Semangat juang dan konfrontasi fisik menuju kemederkaan Indonesia melalui berbagai tonggak sejarah yang heroik dan patriotik. Sebut saja kebangkitan pemuda 1928, adalah ciri gerakan ke-indonesiaan yang begitu menasional. Ditengah berbagai keterbatasan informasi dan ruang gerak. Namun semua itu dapat ditanggulangi. Sejak itu bermunculan berbagai gerakan rakyat yang makin terorganisasi secara baik. Yang bahkan pada tahun 1911 sekalipun sebenarnya sudah muncul organisasi masyarakat. Kesadaran untuk mengembangkan, menyampaikan kepada kahlayak mengenai program-program politiknya diadakanlah koran-koran organisasi. Kemudian cikal bakal kekuatan militer di Indonesia adalah dimulai dari kekuatan pemuda, pelajar dan petani juga kaum ulama.
Demikian catatan kecil mengenai gerakan rakyat menuju kemerdekaan 1945. belum lagi rekaman bagaimana hiruk pikuk kekuatan rakyat bergabung bersama pimpinan-pimpinan revolusi Indonesia saat itu. Tentu kita takkan romantis mengenang perjalanan perjuangan bangsa mengusir imprealisme. Namun disitulah pentingnya rekaman-rekanam tersebut dalam konteks perjuangan hari ini.
Tepat 17 Agustus 1945, dikumandangkan proklamasi. Disusul esoknya dengan pernyataan,
” Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. .............
.........................................
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,..........”
Begitu mendalamnya preambul UUD 1945 itu. Tak sekedar merdeka sebagai bangsa namun juga menyerukan, mengajak dan memproklamirkan kemerdekaan yang hakiki bagi manusia.
Saat ini 61 tahun sudah usia kemerdekaan kita. 61 tahun lamanya mengisi semangat itu. Nyatanya masih saja mayoritas warga negara dala himpitan kemiskinan, kesedihan dan diabaikan. Belum lagi penjajahan baru dalam bentuk campur dalam menentukan kebijakan politik, ekonomi bahkan sosial budaya kita. Sebut saja dibidang pertanian petani gurem yang mencapai 10,8 juta rumah tangga pada tahun 1993, meningkat menjadi 13,7 juta rumah tangga ditahun 2003. peningkatan petani gurem ini juga dibarengi dengan penurunan penguasaan tanah petani gure. Yang awalnya yang memang sudah sempit yaitu 0,5 ha menjadi 0,3 ha. Impor pangan juga tak pernah terkendali mulai dari kacang kedelai sebanyak 1,2 juta ton/tahun, daging sapi, susu, gandum sebanyak 4 juta ton/tahun dan bahkan bawang. Pengganguran yang realtif statis bahkan cenderung meningkat, saat ini saja (tahun 2005) mencapai 41 juta, mayoritas adalah kaum muda. Dari jumlah tersebut pengangguran terbuka (open unemployed) adalah 10 juta jiwa, sedang 31 juta adalah setengah pengangguran (under employed). Jumlah ini berpotensi meningkat lagi akibat kenaikan BBM sebesar 126% pada bulan oktober 2005.
Apa yang dilakukan pemerintah ? mereka cenderung bahkan dengan sadar justru menuruti anjuran lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF?Bank Dunia) , lembaga perdagangan dunia (WTO) maupun perusahaan-perusahaan besar dan negara-negara kaya. Kebijakan-kebijakan yang diambil justru memperkuat dan melanggengkan kemiskinan.
Misalnya saja intervensi dari lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF dan WTO menambah panjang deretan kebijakan yang anti rakyat, sebut saja Perpres 36/2005, penolakan MK terhadap tuntutan rakyat untuk mencabut UU No. 7/2004 tentang Sumber daya air, adanya upaya revisi UUPA 1960, UU Perkebunan No 18/2004 dan lemahnya proteksi terhadap petani.
Dimana Bank Dunia yang mengucurkan dana hutang sebesar $300 juta untuk menggolkan Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan mendukung program Land Administration Project (LAP) yang kesimpulan dari mereka adalah merevisi UUPA 1960 yang saat ini diusulkan oleh Badan Pertanahan Nasional.
Kemerdekaan bagi mayoritas warga negara yang masih miskin dan terbanyak tinggal didesa menjadi sesuatu yang sulit dijamah. Maka itu, bekerja sama, berjuang, berproduksi bersama dalam suatu perserikatan, organisasi dan perkumpulan menjadi bermakna sekali ditengah pemerintah makin jauh dari petani. Organisasi diharapkan mampu menjawab beberapa persoalan anggotanya. Ketidakmampuan pemerintah memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya bukan sekedar tak punya biaya, namun memang tak punya niat. Niat secara totalitas berpihak kepada rakyatnya sendiri. Itulah peran penting dari organisasi tani, buruh, mahasiswa, pemuda dan perempuan untuk membangun gerakan sosial yang muaranya adalah memperjuangkan segenap kepentingan rakyat miskis dan melawan campur tangan asing dalam keputusan berbangsa dan bernegera.
Dirgahayu Indonesia.
tulisan ini juga terbit di pembaruan tani-agustus 2006
Baca Selanjutnya......
