HARI PANGAN SEDUNIA KE 30
Tanggal 16 oktober ini setiap penjuru dunia akan dingatkan lagi betapa pangan masih menjadi persoalan mendasar di dunia. Seperti tahun ini secara internasional, tema hari pangan tidak bergeser soal memerangi kelaparan, United Against Hunger. Tiga dasawarsa sudah sejak hari pangan sedunia dicanangkan, alih-alih memerangi kelaparan justru orang lapar terus bertambah. Padahal teknologi informasi, transportasi dan pertanian terus berkembang pesat.
Pada 1996 Food and Agriculture Organization (FAO) menyelenggarakan World Food Summit (WFS) sebagai upaya merespon untuk menghapuskan kelaparan di dunia yang jumlahnya sudah mencapai 825 juta jiwa. Saat itu dikeluarkan deklarasi yang isinya adanya tekad global pada tahun 2015 akan menghapuskan separuh dari jumlah kelaparan yang menimpa dunia. Nyatanya saat ini didepan gedung FAO terpampang spanduk besar yang bertuliskan, “1 Billion People Live in Chronic Hunger and I’M Mad as Hell” (1 milyar orang hidup dalam kelaparan kronis dan saya sangat-sangat marah). Bahkan pada peringatan WFS tahun 2009, Jacques Diouf sebagai Direktur Jenderal FAO harus berpuasa untuk solidaritas atas kelaparan yang makin parah didunia ini. Laporan FAO tahun 2008 itu menyebutkan sekitar 65 persen orang lapar dunia hidup di negara asia dan Afrika yaitu India, China, Congo, Bangladesh, Indonesia, Pakistan serta Ethiopia
Di Indonesia, Presiden SBY sebagai ketua Dewan Ketahanan Pangan seakan tidak berdaya atas kenyataan gizi buruk dan kelaparan yang terus terjadi di Indonesia. Sebagian besar mereka yang kelaparan adalah perempuan dan anak-anak tinggal diperdesaan.. Unicef (2006) menyebutkan, jumlah anak balita penderita gizi buruk di Indonesia sudah mencapai 2,3 juta jiwa. Ini berarti naik sekitar 500.000 jiwa dibandingkan dengan data tahun 2005 sejumlah 1,8 juta jiwa. Atau bila kita tilik dari peta ketahanan dan kerawanan pangan yang baru saja di release tahun 2010 ini oleh Kementrian Pertanian dan WFP bahwa pada tahun 2009 di Indonesia terdapat 100 kabupaten di 32 propinsi yang masuk kategori prioritas 1 sampai 3.
kenyataan ini bukanlah karena produksi pangan yang tidak mencukupi, tetapi akses rakyat dan petani untuk memproduksi makananlah yang sesungguhnya tidak di dukung dan tidak dilindungi oleh kebijakan negara dan kebijakan internasional. Karena itu konsep ketahanan pangan (food security) yang dikeluarkan FAO yang di amini pemerintah Indonesia tidak bisa mengatasi kelaparan yang menimpa dunia. Diperlukan suatu kebijakan memberikan kekuatan politik kepada rakyat serta terselengaranya pembaruan agraria.. Disamping itu, penghapusan kelaparan tidak bisa dicapai dalam prinsip kompetisi dan fundamentalisme pasar, tetapi harus dalam prinsip solidaritas masyarakat Internasional. Inilah yang disebut dengan kedaulatan pangan (food sovereignity).
Sesungguhnya yang terjadi hari ini adalah jumlah produksi makanan yang meningkat itu tidak diproduksi oleh para petani, tetapi oleh perusahaan agribisnis, juga jumlah produksi makanan yang meningkat itu tidak digunakan untuk konsumsi manusia, tetapi produksi makanan yang ada digunakan untuk keperluan makanan industri peternakan, dan kepentingan untuk industri agro fuel. Perdagangan pangan terus meningkat, kegiatan ekspor dan impor meningkat, contohnya Indonesia ekspor kelapa sawit terus meningkat dan pada saat yang sama impor pangan ke Indonesia seperti kacang kedelai, dan terigu juga meningkat. Pangan akhirnya benar-benar sudah menjadi barang komoditas dan spekulasi. Itulah sesungguhnya yang terjadi, sehingga krisis pangan mengguncang dunia mencapai puncaknya pada tahun 2008 lalu.
Untuk itu respon pemerintah melalui program Integrated Food and Energi Estate, yang menyerahkan penguasaan dan akses sumber daya kepada perusahaan-perusahaan adalah kebijakan yang sangat mengancam bagi pengurangan kelaparan di Indonesia. Kebijakan ini akan melestarikan ketimpangan penguasaan agraria, ketergantungan benih import , dan kelaparan diperdesaan.
Melawan kelaparan harus dimulai dengan melaksanakan pembaruan agraria dan memastikan benih-benih dikuasai oleh petani. Memberikan akses yang luas bagi petani dan keluarganya atas tanah untuk memproduksi pangan secara agroekologis. Artinya tema hari pangan sedunia secara nasional adalah kemandirian pangan untuk memerangi kelaparan harus diartikan lebih luas lagi, yakni memastikan semua akses dan asset rakyat miskin yang berkaitan dengan sumber-sumber agraria tersebut haruslah terjamin. Kepemimpinan Presiden selaku Ketua Dewan Ketahanan Pangan untuk melaksanakan pembaruan agraria nasional menjadi vital.
by A. Yakub
Baca Selanjutnya......
5.10.10
Hari Pangan Sedunia Ke-30
Sejarah peringatan Hari Pangan Sedunia bermula dari konferensi Food and Agriculture Oganization (FAO) ke-20, bulan Nopember tahun1976 di Roma yang memutuskan untuk dicetuskannya resolusi Nomor 179 mengenai World Food Day (Hari Pangan Sedunia). Resolusi disepakati oleh 147 negara anggota FAO,
menetapkan bahwa mulai tahun 1981 segenap negara anggota FAO setiap tanggal 16 Oktober memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS) yang bertepatan dengan hari berdirinya FAO. Tujuan dari peringatan HPS tersebut adalah untuk meningkatkan kesadaran dan perhatian masyarakat Internasional akan pentingnya penanganan masalah pangan baik ditingkat global, regional maupun nasional.
Hari Pangan Sedunia (HPS) atau World Food Day adalah satu momen di mana masyarakat dunia diajak untuk merefleksikan dan memperhatikan kembali kondisi pangan dunia. Di banyak tempat, khususnya di negara-negara sedang berkembang, ketersediaan pangan tidak mencukupi, sehingga masyarakatnya diancam dengan bahaya kelaparan.
Masyarakat dunia perlu disadarkan atas situasi ini sehingga diharapkan tumbuh kerjasama untuk memperbaiki kondisi tersebut, serta membantu mereka yang lapar, miskin dan yang tertindas. Untuk itulah, dalam rangka memperingati hari pangan sedunia ke-30 yang akan jatuh pada tanggal 16 Oktober 2010 di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, masyarakat internasional mengambil tema "United Againts Hunger".
Sedangkan di Indonesia sendiri, tema yang akan diusung adalah "Kemandirian Pangan Untuk Memerangi Kelaparan". Kepala Departemen Kajian Strategis Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia dan Anggota Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI, Ahmad Yakub, saat dihubungi Voice Of Indonesia di Jakarta mengatakan dalam Hari Pangan Sedunia ke-30 tahun ini, pihaknya akan melakukan kerjasama dengan Kementerian Pertanian dan Kehutanan RI untuk membantu masyarakat Indonesia agar tidak terlalu menggantungkan diri pada beras yang selama ini menjadi makanan pokok mereka.
“Secara nasional kita panitianya bekerjasama dengan Departemen Kehutananan dan Kementerian Pertanian. Tema internasionalnya adalah "United Againts Hunger", secara nasional kita turunkan sebagai hari pangan sedunia ke-30 ini di tahun 2010 yaitu "Kemandirian Pangan Untuk Memerangi Kelaparan". Kegiatannya adalah ada seminar yang melibatkan berbagai stickholder dan pamaeran dan bazar dan berbagai perlombaan. Jadi ditujukan dalam rangka mengkampenyekan difersifikasi pangan secara nasional bagaimana kita sebagai bangsa yang beraneka ragam kultur, geografis, budaya dan sosial ini, ingin menegaskan kembali pangan-pangan lokalnya agar tidak tergantung 100% (seratus persen) kepada hanya beras”,ungkapnya.
Semantara itu, mewakili seluruh petani Indonesia, Ahmad Yakub, meminta pemerintah agar tidak menyerahkan masalah ketahanan pangan hanya kepada pihak-pihak perusahaan swasta yang besar saja, karena akan berpotensi menimbulkan hal-hal yang negatif baik bagi lingkungan hidup maupun bagi usaha tani.
Yakub mencontohkan, beberapa tahun lalu, pemerintah Indonesia menyerahkan impor kedelai kepada pihak swasta besar sehingga petani tidak mampu menjual kedelainya kepada masyarakat karena dikuasai oleh pihak-pihak tertentu saja. Sementara dalam hal impor gandum, pemerintah masih mengimpor sepenuhnya dari luar negeri yang mencapai angka 4 (empat) juta ton per tahun karena petani Indonesia belum dapat memproduksinya sendiri.
“Secara khusus kita ingin transparan sebagai anggota Serikat Petani Indonesia, kita ingatkan kembali Kementerian Pertanian agar tidak terjebak pada sistem produksi pangan yang dikerahkan kepada swasta-swasta besar karena upaya misalnya Food Estate atau MIFE: Merauke Integrated Food and Energy Estate itu adalah membuka peluang sebesar-besarnya bagi investasi swasta besar untuk menguasai luasan lahan pertanian tersebut untuk memproduksi pangan, mendistribusikan dan ini bagi kita akan berpotensi negatif terutama bagi lingkungan hidup kedua bagi usaha tani yang akan terus kesulitan mengakses tanah dan dia akan menjadi buruh pertanian dan yang ketiga secara nasional akan sangat riskan sekali apabila pangan itu kita tergantung dengan perusahaan-perusahaan swasta karena seperti kejadian kedelai yang lampau beberapa tahun lalu itu hanya dikuasai oleh importir-importir tertentu. Demikian juga dengan pangan-pangan yang 100% (seratus persen) kita impor seperti gandum, itu 4 (empat) juta ton per tahun kita impor, nah ini kita mengupayakan harus ada penggantinya dalam kerangka produksi pangan”,ungkapnya .
Bagi bangsa Indonesia, ketahanan pangan merupakan komponen penting dari ketahanan nasional untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, layak, aman, dan terjangkau. Sebagaimana vitalnya pembangunan demokrasi sebagai pilar Negara Kesatuan Repiblik indonesia, keberhasilan mempertahankan serta memperkuat ketahanan pangan memerlukan peran dan kerja keras segenap elemen bangsa.
Yakub berharap, pada masa yang akan datang, ketahanan pangan Indonesia tidak lagi berada di bawah Taiwan, Thailand dan Vietnam sebagaimana yang masih terjadi sampai saat ini.Vsq-Ike(5/10)fks
sumber:
http://id.voi.co.id/fitur/voi-bunga-rampai/6255-hari-pangan-sedunia-ke-30.html Baca Selanjutnya......
menetapkan bahwa mulai tahun 1981 segenap negara anggota FAO setiap tanggal 16 Oktober memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS) yang bertepatan dengan hari berdirinya FAO. Tujuan dari peringatan HPS tersebut adalah untuk meningkatkan kesadaran dan perhatian masyarakat Internasional akan pentingnya penanganan masalah pangan baik ditingkat global, regional maupun nasional.
Hari Pangan Sedunia (HPS) atau World Food Day adalah satu momen di mana masyarakat dunia diajak untuk merefleksikan dan memperhatikan kembali kondisi pangan dunia. Di banyak tempat, khususnya di negara-negara sedang berkembang, ketersediaan pangan tidak mencukupi, sehingga masyarakatnya diancam dengan bahaya kelaparan.
Masyarakat dunia perlu disadarkan atas situasi ini sehingga diharapkan tumbuh kerjasama untuk memperbaiki kondisi tersebut, serta membantu mereka yang lapar, miskin dan yang tertindas. Untuk itulah, dalam rangka memperingati hari pangan sedunia ke-30 yang akan jatuh pada tanggal 16 Oktober 2010 di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, masyarakat internasional mengambil tema "United Againts Hunger".
Sedangkan di Indonesia sendiri, tema yang akan diusung adalah "Kemandirian Pangan Untuk Memerangi Kelaparan". Kepala Departemen Kajian Strategis Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia dan Anggota Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI, Ahmad Yakub, saat dihubungi Voice Of Indonesia di Jakarta mengatakan dalam Hari Pangan Sedunia ke-30 tahun ini, pihaknya akan melakukan kerjasama dengan Kementerian Pertanian dan Kehutanan RI untuk membantu masyarakat Indonesia agar tidak terlalu menggantungkan diri pada beras yang selama ini menjadi makanan pokok mereka.
“Secara nasional kita panitianya bekerjasama dengan Departemen Kehutananan dan Kementerian Pertanian. Tema internasionalnya adalah "United Againts Hunger", secara nasional kita turunkan sebagai hari pangan sedunia ke-30 ini di tahun 2010 yaitu "Kemandirian Pangan Untuk Memerangi Kelaparan". Kegiatannya adalah ada seminar yang melibatkan berbagai stickholder dan pamaeran dan bazar dan berbagai perlombaan. Jadi ditujukan dalam rangka mengkampenyekan difersifikasi pangan secara nasional bagaimana kita sebagai bangsa yang beraneka ragam kultur, geografis, budaya dan sosial ini, ingin menegaskan kembali pangan-pangan lokalnya agar tidak tergantung 100% (seratus persen) kepada hanya beras”,ungkapnya.
Semantara itu, mewakili seluruh petani Indonesia, Ahmad Yakub, meminta pemerintah agar tidak menyerahkan masalah ketahanan pangan hanya kepada pihak-pihak perusahaan swasta yang besar saja, karena akan berpotensi menimbulkan hal-hal yang negatif baik bagi lingkungan hidup maupun bagi usaha tani.
Yakub mencontohkan, beberapa tahun lalu, pemerintah Indonesia menyerahkan impor kedelai kepada pihak swasta besar sehingga petani tidak mampu menjual kedelainya kepada masyarakat karena dikuasai oleh pihak-pihak tertentu saja. Sementara dalam hal impor gandum, pemerintah masih mengimpor sepenuhnya dari luar negeri yang mencapai angka 4 (empat) juta ton per tahun karena petani Indonesia belum dapat memproduksinya sendiri.
“Secara khusus kita ingin transparan sebagai anggota Serikat Petani Indonesia, kita ingatkan kembali Kementerian Pertanian agar tidak terjebak pada sistem produksi pangan yang dikerahkan kepada swasta-swasta besar karena upaya misalnya Food Estate atau MIFE: Merauke Integrated Food and Energy Estate itu adalah membuka peluang sebesar-besarnya bagi investasi swasta besar untuk menguasai luasan lahan pertanian tersebut untuk memproduksi pangan, mendistribusikan dan ini bagi kita akan berpotensi negatif terutama bagi lingkungan hidup kedua bagi usaha tani yang akan terus kesulitan mengakses tanah dan dia akan menjadi buruh pertanian dan yang ketiga secara nasional akan sangat riskan sekali apabila pangan itu kita tergantung dengan perusahaan-perusahaan swasta karena seperti kejadian kedelai yang lampau beberapa tahun lalu itu hanya dikuasai oleh importir-importir tertentu. Demikian juga dengan pangan-pangan yang 100% (seratus persen) kita impor seperti gandum, itu 4 (empat) juta ton per tahun kita impor, nah ini kita mengupayakan harus ada penggantinya dalam kerangka produksi pangan”,ungkapnya .
Bagi bangsa Indonesia, ketahanan pangan merupakan komponen penting dari ketahanan nasional untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, layak, aman, dan terjangkau. Sebagaimana vitalnya pembangunan demokrasi sebagai pilar Negara Kesatuan Repiblik indonesia, keberhasilan mempertahankan serta memperkuat ketahanan pangan memerlukan peran dan kerja keras segenap elemen bangsa.
Yakub berharap, pada masa yang akan datang, ketahanan pangan Indonesia tidak lagi berada di bawah Taiwan, Thailand dan Vietnam sebagaimana yang masih terjadi sampai saat ini.Vsq-Ike(5/10)fks
sumber:
http://id.voi.co.id/fitur/voi-bunga-rampai/6255-hari-pangan-sedunia-ke-30.html Baca Selanjutnya......
28.9.10
Dalam Kepungan Peraturan Sektoral
Beban petani makin berat, ketika hari ini dunia dilanda oleh perubahan iklim yang membuat para petani di Indonesia sering mengalami gagal panen. Pada hari-hari ini misalnya, ribuan petani tembakau di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mesti mengalami hal itu karena tembakau mereka tenggelam oleh air hujan yang datang mendahului musimnya.
Menurut Sekjen Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, tidak ada jalan lain untuk mengubah nasib petani negeri ini, kecuali dengan menjalankan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. “Secara singkat, UUPA itu mengatur dua hal, yang di dalam perut Bumi jadilah hukum pertambangan, sedang yang di permukaan tanah jadi hukum pertanahan. Yang paling pokok, di sana ada redistribusi lahan konsekuensi kolonialisme sebelumnya dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tapi sekarang yang terjadi adalah tanah terakumulasi pada segelintir konglomerasi usaha, dan petani malahan nggak punya tanah,” paparnya.
Dari sana, lanjut Gunawan, seharusnya seluruh produk hukum turunan yakni hukum pertambangan, hukum pertanahan, hukum air, angkasa, kehutanan, dan seterusnya, harus mengacu pada UUPA. Namun, yang terjadi di awal Orde Baru, pada 1967 justru lahir tiga undang-undang yang sama sekali mengabaikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA 1960, yakni UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pokok Pertambangan. “Dan sejak itu, UUPA dipetieskan dengan dipersepsikan keliru sebagai seolah-olah produk orang-orang komunis,” kata Gunawan.
