti kenaikan harga kedelai yang mencapai 100 persen lebih, yang dimulai sejak pertengahan tahun 2007 yang terus merangkak naik sampai pada awal tahun 2008. Yakni kurang lebih dari Rp. 3.450/kg menjadi Rp. 7.500/kg. Krisis ini disebabkan berbagai faktor mulai dari isu bahan bakar nabati, liberalisasi perdagangan yang dimotori oleh WTO, dan merebaknya spekulasi.
Respons pemerintah adalah dengan menurunkan bea masuk impor kedelai dari 10 persen menjadi nol persen. kemudian pada sisi produksi, menargetkan pencapaian produksi sebanyak 750 ribu ton dengan asumsi lahan yang ditanami 600 ribu ha yang disertai dengan kebijakan subsidi benih kedelai sebanyak 5.500 ton.
Hal tersebut sebenarnya tidak menyentuh persoalan utama dari anjloknya produksi kedelai di Indonesia, yaitu diantaranya gagal panen, menciutnya lahan tanaman pangan, dan bencana alam, keengganan petani menanam kedelai. Namun yang paling vital adalah dikarenakan kebijakan yang keliru. Mengapa petani enggan? Inilah beberapa hal yang perlu dicatat, bahwa pada tahun 1990-an harga kedelai pernah mencapai Rp. 8.000/kg sehingga petani bergairah mengembangkan komoditas tersebut yang menyebabkan produksi nasional mencapai 1,6 juta ton.
Namun sejak Indonesia masuk dalam kerangka liberalisasi dan setelah masuknya kedelai impor yang harganya lebih rendah dari kedelai lokal maka produksi dalam negeri terpinggirkan yang akhirnya petani enggan menanam karena harganya kalah bersaing. Murahnya harga kedelai impor tersebut, khususnya dari AS, karena mendapatkan subsidi ekspor dari pemerintah setempat seperti GSM 102 dan 103 serta PL 480 .(1)
Tahun 2005 harga kedelai impor Rp 2.800, sedangkan harga kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, tahun 2006 harga kedelai impor Rp2.600 sedangkan kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, dan pada 2007 harga kedelai impor Rp3.200 sedangkan kedelai lokal Rp3.400 per kilogram.
Akibat persaingan yang tidak sehat itulah kemudian tiap tahunnya impor semakin banyak dan produksi nasional serta luasan lahan panen kedelai semakin menciut.(2) Indonesia tergantung impor kedelai tiap tahunnya sekitar 65 persen dari kebutuhan nasional. Belum lagi persoalan “kartel” dan spekulasi perdagangan kedelai impor.(3)
Kemudian juga ada konsep “Soybean Estate” yang merupakan suatu kawasan perkebunan kedelai yang direncanakan mencapai 400 ribu ha. Hingga saat ini tidak ada laporan resmi pemerintah atas program ini. Lagipula menurut SPI dengan konsep ini pemerintah masih dalam kerangka mode produksi yang padat modal, monokultur dan masif yang tentu diserahkan kepada sektor private. Padahal keberhasilan pemenuhan pangan selama ini ada karena ditompang oleh keluarga petani yang padat karya dan ramah lingkungan.(tulisan ini menjadi bahan dokumen SPI awal 2009)
end notes:
(1)The Export Credit Guarantee Program (GSM-102) covers credit terms up to three years Dengan subsidi tersebut, maka importir dari negara lain yang mendatangkan kedelai dari AS mendapat kemudahan berupa pembayaran bisa dilakukan setelah tiga tahun selain itu tanpa bunga selama enam bulan.dan the Public Law 480 (P.L. 480) merupaka skema perdagangan pangan yang dibungkus bantuan. Sehingga meungkinkan USDA memberikan subsidi eksport tanpa takut dikatakan dumping.
(2) menurut catatan BPS tahun 2006 produksi kedelai nasional mencapai 747.611 ton, pada tahun 2007 turun menjadi 608.263 ton. Di sisi lain, peningkatan impor kedelai naik 6,7 persen setiap tahunnya. Namun nyatanya sejak tahun 2006-2007 kenaikan impor mencapai 26% lebih , yaitu dari 1,2 juta ton menjadi 1,7 juta ton kedelai yang dilakukan oleh perusahaan. Target 600 ribu ha, dengan efektifitas produksi yang 1,3 ton/ha sama saja melestarikan impor kedelai. Lain halnya bila ada perluasan areal tanam 2,02 juta ha, meningkatkan produktivitas menjadi 2 ton/ha pada 2009, dan insentif kebijakan memperbaiki harga jual kedelai lokal
(3)Laporan dari liputan6 SCTV 25 Januari 2008: Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya menggerebek gudang milik PT Cargill Indonesia di Jalan Dupak Rukuk Surabaya, Jawa Timur, Jumat (25/1). Diduga sebanyak 13 ribu ton kedelai yang ada di gudang merupakan bagian dari penimbunan. Dari data yang ada, PT Cargil Indonesia telah mengimpor kedelai dari Amerika Serikat sebanyak 22 ribu ton
Baca Selanjutnya......
Respons pemerintah adalah dengan menurunkan bea masuk impor kedelai dari 10 persen menjadi nol persen. kemudian pada sisi produksi, menargetkan pencapaian produksi sebanyak 750 ribu ton dengan asumsi lahan yang ditanami 600 ribu ha yang disertai dengan kebijakan subsidi benih kedelai sebanyak 5.500 ton.
Hal tersebut sebenarnya tidak menyentuh persoalan utama dari anjloknya produksi kedelai di Indonesia, yaitu diantaranya gagal panen, menciutnya lahan tanaman pangan, dan bencana alam, keengganan petani menanam kedelai. Namun yang paling vital adalah dikarenakan kebijakan yang keliru. Mengapa petani enggan? Inilah beberapa hal yang perlu dicatat, bahwa pada tahun 1990-an harga kedelai pernah mencapai Rp. 8.000/kg sehingga petani bergairah mengembangkan komoditas tersebut yang menyebabkan produksi nasional mencapai 1,6 juta ton.
Namun sejak Indonesia masuk dalam kerangka liberalisasi dan setelah masuknya kedelai impor yang harganya lebih rendah dari kedelai lokal maka produksi dalam negeri terpinggirkan yang akhirnya petani enggan menanam karena harganya kalah bersaing. Murahnya harga kedelai impor tersebut, khususnya dari AS, karena mendapatkan subsidi ekspor dari pemerintah setempat seperti GSM 102 dan 103 serta PL 480 .(1)
Tahun 2005 harga kedelai impor Rp 2.800, sedangkan harga kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, tahun 2006 harga kedelai impor Rp2.600 sedangkan kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, dan pada 2007 harga kedelai impor Rp3.200 sedangkan kedelai lokal Rp3.400 per kilogram.
Akibat persaingan yang tidak sehat itulah kemudian tiap tahunnya impor semakin banyak dan produksi nasional serta luasan lahan panen kedelai semakin menciut.(2) Indonesia tergantung impor kedelai tiap tahunnya sekitar 65 persen dari kebutuhan nasional. Belum lagi persoalan “kartel” dan spekulasi perdagangan kedelai impor.(3)
Kemudian juga ada konsep “Soybean Estate” yang merupakan suatu kawasan perkebunan kedelai yang direncanakan mencapai 400 ribu ha. Hingga saat ini tidak ada laporan resmi pemerintah atas program ini. Lagipula menurut SPI dengan konsep ini pemerintah masih dalam kerangka mode produksi yang padat modal, monokultur dan masif yang tentu diserahkan kepada sektor private. Padahal keberhasilan pemenuhan pangan selama ini ada karena ditompang oleh keluarga petani yang padat karya dan ramah lingkungan.(tulisan ini menjadi bahan dokumen SPI awal 2009)
end notes:
(1)The Export Credit Guarantee Program (GSM-102) covers credit terms up to three years Dengan subsidi tersebut, maka importir dari negara lain yang mendatangkan kedelai dari AS mendapat kemudahan berupa pembayaran bisa dilakukan setelah tiga tahun selain itu tanpa bunga selama enam bulan.dan the Public Law 480 (P.L. 480) merupaka skema perdagangan pangan yang dibungkus bantuan. Sehingga meungkinkan USDA memberikan subsidi eksport tanpa takut dikatakan dumping.
(2) menurut catatan BPS tahun 2006 produksi kedelai nasional mencapai 747.611 ton, pada tahun 2007 turun menjadi 608.263 ton. Di sisi lain, peningkatan impor kedelai naik 6,7 persen setiap tahunnya. Namun nyatanya sejak tahun 2006-2007 kenaikan impor mencapai 26% lebih , yaitu dari 1,2 juta ton menjadi 1,7 juta ton kedelai yang dilakukan oleh perusahaan. Target 600 ribu ha, dengan efektifitas produksi yang 1,3 ton/ha sama saja melestarikan impor kedelai. Lain halnya bila ada perluasan areal tanam 2,02 juta ha, meningkatkan produktivitas menjadi 2 ton/ha pada 2009, dan insentif kebijakan memperbaiki harga jual kedelai lokal
(3)Laporan dari liputan6 SCTV 25 Januari 2008: Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya menggerebek gudang milik PT Cargill Indonesia di Jalan Dupak Rukuk Surabaya, Jawa Timur, Jumat (25/1). Diduga sebanyak 13 ribu ton kedelai yang ada di gudang merupakan bagian dari penimbunan. Dari data yang ada, PT Cargil Indonesia telah mengimpor kedelai dari Amerika Serikat sebanyak 22 ribu ton
Baca Selanjutnya......
21.8.07
Agrofuel di Indonesia:Kebijakan Energi melayani negara kaya
Siapa yang tak tergiur terlibat dalam bisnis perkebunan dinegara-negara tropis dan sub-tropis, seperti Indonesia, Brasil, Argentina, ataupunnegara-negara dikawasan asia dan amerika latin lainnya. Sebut saja misalnya pemodal nasional, keluarga besar perusahaan H.M Sampoerna setelah menjual sahamnya kepada perusahaan rokok milik asing phillip moris serta merta dimedia nasional diberitakan bahwa mereka akan membuka jutaan hektar lahan untuk perkebunan tebu. Atau rencana investasi modal dari Swiss akan membuka perkebunan tanaman Jarak di Nusa Tenggara Timur dengan nilai investasi 1 trilliun rupiah, bukan angka yang main-main. Di Brasil perusahaan semacam Cargill membeli pabrik gula perkebunan tebu di Cevasa di wilayah Ribeirão Preto, São Paulo. Memang menurut catatan sejarah perkebunan merupakan warisan sistem kolonial untuk memenuhi kebutuhan bahan mentah negara-negara industri kaya seperti di dataran Amerika Serikat, Jepang, maupun Eropa.