15.7.06
Usir saja rakyat dari tanah pertanian, datangkan modal-modal besar
Ketika ada pertemuan petani tingkat desa, percakapan yang kerap muncul adalah bagaimana agar dapat bertani secara aman dan tenang. Dalam forum ini juga kalimat-kalimat aparat, polisi, TNI, DPR, BPN dan pemerintah serta perusahaan berkali-kali meluncur lancar. Walaupun perusahaan itu berbahasa asing, namun fasih diucapkan, akrab disebut dan didengar telinga. Betapa tidak sejak puluhan tahun petani yang berada didaerah dalam sumatra ini bersengketa dengan perusahaan bermodal asing itu
.
“pihak perusahaan berkali-kali melakukan kekerasan melalui security-nya anehnya pihak kepolisian tidak segera menindak. Sebaliknya kita masuk perkebunan, dituduh merusak langsung ditangkap, diadili dan dipenjarakan. Lama juga 11 bulan lebih”.
Itulah ringkasan kata-kata yang sering didengar oleh pengurus-pengurus dan anggota serikat tani betapa meluasnya dampak konflik pertanahan. Yang paling dirasakan langsung adalah tindak kekerasan atau sebelumnya melalui suatu proses pemaksaan.
Bahkan kekerasan itu terjadi tak hanya sekali saja. Bahkan beberapa kali ditempat yang sama, dengan kualitas yang variatif. Peristiwa-pristiwa ini bila ditelusuri lebih jauh ternyata memiliki pola tersendiri. Beberapa yang menonjol adalah dengan cara mengaburkan persoalan utamanya, yaitu konflik pertanahan. Misalnya dengan tuduhan-tuduhan pengrusakan, perbuatan tak menyenangkan, atau tindakan pidana lainnya.
Kemudian bila konflik ini berlarut-larut maka pihak perusahaan ataupun pemerintah—karena biasanya dua lembaga ini lah yang seringkali konflik- menggunakan pendekatan keamanan. Dengan dali berbagai macam untuk mendatangkan aparat kepolisian. Bila sesaat setelah reformasi (tahun 1998-2003) aparat TNI relatif tak terlibat, sekarang ada indikasi keterlibatan mereka lagi dalam kancah konflik agraria ini. Belajar dari beberapa kejadian misalnya di bulan mei 2006 lalu di Cisompet , Garut pemicunya adalah latihan perang-perangan Kodim diwilayah tersebut, atau seperti pada bulan April 2006, Batalyon Infantri 714 Sintuwu Maroso Poso di Kota Tentena, tepatnya di ibu kota Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso dalam rangka latihan di lahan mega proyek PLTA Sulewana Poso dalam situasi proyek tersebut mendapat perlawanan dari warga.
Itulah beberapa pola operasi yang paling sering digunakan dalam penanganan konflik agraria. Modela lainnya adalah penggunaan mekanisme hukum, pendekatan per-undang-undangan. Kita tahu bahwa sejak tahun 2004 telah disahkan UU No. 18/2004 tentang perkebunan. Sejak disahkan tidak sedikit petani yang mendekam dalam dinginnya penjara akibat begitu represifnya pasal-pasal dalam undang-undang tersebut dan dibarengi begitu agresifnya aparat polisi dan pengadilan untuk menegakkan hukum. Hal ini tak terjadi bila yang mengadukan perkaranya adalah dari pihak masyarakat. Bilapun diproses, maka waktunya akan berbeda sekali bila perusahaan yang melapor. Yaitu begitu lama dan administrasi yang sebgaja diperpanjang. Itulah realitasnya. Semua ini telah dipahami oleh masyarakat. Oleh petani.
Atas kesadaran itulah maka apa-apa yang dilontarkan oleh pejabat negara seperti DPR maupun Presiden atau Wakil Presiden sekalipun selalu mengundang skeptis. Contoh konkrit adalah program revitalisasi pertanian, perikanan, dan kelautan. Program itu diluncurkan pada bulan Juni 2005, banyak impian yang akan diwujudkan walau kerangka besarnya tetap kuasa pasar dan modal. Sisi lain presiden justru mengelurkan Perpres 36/2005. penolakan-penolakan bermunculan, hingga mei 2006 muncul revisinya. Semua bertolak belakang. Tanah-tanah pertanian justru dijadikan obyek spekulasi untuk mengundang investasi. Kepastian hukum ada bagi investor, bukan untuk petani-petani. Kekeringan, hama ataupun banjir itu dianggap siklus alam, bencana yang datangnya dari Tuhan. Jadi tak ada tanggung jawab pemerintah didalamnya.
Sirkusnya penguasa ditengah 13,6 juta petani bertanah yang hanya 0,5 ha, dan 15% keluarga petani mengalami pengurangan pendapatan. Kesesakan ini disertai dengan berbagai tindak kekerasan yang dialami petani. Padahal bagi negara sekaliber Amerika sekalipun pertanian itu menjadi tulang punggung dan tak akan menyerahkan urusan perut kepada siapapun. Cerminan ini secara jelas dinyatakan seorang senator di Amerika pada tahun 1982,”bila kita ingin menghimpun dan memimpin orang, serta membuat mereka tergantung, terus mau bekerja untuk kita, itu adalah dengan cara membuat mereka ketergantungan makan dengan kita”.