Selanjutnya, muncullah UU sektoral lainnya, seperti Undang- Undang Perkebunan, Sumber Daya Air, Pangan, Penanaman Modal, Minerba, Konservasi Sumber Daya Alam, Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, Sistem Budi Daya Tanaman, Perlindungan Varietas Tanaman, Perikanan, dan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “UU sektoral lahir oleh semangat komersialisasi. Itulah awal munculnya periode the jungle of regulation, yakni adanya ketidakpastian hukum, karena antar UU Sektoral bisa saling bertentangan atau bertentangan dengan Pancasila dan UUD serta UUPA,” jelas Gunawan. Contoh paling kasat mata dari itu, diterangkan Gunawan, adalah pertama, harusnya birokrasi pertanahan Indonesia dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Pada kenyataannya, BPN tidak memiliki wewenang terhadap tanah yang di atasnya berupa hutan. “Padahal hutan adalah wilayah paling besar di indonesia. Salah satu hambatan reformasi agraria adalah bahwa Kementerian Kehutanan tidak mau mengonversi hutan untuk rakyat. Dalam UUPA, hukum soal kehutanan tidak disebut hak atas tanah, di sana hanya disebut sebagai hak memungut hasil hutan,” katanya. Yang kedua, BPN sebenarnya memiliki wewenang menyelesaikan konflik, tapi ternyata dibatasi yakni di luar konfl ik antara perhutani dan masyarakat. Masalahnya, hak atas tanah pada setiap konflik, masyarakat menuntut BPN, tapi ternyata itu adalah hak Kementerian Kehutanan.
“Begitu juga UU Sumber Daya Air yang mengakibatkan wilayah publik bisa diprivatkan, yakni sumber air bisa berubah menjadi pabrik minuman mineral, jelas ini bertentangan dengan Pancasila dan Pasal 33 UUD,” jelas Gunawan. Titik Balik Harapan baru muncul pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mencanangkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) pada awal Januari 2007 dan ditegaskan lagi pada awal Januari 2010. “Dan BPN telah menerima Inpres No 1 Tahun 2010 yang salah satunya untuk menyusun RUU Pertanahan. Prinsip dasar yang ditegaskan oleh kepala BPN sehubungan dengan RUU Pertanahan adalah harus bisa menerjemahkan muatan substantif yang diusung oleh UUPA.
Dan itu sikap yang sangat baik. Ada titik balik di mana UUPA akan kita rujuk secara total,” papar Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BPN, Endriatmo Sutarto. RUU Pertanahan pun telah masuk dalam agenda Prolegnas 2010- 2011. Dengan RUU Pertanahan ini, Endriatmo mengatakan, akan terjadi harmonisasi antar UU Sektoral yang selama ini telah berlaku. Tapi, mungkinkah harmonisasi itu bisa terjadi karena begitu banyak kepentingan pemilik modal yang akan menjadi korban. Endriatmo mengatakan bahwa kemauan politik seperti ini harus diback up penuh oleh elemen-elemen bangsa, termasuk kampus-kampus dan organisasi masyarakat yang concern terhadap persoalan pertanahan dan pertanian di negeri ini.
“Apakah harmonisasi mungkin terjadi? Jawabannya harus. Harus menjadi komitmen, bukan hanya komitmen pemerintah, tapi komitmen semua komponen elemen agraria,” tandasnya. Presiden SBY juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Pasal 15 PP tersebut secara jelas menyebutkan bahwa peruntukan, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah telantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reformasi agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya.
“Tanah telantar jumlahnya sekitar 7,3 juta hektare. Sekarang masih dalam proses inventarisasi. Setelah peringatan ketiga, jika pemilik tanah tidak juga mendayagunakan, maka akan diambil alih. Jadi mungkin baru 2011 kita dapat fi nal list tanah telantar,” ungkap Endriatmo.
Namun, Serikat Petani Indonesia (SPI), dalam siaran resminya berjudul UUPA No 5 Tahun 1960 Harus Diperjuangkan, mengatakan bahwa implementasi tiga tahun agenda PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) tidak jelas dan disorientasi untuk kehidupan petani. Hal ini, kata siaran SPI, terbukti dengan konfl ik agraria yang makin marak sepanjang 2009 – 2010, tanah telantar 9,2 juta hektare yang akan dibagikan tidak jelas lokasinya, dan berbagai implementasi PPAN yang lebih mengutamakan pada pemodal. “Intinya, petani dan ormas tani harus mengontrol dengan ketat proses semua ini, tak ada makan siang gratis,” kata Kepala Divisi Kebijakan Nasional SPI, Achmad Ya’kub. YK/L-1sumber Koran Jakarta Baca Selanjutnya......
Menurut Sekjen Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, tidak ada jalan lain untuk mengubah nasib petani negeri ini, kecuali dengan menjalankan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. “Secara singkat, UUPA itu mengatur dua hal, yang di dalam perut Bumi jadilah hukum pertambangan, sedang yang di permukaan tanah jadi hukum pertanahan. Yang paling pokok, di sana ada redistribusi lahan konsekuensi kolonialisme sebelumnya dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tapi sekarang yang terjadi adalah tanah terakumulasi pada segelintir konglomerasi usaha, dan petani malahan nggak punya tanah,” paparnya.
Dari sana, lanjut Gunawan, seharusnya seluruh produk hukum turunan yakni hukum pertambangan, hukum pertanahan, hukum air, angkasa, kehutanan, dan seterusnya, harus mengacu pada UUPA. Namun, yang terjadi di awal Orde Baru, pada 1967 justru lahir tiga undang-undang yang sama sekali mengabaikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA 1960, yakni UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pokok Pertambangan. “Dan sejak itu, UUPA dipetieskan dengan dipersepsikan keliru sebagai seolah-olah produk orang-orang komunis,” kata Gunawan.
Selanjutnya, muncullah UU sektoral lainnya, seperti Undang- Undang Perkebunan, Sumber Daya Air, Pangan, Penanaman Modal, Minerba, Konservasi Sumber Daya Alam, Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, Sistem Budi Daya Tanaman, Perlindungan Varietas Tanaman, Perikanan, dan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “UU sektoral lahir oleh semangat komersialisasi. Itulah awal munculnya periode the jungle of regulation, yakni adanya ketidakpastian hukum, karena antar UU Sektoral bisa saling bertentangan atau bertentangan dengan Pancasila dan UUD serta UUPA,” jelas Gunawan. Contoh paling kasat mata dari itu, diterangkan Gunawan, adalah pertama, harusnya birokrasi pertanahan Indonesia dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Pada kenyataannya, BPN tidak memiliki wewenang terhadap tanah yang di atasnya berupa hutan. “Padahal hutan adalah wilayah paling besar di indonesia. Salah satu hambatan reformasi agraria adalah bahwa Kementerian Kehutanan tidak mau mengonversi hutan untuk rakyat. Dalam UUPA, hukum soal kehutanan tidak disebut hak atas tanah, di sana hanya disebut sebagai hak memungut hasil hutan,” katanya. Yang kedua, BPN sebenarnya memiliki wewenang menyelesaikan konflik, tapi ternyata dibatasi yakni di luar konfl ik antara perhutani dan masyarakat. Masalahnya, hak atas tanah pada setiap konflik, masyarakat menuntut BPN, tapi ternyata itu adalah hak Kementerian Kehutanan.
“Begitu juga UU Sumber Daya Air yang mengakibatkan wilayah publik bisa diprivatkan, yakni sumber air bisa berubah menjadi pabrik minuman mineral, jelas ini bertentangan dengan Pancasila dan Pasal 33 UUD,” jelas Gunawan. Titik Balik Harapan baru muncul pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mencanangkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) pada awal Januari 2007 dan ditegaskan lagi pada awal Januari 2010. “Dan BPN telah menerima Inpres No 1 Tahun 2010 yang salah satunya untuk menyusun RUU Pertanahan. Prinsip dasar yang ditegaskan oleh kepala BPN sehubungan dengan RUU Pertanahan adalah harus bisa menerjemahkan muatan substantif yang diusung oleh UUPA.
Dan itu sikap yang sangat baik. Ada titik balik di mana UUPA akan kita rujuk secara total,” papar Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BPN, Endriatmo Sutarto. RUU Pertanahan pun telah masuk dalam agenda Prolegnas 2010- 2011. Dengan RUU Pertanahan ini, Endriatmo mengatakan, akan terjadi harmonisasi antar UU Sektoral yang selama ini telah berlaku. Tapi, mungkinkah harmonisasi itu bisa terjadi karena begitu banyak kepentingan pemilik modal yang akan menjadi korban. Endriatmo mengatakan bahwa kemauan politik seperti ini harus diback up penuh oleh elemen-elemen bangsa, termasuk kampus-kampus dan organisasi masyarakat yang concern terhadap persoalan pertanahan dan pertanian di negeri ini.
“Apakah harmonisasi mungkin terjadi? Jawabannya harus. Harus menjadi komitmen, bukan hanya komitmen pemerintah, tapi komitmen semua komponen elemen agraria,” tandasnya. Presiden SBY juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Pasal 15 PP tersebut secara jelas menyebutkan bahwa peruntukan, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah telantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reformasi agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya.
“Tanah telantar jumlahnya sekitar 7,3 juta hektare. Sekarang masih dalam proses inventarisasi. Setelah peringatan ketiga, jika pemilik tanah tidak juga mendayagunakan, maka akan diambil alih. Jadi mungkin baru 2011 kita dapat fi nal list tanah telantar,” ungkap Endriatmo.
Namun, Serikat Petani Indonesia (SPI), dalam siaran resminya berjudul UUPA No 5 Tahun 1960 Harus Diperjuangkan, mengatakan bahwa implementasi tiga tahun agenda PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) tidak jelas dan disorientasi untuk kehidupan petani. Hal ini, kata siaran SPI, terbukti dengan konfl ik agraria yang makin marak sepanjang 2009 – 2010, tanah telantar 9,2 juta hektare yang akan dibagikan tidak jelas lokasinya, dan berbagai implementasi PPAN yang lebih mengutamakan pada pemodal. “Intinya, petani dan ormas tani harus mengontrol dengan ketat proses semua ini, tak ada makan siang gratis,” kata Kepala Divisi Kebijakan Nasional SPI, Achmad Ya’kub. YK/L-1sumber Koran Jakarta Baca Selanjutnya......
22.1.10
Kontrak Kerja Mentan Belum Untungkan Petani
Jakarta, RMOL. Meneropong 94 Hari Kinerja Departemen Pertanian
21 kontrak kerja Menteri Pertanian (Mentan) Suswono selama 94 hari ini dinilai belum menguntungkan petani.
Berdasarkan pendapat sejumlah pengamat pertanian dan anggota DPR bahwa Deptan belum terlihat hasil yang dicapai untuk mensejahterakan petani. Hanya empat keberhasilan yang sudah dicapai.
Pengamat pertanian, Ahmad Yakub mengatakan, dalam 94 hari ini memang sulit mengukur keberhasilan dan kekurangan Deptan. Sebab, itu sangat terlalu singkat.
‘’Saya kira kontrak kerja Mentan selama 94 hari ini belum menguntungkan petani,’’ ujarnya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Dia (Menteri Pertanian) baru merumuskan soal Inpres beras dan strategi pembangunan di masa depan. Kami baru saja diundang mengenai visi misi pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumber daya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan nilai tambah ekspor dan kesejahteraan petani,” ujarnya.
Menurutnya, visi misi yang dikemukakan Menteri Pertanian terlalu bias dengan korporatif pertanian.
“Lahan yang luas hanya disediakan untuk perusahaan besar. Dikhawatirkan petani di sekitar lahan tersebut tidak bisa menggarapnya. Bisa-bisa 25,4 juta keluarga petani hanya menjadi buruh saja,” tuturnya.
Sementara Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN), Donny Pradana mengatakan, Deptan belum memberikan perhatian besar terhadap petani. Ada kesan malah kebijakan pemerintah lebih menguntungkan pemilik modal.
“Perhatian pemerintah terhadap petani sangat kurang. Apalagi kebijakan Renstra tidak akan meningkatkan kesejahteraan petani. Yang diuntungkan kaum pemodal,’ ujarnya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, penyusunan cetak biru swasembada pangan yang dilakukan Deptan terkesan mementingkan pihak investor. Ini demi menciptakan ketahanan pangan.
“Departemen Pertanian menggulirkan kebijakan untuk mencukupi kebutuhan pangan dengan menggunakan sembilan investasi. Jadi yang diuntungkan adalah investor,” ungkapnya.
Dikatakan kebijakan food estate menunjukan kalau pemerintah lebih suka memberi peluang kepada investor ketimbang petani.
“ Saya berharap agar pemerintah memberi hak tanah kepada kaum tani,” ujarnya.
’’Ada Peningkatan Luas Garapan Lahan Petani’’
Suswono, Menteri Pertanian
Menteri Pertanian (Mentan) Suswono mengatakan, kinerja 100 hari memprioritaskan audit lahan pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani.
“Selama ini luas lahan baku pertanian selalu disebutkan 7 juta hektar. Apa itu benar. Padahal, menurut data alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, tiap tahun mencapai 100.000 hektar dan pencetakan sawah baru minim,” ujarnya.
Menurut politisi PKS itu, dengan mengetahui luas lahan baku yang sesungguhnya, akan memudahkan mengambil kebijakan yang tepat. “Kalau dananya memungkinkan, ini bagian dari langkah strategis yang akan saya lakukan,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Suswono, menambah lahan garapan petani. Sebab, selama ini rata-rata lahan garapan petani hanya 0,3 hektar. Menurutnya dengan luas lahan garapan sesempit itu, tidak mungkin petani bisa kaya.
“Harus ada peningkatan luas garapan lahan petani, caranya dengan melakukan reformasi agraria. Meski tidak berarti petani harus memiliki lahan tersebut, tetapi setidaknya ada peningkatan lahan garapan. Idealnya lahan garapan petani 2 hektar,” paparnya.
Sementara visi pertanian yang akan dicanangkan Suswono adalah Pertanian Industrial Unggul Berkelanjutan, yang Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Meningkatkan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Kesejahteraan Petani.
‘’Harus Diperbaiki’’
Siswono Yudo Husodo, Anggota Komisi IV DPR
Anggota Komisi V DPR, Siswono Yudo Husodo mengatakan, belum bisa diukur berhasil atau tidak selama 100 hari kinerja Menteri Pertanian Suswono.
“Dalam 100 hari hanya membuat visi dan planning. Jadi, belum bisa diukur,” katanya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, kalau dari sisi perencanaan Penyusunan Renstra Departemen Pertanian 2010-2014, Suswono cukup bagus. Namun, yang menjadi kendala adalah soal implementasi di lapangan.
Siswono mencontohkan pencanangan swasembada gula yang harusnya tercapai pada tahun 2009, tapi gara-gara tidak tercapai kemudian dicanangkan kembali pada 2010, begitupun dengan kedelai dan daging. “Ini yang harus diperbaiki. Jangan mengulangi seperti menteri sebelumnya,” katanya.
Ke depan, lanjutnya, Mentan hendaknya mengawasi setiap program yang sudah direncakan, sehingga implementasi bisa berjalan dengan baik. “Lakukan evaluasi setiap saat,” katanya.
‘’Pertanian Semakin Semrawut Tuh...’’
Agusdin Pulungan, Ketua Wahana Masyarakat Tani Indonesia
Nasib petani ke depan dikhawatirkan semakin tidak jelas. Sebab, selama 94 hari ini kinerja Departemen Pertanian tidak menunjukkan hasil nyata yang membela kepentingan petani.
Hal ini disampaikan Ketua Wahana Masyarakat Tani Indonesia, Agusdin Pulungan, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
“Tidak kelihatan ada hasilnya. Malah kinerja pemerintah di bidang pertanian semakin semrawut tuh. Tidak ada konstruksi yang jelas,” ujarnya.
Agusdin menunjuk kasus gula pasir sebagai contoh. Seharusnya pemerintah belajar mengatasi kekurangan pasokan gula. Tetapi itu tidak dilakukan.
‘’Makanya impor gula pasir tetap tak terhindarkan,” katanya.
Agusdin menyesalkan kebijakan food estate dalam membangun ketahanan pangan nasional. Kebijakan tersebut sama sekali tidak memihak petani di dalam negeri yang umumnya merupakan petani gurem.
“Namanya juga estate. Itu kan artinya besar. Pertanian pangan dilakukan oleh pengusaha besar secara besar-besaran dan tentu saja dengan modal besar. Petani kecil nantinya hanya sebagai buruh,” katanya.
Menurutnya, food estate merupakan pilihan salah kaprah. Sebab, pendekatan tersebut niscaya berdampak mematikan petani dan berpotensi menimbulkan konflik.
Padahal, untuk meningkatkan ketahanan pangan, seharusnya pemerintah memihak petani dengan memberikan jaminan kemudahan distribusi hasil panen dan subsidi sarana produksi.
‘’Yang Dilakukan Sudah Tepat’’
Ferry Juliantono, Ketua Dewan Tani Indonesia
Menteri Pertanian Suswono dalam 94 hari ini ini sudah melakukan langkah-langkah untuk memperbaiki pertanian. Misalnya, mendata tanah-tanah yang dapat dipergunakan untuk lahan-lahan pertanian, sehingga memperluas lahan pertanian sekitar 27 juta hektar.
Demikian disampaikan Ketua Dewan Tani Indonesia, Ferry Juliantono, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Selain itu, lanjutnya, Suswono juga sudah menyampaikan program pendataan ulang mengenai lahan database kelompok tani yang berguna untuk penyempurnaan program subsidi.
“Yang dilakukan sudah tepat, cuma hasil akhirnya belum diketahui karena bekerja masih relatif singkat. Dalam setahun nanti kita evaluasi secara menyeluruh,” ungkapnya.
Suswono, lanjutnya, memang mempunyai background pertenakan, sehingga identifikasi dalam sektor peternakan baru untuk daging sapi sudah dilaksanakan.