Minat perusahaan-perusahaan besar terhadap perkebunan sawit, tebu, jarak, jagung dan kedelai memang tidak segencar beberapa puluh tahun yang lalu. Begitu tingginya ekspansi modal pada sektor perkebunan tersebut mengikuti trend global. Hal ini semakin kukuh setelah Presiden Amerika George Bush seperti yang diberitakan Herald Tribune (1/06/07) menyatakan kebijakan baru Amerika adalah menerima target pengurangan gas emisi dunia. Walau pada tahun 2000 menolak secara tegas apa yang diatur di protokol Kyoto mengenai pemanasan global. Yang kita ketahui isu perubahan iklim, pemanasan global begitu dekat dengan isu lingkungan mulai merambah ke ranah politik global dan mempengaruhi langsung ke ruang politik nasional. Terlebih soal energi yang berasal dari pertambangan seperti minyak, gas dan batu bara yang kian berkurang dan mempengaruhi langsung terhadap perubahan iklim.
Di Indonesia, Presiden kemudian mengeluarkan Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada pasal 1 ayat 3 mulai dimenggulirkan penggunaan nuklir dan ayat 4 mengenalkan istilah biofuel. Amerika Serikat juga menargetkan penggunaan agrofuel sebanyak 35 milyar galon per tahunnya. Padahal jelas lahan pertanian mereka tidak cukup untuk memenuhi target tersebut (Holt-Gimenez, 2007), Gayung bersambut maka berlomba-lomba setiap daerah menyatakan siap menyediakan lahan hingga jutaan hektar, bukan main. Padahal kita tahu bahwa lahan-lahan pertanian di Indonesia sudah disesaki oleh 25,4 juta petani kecil alias gurem. Serta merta masih banyak lahan-lahan tersedia. Kalau kita telusuri lagi dengan isu perubahan iklim dan agrofuel siapa yang didiuntungkan?
Siapa lagi kalau bukan perusahaan-perusahaan besar. Sebut saja unilever, pepsi, quaker, dan monsanto. Mereka adalah pemain di bidang pengolahan hasil minyak kelapa sawit, sedangkan Monsanto bermain paten di benih kedelai.
Di Indonesia Data yang ada menunjukkan bahwa dari total luas lahan sawit yang ditanami sebesar 5,5 juta hektar sebanyak 4 juta hektar (67 persen) dikuasai oleh perusahaan swasta sementara sisanya dikelola oleh perkebunan kecil. Dalam usaha perkebunan sawit ini terdapat sembilan perusahaan yang dapat dikatakan sebagai pemain utama yaitu PT Salim Plantation, Pt Golden Agri Resources, Texmaco Group, PT Asian Agri, PT Astra Agro Lestari Tbk, hashim Group, Surya Dumai Group, PT PP London Sumateran Indonesia Tbk, Duta Palma Group dan PT Bakrie Sumatera Plantation. Kesembilan perusahaan raksasa ini memegang kontrol terhadap 2.920.102 hektar lahan sawit dengan proporsi terbesarnya dikuasai oleh PT Salim Plantation dengan total lahan 1.155.745 hektar (Hernanda dan Sihombing, 2007). Tiap tahunnya luasan perkebunan sawit selalu meningkat, sedangkan luasan lahan pertanian pangan makin menyempit. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang digulirkan sejak tahun lalu masih menjadi macan kertas apalagi program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan.
Keberpihakan program-program pemerintah semakin jelas lebih besar kepada perusahaan besar saja. Indikatornya sederhana saja, progra agrufuel yang digulirkan pemerintah Amerika begitu cepat direspon, lahan-lahan disediakan dengan mudah bahkan dengan Hak Guna Usaha (HGU) hingga 95 tahun, dan kemudahan-kemudahan perizinan. Bahkan departemen pertanian mencarikan lahan bagi PT. Medco yang siap menanami padi dengan sistem SRI (menanam padi dengan sistem intensifikasi), tidak tanggung Medco siap mendanai untuk lahan seluas 10.000 ha.
Apa yang didapat oleh petani dan rakyat miskin? Tak lain adalah melonjaknya harga minyak goreng, harga beras yang naik turun, harga gula, susu dan terigu. Khsusus minyak goreng bahan mentah berupa minyak sawit lebih menguntungkan dijual ke pasar internasional dari pada memenuhi kebutuhan nasional.
Inilah yang oleh Sritua Arif katakan bahwa kita ini dalam situasi ekonomi politik terjajah, cirinya (i) sebagai penyedia bahan baku bagi negara kaya,(ii) sebagai pasar hasil produksi negara-negara kaya,(iii) sebagai tempat berputarnya uang surplus dari perusahaan-perusahaan asing, yang di Indonesia kita sebut sebagai investasi.(ay) Baca Selanjutnya......
Minat perusahaan-perusahaan besar terhadap perkebunan sawit, tebu, jarak, jagung dan kedelai memang tidak segencar beberapa puluh tahun yang lalu. Begitu tingginya ekspansi modal pada sektor perkebunan tersebut mengikuti trend global. Hal ini semakin kukuh setelah Presiden Amerika George Bush seperti yang diberitakan Herald Tribune (1/06/07) menyatakan kebijakan baru Amerika adalah menerima target pengurangan gas emisi dunia. Walau pada tahun 2000 menolak secara tegas apa yang diatur di protokol Kyoto mengenai pemanasan global. Yang kita ketahui isu perubahan iklim, pemanasan global begitu dekat dengan isu lingkungan mulai merambah ke ranah politik global dan mempengaruhi langsung ke ruang politik nasional. Terlebih soal energi yang berasal dari pertambangan seperti minyak, gas dan batu bara yang kian berkurang dan mempengaruhi langsung terhadap perubahan iklim.
Di Indonesia, Presiden kemudian mengeluarkan Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada pasal 1 ayat 3 mulai dimenggulirkan penggunaan nuklir dan ayat 4 mengenalkan istilah biofuel. Amerika Serikat juga menargetkan penggunaan agrofuel sebanyak 35 milyar galon per tahunnya. Padahal jelas lahan pertanian mereka tidak cukup untuk memenuhi target tersebut (Holt-Gimenez, 2007), Gayung bersambut maka berlomba-lomba setiap daerah menyatakan siap menyediakan lahan hingga jutaan hektar, bukan main. Padahal kita tahu bahwa lahan-lahan pertanian di Indonesia sudah disesaki oleh 25,4 juta petani kecil alias gurem. Serta merta masih banyak lahan-lahan tersedia. Kalau kita telusuri lagi dengan isu perubahan iklim dan agrofuel siapa yang didiuntungkan?
Siapa lagi kalau bukan perusahaan-perusahaan besar. Sebut saja unilever, pepsi, quaker, dan monsanto. Mereka adalah pemain di bidang pengolahan hasil minyak kelapa sawit, sedangkan Monsanto bermain paten di benih kedelai.
Di Indonesia Data yang ada menunjukkan bahwa dari total luas lahan sawit yang ditanami sebesar 5,5 juta hektar sebanyak 4 juta hektar (67 persen) dikuasai oleh perusahaan swasta sementara sisanya dikelola oleh perkebunan kecil. Dalam usaha perkebunan sawit ini terdapat sembilan perusahaan yang dapat dikatakan sebagai pemain utama yaitu PT Salim Plantation, Pt Golden Agri Resources, Texmaco Group, PT Asian Agri, PT Astra Agro Lestari Tbk, hashim Group, Surya Dumai Group, PT PP London Sumateran Indonesia Tbk, Duta Palma Group dan PT Bakrie Sumatera Plantation. Kesembilan perusahaan raksasa ini memegang kontrol terhadap 2.920.102 hektar lahan sawit dengan proporsi terbesarnya dikuasai oleh PT Salim Plantation dengan total lahan 1.155.745 hektar (Hernanda dan Sihombing, 2007). Tiap tahunnya luasan perkebunan sawit selalu meningkat, sedangkan luasan lahan pertanian pangan makin menyempit. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang digulirkan sejak tahun lalu masih menjadi macan kertas apalagi program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan.
Keberpihakan program-program pemerintah semakin jelas lebih besar kepada perusahaan besar saja. Indikatornya sederhana saja, progra agrufuel yang digulirkan pemerintah Amerika begitu cepat direspon, lahan-lahan disediakan dengan mudah bahkan dengan Hak Guna Usaha (HGU) hingga 95 tahun, dan kemudahan-kemudahan perizinan. Bahkan departemen pertanian mencarikan lahan bagi PT. Medco yang siap menanami padi dengan sistem SRI (menanam padi dengan sistem intensifikasi), tidak tanggung Medco siap mendanai untuk lahan seluas 10.000 ha.
Apa yang didapat oleh petani dan rakyat miskin? Tak lain adalah melonjaknya harga minyak goreng, harga beras yang naik turun, harga gula, susu dan terigu. Khsusus minyak goreng bahan mentah berupa minyak sawit lebih menguntungkan dijual ke pasar internasional dari pada memenuhi kebutuhan nasional.
Inilah yang oleh Sritua Arif katakan bahwa kita ini dalam situasi ekonomi politik terjajah, cirinya (i) sebagai penyedia bahan baku bagi negara kaya,(ii) sebagai pasar hasil produksi negara-negara kaya,(iii) sebagai tempat berputarnya uang surplus dari perusahaan-perusahaan asing, yang di Indonesia kita sebut sebagai investasi.(ay) Baca Selanjutnya......