Artinya silakan usir petani dari tanah pertanian, import pkacang kedelai, gandum, daging sapi dan segera bangun perkebunan-perkebunan besar untuk eksport, segera bangun infrastruktur untuk memfasilitasi masuknya investasi, lakukan terus tindak kekerasan di tanah-tanah pertanian serta datangkan investasi asing sebanyak-banyaknya. Atau jalankan reforma agraria, sediakan kredit murah bagi petani, proteksi petani dari serbuan hasil produksi pertanian luar negeri, bangun teknologi pertanian yang murah, massal dan mudah. Itu hanya tinggal pilihan, apaka kita sebagai bangsa menikmati keterjajahan atau ingin bangkit melawan. Karena bagi petani, apapun resikonya pilihannya adalah jelas, ingin sejahtera, adil dan merdeka.*** dimuat di pembaruan tani juli 2006 Baca Selanjutnya......
.
“pihak perusahaan berkali-kali melakukan kekerasan melalui security-nya anehnya pihak kepolisian tidak segera menindak. Sebaliknya kita masuk perkebunan, dituduh merusak langsung ditangkap, diadili dan dipenjarakan. Lama juga 11 bulan lebih”.
Itulah ringkasan kata-kata yang sering didengar oleh pengurus-pengurus dan anggota serikat tani betapa meluasnya dampak konflik pertanahan. Yang paling dirasakan langsung adalah tindak kekerasan atau sebelumnya melalui suatu proses pemaksaan.
Bahkan kekerasan itu terjadi tak hanya sekali saja. Bahkan beberapa kali ditempat yang sama, dengan kualitas yang variatif. Peristiwa-pristiwa ini bila ditelusuri lebih jauh ternyata memiliki pola tersendiri. Beberapa yang menonjol adalah dengan cara mengaburkan persoalan utamanya, yaitu konflik pertanahan. Misalnya dengan tuduhan-tuduhan pengrusakan, perbuatan tak menyenangkan, atau tindakan pidana lainnya.
Kemudian bila konflik ini berlarut-larut maka pihak perusahaan ataupun pemerintah—karena biasanya dua lembaga ini lah yang seringkali konflik- menggunakan pendekatan keamanan. Dengan dali berbagai macam untuk mendatangkan aparat kepolisian. Bila sesaat setelah reformasi (tahun 1998-2003) aparat TNI relatif tak terlibat, sekarang ada indikasi keterlibatan mereka lagi dalam kancah konflik agraria ini. Belajar dari beberapa kejadian misalnya di bulan mei 2006 lalu di Cisompet , Garut pemicunya adalah latihan perang-perangan Kodim diwilayah tersebut, atau seperti pada bulan April 2006, Batalyon Infantri 714 Sintuwu Maroso Poso di Kota Tentena, tepatnya di ibu kota Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso dalam rangka latihan di lahan mega proyek PLTA Sulewana Poso dalam situasi proyek tersebut mendapat perlawanan dari warga.
Itulah beberapa pola operasi yang paling sering digunakan dalam penanganan konflik agraria. Modela lainnya adalah penggunaan mekanisme hukum, pendekatan per-undang-undangan. Kita tahu bahwa sejak tahun 2004 telah disahkan UU No. 18/2004 tentang perkebunan. Sejak disahkan tidak sedikit petani yang mendekam dalam dinginnya penjara akibat begitu represifnya pasal-pasal dalam undang-undang tersebut dan dibarengi begitu agresifnya aparat polisi dan pengadilan untuk menegakkan hukum. Hal ini tak terjadi bila yang mengadukan perkaranya adalah dari pihak masyarakat. Bilapun diproses, maka waktunya akan berbeda sekali bila perusahaan yang melapor. Yaitu begitu lama dan administrasi yang sebgaja diperpanjang. Itulah realitasnya. Semua ini telah dipahami oleh masyarakat. Oleh petani.
Atas kesadaran itulah maka apa-apa yang dilontarkan oleh pejabat negara seperti DPR maupun Presiden atau Wakil Presiden sekalipun selalu mengundang skeptis. Contoh konkrit adalah program revitalisasi pertanian, perikanan, dan kelautan. Program itu diluncurkan pada bulan Juni 2005, banyak impian yang akan diwujudkan walau kerangka besarnya tetap kuasa pasar dan modal. Sisi lain presiden justru mengelurkan Perpres 36/2005. penolakan-penolakan bermunculan, hingga mei 2006 muncul revisinya. Semua bertolak belakang. Tanah-tanah pertanian justru dijadikan obyek spekulasi untuk mengundang investasi. Kepastian hukum ada bagi investor, bukan untuk petani-petani. Kekeringan, hama ataupun banjir itu dianggap siklus alam, bencana yang datangnya dari Tuhan. Jadi tak ada tanggung jawab pemerintah didalamnya.
