21.8.07

Agrofuel di Indonesia:Kebijakan Energi melayani negara kaya

Siapa yang tak tergiur terlibat dalam bisnis perkebunan dinegara-negara tropis dan sub-tropis, seperti Indonesia, Brasil, Argentina, ataupunnegara-negara dikawasan asia dan amerika latin lainnya. Sebut saja misalnya pemodal nasional, keluarga besar perusahaan H.M Sampoerna setelah menjual sahamnya kepada perusahaan rokok milik asing phillip moris serta merta dimedia nasional diberitakan bahwa mereka akan membuka jutaan hektar lahan untuk perkebunan tebu. Atau rencana investasi modal dari Swiss akan membuka perkebunan tanaman Jarak di Nusa Tenggara Timur dengan nilai investasi 1 trilliun rupiah, bukan angka yang main-main. Di Brasil perusahaan semacam Cargill membeli pabrik gula perkebunan tebu di Cevasa di wilayah Ribeirão Preto, São Paulo. Memang menurut catatan sejarah perkebunan merupakan warisan sistem kolonial untuk memenuhi kebutuhan bahan mentah negara-negara industri kaya seperti di dataran Amerika Serikat, Jepang, maupun Eropa.

Minat perusahaan-perusahaan besar terhadap perkebunan sawit, tebu, jarak, jagung dan kedelai memang tidak segencar beberapa puluh tahun yang lalu. Begitu tingginya ekspansi modal pada sektor perkebunan tersebut mengikuti trend global. Hal ini semakin kukuh setelah Presiden Amerika George Bush seperti yang diberitakan Herald Tribune (1/06/07) menyatakan kebijakan baru Amerika adalah menerima target pengurangan gas emisi dunia. Walau pada tahun 2000 menolak secara tegas apa yang diatur di protokol Kyoto mengenai pemanasan global. Yang kita ketahui isu perubahan iklim, pemanasan global begitu dekat dengan isu lingkungan mulai merambah ke ranah politik global dan mempengaruhi langsung ke ruang politik nasional. Terlebih soal energi yang berasal dari pertambangan seperti minyak, gas dan batu bara yang kian berkurang dan mempengaruhi langsung terhadap perubahan iklim.

Di Indonesia, Presiden kemudian mengeluarkan Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada pasal 1 ayat 3 mulai dimenggulirkan penggunaan nuklir dan ayat 4 mengenalkan istilah biofuel. Amerika Serikat juga menargetkan penggunaan agrofuel sebanyak 35 milyar galon per tahunnya. Padahal jelas lahan pertanian mereka tidak cukup untuk memenuhi target tersebut (Holt-Gimenez, 2007), Gayung bersambut maka berlomba-lomba setiap daerah menyatakan siap menyediakan lahan hingga jutaan hektar, bukan main. Padahal kita tahu bahwa lahan-lahan pertanian di Indonesia sudah disesaki oleh 25,4 juta petani kecil alias gurem. Serta merta masih banyak lahan-lahan tersedia. Kalau kita telusuri lagi dengan isu perubahan iklim dan agrofuel siapa yang didiuntungkan?
Siapa lagi kalau bukan perusahaan-perusahaan besar. Sebut saja unilever, pepsi, quaker, dan monsanto. Mereka adalah pemain di bidang pengolahan hasil minyak kelapa sawit, sedangkan Monsanto bermain paten di benih kedelai.

Di Indonesia Data yang ada menunjukkan bahwa dari total luas lahan sawit yang ditanami sebesar 5,5 juta hektar sebanyak 4 juta hektar (67 persen) dikuasai oleh perusahaan swasta sementara sisanya dikelola oleh perkebunan kecil. Dalam usaha perkebunan sawit ini terdapat sembilan perusahaan yang dapat dikatakan sebagai pemain utama yaitu PT Salim Plantation, Pt Golden Agri Resources, Texmaco Group, PT Asian Agri, PT Astra Agro Lestari Tbk, hashim Group, Surya Dumai Group, PT PP London Sumateran Indonesia Tbk, Duta Palma Group dan PT Bakrie Sumatera Plantation. Kesembilan perusahaan raksasa ini memegang kontrol terhadap 2.920.102 hektar lahan sawit dengan proporsi terbesarnya dikuasai oleh PT Salim Plantation dengan total lahan 1.155.745 hektar (Hernanda dan Sihombing, 2007). Tiap tahunnya luasan perkebunan sawit selalu meningkat, sedangkan luasan lahan pertanian pangan makin menyempit. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang digulirkan sejak tahun lalu masih menjadi macan kertas apalagi program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan.
Keberpihakan program-program pemerintah semakin jelas lebih besar kepada perusahaan besar saja. Indikatornya sederhana saja, progra agrufuel yang digulirkan pemerintah Amerika begitu cepat direspon, lahan-lahan disediakan dengan mudah bahkan dengan Hak Guna Usaha (HGU) hingga 95 tahun, dan kemudahan-kemudahan perizinan. Bahkan departemen pertanian mencarikan lahan bagi PT. Medco yang siap menanami padi dengan sistem SRI (menanam padi dengan sistem intensifikasi), tidak tanggung Medco siap mendanai untuk lahan seluas 10.000 ha.