12.7.07
Perlawanan kaum tani yang tak pernah padam
Sejak jaman kolonial persoalan penguasaan dan kepemilikan agraria menjadi hal yang diperebutkan. Perubahan terjadi di saat keluarnya agraris wet tahun 1870. saat itu terbuka peluang bagi dunia usaha swasta untuk ikut menikmati dan mengolah lahan-lahan perkebunan dengan jangka waktu 75 tahun. Awal perubahan itu ditandai dengan isu kemiskinan dan penjarahan hak rakyat oleh Hindia Belanda. Itulah gong masuknya investasi dan modal yang terus membesar membangun perkebunan terutama di pulau Jawa dan Sumatra.
Struktur penguasaan agraria semakin timpang dari tahun ke tahun. Dengan segala akibatnya perkebunan-perkebunan milik swasta asing dan modal nasional terus membesar dan ekspansif. Seiring ekspor hasil perkebunan seperti teh, karet dan kopi makin meningkat. Di saat yang sama petani-petani semakin susah, banyak dari mereka harus meninggalkan kampung halamannya, terutama rakyat miskin Pulau Jawa di “eksport” ke sumatra menjadi buruh kebun, yang dikenal dengan istilah kuli kontrak perkebunan. Nyata bahwa meningkatnya neraca perdagangan oleh ekspor hasil perkebunan, dampak langsung kepada petani dan buruh kontrak tak signifikan. Justru menimbulkan berbagai masalah kemiskinan dan penghisapan baru. Persoalan inilah berkembang menjadi konflik agraria. secara umum konflik agraria diawali dengan persengketaan atas sumber agraria, yang pada perkembangannya menjelma menjadi konflik yang kompleks.
Setelah kemerdekaan terjadi nasionalisasi atas lahan-lahan perkebunan, namun tetap saja hanya beberapa kelompok manusia Indonesia saja yang menguasainya. Rakyat tani nasib dan penghidupannya tidak berubah, bahkan hingga kini. Situasi yang menghimpit dan keadaan sosial yang sedemikian keras melahirkan kesadaran kaum tani untuk bangkit. Bangun untuk menata kehidupannya, dengan kesadaran bahwa tanpa tanah bagi petani sama saja tanpa kehidupan. Rakyat miskin bahkan sanggup mempetaruhkan jiwanya untuk mempertahankan dan mendapatkan lahan. Konflik yang berdasarkan agraria tak bisa dihindari. Kontradiksi terjadi diberbagai wilayah Indonesia, antara petani miskin, buruh tani, petani tak bertanah dengan perkebunan besar, perhutani, PTPN, aparat pemerintah/TNI bahkan dengan perusahaan-perusahaan pertambangan modal internasional sekalipun.
Intensitas konflik makin tinggi seiring dengan kebijakan-kebijakan di bidang agraria dikawal oleh suatu kekuatan besar berupa alat pemerintah maupun terlibatnya alat negara seperti kepolisian dan militer, sehingga yang terjadi adalah praktek dalam bentuk pemaksaan kehendak. Ujungnya berupa manipulasi dan kekerasan terhadap petani. Adapun derajat kekerasan dalam konflik juga ditentukan oleh luasan lahan yang disengketakan, jumlah penduduk yang terkena dampak, wilayah tempat konflik, aparat yang terlibat serta modal, baik modal asing dan ataupun dalam negeri.
Dalam hal ini penembakan petani di Alas Tlogo Pasuruan pada 30 Mei 2007 yang menyebabkan meninggalnya empat orang petani dan demikian pula tentunya kasus penembakan petani Nipah di Sampang Madura pada tahun 1993 yang juga menewaskan empat petani bisa dijadikan contoh dari ribuan konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional menyatakan terdapat 2810 sengketa agraria, 1065 di antaranya masih ditangani pengadilan dan 1.432 kasus masih berstatus sengketa. Dari ribuan konflik itu, terdapat ribuan perlawanan. Kaum tani harus mampu mempertahankan, mengolah dan mendistribusikan hasil pertaniannya. Sejarah konflik agraria adalah sejarah perlawanan kaum tani yang tak pernah padam. Karena sesuai mandat Konstitusi UUD 1945 naskah asli, bahwa kekayaan alam, air, bumi baik dibawah maupun diatasnya diperuntukan bagi kenikmatan dan kemakmuran rakyat. Yang dalam pengelolaannya berdasar atas kekeluargaan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial.(ay) Baca Selanjutnya......
Struktur penguasaan agraria semakin timpang dari tahun ke tahun. Dengan segala akibatnya perkebunan-perkebunan milik swasta asing dan modal nasional terus membesar dan ekspansif. Seiring ekspor hasil perkebunan seperti teh, karet dan kopi makin meningkat. Di saat yang sama petani-petani semakin susah, banyak dari mereka harus meninggalkan kampung halamannya, terutama rakyat miskin Pulau Jawa di “eksport” ke sumatra menjadi buruh kebun, yang dikenal dengan istilah kuli kontrak perkebunan. Nyata bahwa meningkatnya neraca perdagangan oleh ekspor hasil perkebunan, dampak langsung kepada petani dan buruh kontrak tak signifikan. Justru menimbulkan berbagai masalah kemiskinan dan penghisapan baru. Persoalan inilah berkembang menjadi konflik agraria. secara umum konflik agraria diawali dengan persengketaan atas sumber agraria, yang pada perkembangannya menjelma menjadi konflik yang kompleks.
Setelah kemerdekaan terjadi nasionalisasi atas lahan-lahan perkebunan, namun tetap saja hanya beberapa kelompok manusia Indonesia saja yang menguasainya. Rakyat tani nasib dan penghidupannya tidak berubah, bahkan hingga kini. Situasi yang menghimpit dan keadaan sosial yang sedemikian keras melahirkan kesadaran kaum tani untuk bangkit. Bangun untuk menata kehidupannya, dengan kesadaran bahwa tanpa tanah bagi petani sama saja tanpa kehidupan. Rakyat miskin bahkan sanggup mempetaruhkan jiwanya untuk mempertahankan dan mendapatkan lahan. Konflik yang berdasarkan agraria tak bisa dihindari. Kontradiksi terjadi diberbagai wilayah Indonesia, antara petani miskin, buruh tani, petani tak bertanah dengan perkebunan besar, perhutani, PTPN, aparat pemerintah/TNI bahkan dengan perusahaan-perusahaan pertambangan modal internasional sekalipun.
Intensitas konflik makin tinggi seiring dengan kebijakan-kebijakan di bidang agraria dikawal oleh suatu kekuatan besar berupa alat pemerintah maupun terlibatnya alat negara seperti kepolisian dan militer, sehingga yang terjadi adalah praktek dalam bentuk pemaksaan kehendak. Ujungnya berupa manipulasi dan kekerasan terhadap petani. Adapun derajat kekerasan dalam konflik juga ditentukan oleh luasan lahan yang disengketakan, jumlah penduduk yang terkena dampak, wilayah tempat konflik, aparat yang terlibat serta modal, baik modal asing dan ataupun dalam negeri.
Dalam hal ini penembakan petani di Alas Tlogo Pasuruan pada 30 Mei 2007 yang menyebabkan meninggalnya empat orang petani dan demikian pula tentunya kasus penembakan petani Nipah di Sampang Madura pada tahun 1993 yang juga menewaskan empat petani bisa dijadikan contoh dari ribuan konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional menyatakan terdapat 2810 sengketa agraria, 1065 di antaranya masih ditangani pengadilan dan 1.432 kasus masih berstatus sengketa. Dari ribuan konflik itu, terdapat ribuan perlawanan. Kaum tani harus mampu mempertahankan, mengolah dan mendistribusikan hasil pertaniannya. Sejarah konflik agraria adalah sejarah perlawanan kaum tani yang tak pernah padam. Karena sesuai mandat Konstitusi UUD 1945 naskah asli, bahwa kekayaan alam, air, bumi baik dibawah maupun diatasnya diperuntukan bagi kenikmatan dan kemakmuran rakyat. Yang dalam pengelolaannya berdasar atas kekeluargaan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial.(ay) Baca Selanjutnya......
8.6.07
Kasus Tanak Awu dilaporkan ke utusan khusus Sekjen PBB
Jakarta- Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) kembali melaporkan Kasus kekerasan dan penembakan terhadap petani Tanak Awu, Lombok, Nusa Tenggara Barat yang terjadi pada tanggal 18 September 2005 lalu kepada Komisi HAM PBB, di Jakarta (7/6). Kali ini, dengar pendapat publik kasus dilaporkan kepada utusan khusus Sekjen PBB Hina Jilani.
"Sebagai organisasi tani, FSPI meminta komisi HAM PBB agar apa yang terjadi di Tanak Awu segera ditindak lanjuti oleh PBB. selama ini, pemerintah Indonesia tidak menujukkan respon positif terhadap penyelesaian kasus," tutur Achmad Ya'kub dihadapan Hina Jilani.
Selain FSPI, banyak kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang dilaporkan oleh para pembela HAM lainnya. Menurut korban dan organisasi pembela hak kemanusian seperti inparsial, komnas perempuan dan lainnya bahwa kebanyakan dari kasus-kasus pelenggaran HAM tersebut tudak mendapatkan perhatian serius oleh pihak-pihak berwenang di Indonesia. Oleh karena itu, mereka berharap agar PBB bisa lebih efektif menyelesaiakn kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Hina Jilani, dalam sambutan pembukaannya menyatakan bahwa sebagai utusan Khusus Sekjen PBB dia mempunyai mandat untuk memberikan pembelaan terhadap korban pelanggaran HAM dimanapun didunia ini. Juga memastikan bahwa setiap negara menjalankan hasil Deklarasi tentang Human Right Defender tahun 1998.
”Pembela hak kemanusian adalah pekerja yang menciptakan perdamaian, maka dari itu setiap pemerintah termasuk pemerintah Indonesia berkewajiban memfasilitasi serta membuat mekanisme agar pembela kemanusian dan perdamaian dapat bekerja,”Kata Hina Jilani. ”tugas utama dari mereka adalah mengawasi, membela dan melaporkan kejadian yang melangar hak kemanusian, karena mereka juga rentan atas pelanggaran sepertihalnya korban,”tegas Hina Jilani.