‘’Hasilnya Nggak Kelihatan Deh...’’
Rusman Ali, Pengamat Pertanian
Program Departemen Pertanian 2010-2014 dalam cetak biru swasembada pangan untuk kedelai, gula, dan daging sapi serta Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang food estate merupakan program yang bagus.
Demikian disampaikan pengamat pertanian, Rusman Ali, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, belum lama ini.
‘’Anehnya, hasilnya nggak kelihatan deh dalam 94 hari ini,’’ katanya.
Yang harus dilakukan, lanjutnya, Mentan hendaknya banyak turun ke lapangan merealisasikan program-program yang telah direncanakan. Kalau tidak rajin turun dijamin program-program tidak akan berhasil .
“Jangan hanya pintar di atas kertas saja dong, tapi implementasinya juga harus bisa,” katanya.
Menurutnya, pupuk yang berlimpah sering kali dimanfaatkan tidak baik. Akibatnya, pupuk menjadi langka. Kemudian, subsidi pupuk yang terlalu tinggi. “Ini yang memicu penyelundupan pupuk,” katanya. (RM)
sumber
http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/01/21/86781/Kontrak-Kerja-Mentan-Belum-Untungkan-Petani
Baca Selanjutnya......
21 kontrak kerja Menteri Pertanian (Mentan) Suswono selama 94 hari ini dinilai belum menguntungkan petani.
Berdasarkan pendapat sejumlah pengamat pertanian dan anggota DPR bahwa Deptan belum terlihat hasil yang dicapai untuk mensejahterakan petani. Hanya empat keberhasilan yang sudah dicapai.
Pengamat pertanian, Ahmad Yakub mengatakan, dalam 94 hari ini memang sulit mengukur keberhasilan dan kekurangan Deptan. Sebab, itu sangat terlalu singkat.
‘’Saya kira kontrak kerja Mentan selama 94 hari ini belum menguntungkan petani,’’ ujarnya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Dia (Menteri Pertanian) baru merumuskan soal Inpres beras dan strategi pembangunan di masa depan. Kami baru saja diundang mengenai visi misi pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumber daya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan nilai tambah ekspor dan kesejahteraan petani,” ujarnya.
Menurutnya, visi misi yang dikemukakan Menteri Pertanian terlalu bias dengan korporatif pertanian.
“Lahan yang luas hanya disediakan untuk perusahaan besar. Dikhawatirkan petani di sekitar lahan tersebut tidak bisa menggarapnya. Bisa-bisa 25,4 juta keluarga petani hanya menjadi buruh saja,” tuturnya.
Sementara Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN), Donny Pradana mengatakan, Deptan belum memberikan perhatian besar terhadap petani. Ada kesan malah kebijakan pemerintah lebih menguntungkan pemilik modal.
“Perhatian pemerintah terhadap petani sangat kurang. Apalagi kebijakan Renstra tidak akan meningkatkan kesejahteraan petani. Yang diuntungkan kaum pemodal,’ ujarnya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, penyusunan cetak biru swasembada pangan yang dilakukan Deptan terkesan mementingkan pihak investor. Ini demi menciptakan ketahanan pangan.
“Departemen Pertanian menggulirkan kebijakan untuk mencukupi kebutuhan pangan dengan menggunakan sembilan investasi. Jadi yang diuntungkan adalah investor,” ungkapnya.
Dikatakan kebijakan food estate menunjukan kalau pemerintah lebih suka memberi peluang kepada investor ketimbang petani.
“ Saya berharap agar pemerintah memberi hak tanah kepada kaum tani,” ujarnya.
’’Ada Peningkatan Luas Garapan Lahan Petani’’
Suswono, Menteri Pertanian
Menteri Pertanian (Mentan) Suswono mengatakan, kinerja 100 hari memprioritaskan audit lahan pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani.
“Selama ini luas lahan baku pertanian selalu disebutkan 7 juta hektar. Apa itu benar. Padahal, menurut data alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, tiap tahun mencapai 100.000 hektar dan pencetakan sawah baru minim,” ujarnya.
Menurut politisi PKS itu, dengan mengetahui luas lahan baku yang sesungguhnya, akan memudahkan mengambil kebijakan yang tepat. “Kalau dananya memungkinkan, ini bagian dari langkah strategis yang akan saya lakukan,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Suswono, menambah lahan garapan petani. Sebab, selama ini rata-rata lahan garapan petani hanya 0,3 hektar. Menurutnya dengan luas lahan garapan sesempit itu, tidak mungkin petani bisa kaya.
“Harus ada peningkatan luas garapan lahan petani, caranya dengan melakukan reformasi agraria. Meski tidak berarti petani harus memiliki lahan tersebut, tetapi setidaknya ada peningkatan lahan garapan. Idealnya lahan garapan petani 2 hektar,” paparnya.
Sementara visi pertanian yang akan dicanangkan Suswono adalah Pertanian Industrial Unggul Berkelanjutan, yang Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Meningkatkan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Kesejahteraan Petani.
‘’Harus Diperbaiki’’
Siswono Yudo Husodo, Anggota Komisi IV DPR
Anggota Komisi V DPR, Siswono Yudo Husodo mengatakan, belum bisa diukur berhasil atau tidak selama 100 hari kinerja Menteri Pertanian Suswono.
“Dalam 100 hari hanya membuat visi dan planning. Jadi, belum bisa diukur,” katanya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, kalau dari sisi perencanaan Penyusunan Renstra Departemen Pertanian 2010-2014, Suswono cukup bagus. Namun, yang menjadi kendala adalah soal implementasi di lapangan.
Siswono mencontohkan pencanangan swasembada gula yang harusnya tercapai pada tahun 2009, tapi gara-gara tidak tercapai kemudian dicanangkan kembali pada 2010, begitupun dengan kedelai dan daging. “Ini yang harus diperbaiki. Jangan mengulangi seperti menteri sebelumnya,” katanya.
Ke depan, lanjutnya, Mentan hendaknya mengawasi setiap program yang sudah direncakan, sehingga implementasi bisa berjalan dengan baik. “Lakukan evaluasi setiap saat,” katanya.
‘’Pertanian Semakin Semrawut Tuh...’’
Agusdin Pulungan, Ketua Wahana Masyarakat Tani Indonesia
Nasib petani ke depan dikhawatirkan semakin tidak jelas. Sebab, selama 94 hari ini kinerja Departemen Pertanian tidak menunjukkan hasil nyata yang membela kepentingan petani.
Hal ini disampaikan Ketua Wahana Masyarakat Tani Indonesia, Agusdin Pulungan, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
“Tidak kelihatan ada hasilnya. Malah kinerja pemerintah di bidang pertanian semakin semrawut tuh. Tidak ada konstruksi yang jelas,” ujarnya.
Agusdin menunjuk kasus gula pasir sebagai contoh. Seharusnya pemerintah belajar mengatasi kekurangan pasokan gula. Tetapi itu tidak dilakukan.
‘’Makanya impor gula pasir tetap tak terhindarkan,” katanya.
Agusdin menyesalkan kebijakan food estate dalam membangun ketahanan pangan nasional. Kebijakan tersebut sama sekali tidak memihak petani di dalam negeri yang umumnya merupakan petani gurem.
“Namanya juga estate. Itu kan artinya besar. Pertanian pangan dilakukan oleh pengusaha besar secara besar-besaran dan tentu saja dengan modal besar. Petani kecil nantinya hanya sebagai buruh,” katanya.
Menurutnya, food estate merupakan pilihan salah kaprah. Sebab, pendekatan tersebut niscaya berdampak mematikan petani dan berpotensi menimbulkan konflik.
Padahal, untuk meningkatkan ketahanan pangan, seharusnya pemerintah memihak petani dengan memberikan jaminan kemudahan distribusi hasil panen dan subsidi sarana produksi.
‘’Yang Dilakukan Sudah Tepat’’
Ferry Juliantono, Ketua Dewan Tani Indonesia
Menteri Pertanian Suswono dalam 94 hari ini ini sudah melakukan langkah-langkah untuk memperbaiki pertanian. Misalnya, mendata tanah-tanah yang dapat dipergunakan untuk lahan-lahan pertanian, sehingga memperluas lahan pertanian sekitar 27 juta hektar.
Demikian disampaikan Ketua Dewan Tani Indonesia, Ferry Juliantono, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Selain itu, lanjutnya, Suswono juga sudah menyampaikan program pendataan ulang mengenai lahan database kelompok tani yang berguna untuk penyempurnaan program subsidi.
“Yang dilakukan sudah tepat, cuma hasil akhirnya belum diketahui karena bekerja masih relatif singkat. Dalam setahun nanti kita evaluasi secara menyeluruh,” ungkapnya.
Suswono, lanjutnya, memang mempunyai background pertenakan, sehingga identifikasi dalam sektor peternakan baru untuk daging sapi sudah dilaksanakan.
‘’Hasilnya Nggak Kelihatan Deh...’’
Rusman Ali, Pengamat Pertanian
Program Departemen Pertanian 2010-2014 dalam cetak biru swasembada pangan untuk kedelai, gula, dan daging sapi serta Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang food estate merupakan program yang bagus.
Demikian disampaikan pengamat pertanian, Rusman Ali, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, belum lama ini.
‘’Anehnya, hasilnya nggak kelihatan deh dalam 94 hari ini,’’ katanya.
Yang harus dilakukan, lanjutnya, Mentan hendaknya banyak turun ke lapangan merealisasikan program-program yang telah direncanakan. Kalau tidak rajin turun dijamin program-program tidak akan berhasil .
“Jangan hanya pintar di atas kertas saja dong, tapi implementasinya juga harus bisa,” katanya.
Menurutnya, pupuk yang berlimpah sering kali dimanfaatkan tidak baik. Akibatnya, pupuk menjadi langka. Kemudian, subsidi pupuk yang terlalu tinggi. “Ini yang memicu penyelundupan pupuk,” katanya. (RM)
sumber
http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/01/21/86781/Kontrak-Kerja-Mentan-Belum-Untungkan-Petani
Baca Selanjutnya......
17.1.09
Pembaruan agraria sekedar janji Presiden
Sejak tahun 2006 petani dan rakyat miskin di Indonesia dijanjikan suatu program landreform melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang sudah disebut-sebut SBY-JK dalam kampanye pemilihan presiden tahun 2004. Bahkan dalam pidato awal tahunnya, pada tanggal 31 Januari 2007, Presiden mengumumkan jumlah lahan-lahan pertanian yang akan didistribusikan seluas 9,25 juta hektar.
Pada bulan Mei 2007 pemerintah mengeluarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang PPAN. Dari draft tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum PPAN hanya berbicara masalah pembagian tanah saja, dan bukan pelaksanaan pembaruan agraria secara hakiki. RPP tersebut juga menunjukkan tidak jelasnya proses penyediaan tanah yang disebutkan akan berasal dari tanah bekas HGU, bekas kawasan pertambangan dan kawasan hutan. Peta lokasi objek tanah yang akan dibagikan dan waktu pelaksanaan PPAN tidak dijelaskan secara gamblang.
Seiring dengan plin-plannya PPAN, konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian terus semakin menggila. Tercatat konversi lahan sawah sedikitnya 10 ribu hektar per tahun. Kepemilikan lahan oleh petani semakin gurem, yakni tinggal 0.3 hektar di Pulau Jawa dan 1.19 hektar di luar Jawa .(1) Bahkan akibat konversi lahan ini, di Kalimantan Timur semakin banyak petani tanpa tanah. Setidaknya 5.000 ha lahan pertanian menjadi lahan pertambangan batu bara yang tersebar di 12 kabupaten. (2) Belum lagi konflik agraria yang terus terjadi. Setidaknya enam orang petani tewas akibat konflik sepanjang tahun 2008.
Dalam keadaan seperti itu PPAN malah menjelma menjadi sekadar program sertipikasi lahan-lahan pertanian (3). Lagi-lagi pembaruan agraria direduksi menjadi persoalan administrasi pertanahan belaka. Seperti halnya Program Layanan Rakyat untuk Sertipikasi Lahan (Larasita)(4).
Menurut catatan penulis kemauan politik ini sejak awal sudah terasa janggal dan kini mulai terbuka tanda-tanda kebohongannya. Karena sejatinya pembaruan agraria ditujukan untuk mengurangi bahkan meniadakan ketidakadilan struktur agraria. Namun dengan percepatan sertipikasi justru di khawatirkan akan memperkuat struktur ketidakadilan itu dan mempercepat mekanisme penciptaan pasar tanah. Kondisi ini sesuai dengan keinginan Bank Dunia yang mengusung landreform berdasarkan konsep pasar tanah (land market). Dalam konsep Bank Dunia, siapa yang mampu membeli tanah dia yang mendapatkannya.
Tujuan dari landreform yang sesungguhnya untuk menumbuhkan keadilan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah masih jauh dari harapan. Padahal konstitusi kita mengamanatkan bahwa penerima redistribusi tanah dalam landreform adalah petani miskin, penggarap, buruh tani dan subyek lainnya sesuai Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria atau lebih dikenal dengan UUPA 1960. Bukan untuk kepetingan investor seperti yang diinginkan Bank Dunia dan diakomodasi oleh pemerintah SBY-JK.
Jadi sesuatu yang mengherankan bila pada bulan Maret 2007 pemerintah mengesahkan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang isinya adalah meluaskan kekuasaan modal pada penguasaan dan kepemilikan agraria. Undang-undang ini sangat kental dan sarat dengan ideologi pasar, serta dengan gampangnya menggantungkan nasib bangsa di tangan investor. Undang-undang ini juga berpotensi menambah konflik agraria terutama dengan tanah petani di pedesaan, kawasan hutan dan tanah ulayat.
Lebih lanjut, substansi di dalam undang-undang ini akhirnya digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh organisasi petani yakni Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama gerakan rakyat lainnya yang tergabung dalam GERAK LAWAN. Akhirnya judicial review tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi pada bulan Maret 2008. Intinya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 20 (tentang Hak Guna Usaha yang dapat diperpanjang sekaligus dimuka menjadi 95 tahun) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Jadi apa yang disampaikan oleh kepala BPN dan Presiden SBY Dalam pidatonya pada peluncuran Larasita 16 Desember 2008 lalu, mengenai prioritas kerja BPN kedepan (yakni pembaruan Agraria, Penyelesaian Konflik Agraria, Penyelesaian persoalan tanah terlantar distribusinya kepada rakyat dan percepatan sertifikasi pertanahan) merupakan janji yang diulangi lagi. Terlalu berat rasanya pembaruan agraria secara sungguh-sungguh menjadi program utama yang akan terlaksana mengingat kekuasaan pemerintah akan segera berakhir dalam hitungan bulan saja.
Dapat disimpulkan selama kurun waktu 2008, janji pemerintahan SBY-JK yang terus diulang-ulang mengenai pembaruan agraria tidak akan berubah pada tahun 2009 ini. Indikasinya adalah pertama, jalan yang ditempuh untuk realisasi pembaruan agraria adalah salah arah, yakni sebatas administrasi pertanahan. Berupa sertipikasi, yang barang tentu tidak akan mengubah ketimpangan struktur agraria/tanah. Kedua, RPP tentang refroma agraria sebagai jalan legal yang menterjemahkan UUPA 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria hingga detik ini tidak diterbitkan. Ketiga, meningkatnya petani korban yang tergusur dan yang dikriminalisasi dalam konflik agraria. Di sisi lain penyelesaian konflik agraria mandeg. Keempat, terkait subyek dan objek penerima manfaat pembaruan agraria yang tidak jelas.
Dengan demikian penulis berpendapat bahwa konflik agraria akan terus terjadi selama pembaruan agraria yang berpihak kepada rakyat tidak dilaksanakan. Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Indonesia setidaknya ada 2.810 konflik agraria. Sementara itu, sepanjang awal tahun 2007 sampai akhir tahun 2008 tercatat 139 konflik, yang menyebabkan 14 orang tewas, 55.524 KK tergusur, dan 478 orang ditangkap, dipenjara dan dikriminalisasikan. Konflik agraria akan terus terjadi karena ketimpangan agraria hanya diselesaikan dengan sertipikasi lahan bukan penyelesaian struktural. Seharusnya dilakukan penghentian dan pencegahan perluasan kepemilikan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber agraria yang melampaui batas dan segera dilaksanakan landreform. untuk itu penulis apabila pembaruan agraria seperti yang dimandatkan UUPA 1960 tidak dijalankan maka Indonesia akan terus dibayangi oleh kelaparan, konflik agraria, rusaknya infrastruktur pedesaan, impor pangan, urbanisasi tak terkendali.
(tulisan ini menjadi bahan dokumen SPI awal 2009)
endnotes:
(1)Akhir 2007, kepemilikan lahan oleh petani pun makin gurem, yakni tinggal 0.3 hektar di Pulau Jawa dan 1.19 hektar di luar Pulau Jawa. Dari sebelumnya di tahun 2003-2006 “masih” 0,58 ha di pulau jawa dan 1,19 ha diluar pulau jawa (BPS dan Suara Pembaruan diolah)
(2)Dilaporkan bahwa dalam 5 tahun terakhir ini konversi lahan yang terbesar adalah di wilayah kabupaten /kota Kutai kartanegara dan Kota Samarinda sisanya tersebar di 12 kabupaten di Kaltim.
(3)Seperti yang diberitakan oleh SPI Sumatra Utara bahwa Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Sumatra Utara tak jauh beda Prona jaman Orde Baru yaitu program sertipikat tanah seperti di wilayah Kecamatan Silangkitang Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Deli Serdang, Binjai, Tapanuli, Mandailing Natal dan Pematang Siantar
(4)Program ini merupakan tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional (BPN) diluncurkan pada 16 Desember 2008 di Prambanan Jawa Tengah yang dihadiri oleh Presiden.
Baca Selanjutnya......