Sirkusnya penguasa ditengah 13,6 juta petani bertanah yang hanya 0,5 ha, dan 15% keluarga petani mengalami pengurangan pendapatan. Kesesakan ini disertai dengan berbagai tindak kekerasan yang dialami petani. Padahal bagi negara sekaliber Amerika sekalipun pertanian itu menjadi tulang punggung dan tak akan menyerahkan urusan perut kepada siapapun. Cerminan ini secara jelas dinyatakan seorang senator di Amerika pada tahun 1982,”bila kita ingin menghimpun dan memimpin orang, serta membuat mereka tergantung, terus mau bekerja untuk kita, itu adalah dengan cara membuat mereka ketergantungan makan dengan kita”.
Artinya silakan usir petani dari tanah pertanian, import pkacang kedelai, gandum, daging sapi dan segera bangun perkebunan-perkebunan besar untuk eksport, segera bangun infrastruktur untuk memfasilitasi masuknya investasi, lakukan terus tindak kekerasan di tanah-tanah pertanian serta datangkan investasi asing sebanyak-banyaknya. Atau jalankan reforma agraria, sediakan kredit murah bagi petani, proteksi petani dari serbuan hasil produksi pertanian luar negeri, bangun teknologi pertanian yang murah, massal dan mudah. Itu hanya tinggal pilihan, apaka kita sebagai bangsa menikmati keterjajahan atau ingin bangkit melawan. Karena bagi petani, apapun resikonya pilihannya adalah jelas, ingin sejahtera, adil dan merdeka.*** dimuat di pembaruan tani juli 2006 Baca Selanjutnya......
9.6.06
Petani Menolak Revisi UUPA 1960 dan menuntut dilaksanakan Reforma Agraria
17 Mei 2006, puluhan ribu petani dari berbagai daerah anggota Federasi Serikat Petani Indonesia bersama organisasi pemuda, buruh dan tani lainnya lagi-lagi mendatangi Ibukota Negara menagih janji pelaksanaan reforma agraria kepada Presiden RI. Tagihan janji ini bukan mengada-ada atau isapan jempol, SBY-JK ketika kampanye mencalonkan diri jadi presiden RI menjanjikan akan menata pertanahan dan melaksanakan pembaruan agraria. Janji itu tak main-main, karena dituangkan dalm buku putih mereka dan diucapkan berkali-kali dihadapan jutaan rakyat Indonesia melalui televisi. Itu dokumen tercatat dan valid.
Demontrasi petani berlangsung secara bersamaan dengan acara konferensi Rakyat Asia pasifik untuk beras dan kedaulatan pangan. Tidak tangung. Petani dari puluhan negara itu menyelenggarakannya sebagai upaya menekan pertemuan FAO-organisasi pangan dunia di Jakarta pada saat yang sama, yaitu 15-19 Mei 2006. Inilah wajah gerakan petani di Indonesia saat ini, yaitu makin menguatnya solidaritas sesama petani yang senasib dan sehaluan. Perjuangan lintas propinsi, negara bahkan benua ini mulai diperhitungkan bagi banyak kalangan. Pun bagi petani sendiri ini membuka tabir bahwa perjuangan pembaruan agraria masih digelorakan dibanyak tempat.
Tema pertemuan konferensi rakyat, Beras adalah kehidupan, kebudayaan dan kedaulatan, slogan ini mengandung arti yang begitu dalam. Selain itu juga memberikan pengertian bahwa bertani terutama beras melingkupi suatu wilayah yang menyeluruh. Mulai dari benih, air, tanah, sistem produksi hingga pada perdagangannya. Ini juga berlaku bagi seluruh petani pangan. Bagi Indonesia beras merupakan makanan pokok 97 persen penduduk Indonesia. Usaha perberasan menghidupi 24 juta keluarga dari total 53 juta keluarga di Indonesia.
Karena sifatnya yang berbeda dengan berbagai kegiatan produksi lainnya maka negara harus menjamin bahwa setiap keluarga tani memiliki tanah utnuk berproduksi. Jalan bagi keadilan terhadap pertanahan itu maka tak ada pilihan lain selain menjalankan reforma agraria. Program itu pada tahap awal fokus pada distribusi tanah bagi rakyat tanpa tanah dan petani yang miskin, serta buruh tani.
Tanah dan air harus dikuasai dan dimiliki oleh komunitas lokal. Bagi petani tanah seharusnya milik rakyat kecil dan tunakisma, bukannya milik tuan tanah. Tahap berikutnya mengenai sistem produksi pertanian, petani memperkenalkan kedaulatan pangan. Untuk melindungi ekosistem, menghilangkan kemiskinan, pelestarian tanah, keaneka ragaman hayati, peningkatan kualitas air dan tersedianya pangan dengan harga yang terjangkau bagi konsumen. Inilah kemudian menyambung pada perdagangan. Harus dipastikan bahwa harga yang layak bagi petani dilindungi oleh pemerintah. Memberikan subsidi untuk menutupi biaya produksi dan mendapatkan keuntungan yang cukup yang sesuai dengan biaya kebutuhan hidup para petani.
Namun dari semua buah pikir dan tuntutan petani terhadap pemerintah seperti jauh api dari panggang. Ditengah hiruk pikuknya tuntutan petani kepada pemerintah untuk menjalankan reforma agraria, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif, menaikkan harga pupuk, mengusulkan revisi atas UUPA 1960. Perwakilan petani yang diterima didalam istana oleh Menteri Pertanian dan kepala BPN serta juru bicara presiden pun tak puas.