Secara terpisah Sekjen FSPI yang juga Koordinator umum La Via Campesina (gerakan petani internasional) Henry Saragih menyatakan,”Ini adalah moment yang sangat berharga bagi petani maupun kalangan lainnya seperti buruh, nelayan untuk melaporkan secara langsung kepada utusan dari PBB”. Henry juga menegaskan bahwa sampai saat ini La Via Campesina dan anggotanya yang tersebar diberbagai negara masih memperjuangkan agar deklarasi Hak petani dapat dijadikan sebagai Kovenan Internasional. Harapannya agar setiap negara dapat menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak petani. Baca Selanjutnya......
16.2.07
Impor Beras Melampaui Batas!
Menyikapi masalah kenaikan harga beras, kebijakan impor beras dan operasi pasar tanpa batas yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam hal dipimpin oleh Wakil Presiden RI Yusuf Kalla beserta jajarannya, ada beberapa catatan kritis, yaitu:
Pertama, kebijakan pemerintah untuk memutuskan impor beras dengan alasan bencana, harga beras yang melonjak, maupun stok beras yang ada di pemerintah adalah hal yang terlalu panik, mengada-ada, menghina petani, dan melampaui batas kewajaran. Karena menurut hemat saya, dalam situasi bencana jumlah penduduk dan konsumsi beras adalah TETAP secara nasional, hanya pada beberapa wilayah saja seperti Jakarta yang terkesan menyerap banyak untuk stok di rumah tangga ataupun bantuan untuk bencana. ini juga disebabkan psikologi sebagai korban dan respon atas bencana oleh sebagian masyarakat yang panik
Beras sebenarnya tersedia di pasar, terutama di pedagang. Belum lagi jika melihat stok gabah yang akan segera panen. Saat ini menurut laporan anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI ) di Kabupaten Karawang, petani sedang panen di daerah kecamatan Teluk Jambe Barat, teluk Jambe Timur, Lemahabang, Telaga Sari, dan Tirta Mulya. Luasan panen pada lima kecamatan tersebut mencapai 12.000 ha, wilayah ini dialiri irigasi teknis. Kemudian menurut keterangan Gubernur Jawa Tengah dan Menteri Pertanian di berbagai media massa bahwa di Jawa Tengah akan panen yang menghasilkan 310.000 beras dan di Jawa Timur sebanyak 300.000 ton beras. Kemudian di Sulawesi Selatan stok di gudang Bulog masih tersedia, karena pada musim paceklik diserap 52.507 ton dan waktu dekat ini akan segera panen. Belum lagi stok beras hasil impor yang ditetapkan pada akhir 2006 yang sebanyak 500.000 ton beras telah masuk ke Indonesia pada bulan Januari 2007 sebanyak kurang lebih 250.000 ton beras. Sementara, sisanya seharusnya sudah masuk pada bulan Februari atau awal Maret 2007.
Kedua, soal harga beras yang melonjak sepertinya pemerintah begitu kalap dengan kebijakan pengadaan beras dari impor dan mengadakan operasi pasar tanpa batas. Pemerintah lupa, bahwa ongkos angkut, ongkos penggilingan dan operasional lainnya meningkat sejak bulan Oktober 2006, tepatnya sejak pemerintah menaikkan harga BBM sekitar 126 persen dan harga pupuk yang naik sejak bulan Mei 2006 lalu. Sebenarnya tidak hanya harga beras yang naik tapi juga harga gula, minyak goreng, daging, dan telur ayam rata-rata kenaikan sekitaran 200-500-an rupiah.
Harga beras yang meningkat tinggi juga dipicu ulah pedagang dalam hal ini pengusaha beras. padahal harga GKP di Karawang saat ini misalnya masih sekitaran Rp. 2.500/kg, maka logikanya harga beras seharusnya paling mahal adalah sekitaran Rp. 3. 800/kg bukan seperti saat ini IR 64 kualitas III saja mencapai Rp. 5000/kg. Laba yang besar bukan ditangan petani tetapi di pihak pemilik penggilingan ke atas yaitu pedagang beras besar. Hal ini nyata terlihat dari disparitas harga gabah dan beras yang sungguh fantastis dan melampaui batas kewajaran.
Ketiga, Soal mundurnya musim tanam dan bencana banjir yang menimpa lahan pertanian yang terlalu dilebih-lebihkan. Menurut data yang disampaikan dinas pertanian Jawa Barat sekitar 130.000 ha sawah terendam banjir dan puso 35.000 ha ternyata tidak sebesar pada masa Januari-Mei 2005, ketika kekeringan melanda 132.969 ha lahan sawah diseluruh Indonesia. Lagi pula dari total 11, 89 juta ha lahan pertanian padi setiap tahun sudah diperhitungkan rata-rata kehilangan hasil produksi padi sekitar 5% akibat banjir dan hama.
Keempat, Impor beras juga melampaui batas dari segi politik. Keputusan diambil oleh Menteri Perdagangan, Menko Perekonomian, dan Wakil Presiden—tanpa meminta masukan dari Menteri Pertanian, yang notabene bertanggung jawab dalam masalah pangan. Dalam pengetahuan rakyat, Menteri Pertanian pula yang seharusnya mengetahui teknis dan detail padi dan beras, yang merupakan produk pangan utama di negeri ini. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan ini diambil atas dasar pandangan ekonomi belaka, dan bahwa beras dianggap sebagai semata-mata komoditas.
Kesimpulan dan arah kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah dalam jangka pendek:
(1) Pemerintah dalam hal ini Presiden sebagai ketua Dewan Ketahanan Pangan harus meninjau kembali Inpres 13/2005 mengenai kebijakan perberasan yang menjadi patokan BULOG untuk membeli beras atau gabah dari petani tidak relevan lagi untuk saat ini. Terutama mengenai harga pembelian pemerintah untuk GKP dipenggilingan yaitu sebesar Rp. 1. 730/kg dan harga beras yang Rp 3.550/kg. Sementara BULOG sendiri menjual beras dalam OP-nya mencapai
Rp. 3.700. Dan parahnya lagi, OP pasar itu banyak sekali di borong oleh pedagang beras.
(2) Dengan harga beras yang mahal dan tidak terkendali sebenarnya tidak hanya kaum miskin perkotaan, buruh dikota tetapi juga petani miskin/gurem, buruh tani yang juga menjadi konsumen beras akan tertekan dan makin sulit. Untuk itu intervensi pemerintah masih relevan terutama dalam penertiban para pengusaha beras, penggilingan dan mengamankan jalur distribusi beras. Pemerintah harus memastikan stok beras ada ditangannya, bukan ditangan pengusaha beras. Mahalnya harga beras bukan karena kelangkaan beras. Saat ini banyak daerah masih tersedia, tetapi yang menjadi persoalan adalah kinerja pemerintah seperti menko perekonomian, menteri Perdagangan, ataupun wakil presiden sendiri yang harus dievaluasi dalam menetapkan status bahaya stok beras. Karena hal ini dapat diramalkan termasuk untuk cadangan pangan dan bantuan bencana.
Selain itu juga, perlu adanya penindakan dan pembukaan informasi yang terbuka kepada publik siapa saja pengusaha besar yang terlibat dalam rente perdangan beras ini, jangan hanya membabi buta menantang pasar beras dengan operasi pasar yang tidak terbatas. Justru langkah yang harus diambil adalah melakukan pelarangan impor beras yang tidak terbatas.
(3) Selain menertibkan pengusaha beras dan pengilingan Pemerintah juga berkewajiban membeli gabah petani yang mulai panen dan segera memberikan bantuan kepada petani yang mengalami kerusakan lahan dan puso. Kemudian harus ada arah kebijakan agar beras dapat dikontrol oleh pemerintah dan petani maka penggilingan padi dan jalur distribusi beras harus dimiliki, tidak dibiarkan dimonopoli oleh pengusaha besar.
(dijadikan release FSPI 15 Feb 2007) Baca Selanjutnya......
Pertama, kebijakan pemerintah untuk memutuskan impor beras dengan alasan bencana, harga beras yang melonjak, maupun stok beras yang ada di pemerintah adalah hal yang terlalu panik, mengada-ada, menghina petani, dan melampaui batas kewajaran. Karena menurut hemat saya, dalam situasi bencana jumlah penduduk dan konsumsi beras adalah TETAP secara nasional, hanya pada beberapa wilayah saja seperti Jakarta yang terkesan menyerap banyak untuk stok di rumah tangga ataupun bantuan untuk bencana. ini juga disebabkan psikologi sebagai korban dan respon atas bencana oleh sebagian masyarakat yang panik
Beras sebenarnya tersedia di pasar, terutama di pedagang. Belum lagi jika melihat stok gabah yang akan segera panen. Saat ini menurut laporan anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (
Kedua, soal harga beras yang melonjak sepertinya pemerintah begitu kalap dengan kebijakan pengadaan beras dari impor dan mengadakan operasi pasar tanpa batas. Pemerintah lupa, bahwa ongkos angkut, ongkos penggilingan dan operasional lainnya meningkat sejak bulan Oktober 2006, tepatnya sejak pemerintah menaikkan harga BBM sekitar 126 persen dan harga pupuk yang naik sejak bulan Mei 2006 lalu. Sebenarnya tidak hanya harga beras yang naik tapi juga harga gula, minyak goreng, daging, dan telur ayam rata-rata kenaikan sekitaran 200-500-an rupiah.
Harga beras yang meningkat tinggi juga dipicu ulah pedagang dalam hal ini pengusaha beras. padahal harga GKP di Karawang saat ini misalnya masih sekitaran Rp. 2.500/kg, maka logikanya harga beras seharusnya paling mahal adalah sekitaran Rp. 3. 800/kg bukan seperti saat ini IR 64 kualitas III saja mencapai Rp. 5000/kg. Laba yang besar bukan ditangan petani tetapi di pihak pemilik penggilingan ke atas yaitu pedagang beras besar. Hal ini nyata terlihat dari disparitas harga gabah dan beras yang sungguh fantastis dan melampaui batas kewajaran.