Pada bulan Mei 2007 pemerintah mengeluarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang PPAN. Dari draft tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum PPAN hanya berbicara masalah pembagian tanah saja, dan bukan pelaksanaan pembaruan agraria secara hakiki. RPP tersebut juga menunjukkan tidak jelasnya proses penyediaan tanah yang disebutkan akan berasal dari tanah bekas HGU, bekas kawasan pertambangan dan kawasan hutan. Peta lokasi objek tanah yang akan dibagikan dan waktu pelaksanaan PPAN tidak dijelaskan secara gamblang.
Seiring dengan plin-plannya PPAN, konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian terus semakin menggila. Tercatat konversi lahan sawah sedikitnya 10 ribu hektar per tahun. Kepemilikan lahan oleh petani semakin gurem, yakni tinggal 0.3 hektar di Pulau Jawa dan 1.19 hektar di luar Jawa .(1) Bahkan akibat konversi lahan ini, di Kalimantan Timur semakin banyak petani tanpa tanah. Setidaknya 5.000 ha lahan pertanian menjadi lahan pertambangan batu bara yang tersebar di 12 kabupaten. (2) Belum lagi konflik agraria yang terus terjadi. Setidaknya enam orang petani tewas akibat konflik sepanjang tahun 2008.
Dalam keadaan seperti itu PPAN malah menjelma menjadi sekadar program sertipikasi lahan-lahan pertanian (3). Lagi-lagi pembaruan agraria direduksi menjadi persoalan administrasi pertanahan belaka. Seperti halnya Program Layanan Rakyat untuk Sertipikasi Lahan (Larasita)(4).
Menurut catatan penulis kemauan politik ini sejak awal sudah terasa janggal dan kini mulai terbuka tanda-tanda kebohongannya. Karena sejatinya pembaruan agraria ditujukan untuk mengurangi bahkan meniadakan ketidakadilan struktur agraria. Namun dengan percepatan sertipikasi justru di khawatirkan akan memperkuat struktur ketidakadilan itu dan mempercepat mekanisme penciptaan pasar tanah. Kondisi ini sesuai dengan keinginan Bank Dunia yang mengusung landreform berdasarkan konsep pasar tanah (land market). Dalam konsep Bank Dunia, siapa yang mampu membeli tanah dia yang mendapatkannya.
Tujuan dari landreform yang sesungguhnya untuk menumbuhkan keadilan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah masih jauh dari harapan. Padahal konstitusi kita mengamanatkan bahwa penerima redistribusi tanah dalam landreform adalah petani miskin, penggarap, buruh tani dan subyek lainnya sesuai Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria atau lebih dikenal dengan UUPA 1960. Bukan untuk kepetingan investor seperti yang diinginkan Bank Dunia dan diakomodasi oleh pemerintah SBY-JK.
Jadi sesuatu yang mengherankan bila pada bulan Maret 2007 pemerintah mengesahkan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang isinya adalah meluaskan kekuasaan modal pada penguasaan dan kepemilikan agraria. Undang-undang ini sangat kental dan sarat dengan ideologi pasar, serta dengan gampangnya menggantungkan nasib bangsa di tangan investor. Undang-undang ini juga berpotensi menambah konflik agraria terutama dengan tanah petani di pedesaan, kawasan hutan dan tanah ulayat.
Lebih lanjut, substansi di dalam undang-undang ini akhirnya digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh organisasi petani yakni Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama gerakan rakyat lainnya yang tergabung dalam GERAK LAWAN. Akhirnya judicial review tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi pada bulan Maret 2008. Intinya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 20 (tentang Hak Guna Usaha yang dapat diperpanjang sekaligus dimuka menjadi 95 tahun) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Jadi apa yang disampaikan oleh kepala BPN dan Presiden SBY Dalam pidatonya pada peluncuran Larasita 16 Desember 2008 lalu, mengenai prioritas kerja BPN kedepan (yakni pembaruan Agraria, Penyelesaian Konflik Agraria, Penyelesaian persoalan tanah terlantar distribusinya kepada rakyat dan percepatan sertifikasi pertanahan) merupakan janji yang diulangi lagi. Terlalu berat rasanya pembaruan agraria secara sungguh-sungguh menjadi program utama yang akan terlaksana mengingat kekuasaan pemerintah akan segera berakhir dalam hitungan bulan saja.
Dapat disimpulkan selama kurun waktu 2008, janji pemerintahan SBY-JK yang terus diulang-ulang mengenai pembaruan agraria tidak akan berubah pada tahun 2009 ini. Indikasinya adalah pertama, jalan yang ditempuh untuk realisasi pembaruan agraria adalah salah arah, yakni sebatas administrasi pertanahan. Berupa sertipikasi, yang barang tentu tidak akan mengubah ketimpangan struktur agraria/tanah. Kedua, RPP tentang refroma agraria sebagai jalan legal yang menterjemahkan UUPA 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria hingga detik ini tidak diterbitkan. Ketiga, meningkatnya petani korban yang tergusur dan yang dikriminalisasi dalam konflik agraria. Di sisi lain penyelesaian konflik agraria mandeg. Keempat, terkait subyek dan objek penerima manfaat pembaruan agraria yang tidak jelas.
Dengan demikian penulis berpendapat bahwa konflik agraria akan terus terjadi selama pembaruan agraria yang berpihak kepada rakyat tidak dilaksanakan. Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Indonesia setidaknya ada 2.810 konflik agraria. Sementara itu, sepanjang awal tahun 2007 sampai akhir tahun 2008 tercatat 139 konflik, yang menyebabkan 14 orang tewas, 55.524 KK tergusur, dan 478 orang ditangkap, dipenjara dan dikriminalisasikan. Konflik agraria akan terus terjadi karena ketimpangan agraria hanya diselesaikan dengan sertipikasi lahan bukan penyelesaian struktural. Seharusnya dilakukan penghentian dan pencegahan perluasan kepemilikan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber agraria yang melampaui batas dan segera dilaksanakan landreform. untuk itu penulis apabila pembaruan agraria seperti yang dimandatkan UUPA 1960 tidak dijalankan maka Indonesia akan terus dibayangi oleh kelaparan, konflik agraria, rusaknya infrastruktur pedesaan, impor pangan, urbanisasi tak terkendali.
(tulisan ini menjadi bahan dokumen SPI awal 2009)
endnotes:
(1)Akhir 2007, kepemilikan lahan oleh petani pun makin gurem, yakni tinggal 0.3 hektar di Pulau Jawa dan 1.19 hektar di luar Pulau Jawa. Dari sebelumnya di tahun 2003-2006 “masih” 0,58 ha di pulau jawa dan 1,19 ha diluar pulau jawa (BPS dan Suara Pembaruan diolah)
(2)Dilaporkan bahwa dalam 5 tahun terakhir ini konversi lahan yang terbesar adalah di wilayah kabupaten /kota Kutai kartanegara dan Kota Samarinda sisanya tersebar di 12 kabupaten di Kaltim.
(3)Seperti yang diberitakan oleh SPI Sumatra Utara bahwa Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Sumatra Utara tak jauh beda Prona jaman Orde Baru yaitu program sertipikat tanah seperti di wilayah Kecamatan Silangkitang Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Deli Serdang, Binjai, Tapanuli, Mandailing Natal dan Pematang Siantar
(4)Program ini merupakan tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional (BPN) diluncurkan pada 16 Desember 2008 di Prambanan Jawa Tengah yang dihadiri oleh Presiden.
Baca Selanjutnya......
10.6.08
Daging sapi, awas PMK
Dalam kebijakan peternakan, pemerintah Indonesia melakukan suatu kebijakan yang tidak mendukung tercapainya keberlangsungan produksi dan kehidupan para petani peternak Sapi, dan produsen susu. Hal itu terlihat dari kekurangan produksi dalam negeri hingga 35 persen atau 135,1 ribu ton dari kebutuhan nasional 385 ribu ton (yang setara sekitar 2 juta ekor sapi) di atasi dengan cara mengimpor sapi. Artinya kebijakan pemerintah justru mirip dengan kedelai, yaitu mempermudah impor. Sejak sapi asal Brasil ditolak masuk ke wilayah Eropa, maka mereka mencari pangsa pasar baru. Tentu dengan tawaran harga yang lebih murah, bila semula ditawarkan harga FOB Rp. 47.000/kg kini menjadi Rp. 37.000/kg, sementara harga daging sapi di Indonesia mencapai Rp. 50.000- Rp. 60.000/kg. Hingga kini rata-rata impor sapi bakalan mencapai 600.000 ekor tiap tahunnya
Dengan mengimpor daging sapi dari Brasil seakan menguntungkan karena dengan harga murah. Namun dibalik itu semua ada beberapa ancaman, pertama soal kesehatan manusia dan hewan ternak di Indonesia yang terancam Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) . Kedua, ketergantungan impor daging akan terus lestari. Ketiga, daya jual peternak sapi akan terncam dengan daging impor murah ini.
Terkait dengan susu, sekali lagi melemparkan peternak susu ke pasar adalah jalan yang ditempuh. Saat ini dengan bea masuk lima persen harga susu peternak kalah bersaing dengan impor. Saat ini harga susu internasional merambat turun dari US$ 4.800/metric ton menjadi US$ 2.350/metric ton. Artinya setara dengan Rp. 3.500-an/liter, sedang peternak domestik menjual ke koperasi susu Rp. 3.000 – Rp. 3.500/liter. Namun ke indiustri pengolahan susu (IPS) mencapai Rp. 3.200 – Rp. 3.700/liter. Susu impor mengancam keberadaan dan pendapatan peternak susu. Seharusnya pemerintah menaikan BM susu bukan sebaliknya dinolkan.(tulisan ini menjadi bahan dokumen SPI awal 2009) Baca Selanjutnya......
Dengan mengimpor daging sapi dari Brasil seakan menguntungkan karena dengan harga murah. Namun dibalik itu semua ada beberapa ancaman, pertama soal kesehatan manusia dan hewan ternak di Indonesia yang terancam Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) . Kedua, ketergantungan impor daging akan terus lestari. Ketiga, daya jual peternak sapi akan terncam dengan daging impor murah ini.
Terkait dengan susu, sekali lagi melemparkan peternak susu ke pasar adalah jalan yang ditempuh. Saat ini dengan bea masuk lima persen harga susu peternak kalah bersaing dengan impor. Saat ini harga susu internasional merambat turun dari US$ 4.800/metric ton menjadi US$ 2.350/metric ton. Artinya setara dengan Rp. 3.500-an/liter, sedang peternak domestik menjual ke koperasi susu Rp. 3.000 – Rp. 3.500/liter. Namun ke indiustri pengolahan susu (IPS) mencapai Rp. 3.200 – Rp. 3.700/liter. Susu impor mengancam keberadaan dan pendapatan peternak susu. Seharusnya pemerintah menaikan BM susu bukan sebaliknya dinolkan.(tulisan ini menjadi bahan dokumen SPI awal 2009) Baca Selanjutnya......
15.5.08
Peran BULOG
Badan Urusan Logistik (BULOG) telah berulang kali mengalami perombakan dalam sistem kerja. Perubahan-perubahan terus berlanjut dianggap sebagai langkah untuk menemukan bentuk yang paling tepat untuk menjamin ketersediaan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia, disamping menjamin tercapainya keseimbangan harga antara produsen atau petani padi, dengan konsumen.
Awal bulan September 2007 SK Menteri Koordinator Perekonomian pemerintah memberikan kuasa penuh, tidak perlu lagi menunggu persetujuan pemerintah, bagi BULOG untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengamankan persediaan beras dalam negeri. Kewenangan baru yang diberikan kepada BULOG meliputi monopoli impor, stabilisasi harga regional tanpa perlu menunggu perintah, membeli beras di luar harga pembelian pemerintah (HPP), dan menjaga persediaan minimum beras nasional.
Di satu sisi langkah ini bisa dilihat sebagai langkah upaya baru, dimana kewenangan monopoli impor beras dikembalikan kepada BULOG sebagai lembaga negara. Hal ini penting agar sistem perdagangan, khususnya dalam konteks ekspor impor bahan pangan pokok tidak dikendalikan oleh pihak swasta dan menjadi lahan bagi spekulan. Secara keseluruhan keputusan yang baru ini nampaknya dikeluarkan dalam usaha mengembalikan Public Service Obligation (PSO) dari BULOG.
Hemat penulis, peran PSO BULOG akan sulit tercapai karena sampai saat ini PP RI No.7/2003 yang mengatur perubahan BULOG dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) belum dicabut. Bulog juga terikat aturan pasar karena perannya tidak hanya sebagai public service obligation (PSO) lagi, melainkan sudah mencari profit. Adalah rasional jika dalam keadaan demikian Bulog lebih berorientasi impor dalam keadaan kekurangan stok dan kenaikan harga. Misalnya Ketika harga jual petani lebih tinggi dari harga beras impor BULOG tentu akan memilih untuk membeli beras impor, ditambah dengan kebebasannya saat ini untuk tidak perlu berkonsultasi dengan pemerintah terlebih dahulu untuk mengimpor beras. Pengalaman selama ini membeli dengan harga HPP saja -yang bagi para petani seringkali tidak dapat menutupi biaya produksi- BULOG kerap enggan dan memilih untuk membeli beras impor yang lebih murah. Dan sebaliknya.
Tidak bisa ditampik bahwa peran Bank Dunia, IMF dan WTO juga berpengaruh langsung terhadap kebijakan beras di Indonesia—terutama menyangkut masalah rantai perdagangan. IMF menghapus peran PSO Bulog melalui LoI 1998, sehingga monopoli Bulog dalam pengaturan stok dan harga beras dikebiri.
Praktek-praktek liberalisasi, deregulasi dan privatisasi seperti anjuran IMF, Bank Dunia dan WTO telah merusak pasar nasional dan melemahkan BULOG. Harusnya BULOG bisa lebih aktif menjalankan fungsi Public Service Obligation bukan menjadi lembaga pencari laba. Artinya BULOG harus menjadi lembaga penyangga pangan yang memiliki kewenangan dan fungsi pelayanan publik.
Baca Selanjutnya......
Awal bulan September 2007 SK Menteri Koordinator Perekonomian pemerintah memberikan kuasa penuh, tidak perlu lagi menunggu persetujuan pemerintah, bagi BULOG untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengamankan persediaan beras dalam negeri. Kewenangan baru yang diberikan kepada BULOG meliputi monopoli impor, stabilisasi harga regional tanpa perlu menunggu perintah, membeli beras di luar harga pembelian pemerintah (HPP), dan menjaga persediaan minimum beras nasional.
Di satu sisi langkah ini bisa dilihat sebagai langkah upaya baru, dimana kewenangan monopoli impor beras dikembalikan kepada BULOG sebagai lembaga negara. Hal ini penting agar sistem perdagangan, khususnya dalam konteks ekspor impor bahan pangan pokok tidak dikendalikan oleh pihak swasta dan menjadi lahan bagi spekulan. Secara keseluruhan keputusan yang baru ini nampaknya dikeluarkan dalam usaha mengembalikan Public Service Obligation (PSO) dari BULOG.
Hemat penulis, peran PSO BULOG akan sulit tercapai karena sampai saat ini PP RI No.7/2003 yang mengatur perubahan BULOG dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) belum dicabut. Bulog juga terikat aturan pasar karena perannya tidak hanya sebagai public service obligation (PSO) lagi, melainkan sudah mencari profit. Adalah rasional jika dalam keadaan demikian Bulog lebih berorientasi impor dalam keadaan kekurangan stok dan kenaikan harga. Misalnya Ketika harga jual petani lebih tinggi dari harga beras impor BULOG tentu akan memilih untuk membeli beras impor, ditambah dengan kebebasannya saat ini untuk tidak perlu berkonsultasi dengan pemerintah terlebih dahulu untuk mengimpor beras. Pengalaman selama ini membeli dengan harga HPP saja -yang bagi para petani seringkali tidak dapat menutupi biaya produksi- BULOG kerap enggan dan memilih untuk membeli beras impor yang lebih murah. Dan sebaliknya.
Tidak bisa ditampik bahwa peran Bank Dunia, IMF dan WTO juga berpengaruh langsung terhadap kebijakan beras di Indonesia—terutama menyangkut masalah rantai perdagangan. IMF menghapus peran PSO Bulog melalui LoI 1998, sehingga monopoli Bulog dalam pengaturan stok dan harga beras dikebiri.
Praktek-praktek liberalisasi, deregulasi dan privatisasi seperti anjuran IMF, Bank Dunia dan WTO telah merusak pasar nasional dan melemahkan BULOG. Harusnya BULOG bisa lebih aktif menjalankan fungsi Public Service Obligation bukan menjadi lembaga pencari laba. Artinya BULOG harus menjadi lembaga penyangga pangan yang memiliki kewenangan dan fungsi pelayanan publik.
Baca Selanjutnya......
15.4.08
Krisis HARGA Pangan
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) telah mengeluarkan peringatan mengenai krisis pangan dunia pada akhir Desember 2007. Krisis pangan yang berupa peningkatan harga dunia membawa ancaman kepada negara dunia ketiga yang tidak memiliki kekuatan ekonomi seperti negara-negara maju. Laporan FAO tersebut terbukti, diawal 2008 harga pangan di sebagian besar negara dunia ketiga mengalami kenaikan yang sangat tinggi, termasuk di Indonesia.
Padahal di saat yang bersamaan produksi pangan dunia mengalami peningkatan. Produksi gandum dunia yang harganya naik pada awal 2008 ini ternyata mengalami peningkatan yang lebih besar lagi yaitu hingga 9,34 juta ton antara tahun 2006 dan 2007. Sementara produksi gula dunia juga meningkat sebesar 4,44 juta ton sepanjang tahun 2007 lalu. Suatu angka yang cukup mencengangkan ditunjukkan dalam produksi jagung dunia pada tahun 2007/2008 lalu yang mencapai rekor produksi 792,3 juta ton atau meningkat 80,1 juta ton dari tahun 2006/2007. Hanya kedelai yang mengalami penurunan produksi sebesar 17 persen, itu pun karena ada penuyusutan lahan di Amerika Serikat sebesar 15 persen untuk proyek biofuel.