Mereka lagi-lagi berjanji-berrjanji dan berjanji. Artinya tekanan, kontrol dan keterlibatan petani melalui organisasi menjadi keharusan untuk merealisasikan janji-janji mereka dan menjalankan cita-cita petani dan rakyat miskin lainnya.
Terbukti, tiga minggu setelah demontrasi petani tepatnya 5 Juni 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan perpres 65/ 2006 tentang Tentang Perubahan Atas Perpres 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Perpres 36/2005 tertanggal 3 Mei 2005. artinya tak ada kemauan politk bagi pemerintah untuk melindungi tanah-tanah rakyat apalagi menyediakannya bagi petani. Karena bagi sebagian besar petani, miskin kota yang diperlukan adalah kebijakan mengenai perlindungan tersebut, bukan sebaliknya. Justru bisa dipastikan akan menguntungkan pemodal. Karena perpres ini akan memandulkan UUPA 1960 sebagai landasan hukum dijalankannya reforma agraria di Indonesia.
Jadi tak pelak lagi, pemerintah harus mengubah struktur kebijakannya menjadi kebijakan yang berpihak pada petani. Kalau belum ada cetak biru dan inisiatif secara politik mengenai agraria dan pertanian, maka konflik agraria dan kekerasan terhadap rakyat akan terus terjadi. Reforma agraria harus dijalankan, sebagai syarat utama terpenuhinya kedaulatan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. ***
(dimuat di pembaruan tani juni 2006) Baca Selanjutnya......
Demontrasi petani berlangsung secara bersamaan dengan acara konferensi Rakyat Asia pasifik untuk beras dan kedaulatan pangan. Tidak tangung. Petani dari puluhan negara itu menyelenggarakannya sebagai upaya menekan pertemuan FAO-organisasi pangan dunia di Jakarta pada saat yang sama, yaitu 15-19 Mei 2006. Inilah wajah gerakan petani di Indonesia saat ini, yaitu makin menguatnya solidaritas sesama petani yang senasib dan sehaluan. Perjuangan lintas propinsi, negara bahkan benua ini mulai diperhitungkan bagi banyak kalangan. Pun bagi petani sendiri ini membuka tabir bahwa perjuangan pembaruan agraria masih digelorakan dibanyak tempat.
Tema pertemuan konferensi rakyat, Beras adalah kehidupan, kebudayaan dan kedaulatan, slogan ini mengandung arti yang begitu dalam. Selain itu juga memberikan pengertian bahwa bertani terutama beras melingkupi suatu wilayah yang menyeluruh. Mulai dari benih, air, tanah, sistem produksi hingga pada perdagangannya. Ini juga berlaku bagi seluruh petani pangan. Bagi Indonesia beras merupakan makanan pokok 97 persen penduduk Indonesia. Usaha perberasan menghidupi 24 juta keluarga dari total 53 juta keluarga di Indonesia.
Karena sifatnya yang berbeda dengan berbagai kegiatan produksi lainnya maka negara harus menjamin bahwa setiap keluarga tani memiliki tanah utnuk berproduksi. Jalan bagi keadilan terhadap pertanahan itu maka tak ada pilihan lain selain menjalankan reforma agraria. Program itu pada tahap awal fokus pada distribusi tanah bagi rakyat tanpa tanah dan petani yang miskin, serta buruh tani.
Tanah dan air harus dikuasai dan dimiliki oleh komunitas lokal. Bagi petani tanah seharusnya milik rakyat kecil dan tunakisma, bukannya milik tuan tanah. Tahap berikutnya mengenai sistem produksi pertanian, petani memperkenalkan kedaulatan pangan. Untuk melindungi ekosistem, menghilangkan kemiskinan, pelestarian tanah, keaneka ragaman hayati, peningkatan kualitas air dan tersedianya pangan dengan harga yang terjangkau bagi konsumen. Inilah kemudian menyambung pada perdagangan. Harus dipastikan bahwa harga yang layak bagi petani dilindungi oleh pemerintah. Memberikan subsidi untuk menutupi biaya produksi dan mendapatkan keuntungan yang cukup yang sesuai dengan biaya kebutuhan hidup para petani.
Namun dari semua buah pikir dan tuntutan petani terhadap pemerintah seperti jauh api dari panggang. Ditengah hiruk pikuknya tuntutan petani kepada pemerintah untuk menjalankan reforma agraria, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif, menaikkan harga pupuk, mengusulkan revisi atas UUPA 1960. Perwakilan petani yang diterima didalam istana oleh Menteri Pertanian dan kepala BPN serta juru bicara presiden pun tak puas.
Mereka lagi-lagi berjanji-berrjanji dan berjanji. Artinya tekanan, kontrol dan keterlibatan petani melalui organisasi menjadi keharusan untuk merealisasikan janji-janji mereka dan menjalankan cita-cita petani dan rakyat miskin lainnya.