Ketiga, Soal mundurnya musim tanam dan bencana banjir yang menimpa lahan pertanian yang terlalu dilebih-lebihkan. Menurut data yang disampaikan dinas pertanian Jawa Barat sekitar 130.000 ha sawah terendam banjir dan puso 35.000 ha ternyata tidak sebesar pada masa Januari-Mei 2005, ketika kekeringan melanda 132.969 ha lahan sawah diseluruh Indonesia. Lagi pula dari total 11, 89 juta ha lahan pertanian padi setiap tahun sudah diperhitungkan rata-rata kehilangan hasil produksi padi sekitar 5% akibat banjir dan hama.
Keempat, Impor beras juga melampaui batas dari segi politik. Keputusan diambil oleh Menteri Perdagangan, Menko Perekonomian, dan Wakil Presiden—tanpa meminta masukan dari Menteri Pertanian, yang notabene bertanggung jawab dalam masalah pangan. Dalam pengetahuan rakyat, Menteri Pertanian pula yang seharusnya mengetahui teknis dan detail padi dan beras, yang merupakan produk pangan utama di negeri ini. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan ini diambil atas dasar pandangan ekonomi belaka, dan bahwa beras dianggap sebagai semata-mata komoditas.
Kesimpulan dan arah kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah dalam jangka pendek:
(1) Pemerintah dalam hal ini Presiden sebagai ketua Dewan Ketahanan Pangan harus meninjau kembali Inpres 13/2005 mengenai kebijakan perberasan yang menjadi patokan BULOG untuk membeli beras atau gabah dari petani tidak relevan lagi untuk saat ini. Terutama mengenai harga pembelian pemerintah untuk GKP dipenggilingan yaitu sebesar Rp. 1. 730/kg dan harga beras yang Rp 3.550/kg. Sementara BULOG sendiri menjual beras dalam OP-nya mencapai
Rp. 3.700. Dan parahnya lagi, OP pasar itu banyak sekali di borong oleh pedagang beras.
(2) Dengan harga beras yang mahal dan tidak terkendali sebenarnya tidak hanya kaum miskin perkotaan, buruh dikota tetapi juga petani miskin/gurem, buruh tani yang juga menjadi konsumen beras akan tertekan dan makin sulit. Untuk itu intervensi pemerintah masih relevan terutama dalam penertiban para pengusaha beras, penggilingan dan mengamankan jalur distribusi beras. Pemerintah harus memastikan stok beras ada ditangannya, bukan ditangan pengusaha beras. Mahalnya harga beras bukan karena kelangkaan beras. Saat ini banyak daerah masih tersedia, tetapi yang menjadi persoalan adalah kinerja pemerintah seperti menko perekonomian, menteri Perdagangan, ataupun wakil presiden sendiri yang harus dievaluasi dalam menetapkan status bahaya stok beras. Karena hal ini dapat diramalkan termasuk untuk cadangan pangan dan bantuan bencana.
Selain itu juga, perlu adanya penindakan dan pembukaan informasi yang terbuka kepada publik siapa saja pengusaha besar yang terlibat dalam rente perdangan beras ini, jangan hanya membabi buta menantang pasar beras dengan operasi pasar yang tidak terbatas. Justru langkah yang harus diambil adalah melakukan pelarangan impor beras yang tidak terbatas.
(3) Selain menertibkan pengusaha beras dan pengilingan Pemerintah juga berkewajiban membeli gabah petani yang mulai panen dan segera memberikan bantuan kepada petani yang mengalami kerusakan lahan dan puso. Kemudian harus ada arah kebijakan agar beras dapat dikontrol oleh pemerintah dan petani maka penggilingan padi dan jalur distribusi beras harus dimiliki, tidak dibiarkan dimonopoli oleh pengusaha besar.
(dijadikan release FSPI 15 Feb 2007) Baca Selanjutnya......
24.12.06
Tahun 2006 Dipenuhi Janji, Miskin Realisasi

Bagi petani, tahun 2006 yang dijalani hingga saat ini seperti tahun-tahun sebelumnya, janji-janji sejahtera selalu menjadi bunga-bunga saja. Masih hangat dalam ingatan bagaimana Presiden SBY-JK pada Juni 2005 mencanangkan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan (RPPK). Seakan pencanangan ini harga yang harus dibayar oleh kaum tani dan kalangan masyarakat lainnya atas Perpres 36/2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan untuk kepentingan umum.
Ancaman lebih nyata daripada harapan yang dijanjikan. Perpres tersebut tak ada klausul satupun yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan pembangunan adalah pembangunan pedesaan dan pertanian. Yang ada justru proyek-proyek bagi kepentingan modal yang lebih luas. Demikian juga Perpres 65/2006 sebagai revisi atas perpres 36/2005, makin menunjukan belang penguasa ini yang sangat berpihak kepada pemodal. Berbagai kepentingan umum yang melayani rakyat banyak ditiadakan seperti sarana pendidikan, peribadatan, serta kesehatan. Yang dikedepankan adalah proyek-proyek sepeti jalan tol, bandar udara, dan lainnya. Secara sederhana bisa kita pahami bahwa kekuatan asing melalui lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan seperti World Bank dan IMF begitu kuat cengkeremannya hingga dapat mendikte berbagai kebijakan pemerintah.
Padahal kita tahu SBY mendapatkan gelar Doktornya dalam bidang pertanian, seharusnya beliau mengerti apa yang dibutuhkan rakyat tani. Belum lagi politik pangan murah dengan import, menjadi agenda tahunan pemerintah. Contohnya Tahun 2005 pemerintah impor beras 304 ribu ton, tak berbeda tahun 2006 juga diputuskan impor sebanyak 840 ribu ton (sebagian diputuskan akhir tahun yang akan masuk pada awal tahun 2007). Pemerintah melalui Menteri Pertanian menegaskan dengan lantang bahwa tidak akan ada lagi impor beras, nyatanya dengan berbagai alasan apakah itu disebabkan oleh situasi alam ataupun lainnya impor tetap dilakukan. Secara internasional, pemerintah mengakui adanya tekanan dari organisasi perdagangan dunia (WTO-World Trade Organisation). Di WTO inilah sebagai anggotanya Indonesia terikat atas aturan mainnya. Padahal didalam WTO kepentingan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa lebih mendominasi dan menguasai daripada kepetingan negara di selatan.
Kebijakan agraria menemukan momentumnya ketika Presiden beserta pembantunya yaitu Menteri Pertanain, Menteri Kehutanan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional pada akhir September 2006 mengumumkan akan melaksanakan reforma agraria. Hal ini didasari kesadaran untuk mengurangi konflik agraria dan mengurangi kemiskinan yang mencapai 40 juta jiwa-- itu tersebar lebih banyak di daerah pedesaan. Rencana yang bagus itu ternyata tak sesuai harapan rakyat tani. Karena pemerintah dalam konsep Program Pembaruan Agraria Nasionalnya (PPAN) masih mengakomodir perusahaan/privat dalam program ini. Padahal kita tahu bahwa konflik-konflik agraria terutama yang melibatkan petani sebagian besar berhadapan dengan perusahaan swasta. Sebut saja di Sulawesi Selatan, di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan propinsi lainnya. Bagaimana mungkin pihak privat diuntungkan dalam program reforma agraria yang selama ini paling menikmati, meguasai dan mengusahakan serta merusak derngan luasan lahan yang mencapai jutaan hektar. Juga sejatinya reforma agraria itu adalah sebagai upaya menghapuskan ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan lahan, bukan sekedar serampangan bagi-bagi tanah. Didalamnya terdapat redistribusi. Artinya mendistribusikan kembali agar terciptanya keadilan agraria seperti yang dicita-citakan dalam UUPA 1960.
Belum lagi bencana alam diakhir tahun 2006, seperti longsor, banjir serta berbagai kecelakaan akibat kesalahan manusia. Dapat dikatakan bahwa janji-janji manis sepanjang tahun 2006 menuai berbagai bencana alam dan bencana kebijakan. Yang harus dipahami disini bahwa banyak bencana alam yang diakibatkan oleh ulah manusia. Manusia ini tak mungkin kita generalisir, karena sesungguhnya mereka yang mempunyai akses ekonomi dan politiklah yang punya andil beasr dalam perusakan alam. Petani sepanjang kita ketahui bersama dapat dipastikan akan menjaga alamnya agar mendukung proses produksi pertanian, bukan merusak. Bencana kebijakan yang dimaksudkan adalah kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat banyak, demi kepetingan penguasa yang pengusaha itu. Terakhir, memang tak mungkin rakyat tani hanya menunggu kebaikan hati penguasa/pemerintah dalam segala aspek kehidupan. Sudah saatnya kita mengawali tahun 2007 nanti dengan lebih memperkuat organisasi tani, memperluas persatuan rakyat dan melakukan praktek organisasi yang baik menuju cita-cita bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Baca Selanjutnya......
29.11.06
Tuntaskan persoalan pupuk dengan cara Pertanian Berkelanjutan
Rutinitas dalam kehidupan petani Indonesia adalah kekeringan, banjir serangan hama, kelangkaan pupuk dan persoalan lain yang tiap tahun terjadi. Tantangan berat petani tidak hanya dari faktor alam namun juga dari guncangan dasyat dari kebijakan pemerintah, seperti kebijakan harga gabah, harga pupuk, import beras hingga kepada kebijakan liberalisasi pertanian dan kekayaan alam.
Dengan situasi seperti ini, langkah zig-zag yang diambil oleh pemerintah tak memberikan solusi jangka panjang dan permanen. Kebijakan sistem rayonisasi, penetapan subsidi langsung ke pabrik pupuk, termasuk kebijakan penaikan harga pupuk justru makin mempersulit posisi petani.
Langka dan mahalnya harga pupuk awal tahun lalu dijawab dengan menaikkan harga pupuk oleh pemerintah. Kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk per 17 mei 2006 melalui surat Kepmentan No. 17/Permentan/SR.130/5/2006. kenaikan yang terjadi adalah sebesar 14,29% untuk urea, 10,71% untuk SP-36, 10.53% untuk ZA, dan 9,38% untuk NPK. Kenaikan ini memicu kenaikan biaya transpotasi, biaya produksi dan bongkar muat bagi produksi pertanian.