Apa yang didapat oleh petani dan rakyat miskin? Tak lain adalah melonjaknya harga minyak goreng, harga beras yang naik turun, harga gula, susu dan terigu. Khsusus minyak goreng bahan mentah berupa minyak sawit lebih menguntungkan dijual ke pasar internasional dari pada memenuhi kebutuhan nasional.

Inilah yang oleh Sritua Arif katakan bahwa kita ini dalam situasi ekonomi politik terjajah, cirinya (i) sebagai penyedia bahan baku bagi negara kaya,(ii) sebagai pasar hasil produksi negara-negara kaya,(iii) sebagai tempat berputarnya uang surplus dari perusahaan-perusahaan asing, yang di Indonesia kita sebut sebagai investasi.(ay)


Share/Bookmark

1 comment:

  1. Anonymous2:41 PM

    http://motoring.asiaone.com/Motoring/News/Story/A1Story20081123-102785.html
    Palm oil prices spells misery
    Sun, Nov 23, 2008
    AFP






    KUALA LUMPUR - THE global economic slowdown has sent palm oil prices crashing, spelling misery for countless smallholders who have been forced to watch their harvests rot on the trees.

    Hundreds of thousands of farmers in Indonesia and Malaysia, which produce 85 per cent of the world's palm oil, are reliant on the industry which has gone from boom to bust in just a few months.

    Palm oil prices have plummeted from a March high of 4,486 ringgit (S$1,907) per tonne to less than 1,500 ringgit, due to the financial crisis and the falling price of crude oil - which reduces demand from the biodiesel industry.

    Malaysia's deputy commodities minister Kohilan Pillay said today's prices were close to the production costs of most smallholders, squeezing their earnings and pushing them to the brink of bankruptcy.

    Oil mills are causing further hardship by flouting laws that require them to buy fruits from smallholders, whatever the going rate, he said.

    'Their excuse is that it is not economical for them to process CPO (crude palm oil) at this time as prices are too low so they just shut down production,' Mr Pillay said.

    'Many are waiting for the prices to hit rock bottom before purchasing and this is a problem as the fruits are perishable and so these independent smallholders end up with rotting, unprocessed fruits which they cannot sell.'

    Smallholders or independent oil palm farmers account for about 30-35 per cent of Malaysia's total palm oil output and around 25 per cent of Indonesia's production.

    'The bigger companies can sustain themselves even if prices fall below 1,000 ringgit per tonne but it is the smallholders who suffer the most,' Mr Pillay said.

    In Indonesia, the government is under pressure to help independent farmers who face big losses.

    'At present, oil palm growers are on the brink of bankruptcy in the wake of the sharp drop in the price of oil palm fruit bunches,' Mr Yulman Hadi from the West Sumatra Legislative Assembly told the state Antara news agency in October.

    'Rescuing the growers from bankruptcy needs serious handling at the national level,' he said, warning that the loss of revenue could create a ripple effect in the region's economy.

    Mr Achmad Ya'kub from the Indonesian Peasants Union said smallholders were facing the same kind of problems as their counterparts in Malaysia.

    'The big CPO companies that also own plantations prioritise buying palm oil from their own plantations, so the smallholders are really having a hard time selling their stuff,' he said according to Antara.

    Malaysia and Indonesia have announced plans to reduce supply by using the slump as an opportunity to replant old trees, and bolster demand by mandating the use of biodiesel.

    Malaysia has also scrapped an import duty on fertilisers and plans to further cut fertiliser prices by 15 per cent to reduce production costs.

    The hard times are here to stay, according to CLSA Asia-Pacific Markets, which has slashed its 2009 price forecast by 46 per cent to 1,000 ringgit (S$424.8), saying that measures to cut production will not be effective. -- AFP

    ReplyDelete

silakan komentar dengan sopan