Di Indonesia menghadapi situasi kenaikan harga bahan-bahan pangan secara pesat. Pada pertengahan 2007 rakyat Indonesia dipusingkan dengan melonjaknya harga minyak goreng yang kini telah mencapai Rp 15.000 per kg atau naik 43 persen dibandingkan harga periode yang sama tahun sebelumnya. Harga kedelai meningkat lebih dari 100 persen pada awal tahun 2008 hingga kisaran Rp. 7.800 sampai 8000 per kg yang merupakan harga tertinggi sejak 24 tahun terakhir. Menyusul kenaikan harga bahan pangan lainnya seperti beras, jagung, gula, susu hingga daging.
Hal ini tentu sangat berat dampaknya terhadap kehidupan rakyat Indonesia, khususnya masyarakat miskin. Karena memang pada kenyataanya persentase pengeluaran terbesar rumah tangga miskin adalah untuk pangan, yaitu sekitar 50 hingga 70 persen dari total pengeluaran rumah tangga.
Seperti yang dialami rumah tangga petani kecil, umumnya kenaikan harga bahan pangan ini tidak memberikan keuntungan yang signifikan. Karena disaat yang sama berbagai kebutuhan pokok naik. misalnya yang dialami oleh para petani kelapa sawit anggota SPI di Jambi. Ketika harga CPO sudah melambung tinggi menembus angka US$ 1100 per ton (sekitar Rp 9.900.000 per ton) harga TBS sawit di tingkat petani sawit di Jambi misalnya masih sekitar Rp1200 per kg atau Rp 1.200.000 per ton. Sementara harga minyak goreng terus meningkat hingga mencapai Rp 15.000 per kg, sehingga para petani sawit ini juga terbebani untuk memenuhi berbagai bahan kebutuhan pokok di tingkat rumah tangga. Demekian juga yang dialami petani tanaman pangan.
Kemudian apa yang dilakukan pemerintah? Pemerintah pada bulan April 2008 mengeluarkan Inpres I/2008 mengenai HPP untuk GKP,GKG dan Beras. walau demikian tetap tidak cukup bagi petani untuk meningkatkan pendapatannya. Ditambah lagi kebijakan HPP 2008 itu hangus oleh kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008. Dan juga beberapa komponen pangan impor seperti gandum dan kedelai Bmnya diturunkan. Yang tentu akibatnya adalah persaingan antara petani Indonesia dengan pasar internasional yang tidak imbang.
Artinya dapat dikatakan bahwa krisis harga pangan dan kenaikan harga minyak saat itu (tahun 2008) Internasional direspon oleh pemerintah dengan berbagai kebijakan yang pro-pasar yakni liberalisasi, deregulasi dan memperkuat privatisasi pangan.Mustahil tercipta kedaulatan pangan kalau suatu bangsa dan rakyatnya tidak memiliki kedaulatan atas proses produksi dan konsumsi pangannya. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan bagi setiap bangsa dan rakyat untuk dapat mempunyai hak dalam menentukan makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal dan perdagangan di tingkat wilayah.
Dengan demikian petani dibiarkan berjuang sendirian tanpa ada perlindungan yang memadai dari negara. Petani terus berproduksi walaupun menerima harga yang tidak sesuai dari produksinya, yang tentu telah mensubsidi seluruh masyarakat dengan harga relatif terjangkau. Petani telah menyelamatkan Indonesia dari krisis harga pangan.
Baca Selanjutnya......
Padahal di saat yang bersamaan produksi pangan dunia mengalami peningkatan. Produksi gandum dunia yang harganya naik pada awal 2008 ini ternyata mengalami peningkatan yang lebih besar lagi yaitu hingga 9,34 juta ton antara tahun 2006 dan 2007. Sementara produksi gula dunia juga meningkat sebesar 4,44 juta ton sepanjang tahun 2007 lalu. Suatu angka yang cukup mencengangkan ditunjukkan dalam produksi jagung dunia pada tahun 2007/2008 lalu yang mencapai rekor produksi 792,3 juta ton atau meningkat 80,1 juta ton dari tahun 2006/2007. Hanya kedelai yang mengalami penurunan produksi sebesar 17 persen, itu pun karena ada penuyusutan lahan di Amerika Serikat sebesar 15 persen untuk proyek biofuel.
Di Indonesia menghadapi situasi kenaikan harga bahan-bahan pangan secara pesat. Pada pertengahan 2007 rakyat Indonesia dipusingkan dengan melonjaknya harga minyak goreng yang kini telah mencapai Rp 15.000 per kg atau naik 43 persen dibandingkan harga periode yang sama tahun sebelumnya. Harga kedelai meningkat lebih dari 100 persen pada awal tahun 2008 hingga kisaran Rp. 7.800 sampai 8000 per kg yang merupakan harga tertinggi sejak 24 tahun terakhir. Menyusul kenaikan harga bahan pangan lainnya seperti beras, jagung, gula, susu hingga daging.
Hal ini tentu sangat berat dampaknya terhadap kehidupan rakyat Indonesia, khususnya masyarakat miskin. Karena memang pada kenyataanya persentase pengeluaran terbesar rumah tangga miskin adalah untuk pangan, yaitu sekitar 50 hingga 70 persen dari total pengeluaran rumah tangga.
Seperti yang dialami rumah tangga petani kecil, umumnya kenaikan harga bahan pangan ini tidak memberikan keuntungan yang signifikan. Karena disaat yang sama berbagai kebutuhan pokok naik. misalnya yang dialami oleh para petani kelapa sawit anggota SPI di Jambi. Ketika harga CPO sudah melambung tinggi menembus angka US$ 1100 per ton (sekitar Rp 9.900.000 per ton) harga TBS sawit di tingkat petani sawit di Jambi misalnya masih sekitar Rp1200 per kg atau Rp 1.200.000 per ton. Sementara harga minyak goreng terus meningkat hingga mencapai Rp 15.000 per kg, sehingga para petani sawit ini juga terbebani untuk memenuhi berbagai bahan kebutuhan pokok di tingkat rumah tangga. Demekian juga yang dialami petani tanaman pangan.
Kemudian apa yang dilakukan pemerintah? Pemerintah pada bulan April 2008 mengeluarkan Inpres I/2008 mengenai HPP untuk GKP,GKG dan Beras. walau demikian tetap tidak cukup bagi petani untuk meningkatkan pendapatannya. Ditambah lagi kebijakan HPP 2008 itu hangus oleh kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008. Dan juga beberapa komponen pangan impor seperti gandum dan kedelai Bmnya diturunkan. Yang tentu akibatnya adalah persaingan antara petani Indonesia dengan pasar internasional yang tidak imbang.
Artinya dapat dikatakan bahwa krisis harga pangan dan kenaikan harga minyak saat itu (tahun 2008) Internasional direspon oleh pemerintah dengan berbagai kebijakan yang pro-pasar yakni liberalisasi, deregulasi dan memperkuat privatisasi pangan.Mustahil tercipta kedaulatan pangan kalau suatu bangsa dan rakyatnya tidak memiliki kedaulatan atas proses produksi dan konsumsi pangannya. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan bagi setiap bangsa dan rakyat untuk dapat mempunyai hak dalam menentukan makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal dan perdagangan di tingkat wilayah.
Dengan demikian petani dibiarkan berjuang sendirian tanpa ada perlindungan yang memadai dari negara. Petani terus berproduksi walaupun menerima harga yang tidak sesuai dari produksinya, yang tentu telah mensubsidi seluruh masyarakat dengan harga relatif terjangkau. Petani telah menyelamatkan Indonesia dari krisis harga pangan.
Baca Selanjutnya......
13.2.08
Proyek UU pertanahan ditengah janji manis PPAN
Desakan besar untuk pelaksanaan pembaruan agraria sebenarnya telah ditanggapi secara langsung oleh Presiden yang dinyatakan dalam pidato awal tahun 2007 silam dengan janji Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Hal ini kemudian dikuatkan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) sebagai wakil dari pemerintah menjanjikan untuk memastikan kemurnian UUPA 1960. Bagi ormas tani program itu artinya menjalankan UUPA 1960 (Undang-undang Pokok Agraria) dan menjadikan UUPA 1960 sebagai satu-satunya payung hukum agraria nasional.
Namun sejak “ditemukannya” dokumen technical assistance ADB (Asian Development Bank) yang mengatur teknis penyusunan RUU pertanahan oleh BPN, semua janji tertulis itu sepertinya akan jauh panggang dari api. Karena ketika ditelusuri, ternyata penyusunan RUU pertanahan ini menjadi bagian dari proyek penyusunan kerangka hukum dan kerangka administrative pertanahan dalam kerangka kerja yang terkait dengan proyek LMPDP (Land Management and Policy Development Project) yang diprakarsai oleh Bank dunia sejak tahun 2005 lalu. Untuk proyek penyusunan RUU pertanahan ini, BPN selaku implementator berhasil mengajukan proposal kepada ADB yang membuahkan komitmen ADB berupa pembiayaan proyek sebesar 500.000 US$ dari total biaya proyek sebesar 625.000 US$.
Proyek penyusunan RUU pertanahan akan dimulai pada Februari 2008 hingga Januari 2010 mendatang, ADB telah menyetujui proyek ini pada tanggal 20 Desember 2007. Hal ini menunjukkan bahwa ditengah janjinya menegakkan UUPA sebagai kerangka legal pelaksanaan Pembaruan Agraria, pemerintah secara terang-terangan membuka kesempatan bagi agenda liberalisasi sumber agraria melalui pembuatan RUU pertanahan ini.
Tiga alasan yang membuat proyek ini patut diwaspadai. Pertama, keterkaitan proyek penyusunan RUU pertanahan dengan kerangka kerja proyek LMPDP yang secara nyata telah bermaksud untuk mendorong terjadinya pasar tanah. Proyek ini salah satunya bertujuan untuk peningkatan keamanan penguasaan tanah dan peningkatan efesiensi, transparansi, dan perbaikan pemberian layanan dalam pendaftaran dan pemberian sertifikat tanah. Seperti yang tercantum dalam dokumen proyek, sertifikasi tanah ini memberikan basis yang signifikan dalam menyiapkan pasar tanah yang efisien dan untuk meningkatkan jaminan atas investasi asing serta menjadikan tanah sebagai aset yang bisa menjadi agunan dan bisa diperjual belikan dengan mudah. Tanah sekedar jadi komoditi.
Kedua, keterkaitan proyek penyusunan RUU pertanahan dengan Pepres 36/2005 yang diamandemen dengan Pepres 65/2006 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum (pencabutan hak atas tanah) yang saat ini masih kontroversial dan dinilai memarginalkan masyarakat miskin yang terkena penggusuran. Ketiga, disejajarkannya RUU pertanahan dengan undang-undang sektoral yang diklaim sebagai turunan UUPA namun nyata-nyata justru bertentangan secara ideologis dengan UUPA 1960.
Ketiga alasan itulah yang justru membuat kita mempertanyakan kembali komitmen pemerintah untuk melaksanakan Pembaruan Agraria. Janji pemerintah untuk redistribusi tanah seluas 9,25 juta hektar melalui PPAN (program Pembaruan Agraria Nasional) tak kunjung diimplementasikan. Tahun 2007 bahkan PPAN telah mengalami 2 kali penundaan. Hal tersebut nyata-nyata telah menunjukkan komitmen yang kurang dari pemerintah dalam menepati janjinya.
Pasar tanah
Tidak kunjung diimplementasikannya reforma agraria bukanlah tanpa alasan. Hingga saat ini masih terjadi konflik kepentingan didalam tubuh pemerintahan sendiri. Faktanya, setelah keluar undang-undang sektoral yang memfasilitasi penguasaan aset secara sektoral oleh para pemodal. Kini kepentingan pemodal besar hendak melegalkan sepak terjangnya terhadap penguasaan bumi Indonesia melalui penyusunan RUU pertanahan ini. Terkait dengan implementasi reforma agraria, penyusunan RUU pertanahan sama sekali tidak relevan. Hal tersebut bisa dilihat dari latar belakangnya pembuatan RUU pertanahan yakni karena adanya kesulitan dalam proses pengadaan tanah dan pemukiman kembali penduduk yang tanah yang terkena proyek pembangunan infrastruktur.
Ketidak relevanan lainnya juga terdapat pada sertifikasi tanah sebagai salah satu output dari RUU pertanahan yang justru ideologinya berbeda dengan apa yang dimaksudkan dengan pendaftaran tanah seperti yang tercantum dalam UUPA. Jika dalam UUPA pendaftaran tanah dilakukan untuk memudahkan redistribusi lahan, maka dalam RUU pertanahan ini perdaftaran tanah dilakukan untuk menghasilkan sertifikat tanah yang hanya akan memudahkan pemodal dalam menguasai tanah rakyat kecil—petani--melalui pasar tanah. Ini terjadi karena kebijakan sektoral lainnya seperti UU No. 7/2004 tentang sumber daya air dan UU 18/2004 tentang perkebunan telah menjadi alat legal bagi investor untuk menguasai sumber alam.
Terdapat beberapa contoh yang memperlihatkan bahwa pasar tanah bukan solusi yang bisa dipakai untuk mencapai kesejahteraan rakyat kecil dan petani. Pada tahun 1994 Afrika Selatan menerapkan pasar tanah melalui sertifikasi lahan. Namun, persoalan ketersediaan tanah yang mau dijual menjadi masalah utama, kalaupun ada yang mau menjual tanah tersebut terbatas pada tanah yang tidak subur dan tidak strategis, dan tuan tanah menginginkan harga yang cukup tinggi untuk pembayarannya. Hal ini menyebabkan petani miskin tetap tidak mengakses tanah, kalaupun ada yang mampu menguasai tanah, tersebut adalah tanah yang tidak subur dan diperlukan harga yang tinggi untuk membelinya.
Hal serupa terjadi di Srilanka yang pada 2002 memberikan sertifikat lahan seluas 2 juta hektar tanah kepada 1.2 juta petani--dikenal dengan istilah Jayaboomi. Pemerian sertifikat ini disertai dengan kebijakan yang tidak pro pada petani yang akhirnya membuat petani semakin mudah untuk menggadaikan dan menjual tanah pertaniannya.
Dua contoh tersebut menunjukkan bahwa ketika masuk mekanisme pasar, maka pemilik modal akan berkuasa. Secara otomatis, upaya penantaan atas ketimpangan struktur ekonomi dan sosial yang menjadi cita-cita reforma agraria tidak akan tercapai. Hanya dengan redistribusi tanah dan sumber-sumber agraria kepada rakyatlah maka ketimpangan dan polarisasi kesejahteraan akan tercapai. Untuk mencapai hal tersebut menurut Gunawan Wiradi (ahli Agraria) diperlukan beberapa prasyarat yaitu, (1) Kemauan politik (political will) yang kuat dari pemerintah; (2) Organisasi rakyat, khususnya organisasi tani yang kuat; (3) Tersedianya data mengenai keagrariaan yang lengkap dan teliti; (4) Dukungan dari pihak militer; (5) Elite penguasa harus terpisah dari elite bisnis; dan (6) Aparat birokrasi yang bersih,jujur,dan mengerti. Oleh karenanya, selama pemerintah masih belum berpihak kepada rakyat dan selama elit penguasa masih tercampur dengan elit bisnis maka reforma agraria tidak akan bisa terwujudkan. Selama itu pula petani tetap menjadi gurem (penguasaan tanah yang sempit 0,3 ha) dan Indonesia akan terus menjadi juara importir produk pangan internasional.=##+
Jakarta, 11 Februari 2008
Achmad Ya’kub dan Susan Lusiana, ayakub@spi.or.id
Baca Selanjutnya......
Namun sejak “ditemukannya” dokumen technical assistance ADB (Asian Development Bank) yang mengatur teknis penyusunan RUU pertanahan oleh BPN, semua janji tertulis itu sepertinya akan jauh panggang dari api. Karena ketika ditelusuri, ternyata penyusunan RUU pertanahan ini menjadi bagian dari proyek penyusunan kerangka hukum dan kerangka administrative pertanahan dalam kerangka kerja yang terkait dengan proyek LMPDP (Land Management and Policy Development Project) yang diprakarsai oleh Bank dunia sejak tahun 2005 lalu. Untuk proyek penyusunan RUU pertanahan ini, BPN selaku implementator berhasil mengajukan proposal kepada ADB yang membuahkan komitmen ADB berupa pembiayaan proyek sebesar 500.000 US$ dari total biaya proyek sebesar 625.000 US$.
Proyek penyusunan RUU pertanahan akan dimulai pada Februari 2008 hingga Januari 2010 mendatang, ADB telah menyetujui proyek ini pada tanggal 20 Desember 2007. Hal ini menunjukkan bahwa ditengah janjinya menegakkan UUPA sebagai kerangka legal pelaksanaan Pembaruan Agraria, pemerintah secara terang-terangan membuka kesempatan bagi agenda liberalisasi sumber agraria melalui pembuatan RUU pertanahan ini.
Tiga alasan yang membuat proyek ini patut diwaspadai. Pertama, keterkaitan proyek penyusunan RUU pertanahan dengan kerangka kerja proyek LMPDP yang secara nyata telah bermaksud untuk mendorong terjadinya pasar tanah. Proyek ini salah satunya bertujuan untuk peningkatan keamanan penguasaan tanah dan peningkatan efesiensi, transparansi, dan perbaikan pemberian layanan dalam pendaftaran dan pemberian sertifikat tanah. Seperti yang tercantum dalam dokumen proyek, sertifikasi tanah ini memberikan basis yang signifikan dalam menyiapkan pasar tanah yang efisien dan untuk meningkatkan jaminan atas investasi asing serta menjadikan tanah sebagai aset yang bisa menjadi agunan dan bisa diperjual belikan dengan mudah. Tanah sekedar jadi komoditi.
Kedua, keterkaitan proyek penyusunan RUU pertanahan dengan Pepres 36/2005 yang diamandemen dengan Pepres 65/2006 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum (pencabutan hak atas tanah) yang saat ini masih kontroversial dan dinilai memarginalkan masyarakat miskin yang terkena penggusuran. Ketiga, disejajarkannya RUU pertanahan dengan undang-undang sektoral yang diklaim sebagai turunan UUPA namun nyata-nyata justru bertentangan secara ideologis dengan UUPA 1960.