Penaikan ini dirasionalkan oleh pemerintah akibat dari harga gas dipasar Internasional yang juga naik. Kita tahu bahwa persoalan utama dihadapi pabrik pupuk adalah ketersediaan gas, misalnya gas merupakan unsur terbesar dari struktur biaya produksi pupuk urea yaitu sekitar 50-60 persen. Tapi yang perlu kita ingat Indonesia sendiri sebenarnya tak kekurangan pasokan gas. Data Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas menunjukkan bahwa produksi gas mencapai 7,8 miliar kaki kubik per hari dan akan mencapai puncaknya pada 2008 dengan total produksi 8,3 miliar kaki kubik per hari. Ekspor gas hingga Oktober mencapai US$ 7,52 miliar, 21 persen lebih tinggi dibanding 2004. Belum lagi cadangan gas yang masih cukup untuk 64 tahun ke depan. Bukti lain adalah gencarnya Presiden mengkampanyekan agar kendaraan mobil menggunakan gas. Jadi dengan logika sederhana, harga internasional naik, gas berlimpah kenapa devisa negara tidak deras untuk mensubsidi petani dan rakyat secara umum?
Seperti yang dilansir oleh banyak media Presiden SBY pada penutupan sidang pleno konferensi Dewan Ketahanan Pangan ke-3 di Istana Bogor, merespon dengan menyatakan kepada menteri pertanian agar mencari jalan atas persoalan pupuk yang selama ini menjadi agenda tahunan yang membebani baik pemerintah maupun petani. Kemudian dalam pengarahannya Presiden juga menyatakan sangatlah ironis jika Indonesia yang merdeka selama 61 tahun, tetapi hingga kini sebagian petani kecil dan para buruh tani tetap miskin dan kelaparan. Semoga saja pernyataan ini tak sekedar menyenangkan hati petani, mengingat banyak sudah janji-janji yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah. Baik janji secara lisan maupun secara terdokumentasi dan terpogram sekalipun.
Belajar dari kenaikan pupuk dan gas dalam konteks yang lebih luas
BPPT menyatakan bahwa pasokan gas dalam negeri yang dialokasikan setelah dieksport adalah sebesar 30,48% dengan hanya 10,61%-nya untuk mencukupi kebutuhan pabrik pupuk dan petrokimia. Artinya hampir lebih setengahnya dieksport ke luar negeri. Hingga wajar saja ketika PT. AAF (Acheh Asean Fertilizer) dan PT. PIM (Pupuk Iskandar Muda) yang berada di pusatnya gas tak kebagian sejak tahun 2003. Karena perusahaan asing yang mendapat konsensi disana, ExxonMobil Oil Company (perusahaan minyak asing di Arun, NAD), lebih mengutamakan penjualan gas ke luar negeri dalam bentuk LNG (liquid natural gas), akibat harga di luar negeri lebih tinggi dibandingkan harga untuk industri pupuk. Pemerintah yang diamanatkan oleh UUD 1945 untuk menyejahterakan rakyat tak berdaya oleh kekuatan modal besar asing dan kekuasaan pasar internasional yang begitu kuat.
Kebijakan pertambangan, air dan kekayaan alam lainnya terus diliberalisasi atas pesanan negara-negara kaya dan perusahaan besar melalui Bank Dunia, IMF dan WTO. Privatisasi air dibenarkan oleh UU No.7/2004 tentang Sumber daya air, perluasaan kebun-kebun swasta dan “berizin “ puluhan tahun diperbolehkan oleh UU Perkebunan, dan Kontrak karya perusahaan asing dikuatkan oleh UU PMA yang sekarang sedang di revisi sebagai tanda jadi bagi masuknya investasi asing yang begitu diyakini oleh penguasa sebagai jalan kesejahteraan rakyat. Padahal sebaliknya gas, minyak, kekayaan hutan, laut dan sumber agraria lainnya diangkut keluar negeri. Bangsa kita hanyalah mengais rente dari proses itu semua, mengorbankan jutaan keluarga miskin.
Jadi menurut hemat penulis, persoalan harga pupuk tidak berdiri sendiri akibat ketidakmampuan pemerintah mengawasi peredaran pupuk, eksport gelap atau permainan pengusaha pupuk saja. Namun ada sistem yang besar yang menyebabkan ketergantungan bangsa atas negara-negara kaya sulit dilepaskan. Mereka menggunakan banyak jalan baik melalui tekanan militer hingga institusi internasional dengan aturan-aturannya yang mengikat, legally binding. Penjajahan dalam bentuk baru.
Menuntaskan ketergantungan pupuk dengan jalan pertanian berkelanjutan
Dalam konteks nasional, soal gas dan kekayaan alam lainnya seperti hutan, perkebunan, pertanian skala luas dan padat modal, hasil laut, emas, minyak bumi dan lainnya dituntaskan melalui program pembaruan agraria. Dimana dalam program besar itu terjadinya perombakan sistem kepemilikan, penguasaan, peruntukan, pemanfaatan dan keberlanjutannya yang berpihak kepada rakyat sesuai amanah dari UUD 1945 pasal 33 dan UUPA 1960. Saya rasa harus ada ruang khusus untuk membedah hal ini.
Kemudian dalam konteks pembangunan nasional, pencanangan program revitalisasi pertanian jadi macan kertas. Karena pemerintah masih berputar pada wilayah input pertanian, bukan menyentuh pada wilayah alat produksi. Berapapun harga pupuk kimia, jumlah petani miskin dan gurem dan buruh tani akan terus meningkat. Karena persoalan pokok struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang timpang tak disentuh.
Pengalaman revolusi hijau, yang membombardir petani dengan modernisasi pertanian dengan teknik bertani praktis menggunakan pupuk kimia, bibit unggul produk tertentu, pestisida dengan tujuan produksi meningkat. Sejarah pernah mencatat jaman ‘keemasan’ pada produksi beras. Fenomena ini terjadi karena adanya Revolusi Hijau (RH) yang dilakukan pada sekitar tahun 1966/1967. Rencana ini merupakan lanjutan dari rintisan proyek Kasimo tahun 1948. Hasilnya cukup menakjubkan dari segi produksi: pada tahun 1965 produksi beras hanya 1,7 ton per hektar, pada tahun 1980 meningkat drastis menjadi 3,3 ton per hektar. Indonesia pun swasembada beras pada tahun 1984.
Tapi inilah borok RH, ‘keemasan’ yang malah membuat petani makin tergantung. Petani tidak dibuat menjadi mandiri, melainkan tergantung pada sarana produksi yang notabene merupakan skala ekonomi. Benih, pupuk dan pestisida semakin mencekik, dan hasilnya Indonesia tidak dapat mempertahankan produksi beras. Hasil semakin turun, pertanian pun stagnan. Juga makin meningkatnya petani gurem dan petani tak bertanah serta buruh tani. Celakanya lagi, Indonesia terjerumus dalam perjanjian-perjanjian yang semakin menindas setelah bergabung dengan WTO (1994).
Menghentikan proses ketergantungan petani terhadap pihak lain menyangkut soal pupuk, termasuk juga sarana produksi pertanian lainnya, dapat dilakukan manakala rejim sistem produksi pangan revolusi hijau bisa dihentikan dan digantikan oleh sistem produksi pangan organik (organic farming), yang dilaksanakan dalam bingkai pembaruan agraria.
Pertanian organik bukan sekedar sistem pertanian yang menggunakan pupuk organik dan perlindungan tanaman yang ramah lingkungan. Tetapi juga sangat penting adalah untuk memangkas pola ketergantungan sebagai penyebab kemiskinan petani selama ini. Bahkan sebagai alternatif sistem pertanian organik malah akan kembali menghidupkan perekonomian pedesaan.
Beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dengan sistem produksi pangan organik, seperti yang di yang sudah dialami oleh organisasi seperti La Via Campesina, gerakan buruh tani dan petani kecil internasional. Pertama, petani dapat memberi pupuk pada tanamannya tepat waktu atau tidak lagi mengalami kerugian akibat pemupukan yang melewati umur tanaman.
Kedua, tidak lagi terjadi arus kas keluar dari keluarga petani dan desa ke pabrik dan wilayah kota untuk membeli pupuk. Arus kas petani yang biasanya keluar selanjutnya bisa menjadi tabungan.
Ketiga, kegiatan perekonomian pedesaan akan kembali bergairah, karena produksi pupuk organik relatif padat karya sehingga dapat membuka lapangan kerja baru.
Keempat, sistem peternakan kecil yang selama ini tergantikan oleh peternakan skala industri bisa kembali hidup, karena produksi pupuk memerlukan kotoran ternak. Dalam hal ini peningkatan pemenuhan protein di pedesaan sekaligus dapat dicapai. Juga sebagai upaya membalikkan situasi bahwa Indonesia adalah pengimpor impor ternak sapi 600.000 ekor/tahun.
Kelima, pemerintah dapat mengurangi bahkan tidak perlu lagi untuk mengalokasikan anggaran untuk memberikan subsidi pembelian gas alam dan perawatan pabrik pupuk. Tetapi menggantikannya menjadi insentif buat petani untuk memproduksi pupuk organik termasuk membuat pelatihan.
Keenam, pemakaian pupuk organik secara bertahap akan dapat mengembalikan kesuburan lahan pertanian yang selama ini banyak dibuktikan telah miskin unsur hara. Kembali suburnya lahan pertanian ini tentunya sangat penting karena merupakan salah satu syarat dalam menjamin kecukupan pangan.
Ketujuh, pangan hasil pertanian organik adalah jenis pangan berkelas premium, karena bebas pestisida dan pupuk kimia. Perubahan konsumsi pangan konvensional ke pangan organik akan berdampak pada peningkatan tingkat kesehatan. Hasil penelitian telah menunjukan bahwa pestisida dan pupuk kimiawi yang terlarut dalam pangan adalah salah penyebab berbagai penyakit, termasuk kanker.
Memang terdapat beberapa kalangan yang mengkhawatirkan bahwa kembali ke sistem produksi pangan organik akan mengakibatkan produksi nasional menjadi menurun. Tetapi pendapat tersebut sebenarnya tidak memiliki dasar ilmiah dan bukti empiris lapangan yang kuat. Buktinya di beberapa daerah petani anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) yang menerapkan pertanian padi organik justru mengalami peningkatan produktifitas dibanding dengan sistem produksi ala green revolution.