Terbukti, tiga minggu setelah demontrasi petani tepatnya 5 Juni 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan perpres 65/ 2006 tentang Tentang Perubahan Atas Perpres 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Perpres 36/2005 tertanggal 3 Mei 2005. artinya tak ada kemauan politk bagi pemerintah untuk melindungi tanah-tanah rakyat apalagi menyediakannya bagi petani. Karena bagi sebagian besar petani, miskin kota yang diperlukan adalah kebijakan mengenai perlindungan tersebut, bukan sebaliknya. Justru bisa dipastikan akan menguntungkan pemodal. Karena perpres ini akan memandulkan UUPA 1960 sebagai landasan hukum dijalankannya reforma agraria di Indonesia.
Jadi tak pelak lagi, pemerintah harus mengubah struktur kebijakannya menjadi kebijakan yang berpihak pada petani. Kalau belum ada cetak biru dan inisiatif secara politik mengenai agraria dan pertanian, maka konflik agraria dan kekerasan terhadap rakyat akan terus terjadi. Reforma agraria harus dijalankan, sebagai syarat utama terpenuhinya kedaulatan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. ***
(dimuat di pembaruan tani juni 2006) Baca Selanjutnya......
11.4.06
17 April hari perjuangan petani
Hari Besar Petani
Pada saat berlangsungnya Konferensi Internasional Via Campesina Ke II yang dilaksanakan di Tlaxcala, Meksiko, pada tahun 1996, 19 orang buruh tani telah dibunuh oleh polisi militer pada tanggal 17 April 1996, di Eldorado dos Carajaas Brasil. Dalam rangka memperingati kejahatan yang mengerikan ini La Via Campesina mendeklarasikan 17 April sebagai Hari Perjuangan Petani Internasional.
Setiap tahun pada tanggal 17 April, ribuan petani, perempuan dan laki-laki, menyatukan kekuatan untuk melakukan protes melawan kebijakan neoliberal seperti liberalisasi perdagangan pertanian, deregulasi dan privatisasi. Kebijakan ini telah mendorong penghancuran ekonomi petani dan pengusiran petani-petani kecil, buruh tani dan nelayan dari tanah mereka.
Kemudian, atas insiatif berbagai organisasi tani termasuk didalamnya Federasi Serikat Petani Indonesia bersama-sama dengan Komnas HAM, pada tahun 2001 lalu mendeklarasikan Hari Asasi Petani Indonesia pada tanggal 20 April. Sejak itu juga setiap tanggal 20 April , banyak kalangan terutama petani merayakan hari besar ini untuk terus menggelorakan perjuangan petani dalam pemenuhan dan perlindungan hak-haknya.
Saat ini juga Gerakan petani di Indonesia bersama gerakan sosial lainnya seperti pemuda, mahasiswa, kaum buruh, serta lembaga non-pemerintah bersama-sama mengkampanyekan kedaulatan pangan dan memperkuat gerakan untuk Pembaruan Agraria Sejati. Semua berkumpul di Desa Selokan , Kec. Pakis Karawang ratusan petani anggota FSPI, Dewan Tani Karawang dan lainnya merayakan ke-dua hari penting tersebut. Selain itu juga diseluruh bagian dunia, anggota La Via Campesina melakukan berbagai aktivitas seperti di Brasil, Honduras, Canada, India bahkan di Palestina sekalipun dan tempat lainnya.
Pada forum rakyat yang digelar ditengah sawah itu, diadakan juga diskusi massa. Dalam diskusi tersebut muncul bahwa perjuangan kaum tani di Indonesia dalam melawan kebijakan-kebijakan pertanian yang tidak memihak kepada petani tak pernah henti, seperti apa yang telah terjadi yaitu pemerintah Indonesia sejak tahun 1997 sudah tidak lagi memberikan subsidi bagi pengembangan usaha pertanian, membuka pasar dalam negerinya dari import produksi pertanian dari luar dengan selebar-lebarnya melalui penetapan bea import masuk yang rendah, seperti khususnya beras disebutkan bahwa dalam periode September 1998 hingga desember 1999, pemerintah Indonesia mengenakan tariff import beras sebesar 0%. Selanjutnya menentukan tariff khusus sebesar Rp. 430/kg atau sekitar 30% sejak Januari 2000 hingga tahun 2004. belum lagi kebijakan SBY-JK terakhir yang memutuskan untuk import beras sebanyak 70.050 ton pada akhir 2005 dan ditambah ratusan ribun ton diawal tahun 2006. kebijakan tersebut ditengah rakyat tani menyongsong panen hasil-hasil padi. Sementara itu legislatif yang diharapkan berpihak kepada petani ternyata menipu, mereka hanya sekedar pemberi gula-gula manis dalm proses demokrasi. Yang nyata hanya berpihak kepada penguasa yang bermodal itu.
Persoalan pangan, terutama beras bukanlah soal komoditas dagang semata namun juga suatu upaya untuk menegakkan Kedaulatan Pangan, yang merupakan suatu hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri. Kedaulatan pangan adalah merupakan prasyarat dari sebuah keamanan pangan (food Security), maksudnya adalah suatu hal yang mustahil. Keamanan pangan tercipta kalau kedaulatan pangan tidak dimiliki oleh rakyat. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan bagi setiap bangsa dan rakyat untuk dapat mempunyai hak dalam menentukan makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal dan perdagangan di tingkat wilayah.