Ketiga alasan itulah yang justru membuat kita mempertanyakan kembali komitmen pemerintah untuk melaksanakan Pembaruan Agraria. Janji pemerintah untuk redistribusi tanah seluas 9,25 juta hektar melalui PPAN (program Pembaruan Agraria Nasional) tak kunjung diimplementasikan. Tahun 2007 bahkan PPAN telah mengalami 2 kali penundaan. Hal tersebut nyata-nyata telah menunjukkan komitmen yang kurang dari pemerintah dalam menepati janjinya.
Pasar tanah
Tidak kunjung diimplementasikannya reforma agraria bukanlah tanpa alasan. Hingga saat ini masih terjadi konflik kepentingan didalam tubuh pemerintahan sendiri. Faktanya, setelah keluar undang-undang sektoral yang memfasilitasi penguasaan aset secara sektoral oleh para pemodal. Kini kepentingan pemodal besar hendak melegalkan sepak terjangnya terhadap penguasaan bumi Indonesia melalui penyusunan RUU pertanahan ini. Terkait dengan implementasi reforma agraria, penyusunan RUU pertanahan sama sekali tidak relevan. Hal tersebut bisa dilihat dari latar belakangnya pembuatan RUU pertanahan yakni karena adanya kesulitan dalam proses pengadaan tanah dan pemukiman kembali penduduk yang tanah yang terkena proyek pembangunan infrastruktur.
Ketidak relevanan lainnya juga terdapat pada sertifikasi tanah sebagai salah satu output dari RUU pertanahan yang justru ideologinya berbeda dengan apa yang dimaksudkan dengan pendaftaran tanah seperti yang tercantum dalam UUPA. Jika dalam UUPA pendaftaran tanah dilakukan untuk memudahkan redistribusi lahan, maka dalam RUU pertanahan ini perdaftaran tanah dilakukan untuk menghasilkan sertifikat tanah yang hanya akan memudahkan pemodal dalam menguasai tanah rakyat kecil—petani--melalui pasar tanah. Ini terjadi karena kebijakan sektoral lainnya seperti UU No. 7/2004 tentang sumber daya air dan UU 18/2004 tentang perkebunan telah menjadi alat legal bagi investor untuk menguasai sumber alam.
Terdapat beberapa contoh yang memperlihatkan bahwa pasar tanah bukan solusi yang bisa dipakai untuk mencapai kesejahteraan rakyat kecil dan petani. Pada tahun 1994 Afrika Selatan menerapkan pasar tanah melalui sertifikasi lahan. Namun, persoalan ketersediaan tanah yang mau dijual menjadi masalah utama, kalaupun ada yang mau menjual tanah tersebut terbatas pada tanah yang tidak subur dan tidak strategis, dan tuan tanah menginginkan harga yang cukup tinggi untuk pembayarannya. Hal ini menyebabkan petani miskin tetap tidak mengakses tanah, kalaupun ada yang mampu menguasai tanah, tersebut adalah tanah yang tidak subur dan diperlukan harga yang tinggi untuk membelinya.
Hal serupa terjadi di Srilanka yang pada 2002 memberikan sertifikat lahan seluas 2 juta hektar tanah kepada 1.2 juta petani--dikenal dengan istilah Jayaboomi. Pemerian sertifikat ini disertai dengan kebijakan yang tidak pro pada petani yang akhirnya membuat petani semakin mudah untuk menggadaikan dan menjual tanah pertaniannya.
Dua contoh tersebut menunjukkan bahwa ketika masuk mekanisme pasar, maka pemilik modal akan berkuasa. Secara otomatis, upaya penantaan atas ketimpangan struktur ekonomi dan sosial yang menjadi cita-cita reforma agraria tidak akan tercapai. Hanya dengan redistribusi tanah dan sumber-sumber agraria kepada rakyatlah maka ketimpangan dan polarisasi kesejahteraan akan tercapai. Untuk mencapai hal tersebut menurut Gunawan Wiradi (ahli Agraria) diperlukan beberapa prasyarat yaitu, (1) Kemauan politik (political will) yang kuat dari pemerintah; (2) Organisasi rakyat, khususnya organisasi tani yang kuat; (3) Tersedianya data mengenai keagrariaan yang lengkap dan teliti; (4) Dukungan dari pihak militer; (5) Elite penguasa harus terpisah dari elite bisnis; dan (6) Aparat birokrasi yang bersih,jujur,dan mengerti. Oleh karenanya, selama pemerintah masih belum berpihak kepada rakyat dan selama elit penguasa masih tercampur dengan elit bisnis maka reforma agraria tidak akan bisa terwujudkan. Selama itu pula petani tetap menjadi gurem (penguasaan tanah yang sempit 0,3 ha) dan Indonesia akan terus menjadi juara importir produk pangan internasional.=##+
Jakarta, 11 Februari 2008
Achmad Ya’kub dan Susan Lusiana, ayakub@spi.or.id
Baca Selanjutnya......
5.1.08
Kedelai, terperangkap impor
Awal tahun 2008 ditandainya dengan krisis harga pangan yang terjadi di dunia termasuk di Indonesia. Seperti kenaikan harga kedelai yang mencapai 100 persen lebih, yang dimulai sejak pertengahan tahun 2007 yang terus merangkak naik sampai pada awal tahun 2008. Yakni kurang lebih dari Rp. 3.450/kg menjadi Rp. 7.500/kg. Krisis ini disebabkan berbagai faktor mulai dari isu bahan bakar nabati, liberalisasi perdagangan yang dimotori oleh WTO, dan merebaknya spekulasi.
Respons pemerintah adalah dengan menurunkan bea masuk impor kedelai dari 10 persen menjadi nol persen. kemudian pada sisi produksi, menargetkan pencapaian produksi sebanyak 750 ribu ton dengan asumsi lahan yang ditanami 600 ribu ha yang disertai dengan kebijakan subsidi benih kedelai sebanyak 5.500 ton.
Hal tersebut sebenarnya tidak menyentuh persoalan utama dari anjloknya produksi kedelai di Indonesia, yaitu diantaranya gagal panen, menciutnya lahan tanaman pangan, dan bencana alam, keengganan petani menanam kedelai. Namun yang paling vital adalah dikarenakan kebijakan yang keliru. Mengapa petani enggan? Inilah beberapa hal yang perlu dicatat, bahwa pada tahun 1990-an harga kedelai pernah mencapai Rp. 8.000/kg sehingga petani bergairah mengembangkan komoditas tersebut yang menyebabkan produksi nasional mencapai 1,6 juta ton.
Namun sejak Indonesia masuk dalam kerangka liberalisasi dan setelah masuknya kedelai impor yang harganya lebih rendah dari kedelai lokal maka produksi dalam negeri terpinggirkan yang akhirnya petani enggan menanam karena harganya kalah bersaing. Murahnya harga kedelai impor tersebut, khususnya dari AS, karena mendapatkan subsidi ekspor dari pemerintah setempat seperti GSM 102 dan 103 serta PL 480 .(1)
Tahun 2005 harga kedelai impor Rp 2.800, sedangkan harga kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, tahun 2006 harga kedelai impor Rp2.600 sedangkan kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, dan pada 2007 harga kedelai impor Rp3.200 sedangkan kedelai lokal Rp3.400 per kilogram.
Akibat persaingan yang tidak sehat itulah kemudian tiap tahunnya impor semakin banyak dan produksi nasional serta luasan lahan panen kedelai semakin menciut.(2) Indonesia tergantung impor kedelai tiap tahunnya sekitar 65 persen dari kebutuhan nasional. Belum lagi persoalan “kartel” dan spekulasi perdagangan kedelai impor.(3)
Kemudian juga ada konsep “Soybean Estate” yang merupakan suatu kawasan perkebunan kedelai yang direncanakan mencapai 400 ribu ha. Hingga saat ini tidak ada laporan resmi pemerintah atas program ini. Lagipula menurut SPI dengan konsep ini pemerintah masih dalam kerangka mode produksi yang padat modal, monokultur dan masif yang tentu diserahkan kepada sektor private. Padahal keberhasilan pemenuhan pangan selama ini ada karena ditompang oleh keluarga petani yang padat karya dan ramah lingkungan.(tulisan ini menjadi bahan dokumen SPI awal 2009)
end notes:
(1)The Export Credit Guarantee Program (GSM-102) covers credit terms up to three years Dengan subsidi tersebut, maka importir dari negara lain yang mendatangkan kedelai dari AS mendapat kemudahan berupa pembayaran bisa dilakukan setelah tiga tahun selain itu tanpa bunga selama enam bulan.dan the Public Law 480 (P.L. 480) merupaka skema perdagangan pangan yang dibungkus bantuan. Sehingga meungkinkan USDA memberikan subsidi eksport tanpa takut dikatakan dumping.
(2) menurut catatan BPS tahun 2006 produksi kedelai nasional mencapai 747.611 ton, pada tahun 2007 turun menjadi 608.263 ton. Di sisi lain, peningkatan impor kedelai naik 6,7 persen setiap tahunnya. Namun nyatanya sejak tahun 2006-2007 kenaikan impor mencapai 26% lebih , yaitu dari 1,2 juta ton menjadi 1,7 juta ton kedelai yang dilakukan oleh perusahaan. Target 600 ribu ha, dengan efektifitas produksi yang 1,3 ton/ha sama saja melestarikan impor kedelai. Lain halnya bila ada perluasan areal tanam 2,02 juta ha, meningkatkan produktivitas menjadi 2 ton/ha pada 2009, dan insentif kebijakan memperbaiki harga jual kedelai lokal
(3)Laporan dari liputan6 SCTV 25 Januari 2008: Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya menggerebek gudang milik PT Cargill Indonesia di Jalan Dupak Rukuk Surabaya, Jawa Timur, Jumat (25/1). Diduga sebanyak 13 ribu ton kedelai yang ada di gudang merupakan bagian dari penimbunan. Dari data yang ada, PT Cargil Indonesia telah mengimpor kedelai dari Amerika Serikat sebanyak 22 ribu ton
Baca Selanjutnya......
Respons pemerintah adalah dengan menurunkan bea masuk impor kedelai dari 10 persen menjadi nol persen. kemudian pada sisi produksi, menargetkan pencapaian produksi sebanyak 750 ribu ton dengan asumsi lahan yang ditanami 600 ribu ha yang disertai dengan kebijakan subsidi benih kedelai sebanyak 5.500 ton.
Hal tersebut sebenarnya tidak menyentuh persoalan utama dari anjloknya produksi kedelai di Indonesia, yaitu diantaranya gagal panen, menciutnya lahan tanaman pangan, dan bencana alam, keengganan petani menanam kedelai. Namun yang paling vital adalah dikarenakan kebijakan yang keliru. Mengapa petani enggan? Inilah beberapa hal yang perlu dicatat, bahwa pada tahun 1990-an harga kedelai pernah mencapai Rp. 8.000/kg sehingga petani bergairah mengembangkan komoditas tersebut yang menyebabkan produksi nasional mencapai 1,6 juta ton.
Namun sejak Indonesia masuk dalam kerangka liberalisasi dan setelah masuknya kedelai impor yang harganya lebih rendah dari kedelai lokal maka produksi dalam negeri terpinggirkan yang akhirnya petani enggan menanam karena harganya kalah bersaing. Murahnya harga kedelai impor tersebut, khususnya dari AS, karena mendapatkan subsidi ekspor dari pemerintah setempat seperti GSM 102 dan 103 serta PL 480 .(1)
Tahun 2005 harga kedelai impor Rp 2.800, sedangkan harga kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, tahun 2006 harga kedelai impor Rp2.600 sedangkan kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, dan pada 2007 harga kedelai impor Rp3.200 sedangkan kedelai lokal Rp3.400 per kilogram.
Akibat persaingan yang tidak sehat itulah kemudian tiap tahunnya impor semakin banyak dan produksi nasional serta luasan lahan panen kedelai semakin menciut.(2) Indonesia tergantung impor kedelai tiap tahunnya sekitar 65 persen dari kebutuhan nasional. Belum lagi persoalan “kartel” dan spekulasi perdagangan kedelai impor.(3)
Kemudian juga ada konsep “Soybean Estate” yang merupakan suatu kawasan perkebunan kedelai yang direncanakan mencapai 400 ribu ha. Hingga saat ini tidak ada laporan resmi pemerintah atas program ini. Lagipula menurut SPI dengan konsep ini pemerintah masih dalam kerangka mode produksi yang padat modal, monokultur dan masif yang tentu diserahkan kepada sektor private. Padahal keberhasilan pemenuhan pangan selama ini ada karena ditompang oleh keluarga petani yang padat karya dan ramah lingkungan.(tulisan ini menjadi bahan dokumen SPI awal 2009)
end notes:
(1)The Export Credit Guarantee Program (GSM-102) covers credit terms up to three years Dengan subsidi tersebut, maka importir dari negara lain yang mendatangkan kedelai dari AS mendapat kemudahan berupa pembayaran bisa dilakukan setelah tiga tahun selain itu tanpa bunga selama enam bulan.dan the Public Law 480 (P.L. 480) merupaka skema perdagangan pangan yang dibungkus bantuan. Sehingga meungkinkan USDA memberikan subsidi eksport tanpa takut dikatakan dumping.
(2) menurut catatan BPS tahun 2006 produksi kedelai nasional mencapai 747.611 ton, pada tahun 2007 turun menjadi 608.263 ton. Di sisi lain, peningkatan impor kedelai naik 6,7 persen setiap tahunnya. Namun nyatanya sejak tahun 2006-2007 kenaikan impor mencapai 26% lebih , yaitu dari 1,2 juta ton menjadi 1,7 juta ton kedelai yang dilakukan oleh perusahaan. Target 600 ribu ha, dengan efektifitas produksi yang 1,3 ton/ha sama saja melestarikan impor kedelai. Lain halnya bila ada perluasan areal tanam 2,02 juta ha, meningkatkan produktivitas menjadi 2 ton/ha pada 2009, dan insentif kebijakan memperbaiki harga jual kedelai lokal
(3)Laporan dari liputan6 SCTV 25 Januari 2008: Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya menggerebek gudang milik PT Cargill Indonesia di Jalan Dupak Rukuk Surabaya, Jawa Timur, Jumat (25/1). Diduga sebanyak 13 ribu ton kedelai yang ada di gudang merupakan bagian dari penimbunan. Dari data yang ada, PT Cargil Indonesia telah mengimpor kedelai dari Amerika Serikat sebanyak 22 ribu ton
Baca Selanjutnya......
21.8.07
Agrofuel di Indonesia:Kebijakan Energi melayani negara kaya
Siapa yang tak tergiur terlibat dalam bisnis perkebunan dinegara-negara tropis dan sub-tropis, seperti Indonesia, Brasil, Argentina, ataupunnegara-negara dikawasan asia dan amerika latin lainnya. Sebut saja misalnya pemodal nasional, keluarga besar perusahaan H.M Sampoerna setelah menjual sahamnya kepada perusahaan rokok milik asing phillip moris serta merta dimedia nasional diberitakan bahwa mereka akan membuka jutaan hektar lahan untuk perkebunan tebu. Atau rencana investasi modal dari Swiss akan membuka perkebunan tanaman Jarak di Nusa Tenggara Timur dengan nilai investasi 1 trilliun rupiah, bukan angka yang main-main. Di Brasil perusahaan semacam Cargill membeli pabrik gula perkebunan tebu di Cevasa di wilayah Ribeirão Preto, São Paulo. Memang menurut catatan sejarah perkebunan merupakan warisan sistem kolonial untuk memenuhi kebutuhan bahan mentah negara-negara industri kaya seperti di dataran Amerika Serikat, Jepang, maupun Eropa.
Minat perusahaan-perusahaan besar terhadap perkebunan sawit, tebu, jarak, jagung dan kedelai memang tidak segencar beberapa puluh tahun yang lalu. Begitu tingginya ekspansi modal pada sektor perkebunan tersebut mengikuti trend global. Hal ini semakin kukuh setelah Presiden Amerika George Bush seperti yang diberitakan Herald Tribune (1/06/07) menyatakan kebijakan baru Amerika adalah menerima target pengurangan gas emisi dunia. Walau pada tahun 2000 menolak secara tegas apa yang diatur di protokol Kyoto mengenai pemanasan global. Yang kita ketahui isu perubahan iklim, pemanasan global begitu dekat dengan isu lingkungan mulai merambah ke ranah politik global dan mempengaruhi langsung ke ruang politik nasional. Terlebih soal energi yang berasal dari pertambangan seperti minyak, gas dan batu bara yang kian berkurang dan mempengaruhi langsung terhadap perubahan iklim.
Di Indonesia, Presiden kemudian mengeluarkan Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada pasal 1 ayat 3 mulai dimenggulirkan penggunaan nuklir dan ayat 4 mengenalkan istilah biofuel. Amerika Serikat juga menargetkan penggunaan agrofuel sebanyak 35 milyar galon per tahunnya. Padahal jelas lahan pertanian mereka tidak cukup untuk memenuhi target tersebut (Holt-Gimenez, 2007), Gayung bersambut maka berlomba-lomba setiap daerah menyatakan siap menyediakan lahan hingga jutaan hektar, bukan main. Padahal kita tahu bahwa lahan-lahan pertanian di Indonesia sudah disesaki oleh 25,4 juta petani kecil alias gurem. Serta merta masih banyak lahan-lahan tersedia. Kalau kita telusuri lagi dengan isu perubahan iklim dan agrofuel siapa yang didiuntungkan?
Siapa lagi kalau bukan perusahaan-perusahaan besar. Sebut saja unilever, pepsi, quaker, dan monsanto. Mereka adalah pemain di bidang pengolahan hasil minyak kelapa sawit, sedangkan Monsanto bermain paten di benih kedelai.