Pandangan yang menganggap pertanian organik adalah teknologi primitif dan tidak modern juga merupakan salah satu hambatan. Tetapi seiring dengan banyaknya kerusakan lingkungan dan penyakit di dunia, pandangan modernitas dalam bidang pertanian pun telah makin bergeser. Kini makna modernitas telah bergeser kepada aktivitas dan sistem produksi yang sesuai dengan ekosistem dan bukan yang melawan ekosistem alam.
Sewindu sudah usia reformasi, tetapi kehidupan para petani justru makin sulit. Agaknya tidak terlalu berlebihan jika petani menuntut pemerintah pelaksanaan sistem produksi pangan yang berkelanjutan berdasarkan pertanian keluarga (sustainable on food production based on family
farming) dengan pertanian organik. Tentu semua ini harus dalam bingkai pembaruan agraria, yakni dijaminnya petani yang produktif atas kepemilikan dan penguasaan tanah, benih, teknologi dan harga yang menguntungkan.
dimuat di Harian Sore Suara Pembaruan, 30 November 2006
Baca Selanjutnya......
17.10.06
Kalaparan dan Reforma Agraria di Indonesia

Dalam rangka Hari Pangan Sedunia 16 oktober 2006
Menurut FAO pada tahun 1996 terdapat 854 juta dari 5,67 milyar penduduk dunia yang menderita kurang pangan, diantaranya 200 juta balita menderita kurang gizi terutama energi dan protein. Laporan PBB juga mencatat bahwa 3 – 5 ribu orang mati setiap hari akibat kelaparan dan dampaknya. Angka ini lebih besar lagi terjadi di negara – negara Sub Sahara – Afrika, negara – negara miskin dan didaerah yang terlibat konflik perang. Untuk itulah pada World Food Summit (WFS) Food and Agriculture Organization (FAO) bulan November 1996 di Roma, para pemimpin negara mengdeklarasikan komitment dan kemauan politik untuk mencapai ketahanan pangan serta melanjutkan upaya menghapuskan kelaparan di semua negara anggota dengan mengurangi separuhnya jumlah penderita kekurangan pangan pada tahun 2015.
Sejarahnya sendiri, hari pangan sedunia bermula dari konferensi FAO ke 20, bulan Nopember 1976 di Roma yang memutuskan untuk dicetuskannya resolusi No. 179 mengenai World Food Day. Resolusi disepakati oleh 147 negara anggota FAO, termasuk Indonesia, menetapkan bahwa mulai tahun 1981 segenap negara anggota FAO setiap tanggal 16 Oktober memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS).
Pertanian menjadi pemain pinggiran dalam ekonomi industri, namun ia memainkan peran yang sentral didunia dalam mengatasi kelaparan. Hal tergambar dari total investasi dipertanian yang U$ 9 milyar per tahun pada tahun 1980-an, jatuh menjadi kurang dari U$ 5 milyar ditahun 1990-an. Itulah mengapa akhirnya pada tahun ini Hari Pangan Sedunia diperingati dengan tema "Investing in Agriculture for Food Security". Model kerjasama yang diharapkan dapat berjalan antara masyarakat dengan sektor swasta dalam pembangunan pedesaan salah satunya adalah menaikan mutu dan standar, menyediakan infrastruktur pedesaan dan kebersamaan antara petani dengan pengusaha.
Masalah kelaparan, rawan pangan, gizi buruk dan kesehatan yang diakibatkan kurang pangan adalah persoalan kronis yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Penyebabnya selain kemiskinan adalah akibat dari produksi pangan yang kurang dalam suatu wilayah, tidak adanya akses terhadap pangan, bencana alam, perubahan iklim dan kemunduran sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam penguasaan dan kepemilikan sumber-sumber agraria seperti tanah-tanah pertanian, mahalnya biaya produksi pertanian, infrastruktur dan teknologi yang tak memadai.
Di Indonesia berdasarkan data yang dipublikasikan oleh UNICEF jumlah balita penderita gizi buruk pada tahun 2005 sekitar 1,8 juta, meningkat menjadi 2,3 juta pada tahun 2006. Dari angka kematian bayi yang 37 per 1.000 kelahiran setengahnya akibat dari kurang gizi. Untuk wanita usia subur, dari 118 juta jiwa sebanyak 11,5 juta jiwa mengalami anemia gizi. Kurang energi kronis juga dialami 30 juta orang dari kelompok produktif. Semua kejadian tersebut diatas tidak hanya terjadi dipropinsi seperti NTT, NTB, Sumatra Barat, Papua dan lainnya melainkan juga terjadi di Ibukota negara, DKI Jakarta. Yang mengenaskan lagi, hampir sebagian besar kasus kelaparan/kurang gizi terjadi diwilayah pedesaan yang notabene adalah daerah penghasil makanan. Juga didaerah perkebunan untuk komoditi eksport seperti yang terjadi beberapa bulan lalu di Kabupaten Sikka, NTT. Belum lagi jumlah orang miskin yang sudah mencapai 39 juta jiwa, dibarengi dengan jumlah pengangguran terbuka 10,2 juta jiwa pada tahun 2005.
Ketimpangan lahan pertanian dan kedaulatan pangan
Disaat bersamaan dengan situasi kelaparan diatas, rata-rata kepemilikan lahan petani makin menyusut dan makin meningkatnya petani gurem. Tahun 1983 persentase petani yang menguasai (memiliki atau menyewa dari pihak lain) tanah kurang dari 0,5 hektar (petani gurem) mencapai 40,8 %. Sepuluh tahun kemudian, persentase ini meningkat menjadi 48,5 %, dan Sensus Pertanian tahun 2003 memperlihatkan semakin meningkatnya jumlah petani gurem, mencapai 56,5 % dari seluruh keluarga petani di Indonesia. Peningkatan yang cepat terutama di P. Jawa. Sementara jumlah rumah tangga petani dalam 10 tahun terakhir meningkat dari 20,8 juta keluarga menjadi 25,6 juta. Kenyataan itu diperburuk dengan ketimpangan dalam distribusi penguasaan lahan. Sekitar 70% petani hanya menguasai 13 % lahan, sementara yang 30 % justru menguasai 87 % lahan yang ada.
Keadaan sempitnya lahan pertanian yang dikuasai dan dimiliki petani, juga diperparah dengan tindak kekerasan dan konflik agraria yang dialami oleh petani. Hingga saat ini sudah terjadi ribuan konflik agraria, tewasnya petani, dibakarnya rumah-rumah dan lahan pertanian.
Dengan tema hari pangan secara nasional "Membangun Kemandirian Pangan Berbasis Pedesaan", diharapkan pemerintah kembali menatap persoalan dipedesaan yang tak hanya pada ujungnya, produksi pangan. Dalam kondisi itulah kemudian menjalankan pembaruan agraria yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 menjadi hal yang mendesak.
Rasanya informasi yang diumumkan oleh pemerintah tentang keinginan menjalankan reforma agraria. Yaitu dengan jalan membagikan tanah-tanah bekas HPH/HTI seluas 9 juta Ha dengan komposisi 60% bagi masyarakat dan 40% untuk investasi asing maupun nasional juga disediakan 1,5 juta ha tanah-tanah perhutani di P. Jawa. Bahkan pemerintah menyediakan tanah-tanah pertanian seluas 8,2 juta ha untuk lahan-lahan pertanian diseluruh Indonesia. Menyisakan banyak tanda tanya.
Jikalaupun pemerintah berniat tulus menjalankan reforma agraria, bukanlah hal yang sedehana begitu saja. Karena keberhasilan landreform setidaknya memerlukan enam syarat utama (seperti yang ungkapkan oleh Gunawan Wiradi dalam diskusi di FSPI, 2006). Pertama, adanya kemauan politik pemerintah. Kedua, data yang lengkap dan teliti. Ketiga, organisasi rakyat yang kuat. Keempat, elite penguasa yang terpisah dari elite bisnis. Kelima, dari atas sampai ke bawah harus memahami, minimal pengetahuan elementer tentang agraria. Dan keenam, didukung militer (dan polisi). Dari keenam syarat pokok itu, ada beberapa hal yang perlu dicatat misalnya dilakukan secara drastis, ada ukuran jangka waktu tertentu dan terencana.
Sebab itu rencana pemerintah untuk meredistribusi lahan kami letakkan dalam kerangka lebih kritis. Info dari koran saja belum cukup memadai untuk menganalisis rencana redistribusi lahan. Perlu info lebih dalam mengenai latar belakangnya. Kiranya Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat menjelaskan kepada masyarakat secara gamblang, bahkan bila perlu harus ada penjelasan dari presiden. Sehingga tidak dijadikan sebagai alat legitimasi bagi dilaksanakannya reforma agraria berdasarkan keinginan modal dan kebijakan yang setengah-setengah. Karena praktek landreform yang sesungguhnya tidak dikenal tanah untuk investor, tapi tanah untuk petani (land to the tiller).
Itulah mengapa bahwasannya ketahanan pangan yang dicita-citakan bersama tak akan pernah terwujud, sebab selalu saja angin politik berpihak kepada pemodal dan investasi agribisnis. Yang nota bene investasi agribisnis itulah yang menguasai lahan-lahan secara luas. Untuk perkebunan kelapa sawit, kopi, kakao maupun karet. Sedikit saja, bahkan hampir tak ada yang berkomitmen menanami dengan tanaman pangan. Dengan investasi agribisnis maka relevansinya adalah secara ketat managemen ekspor dan margin keutungan yang tinggi dengan memantau gerak laju perdagangan komoditas dibursa saham. Dimana posisi petani dan buruh tani? Mereka hanya penyedia lahan pertanian ataupun tenaga-tenaga perkebunan, hanya beberapa yang terdidik menjadi mandor atau kantoran.
Beda halnya bila pemerintah dengan cepat merubah cara pandang dalam dunia pertanian dan pangan. Selain menjalankan landreform plus, yaitu terselenggaranya teknologi murah, bibit terbaik, kredit pertanian, dan industri pengolahan pasca produksi ditingkat kabupaten. Rasanya, mewujudkan kedaulatan pangan sebagai syarat tercapainya ketahanan pangan menjadi hal yang visible.