Kemudian sejurus dengan kedaulatan pangan, penguasaan dan kepemilikan alat produksi bagi petani adalah hal yang tak bisa ditawar. Jalan pembaruan agraria harus ditempuh sebagai pijakan dasar pembangunan bangsa.
Dalam acara itu juga petani mengungkapkan bahwa untuk meningkatkan dalam produksi pertanian yang menjamin kebutuhan-kebutuhan pangan, penghargaan lingkungan dan memberikan para petani suatu kehormatan kehidupan, sebuah intervensi aktif pemerintah merupakan hal yang harus ada. Intervensi ini harus menjamin pertama, Penguasaan dan kepemilikan oleh petani dan buruh tani atas alat-alat produksi seperti tanah, benih, air dan kredit. Kedua, pengendalian impor dalam rangka untuk menstabilkan harga sampai pada tingkatan yang meliputi selurh biaya produksi. Ketiga, pengendalian produksi (contohnya manajemen penawaran) dalam rangka untuk menghindari kelebihan produksi. Keempat, perjanjian-perjanjian komoditi internasional untuk mengontrol penawaran dan menjamin harga-harga yang fair terhadap petani-petani penghasil produk-produk ekspor seperti kopi, kapas dan lainnya dan kelima asistensi publik untuk membantu mengembangkan produksi petani dan pemasaran
Itulah jalan yang didesakan oleh petani beserta kalangan lainnya untuk segera dilaksanakan oleh pemerintah yang berkuasa saat ini SBY-JK. Baca Selanjutnya......
Pada saat berlangsungnya Konferensi Internasional Via Campesina Ke II yang dilaksanakan di Tlaxcala, Meksiko, pada tahun 1996, 19 orang buruh tani telah dibunuh oleh polisi militer pada tanggal 17 April 1996, di Eldorado dos Carajaas Brasil. Dalam rangka memperingati kejahatan yang mengerikan ini La Via Campesina mendeklarasikan 17 April sebagai Hari Perjuangan Petani Internasional.
Setiap tahun pada tanggal 17 April, ribuan petani, perempuan dan laki-laki, menyatukan kekuatan untuk melakukan protes melawan kebijakan neoliberal seperti liberalisasi perdagangan pertanian, deregulasi dan privatisasi. Kebijakan ini telah mendorong penghancuran ekonomi petani dan pengusiran petani-petani kecil, buruh tani dan nelayan dari tanah mereka.
Kemudian, atas insiatif berbagai organisasi tani termasuk didalamnya Federasi Serikat Petani Indonesia bersama-sama dengan Komnas HAM, pada tahun 2001 lalu mendeklarasikan Hari Asasi Petani Indonesia pada tanggal 20 April. Sejak itu juga setiap tanggal 20 April , banyak kalangan terutama petani merayakan hari besar ini untuk terus menggelorakan perjuangan petani dalam pemenuhan dan perlindungan hak-haknya.
Saat ini juga Gerakan petani di Indonesia bersama gerakan sosial lainnya seperti pemuda, mahasiswa, kaum buruh, serta lembaga non-pemerintah bersama-sama mengkampanyekan kedaulatan pangan dan memperkuat gerakan untuk Pembaruan Agraria Sejati. Semua berkumpul di Desa Selokan , Kec. Pakis Karawang ratusan petani anggota FSPI, Dewan Tani Karawang dan lainnya merayakan ke-dua hari penting tersebut. Selain itu juga diseluruh bagian dunia, anggota La Via Campesina melakukan berbagai aktivitas seperti di Brasil, Honduras, Canada, India bahkan di Palestina sekalipun dan tempat lainnya.
Pada forum rakyat yang digelar ditengah sawah itu, diadakan juga diskusi massa. Dalam diskusi tersebut muncul bahwa perjuangan kaum tani di Indonesia dalam melawan kebijakan-kebijakan pertanian yang tidak memihak kepada petani tak pernah henti, seperti apa yang telah terjadi yaitu pemerintah Indonesia sejak tahun 1997 sudah tidak lagi memberikan subsidi bagi pengembangan usaha pertanian, membuka pasar dalam negerinya dari import produksi pertanian dari luar dengan selebar-lebarnya melalui penetapan bea import masuk yang rendah, seperti khususnya beras disebutkan bahwa dalam periode September 1998 hingga desember 1999, pemerintah Indonesia mengenakan tariff import beras sebesar 0%. Selanjutnya menentukan tariff khusus sebesar Rp. 430/kg atau sekitar 30% sejak Januari 2000 hingga tahun 2004. belum lagi kebijakan SBY-JK terakhir yang memutuskan untuk import beras sebanyak 70.050 ton pada akhir 2005 dan ditambah ratusan ribun ton diawal tahun 2006. kebijakan tersebut ditengah rakyat tani menyongsong panen hasil-hasil padi. Sementara itu legislatif yang diharapkan berpihak kepada petani ternyata menipu, mereka hanya sekedar pemberi gula-gula manis dalm proses demokrasi. Yang nyata hanya berpihak kepada penguasa yang bermodal itu.