Di Indonesia Data yang ada menunjukkan bahwa dari total luas lahan sawit yang ditanami sebesar 5,5 juta hektar sebanyak 4 juta hektar (67 persen) dikuasai oleh perusahaan swasta sementara sisanya dikelola oleh perkebunan kecil. Dalam usaha perkebunan sawit ini terdapat sembilan perusahaan yang dapat dikatakan sebagai pemain utama yaitu PT Salim Plantation, Pt Golden Agri Resources, Texmaco Group, PT Asian Agri, PT Astra Agro Lestari Tbk, hashim Group, Surya Dumai Group, PT PP London Sumateran Indonesia Tbk, Duta Palma Group dan PT Bakrie Sumatera Plantation. Kesembilan perusahaan raksasa ini memegang kontrol terhadap 2.920.102 hektar lahan sawit dengan proporsi terbesarnya dikuasai oleh PT Salim Plantation dengan total lahan 1.155.745 hektar (Hernanda dan Sihombing, 2007). Tiap tahunnya luasan perkebunan sawit selalu meningkat, sedangkan luasan lahan pertanian pangan makin menyempit. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang digulirkan sejak tahun lalu masih menjadi macan kertas apalagi program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan.
Keberpihakan program-program pemerintah semakin jelas lebih besar kepada perusahaan besar saja. Indikatornya sederhana saja, progra agrufuel yang digulirkan pemerintah Amerika begitu cepat direspon, lahan-lahan disediakan dengan mudah bahkan dengan Hak Guna Usaha (HGU) hingga 95 tahun, dan kemudahan-kemudahan perizinan. Bahkan departemen pertanian mencarikan lahan bagi PT. Medco yang siap menanami padi dengan sistem SRI (menanam padi dengan sistem intensifikasi), tidak tanggung Medco siap mendanai untuk lahan seluas 10.000 ha.
Apa yang didapat oleh petani dan rakyat miskin? Tak lain adalah melonjaknya harga minyak goreng, harga beras yang naik turun, harga gula, susu dan terigu. Khsusus minyak goreng bahan mentah berupa minyak sawit lebih menguntungkan dijual ke pasar internasional dari pada memenuhi kebutuhan nasional.
Inilah yang oleh Sritua Arif katakan bahwa kita ini dalam situasi ekonomi politik terjajah, cirinya (i) sebagai penyedia bahan baku bagi negara kaya,(ii) sebagai pasar hasil produksi negara-negara kaya,(iii) sebagai tempat berputarnya uang surplus dari perusahaan-perusahaan asing, yang di Indonesia kita sebut sebagai investasi.(ay) Baca Selanjutnya......
Minat perusahaan-perusahaan besar terhadap perkebunan sawit, tebu, jarak, jagung dan kedelai memang tidak segencar beberapa puluh tahun yang lalu. Begitu tingginya ekspansi modal pada sektor perkebunan tersebut mengikuti trend global. Hal ini semakin kukuh setelah Presiden Amerika George Bush seperti yang diberitakan Herald Tribune (1/06/07) menyatakan kebijakan baru Amerika adalah menerima target pengurangan gas emisi dunia. Walau pada tahun 2000 menolak secara tegas apa yang diatur di protokol Kyoto mengenai pemanasan global. Yang kita ketahui isu perubahan iklim, pemanasan global begitu dekat dengan isu lingkungan mulai merambah ke ranah politik global dan mempengaruhi langsung ke ruang politik nasional. Terlebih soal energi yang berasal dari pertambangan seperti minyak, gas dan batu bara yang kian berkurang dan mempengaruhi langsung terhadap perubahan iklim.
Di Indonesia, Presiden kemudian mengeluarkan Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada pasal 1 ayat 3 mulai dimenggulirkan penggunaan nuklir dan ayat 4 mengenalkan istilah biofuel. Amerika Serikat juga menargetkan penggunaan agrofuel sebanyak 35 milyar galon per tahunnya. Padahal jelas lahan pertanian mereka tidak cukup untuk memenuhi target tersebut (Holt-Gimenez, 2007), Gayung bersambut maka berlomba-lomba setiap daerah menyatakan siap menyediakan lahan hingga jutaan hektar, bukan main. Padahal kita tahu bahwa lahan-lahan pertanian di Indonesia sudah disesaki oleh 25,4 juta petani kecil alias gurem. Serta merta masih banyak lahan-lahan tersedia. Kalau kita telusuri lagi dengan isu perubahan iklim dan agrofuel siapa yang didiuntungkan?
Siapa lagi kalau bukan perusahaan-perusahaan besar. Sebut saja unilever, pepsi, quaker, dan monsanto. Mereka adalah pemain di bidang pengolahan hasil minyak kelapa sawit, sedangkan Monsanto bermain paten di benih kedelai.
Di Indonesia Data yang ada menunjukkan bahwa dari total luas lahan sawit yang ditanami sebesar 5,5 juta hektar sebanyak 4 juta hektar (67 persen) dikuasai oleh perusahaan swasta sementara sisanya dikelola oleh perkebunan kecil. Dalam usaha perkebunan sawit ini terdapat sembilan perusahaan yang dapat dikatakan sebagai pemain utama yaitu PT Salim Plantation, Pt Golden Agri Resources, Texmaco Group, PT Asian Agri, PT Astra Agro Lestari Tbk, hashim Group, Surya Dumai Group, PT PP London Sumateran Indonesia Tbk, Duta Palma Group dan PT Bakrie Sumatera Plantation. Kesembilan perusahaan raksasa ini memegang kontrol terhadap 2.920.102 hektar lahan sawit dengan proporsi terbesarnya dikuasai oleh PT Salim Plantation dengan total lahan 1.155.745 hektar (Hernanda dan Sihombing, 2007). Tiap tahunnya luasan perkebunan sawit selalu meningkat, sedangkan luasan lahan pertanian pangan makin menyempit. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang digulirkan sejak tahun lalu masih menjadi macan kertas apalagi program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan.
Keberpihakan program-program pemerintah semakin jelas lebih besar kepada perusahaan besar saja. Indikatornya sederhana saja, progra agrufuel yang digulirkan pemerintah Amerika begitu cepat direspon, lahan-lahan disediakan dengan mudah bahkan dengan Hak Guna Usaha (HGU) hingga 95 tahun, dan kemudahan-kemudahan perizinan. Bahkan departemen pertanian mencarikan lahan bagi PT. Medco yang siap menanami padi dengan sistem SRI (menanam padi dengan sistem intensifikasi), tidak tanggung Medco siap mendanai untuk lahan seluas 10.000 ha.
Apa yang didapat oleh petani dan rakyat miskin? Tak lain adalah melonjaknya harga minyak goreng, harga beras yang naik turun, harga gula, susu dan terigu. Khsusus minyak goreng bahan mentah berupa minyak sawit lebih menguntungkan dijual ke pasar internasional dari pada memenuhi kebutuhan nasional.
Inilah yang oleh Sritua Arif katakan bahwa kita ini dalam situasi ekonomi politik terjajah, cirinya (i) sebagai penyedia bahan baku bagi negara kaya,(ii) sebagai pasar hasil produksi negara-negara kaya,(iii) sebagai tempat berputarnya uang surplus dari perusahaan-perusahaan asing, yang di Indonesia kita sebut sebagai investasi.(ay) Baca Selanjutnya......
12.7.07
Perlawanan kaum tani yang tak pernah padam
Sejak jaman kolonial persoalan penguasaan dan kepemilikan agraria menjadi hal yang diperebutkan. Perubahan terjadi di saat keluarnya agraris wet tahun 1870. saat itu terbuka peluang bagi dunia usaha swasta untuk ikut menikmati dan mengolah lahan-lahan perkebunan dengan jangka waktu 75 tahun. Awal perubahan itu ditandai dengan isu kemiskinan dan penjarahan hak rakyat oleh Hindia Belanda. Itulah gong masuknya investasi dan modal yang terus membesar membangun perkebunan terutama di pulau Jawa dan Sumatra.
Struktur penguasaan agraria semakin timpang dari tahun ke tahun. Dengan segala akibatnya perkebunan-perkebunan milik swasta asing dan modal nasional terus membesar dan ekspansif. Seiring ekspor hasil perkebunan seperti teh, karet dan kopi makin meningkat. Di saat yang sama petani-petani semakin susah, banyak dari mereka harus meninggalkan kampung halamannya, terutama rakyat miskin Pulau Jawa di “eksport” ke sumatra menjadi buruh kebun, yang dikenal dengan istilah kuli kontrak perkebunan. Nyata bahwa meningkatnya neraca perdagangan oleh ekspor hasil perkebunan, dampak langsung kepada petani dan buruh kontrak tak signifikan. Justru menimbulkan berbagai masalah kemiskinan dan penghisapan baru. Persoalan inilah berkembang menjadi konflik agraria. secara umum konflik agraria diawali dengan persengketaan atas sumber agraria, yang pada perkembangannya menjelma menjadi konflik yang kompleks.
Setelah kemerdekaan terjadi nasionalisasi atas lahan-lahan perkebunan, namun tetap saja hanya beberapa kelompok manusia Indonesia saja yang menguasainya. Rakyat tani nasib dan penghidupannya tidak berubah, bahkan hingga kini. Situasi yang menghimpit dan keadaan sosial yang sedemikian keras melahirkan kesadaran kaum tani untuk bangkit. Bangun untuk menata kehidupannya, dengan kesadaran bahwa tanpa tanah bagi petani sama saja tanpa kehidupan. Rakyat miskin bahkan sanggup mempetaruhkan jiwanya untuk mempertahankan dan mendapatkan lahan. Konflik yang berdasarkan agraria tak bisa dihindari. Kontradiksi terjadi diberbagai wilayah Indonesia, antara petani miskin, buruh tani, petani tak bertanah dengan perkebunan besar, perhutani, PTPN, aparat pemerintah/TNI bahkan dengan perusahaan-perusahaan pertambangan modal internasional sekalipun.
Intensitas konflik makin tinggi seiring dengan kebijakan-kebijakan di bidang agraria dikawal oleh suatu kekuatan besar berupa alat pemerintah maupun terlibatnya alat negara seperti kepolisian dan militer, sehingga yang terjadi adalah praktek dalam bentuk pemaksaan kehendak. Ujungnya berupa manipulasi dan kekerasan terhadap petani. Adapun derajat kekerasan dalam konflik juga ditentukan oleh luasan lahan yang disengketakan, jumlah penduduk yang terkena dampak, wilayah tempat konflik, aparat yang terlibat serta modal, baik modal asing dan ataupun dalam negeri.
Dalam hal ini penembakan petani di Alas Tlogo Pasuruan pada 30 Mei 2007 yang menyebabkan meninggalnya empat orang petani dan demikian pula tentunya kasus penembakan petani Nipah di Sampang Madura pada tahun 1993 yang juga menewaskan empat petani bisa dijadikan contoh dari ribuan konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional menyatakan terdapat 2810 sengketa agraria, 1065 di antaranya masih ditangani pengadilan dan 1.432 kasus masih berstatus sengketa. Dari ribuan konflik itu, terdapat ribuan perlawanan. Kaum tani harus mampu mempertahankan, mengolah dan mendistribusikan hasil pertaniannya. Sejarah konflik agraria adalah sejarah perlawanan kaum tani yang tak pernah padam. Karena sesuai mandat Konstitusi UUD 1945 naskah asli, bahwa kekayaan alam, air, bumi baik dibawah maupun diatasnya diperuntukan bagi kenikmatan dan kemakmuran rakyat. Yang dalam pengelolaannya berdasar atas kekeluargaan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial.(ay) Baca Selanjutnya......
Struktur penguasaan agraria semakin timpang dari tahun ke tahun. Dengan segala akibatnya perkebunan-perkebunan milik swasta asing dan modal nasional terus membesar dan ekspansif. Seiring ekspor hasil perkebunan seperti teh, karet dan kopi makin meningkat. Di saat yang sama petani-petani semakin susah, banyak dari mereka harus meninggalkan kampung halamannya, terutama rakyat miskin Pulau Jawa di “eksport” ke sumatra menjadi buruh kebun, yang dikenal dengan istilah kuli kontrak perkebunan. Nyata bahwa meningkatnya neraca perdagangan oleh ekspor hasil perkebunan, dampak langsung kepada petani dan buruh kontrak tak signifikan. Justru menimbulkan berbagai masalah kemiskinan dan penghisapan baru. Persoalan inilah berkembang menjadi konflik agraria. secara umum konflik agraria diawali dengan persengketaan atas sumber agraria, yang pada perkembangannya menjelma menjadi konflik yang kompleks.
Setelah kemerdekaan terjadi nasionalisasi atas lahan-lahan perkebunan, namun tetap saja hanya beberapa kelompok manusia Indonesia saja yang menguasainya. Rakyat tani nasib dan penghidupannya tidak berubah, bahkan hingga kini. Situasi yang menghimpit dan keadaan sosial yang sedemikian keras melahirkan kesadaran kaum tani untuk bangkit. Bangun untuk menata kehidupannya, dengan kesadaran bahwa tanpa tanah bagi petani sama saja tanpa kehidupan. Rakyat miskin bahkan sanggup mempetaruhkan jiwanya untuk mempertahankan dan mendapatkan lahan. Konflik yang berdasarkan agraria tak bisa dihindari. Kontradiksi terjadi diberbagai wilayah Indonesia, antara petani miskin, buruh tani, petani tak bertanah dengan perkebunan besar, perhutani, PTPN, aparat pemerintah/TNI bahkan dengan perusahaan-perusahaan pertambangan modal internasional sekalipun.
Intensitas konflik makin tinggi seiring dengan kebijakan-kebijakan di bidang agraria dikawal oleh suatu kekuatan besar berupa alat pemerintah maupun terlibatnya alat negara seperti kepolisian dan militer, sehingga yang terjadi adalah praktek dalam bentuk pemaksaan kehendak. Ujungnya berupa manipulasi dan kekerasan terhadap petani. Adapun derajat kekerasan dalam konflik juga ditentukan oleh luasan lahan yang disengketakan, jumlah penduduk yang terkena dampak, wilayah tempat konflik, aparat yang terlibat serta modal, baik modal asing dan ataupun dalam negeri.
Dalam hal ini penembakan petani di Alas Tlogo Pasuruan pada 30 Mei 2007 yang menyebabkan meninggalnya empat orang petani dan demikian pula tentunya kasus penembakan petani Nipah di Sampang Madura pada tahun 1993 yang juga menewaskan empat petani bisa dijadikan contoh dari ribuan konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional menyatakan terdapat 2810 sengketa agraria, 1065 di antaranya masih ditangani pengadilan dan 1.432 kasus masih berstatus sengketa. Dari ribuan konflik itu, terdapat ribuan perlawanan. Kaum tani harus mampu mempertahankan, mengolah dan mendistribusikan hasil pertaniannya. Sejarah konflik agraria adalah sejarah perlawanan kaum tani yang tak pernah padam. Karena sesuai mandat Konstitusi UUD 1945 naskah asli, bahwa kekayaan alam, air, bumi baik dibawah maupun diatasnya diperuntukan bagi kenikmatan dan kemakmuran rakyat. Yang dalam pengelolaannya berdasar atas kekeluargaan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial.(ay) Baca Selanjutnya......
8.6.07
Kasus Tanak Awu dilaporkan ke utusan khusus Sekjen PBB
Jakarta- Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) kembali melaporkan Kasus kekerasan dan penembakan terhadap petani Tanak Awu, Lombok, Nusa Tenggara Barat yang terjadi pada tanggal 18 September 2005 lalu kepada Komisi HAM PBB, di Jakarta (7/6). Kali ini, dengar pendapat publik kasus dilaporkan kepada utusan khusus Sekjen PBB Hina Jilani.
"Sebagai organisasi tani, FSPI meminta komisi HAM PBB agar apa yang terjadi di Tanak Awu segera ditindak lanjuti oleh PBB. selama ini, pemerintah Indonesia tidak menujukkan respon positif terhadap penyelesaian kasus," tutur Achmad Ya'kub dihadapan Hina Jilani.
Selain FSPI, banyak kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang dilaporkan oleh para pembela HAM lainnya. Menurut korban dan organisasi pembela hak kemanusian seperti inparsial, komnas perempuan dan lainnya bahwa kebanyakan dari kasus-kasus pelenggaran HAM tersebut tudak mendapatkan perhatian serius oleh pihak-pihak berwenang di Indonesia. Oleh karena itu, mereka berharap agar PBB bisa lebih efektif menyelesaiakn kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Hina Jilani, dalam sambutan pembukaannya menyatakan bahwa sebagai utusan Khusus Sekjen PBB dia mempunyai mandat untuk memberikan pembelaan terhadap korban pelanggaran HAM dimanapun didunia ini. Juga memastikan bahwa setiap negara menjalankan hasil Deklarasi tentang Human Right Defender tahun 1998.
”Pembela hak kemanusian adalah pekerja yang menciptakan perdamaian, maka dari itu setiap pemerintah termasuk pemerintah Indonesia berkewajiban memfasilitasi serta membuat mekanisme agar pembela kemanusian dan perdamaian dapat bekerja,”Kata Hina Jilani. ”tugas utama dari mereka adalah mengawasi, membela dan melaporkan kejadian yang melangar hak kemanusian, karena mereka juga rentan atas pelanggaran sepertihalnya korban,”tegas Hina Jilani.
Secara terpisah Sekjen FSPI yang juga Koordinator umum La Via Campesina (gerakan petani internasional) Henry Saragih menyatakan,”Ini adalah moment yang sangat berharga bagi petani maupun kalangan lainnya seperti buruh, nelayan untuk melaporkan secara langsung kepada utusan dari PBB”. Henry juga menegaskan bahwa sampai saat ini La Via Campesina dan anggotanya yang tersebar diberbagai negara masih memperjuangkan agar deklarasi Hak petani dapat dijadikan sebagai Kovenan Internasional. Harapannya agar setiap negara dapat menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak petani. Baca Selanjutnya......
16.2.07
Impor Beras Melampaui Batas!