Kemudian dibuatlah aturan-aturan dalam perdagangan hasil pertanian dengan beberapa catatan pentingnya, pertama melindungi pasar dalam negeri dari serangan harga import murah. Kedua, mengatur produksi untuk kebutuhan pasar dalam negeri untuk mengatasi surplus. Ketiga, menghentikan subsidi bagi usaha pertanian yang tidak berkelanjutan, dan ketiak adilan bagi penyewa dan buruh tani, dan mendukung usaha – usaha yang mendukung dilaksanakannya pembaruan agraria, dan pertanian berkelanjutan. Dan terakhir menghentikan dukungan – dukungan pada usaha pertanian yang secara langsung atau tidak langsung untuk keperluan eksport ### Baca Selanjutnya......
18.8.06
61 Tahun kemerdekaan Indonesia, Tanah dan air masih tergadai!
Semangat juang dan konfrontasi fisik menuju kemederkaan Indonesia melalui berbagai tonggak sejarah yang heroik dan patriotik. Sebut saja kebangkitan pemuda 1928, adalah ciri gerakan ke-indonesiaan yang begitu menasional. Ditengah berbagai keterbatasan informasi dan ruang gerak. Namun semua itu dapat ditanggulangi. Sejak itu bermunculan berbagai gerakan rakyat yang makin terorganisasi secara baik. Yang bahkan pada tahun 1911 sekalipun sebenarnya sudah muncul organisasi masyarakat. Kesadaran untuk mengembangkan, menyampaikan kepada kahlayak mengenai program-program politiknya diadakanlah koran-koran organisasi. Kemudian cikal bakal kekuatan militer di Indonesia adalah dimulai dari kekuatan pemuda, pelajar dan petani juga kaum ulama.
Demikian catatan kecil mengenai gerakan rakyat menuju kemerdekaan 1945. belum lagi rekaman bagaimana hiruk pikuk kekuatan rakyat bergabung bersama pimpinan-pimpinan revolusi Indonesia saat itu. Tentu kita takkan romantis mengenang perjalanan perjuangan bangsa mengusir imprealisme. Namun disitulah pentingnya rekaman-rekanam tersebut dalam konteks perjuangan hari ini.
Tepat 17 Agustus 1945, dikumandangkan proklamasi. Disusul esoknya dengan pernyataan,
” Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. .............
.........................................
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,..........”
Begitu mendalamnya preambul UUD 1945 itu. Tak sekedar merdeka sebagai bangsa namun juga menyerukan, mengajak dan memproklamirkan kemerdekaan yang hakiki bagi manusia.
Saat ini 61 tahun sudah usia kemerdekaan kita. 61 tahun lamanya mengisi semangat itu. Nyatanya masih saja mayoritas warga negara dala himpitan kemiskinan, kesedihan dan diabaikan. Belum lagi penjajahan baru dalam bentuk campur dalam menentukan kebijakan politik, ekonomi bahkan sosial budaya kita. Sebut saja dibidang pertanian petani gurem yang mencapai 10,8 juta rumah tangga pada tahun 1993, meningkat menjadi 13,7 juta rumah tangga ditahun 2003. peningkatan petani gurem ini juga dibarengi dengan penurunan penguasaan tanah petani gure. Yang awalnya yang memang sudah sempit yaitu 0,5 ha menjadi 0,3 ha. Impor pangan juga tak pernah terkendali mulai dari kacang kedelai sebanyak 1,2 juta ton/tahun, daging sapi, susu, gandum sebanyak 4 juta ton/tahun dan bahkan bawang. Pengganguran yang realtif statis bahkan cenderung meningkat, saat ini saja (tahun 2005) mencapai 41 juta, mayoritas adalah kaum muda. Dari jumlah tersebut pengangguran terbuka (open unemployed) adalah 10 juta jiwa, sedang 31 juta adalah setengah pengangguran (under employed). Jumlah ini berpotensi meningkat lagi akibat kenaikan BBM sebesar 126% pada bulan oktober 2005.
Apa yang dilakukan pemerintah ? mereka cenderung bahkan dengan sadar justru menuruti anjuran lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF?Bank Dunia) , lembaga perdagangan dunia (WTO) maupun perusahaan-perusahaan besar dan negara-negara kaya. Kebijakan-kebijakan yang diambil justru memperkuat dan melanggengkan kemiskinan.
Misalnya saja intervensi dari lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF dan WTO menambah panjang deretan kebijakan yang anti rakyat, sebut saja Perpres 36/2005, penolakan MK terhadap tuntutan rakyat untuk mencabut UU No. 7/2004 tentang Sumber daya air, adanya upaya revisi UUPA 1960, UU Perkebunan No 18/2004 dan lemahnya proteksi terhadap petani.
Dimana Bank Dunia yang mengucurkan dana hutang sebesar $300 juta untuk menggolkan Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan mendukung program Land Administration Project (LAP) yang kesimpulan dari mereka adalah merevisi UUPA 1960 yang saat ini diusulkan oleh Badan Pertanahan Nasional.
Kemerdekaan bagi mayoritas warga negara yang masih miskin dan terbanyak tinggal didesa menjadi sesuatu yang sulit dijamah. Maka itu, bekerja sama, berjuang, berproduksi bersama dalam suatu perserikatan, organisasi dan perkumpulan menjadi bermakna sekali ditengah pemerintah makin jauh dari petani. Organisasi diharapkan mampu menjawab beberapa persoalan anggotanya. Ketidakmampuan pemerintah memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya bukan sekedar tak punya biaya, namun memang tak punya niat. Niat secara totalitas berpihak kepada rakyatnya sendiri. Itulah peran penting dari organisasi tani, buruh, mahasiswa, pemuda dan perempuan untuk membangun gerakan sosial yang muaranya adalah memperjuangkan segenap kepentingan rakyat miskis dan melawan campur tangan asing dalam keputusan berbangsa dan bernegera.
Dirgahayu Indonesia.
tulisan ini juga terbit di pembaruan tani-agustus 2006
Baca Selanjutnya......
Demikian catatan kecil mengenai gerakan rakyat menuju kemerdekaan 1945. belum lagi rekaman bagaimana hiruk pikuk kekuatan rakyat bergabung bersama pimpinan-pimpinan revolusi Indonesia saat itu. Tentu kita takkan romantis mengenang perjalanan perjuangan bangsa mengusir imprealisme. Namun disitulah pentingnya rekaman-rekanam tersebut dalam konteks perjuangan hari ini.
Tepat 17 Agustus 1945, dikumandangkan proklamasi. Disusul esoknya dengan pernyataan,
” Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. .............
.........................................
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,..........”
Begitu mendalamnya preambul UUD 1945 itu. Tak sekedar merdeka sebagai bangsa namun juga menyerukan, mengajak dan memproklamirkan kemerdekaan yang hakiki bagi manusia.
Saat ini 61 tahun sudah usia kemerdekaan kita. 61 tahun lamanya mengisi semangat itu. Nyatanya masih saja mayoritas warga negara dala himpitan kemiskinan, kesedihan dan diabaikan. Belum lagi penjajahan baru dalam bentuk campur dalam menentukan kebijakan politik, ekonomi bahkan sosial budaya kita. Sebut saja dibidang pertanian petani gurem yang mencapai 10,8 juta rumah tangga pada tahun 1993, meningkat menjadi 13,7 juta rumah tangga ditahun 2003. peningkatan petani gurem ini juga dibarengi dengan penurunan penguasaan tanah petani gure. Yang awalnya yang memang sudah sempit yaitu 0,5 ha menjadi 0,3 ha. Impor pangan juga tak pernah terkendali mulai dari kacang kedelai sebanyak 1,2 juta ton/tahun, daging sapi, susu, gandum sebanyak 4 juta ton/tahun dan bahkan bawang. Pengganguran yang realtif statis bahkan cenderung meningkat, saat ini saja (tahun 2005) mencapai 41 juta, mayoritas adalah kaum muda. Dari jumlah tersebut pengangguran terbuka (open unemployed) adalah 10 juta jiwa, sedang 31 juta adalah setengah pengangguran (under employed). Jumlah ini berpotensi meningkat lagi akibat kenaikan BBM sebesar 126% pada bulan oktober 2005.
Apa yang dilakukan pemerintah ? mereka cenderung bahkan dengan sadar justru menuruti anjuran lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF?Bank Dunia) , lembaga perdagangan dunia (WTO) maupun perusahaan-perusahaan besar dan negara-negara kaya. Kebijakan-kebijakan yang diambil justru memperkuat dan melanggengkan kemiskinan.
Misalnya saja intervensi dari lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF dan WTO menambah panjang deretan kebijakan yang anti rakyat, sebut saja Perpres 36/2005, penolakan MK terhadap tuntutan rakyat untuk mencabut UU No. 7/2004 tentang Sumber daya air, adanya upaya revisi UUPA 1960, UU Perkebunan No 18/2004 dan lemahnya proteksi terhadap petani.
Dimana Bank Dunia yang mengucurkan dana hutang sebesar $300 juta untuk menggolkan Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan mendukung program Land Administration Project (LAP) yang kesimpulan dari mereka adalah merevisi UUPA 1960 yang saat ini diusulkan oleh Badan Pertanahan Nasional.
Kemerdekaan bagi mayoritas warga negara yang masih miskin dan terbanyak tinggal didesa menjadi sesuatu yang sulit dijamah. Maka itu, bekerja sama, berjuang, berproduksi bersama dalam suatu perserikatan, organisasi dan perkumpulan menjadi bermakna sekali ditengah pemerintah makin jauh dari petani. Organisasi diharapkan mampu menjawab beberapa persoalan anggotanya. Ketidakmampuan pemerintah memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya bukan sekedar tak punya biaya, namun memang tak punya niat. Niat secara totalitas berpihak kepada rakyatnya sendiri. Itulah peran penting dari organisasi tani, buruh, mahasiswa, pemuda dan perempuan untuk membangun gerakan sosial yang muaranya adalah memperjuangkan segenap kepentingan rakyat miskis dan melawan campur tangan asing dalam keputusan berbangsa dan bernegera.
Dirgahayu Indonesia.
tulisan ini juga terbit di pembaruan tani-agustus 2006
Baca Selanjutnya......
Subscribe to:
Posts (Atom)