Menyikapi masalah kenaikan harga beras, kebijakan impor beras dan operasi pasar tanpa batas yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam hal dipimpin oleh Wakil Presiden RI Yusuf Kalla beserta jajarannya, ada beberapa catatan kritis, yaitu:
Pertama, kebijakan pemerintah untuk memutuskan impor beras dengan alasan bencana, harga beras yang melonjak, maupun stok beras yang ada di pemerintah adalah hal yang terlalu panik, mengada-ada, menghina petani, dan melampaui batas kewajaran. Karena menurut hemat saya, dalam situasi bencana jumlah penduduk dan konsumsi beras adalah TETAP secara nasional, hanya pada beberapa wilayah saja seperti Jakarta yang terkesan menyerap banyak untuk stok di rumah tangga ataupun bantuan untuk bencana. ini juga disebabkan psikologi sebagai korban dan respon atas bencana oleh sebagian masyarakat yang panik
Beras sebenarnya tersedia di pasar, terutama di pedagang. Belum lagi jika melihat stok gabah yang akan segera panen. Saat ini menurut laporan anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI ) di Kabupaten Karawang, petani sedang panen di daerah kecamatan Teluk Jambe Barat, teluk Jambe Timur, Lemahabang, Telaga Sari, dan Tirta Mulya. Luasan panen pada lima kecamatan tersebut mencapai 12.000 ha, wilayah ini dialiri irigasi teknis. Kemudian menurut keterangan Gubernur Jawa Tengah dan Menteri Pertanian di berbagai media massa bahwa di Jawa Tengah akan panen yang menghasilkan 310.000 beras dan di Jawa Timur sebanyak 300.000 ton beras. Kemudian di Sulawesi Selatan stok di gudang Bulog masih tersedia, karena pada musim paceklik diserap 52.507 ton dan waktu dekat ini akan segera panen. Belum lagi stok beras hasil impor yang ditetapkan pada akhir 2006 yang sebanyak 500.000 ton beras telah masuk ke Indonesia pada bulan Januari 2007 sebanyak kurang lebih 250.000 ton beras. Sementara, sisanya seharusnya sudah masuk pada bulan Februari atau awal Maret 2007.
Kedua, soal harga beras yang melonjak sepertinya pemerintah begitu kalap dengan kebijakan pengadaan beras dari impor dan mengadakan operasi pasar tanpa batas. Pemerintah lupa, bahwa ongkos angkut, ongkos penggilingan dan operasional lainnya meningkat sejak bulan Oktober 2006, tepatnya sejak pemerintah menaikkan harga BBM sekitar 126 persen dan harga pupuk yang naik sejak bulan Mei 2006 lalu. Sebenarnya tidak hanya harga beras yang naik tapi juga harga gula, minyak goreng, daging, dan telur ayam rata-rata kenaikan sekitaran 200-500-an rupiah.
Harga beras yang meningkat tinggi juga dipicu ulah pedagang dalam hal ini pengusaha beras. padahal harga GKP di Karawang saat ini misalnya masih sekitaran Rp. 2.500/kg, maka logikanya harga beras seharusnya paling mahal adalah sekitaran Rp. 3. 800/kg bukan seperti saat ini IR 64 kualitas III saja mencapai Rp. 5000/kg. Laba yang besar bukan ditangan petani tetapi di pihak pemilik penggilingan ke atas yaitu pedagang beras besar. Hal ini nyata terlihat dari disparitas harga gabah dan beras yang sungguh fantastis dan melampaui batas kewajaran.
Ketiga, Soal mundurnya musim tanam dan bencana banjir yang menimpa lahan pertanian yang terlalu dilebih-lebihkan. Menurut data yang disampaikan dinas pertanian Jawa Barat sekitar 130.000 ha sawah terendam banjir dan puso 35.000 ha ternyata tidak sebesar pada masa Januari-Mei 2005, ketika kekeringan melanda 132.969 ha lahan sawah diseluruh Indonesia. Lagi pula dari total 11, 89 juta ha lahan pertanian padi setiap tahun sudah diperhitungkan rata-rata kehilangan hasil produksi padi sekitar 5% akibat banjir dan hama.
Keempat, Impor beras juga melampaui batas dari segi politik. Keputusan diambil oleh Menteri Perdagangan, Menko Perekonomian, dan Wakil Presiden—tanpa meminta masukan dari Menteri Pertanian, yang notabene bertanggung jawab dalam masalah pangan. Dalam pengetahuan rakyat, Menteri Pertanian pula yang seharusnya mengetahui teknis dan detail padi dan beras, yang merupakan produk pangan utama di negeri ini. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan ini diambil atas dasar pandangan ekonomi belaka, dan bahwa beras dianggap sebagai semata-mata komoditas.
Kesimpulan dan arah kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah dalam jangka pendek:
(1) Pemerintah dalam hal ini Presiden sebagai ketua Dewan Ketahanan Pangan harus meninjau kembali Inpres 13/2005 mengenai kebijakan perberasan yang menjadi patokan BULOG untuk membeli beras atau gabah dari petani tidak relevan lagi untuk saat ini. Terutama mengenai harga pembelian pemerintah untuk GKP dipenggilingan yaitu sebesar Rp. 1. 730/kg dan harga beras yang Rp 3.550/kg. Sementara BULOG sendiri menjual beras dalam OP-nya mencapai
Rp. 3.700. Dan parahnya lagi, OP pasar itu banyak sekali di borong oleh pedagang beras.
(2) Dengan harga beras yang mahal dan tidak terkendali sebenarnya tidak hanya kaum miskin perkotaan, buruh dikota tetapi juga petani miskin/gurem, buruh tani yang juga menjadi konsumen beras akan tertekan dan makin sulit. Untuk itu intervensi pemerintah masih relevan terutama dalam penertiban para pengusaha beras, penggilingan dan mengamankan jalur distribusi beras. Pemerintah harus memastikan stok beras ada ditangannya, bukan ditangan pengusaha beras. Mahalnya harga beras bukan karena kelangkaan beras. Saat ini banyak daerah masih tersedia, tetapi yang menjadi persoalan adalah kinerja pemerintah seperti menko perekonomian, menteri Perdagangan, ataupun wakil presiden sendiri yang harus dievaluasi dalam menetapkan status bahaya stok beras. Karena hal ini dapat diramalkan termasuk untuk cadangan pangan dan bantuan bencana.
Selain itu juga, perlu adanya penindakan dan pembukaan informasi yang terbuka kepada publik siapa saja pengusaha besar yang terlibat dalam rente perdangan beras ini, jangan hanya membabi buta menantang pasar beras dengan operasi pasar yang tidak terbatas. Justru langkah yang harus diambil adalah melakukan pelarangan impor beras yang tidak terbatas.
(3) Selain menertibkan pengusaha beras dan pengilingan Pemerintah juga berkewajiban membeli gabah petani yang mulai panen dan segera memberikan bantuan kepada petani yang mengalami kerusakan lahan dan puso. Kemudian harus ada arah kebijakan agar beras dapat dikontrol oleh pemerintah dan petani maka penggilingan padi dan jalur distribusi beras harus dimiliki, tidak dibiarkan dimonopoli oleh pengusaha besar.
(dijadikan release FSPI 15 Feb 2007) Baca Selanjutnya......
Pertama, kebijakan pemerintah untuk memutuskan impor beras dengan alasan bencana, harga beras yang melonjak, maupun stok beras yang ada di pemerintah adalah hal yang terlalu panik, mengada-ada, menghina petani, dan melampaui batas kewajaran. Karena menurut hemat saya, dalam situasi bencana jumlah penduduk dan konsumsi beras adalah TETAP secara nasional, hanya pada beberapa wilayah saja seperti Jakarta yang terkesan menyerap banyak untuk stok di rumah tangga ataupun bantuan untuk bencana. ini juga disebabkan psikologi sebagai korban dan respon atas bencana oleh sebagian masyarakat yang panik
Beras sebenarnya tersedia di pasar, terutama di pedagang. Belum lagi jika melihat stok gabah yang akan segera panen. Saat ini menurut laporan anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (
Kedua, soal harga beras yang melonjak sepertinya pemerintah begitu kalap dengan kebijakan pengadaan beras dari impor dan mengadakan operasi pasar tanpa batas. Pemerintah lupa, bahwa ongkos angkut, ongkos penggilingan dan operasional lainnya meningkat sejak bulan Oktober 2006, tepatnya sejak pemerintah menaikkan harga BBM sekitar 126 persen dan harga pupuk yang naik sejak bulan Mei 2006 lalu. Sebenarnya tidak hanya harga beras yang naik tapi juga harga gula, minyak goreng, daging, dan telur ayam rata-rata kenaikan sekitaran 200-500-an rupiah.
Harga beras yang meningkat tinggi juga dipicu ulah pedagang dalam hal ini pengusaha beras. padahal harga GKP di Karawang saat ini misalnya masih sekitaran Rp. 2.500/kg, maka logikanya harga beras seharusnya paling mahal adalah sekitaran Rp. 3. 800/kg bukan seperti saat ini IR 64 kualitas III saja mencapai Rp. 5000/kg. Laba yang besar bukan ditangan petani tetapi di pihak pemilik penggilingan ke atas yaitu pedagang beras besar. Hal ini nyata terlihat dari disparitas harga gabah dan beras yang sungguh fantastis dan melampaui batas kewajaran.
Ketiga, Soal mundurnya musim tanam dan bencana banjir yang menimpa lahan pertanian yang terlalu dilebih-lebihkan. Menurut data yang disampaikan dinas pertanian Jawa Barat sekitar 130.000 ha sawah terendam banjir dan puso 35.000 ha ternyata tidak sebesar pada masa Januari-Mei 2005, ketika kekeringan melanda 132.969 ha lahan sawah diseluruh Indonesia. Lagi pula dari total 11, 89 juta ha lahan pertanian padi setiap tahun sudah diperhitungkan rata-rata kehilangan hasil produksi padi sekitar 5% akibat banjir dan hama.
Keempat, Impor beras juga melampaui batas dari segi politik. Keputusan diambil oleh Menteri Perdagangan, Menko Perekonomian, dan Wakil Presiden—tanpa meminta masukan dari Menteri Pertanian, yang notabene bertanggung jawab dalam masalah pangan. Dalam pengetahuan rakyat, Menteri Pertanian pula yang seharusnya mengetahui teknis dan detail padi dan beras, yang merupakan produk pangan utama di negeri ini. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan ini diambil atas dasar pandangan ekonomi belaka, dan bahwa beras dianggap sebagai semata-mata komoditas.
Kesimpulan dan arah kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah dalam jangka pendek:
(1) Pemerintah dalam hal ini Presiden sebagai ketua Dewan Ketahanan Pangan harus meninjau kembali Inpres 13/2005 mengenai kebijakan perberasan yang menjadi patokan BULOG untuk membeli beras atau gabah dari petani tidak relevan lagi untuk saat ini. Terutama mengenai harga pembelian pemerintah untuk GKP dipenggilingan yaitu sebesar Rp. 1. 730/kg dan harga beras yang Rp 3.550/kg. Sementara BULOG sendiri menjual beras dalam OP-nya mencapai
Rp. 3.700. Dan parahnya lagi, OP pasar itu banyak sekali di borong oleh pedagang beras.
(2) Dengan harga beras yang mahal dan tidak terkendali sebenarnya tidak hanya kaum miskin perkotaan, buruh dikota tetapi juga petani miskin/gurem, buruh tani yang juga menjadi konsumen beras akan tertekan dan makin sulit. Untuk itu intervensi pemerintah masih relevan terutama dalam penertiban para pengusaha beras, penggilingan dan mengamankan jalur distribusi beras. Pemerintah harus memastikan stok beras ada ditangannya, bukan ditangan pengusaha beras. Mahalnya harga beras bukan karena kelangkaan beras. Saat ini banyak daerah masih tersedia, tetapi yang menjadi persoalan adalah kinerja pemerintah seperti menko perekonomian, menteri Perdagangan, ataupun wakil presiden sendiri yang harus dievaluasi dalam menetapkan status bahaya stok beras. Karena hal ini dapat diramalkan termasuk untuk cadangan pangan dan bantuan bencana.
Selain itu juga, perlu adanya penindakan dan pembukaan informasi yang terbuka kepada publik siapa saja pengusaha besar yang terlibat dalam rente perdangan beras ini, jangan hanya membabi buta menantang pasar beras dengan operasi pasar yang tidak terbatas. Justru langkah yang harus diambil adalah melakukan pelarangan impor beras yang tidak terbatas.
(3) Selain menertibkan pengusaha beras dan pengilingan Pemerintah juga berkewajiban membeli gabah petani yang mulai panen dan segera memberikan bantuan kepada petani yang mengalami kerusakan lahan dan puso. Kemudian harus ada arah kebijakan agar beras dapat dikontrol oleh pemerintah dan petani maka penggilingan padi dan jalur distribusi beras harus dimiliki, tidak dibiarkan dimonopoli oleh pengusaha besar.
(dijadikan release FSPI 15 Feb 2007) Baca Selanjutnya......
24.12.06
Tahun 2006 Dipenuhi Janji, Miskin Realisasi

Bagi petani, tahun 2006 yang dijalani hingga saat ini seperti tahun-tahun sebelumnya, janji-janji sejahtera selalu menjadi bunga-bunga saja. Masih hangat dalam ingatan bagaimana Presiden SBY-JK pada Juni 2005 mencanangkan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan (RPPK). Seakan pencanangan ini harga yang harus dibayar oleh kaum tani dan kalangan masyarakat lainnya atas Perpres 36/2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan untuk kepentingan umum.
Ancaman lebih nyata daripada harapan yang dijanjikan. Perpres tersebut tak ada klausul satupun yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan pembangunan adalah pembangunan pedesaan dan pertanian. Yang ada justru proyek-proyek bagi kepentingan modal yang lebih luas. Demikian juga Perpres 65/2006 sebagai revisi atas perpres 36/2005, makin menunjukan belang penguasa ini yang sangat berpihak kepada pemodal. Berbagai kepentingan umum yang melayani rakyat banyak ditiadakan seperti sarana pendidikan, peribadatan, serta kesehatan. Yang dikedepankan adalah proyek-proyek sepeti jalan tol, bandar udara, dan lainnya. Secara sederhana bisa kita pahami bahwa kekuatan asing melalui lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan seperti World Bank dan IMF begitu kuat cengkeremannya hingga dapat mendikte berbagai kebijakan pemerintah.
Padahal kita tahu SBY mendapatkan gelar Doktornya dalam bidang pertanian, seharusnya beliau mengerti apa yang dibutuhkan rakyat tani. Belum lagi politik pangan murah dengan import, menjadi agenda tahunan pemerintah. Contohnya Tahun 2005 pemerintah impor beras 304 ribu ton, tak berbeda tahun 2006 juga diputuskan impor sebanyak 840 ribu ton (sebagian diputuskan akhir tahun yang akan masuk pada awal tahun 2007). Pemerintah melalui Menteri Pertanian menegaskan dengan lantang bahwa tidak akan ada lagi impor beras, nyatanya dengan berbagai alasan apakah itu disebabkan oleh situasi alam ataupun lainnya impor tetap dilakukan. Secara internasional, pemerintah mengakui adanya tekanan dari organisasi perdagangan dunia (WTO-World Trade Organisation). Di WTO inilah sebagai anggotanya Indonesia terikat atas aturan mainnya. Padahal didalam WTO kepentingan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa lebih mendominasi dan menguasai daripada kepetingan negara di selatan.
Kebijakan agraria menemukan momentumnya ketika Presiden beserta pembantunya yaitu Menteri Pertanain, Menteri Kehutanan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional pada akhir September 2006 mengumumkan akan melaksanakan reforma agraria. Hal ini didasari kesadaran untuk mengurangi konflik agraria dan mengurangi kemiskinan yang mencapai 40 juta jiwa-- itu tersebar lebih banyak di daerah pedesaan. Rencana yang bagus itu ternyata tak sesuai harapan rakyat tani. Karena pemerintah dalam konsep Program Pembaruan Agraria Nasionalnya (PPAN) masih mengakomodir perusahaan/privat dalam program ini. Padahal kita tahu bahwa konflik-konflik agraria terutama yang melibatkan petani sebagian besar berhadapan dengan perusahaan swasta. Sebut saja di Sulawesi Selatan, di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan propinsi lainnya. Bagaimana mungkin pihak privat diuntungkan dalam program reforma agraria yang selama ini paling menikmati, meguasai dan mengusahakan serta merusak derngan luasan lahan yang mencapai jutaan hektar. Juga sejatinya reforma agraria itu adalah sebagai upaya menghapuskan ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan lahan, bukan sekedar serampangan bagi-bagi tanah. Didalamnya terdapat redistribusi. Artinya mendistribusikan kembali agar terciptanya keadilan agraria seperti yang dicita-citakan dalam UUPA 1960.
Belum lagi bencana alam diakhir tahun 2006, seperti longsor, banjir serta berbagai kecelakaan akibat kesalahan manusia. Dapat dikatakan bahwa janji-janji manis sepanjang tahun 2006 menuai berbagai bencana alam dan bencana kebijakan. Yang harus dipahami disini bahwa banyak bencana alam yang diakibatkan oleh ulah manusia. Manusia ini tak mungkin kita generalisir, karena sesungguhnya mereka yang mempunyai akses ekonomi dan politiklah yang punya andil beasr dalam perusakan alam. Petani sepanjang kita ketahui bersama dapat dipastikan akan menjaga alamnya agar mendukung proses produksi pertanian, bukan merusak. Bencana kebijakan yang dimaksudkan adalah kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat banyak, demi kepetingan penguasa yang pengusaha itu. Terakhir, memang tak mungkin rakyat tani hanya menunggu kebaikan hati penguasa/pemerintah dalam segala aspek kehidupan. Sudah saatnya kita mengawali tahun 2007 nanti dengan lebih memperkuat organisasi tani, memperluas persatuan rakyat dan melakukan praktek organisasi yang baik menuju cita-cita bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Baca Selanjutnya......
Subscribe to:
Posts (Atom)