Persoalan pangan, terutama beras bukanlah soal komoditas dagang semata namun juga suatu upaya untuk menegakkan Kedaulatan Pangan, yang merupakan suatu hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri. Kedaulatan pangan adalah merupakan prasyarat dari sebuah keamanan pangan (food Security), maksudnya adalah suatu hal yang mustahil. Keamanan pangan tercipta kalau kedaulatan pangan tidak dimiliki oleh rakyat. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan bagi setiap bangsa dan rakyat untuk dapat mempunyai hak dalam menentukan makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal dan perdagangan di tingkat wilayah.
Kemudian sejurus dengan kedaulatan pangan, penguasaan dan kepemilikan alat produksi bagi petani adalah hal yang tak bisa ditawar. Jalan pembaruan agraria harus ditempuh sebagai pijakan dasar pembangunan bangsa.
Dalam acara itu juga petani mengungkapkan bahwa untuk meningkatkan dalam produksi pertanian yang menjamin kebutuhan-kebutuhan pangan, penghargaan lingkungan dan memberikan para petani suatu kehormatan kehidupan, sebuah intervensi aktif pemerintah merupakan hal yang harus ada. Intervensi ini harus menjamin pertama, Penguasaan dan kepemilikan oleh petani dan buruh tani atas alat-alat produksi seperti tanah, benih, air dan kredit. Kedua, pengendalian impor dalam rangka untuk menstabilkan harga sampai pada tingkatan yang meliputi selurh biaya produksi. Ketiga, pengendalian produksi (contohnya manajemen penawaran) dalam rangka untuk menghindari kelebihan produksi. Keempat, perjanjian-perjanjian komoditi internasional untuk mengontrol penawaran dan menjamin harga-harga yang fair terhadap petani-petani penghasil produk-produk ekspor seperti kopi, kapas dan lainnya dan kelima asistensi publik untuk membantu mengembangkan produksi petani dan pemasaran
Itulah jalan yang didesakan oleh petani beserta kalangan lainnya untuk segera dilaksanakan oleh pemerintah yang berkuasa saat ini SBY-JK. Baca Selanjutnya......
11.3.06
Tak ada pilihan lain, kecuali Melawan

Kaum tani di Indonesia terutama tani miskin dan buruh tani serta masyarakat tak bertanah semakin sulit saja. Dari jaman- ke jaman, dari penguasa ke penguasa, petani menjadi bulan-bulanan kebijakan melulu berpihak kepada pemodal dan kaum kaya di desa dan kota. Perjuangan naik bangun, pasang surut berlangsung panjang. Sejarah perlawanan kaum tani untuk merebut hak-hak demokratis dan hak paling dasar tak pelak mengundang amarah penguasa yang kaya raya. Karena dianggap menganggu arus modal yang masuk ke kocek-nya. Antara pengusaha, aparat polisi dan penguasa seia sekata menjawab gerakan rakyat tani untuk mempertahankan dan merebut hak-hak petani, yaitu melalui moncong senjata, proses hukum berbelit dan penuh rekayasa, politisasi persoalan menjadi kriminal dan pemenjaraan petani-petani. Celaka-nya ini berlaku berulang-ulang. Lihat saja beberapa kasus yang dialami petani anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) diberbagai wilayah yang saat ini sedang menghnagt kembali seperti Bandar Pasir Mandoge, Kab. Asahan Sumatera Utara, di Tanak Awu, Lombok Tengah NTB .
Petani di Bandar Pasir Mandoge Sumut, yang konflik dengan PT. Bakrie Sumatra Plantation Tbk. menjadi korban kekerasan dan penangkapan oleh satuan pengamanan perusahaan bersama aparat kepolisian setempat. Penggusuran paksa, penganiayaan, pelecehan tak henti hingga sekarang ini. Terakhir adalah tanggal 27 Maret 2006, sekitar 100 orang Security PT Bakrie Sumatera Plantations (PT BSP) yang dikawal oleh 6 anggota Brimob dan 4 anggota polisi ke lahan yang disengketakan dengan menggunakan 3 buah truk. Mereka langsung merusak lahan petani yang sudah ditanami dengan menggunakan bulldozer. Kejadian itu diringi dengan penangkapan terhadap empat (4) petani di POLRES Asahan, sehari kemudian dilepas kembali. adalah;
Dari empat (4 ) petani yang ditangkap tersebut yang mengalami luka-luka adalah Bpk. Sidabutar dengan kuku Jempol kaki lepas, Syahmana Damanik dengan luka pukul didada dan tangan berdarah karena pada saat ditangkap diseret dan dipukuli. Ibu Juniar br. Tampubolon saat ini sedang mengasuh bayi berumur 2 bulan.
Seorang petani, Ibu Teti br. Tampubolon mengalami luka bocor dikepala yang kemudian dibawa ke Rumah Sakit Setempat, Ibu Rumena br. Manurung hingga malam ini tidak diketahui keberadaannya kemudian ditemukan warga dalam keadan terborgol dan Eilin (anak Nuraini br. Panjaitan) yang diikut ditangkap yang kemudian dilepas mengalami trauma, serta puluhan petani lainnya yang mengalami luka-luka.
Padahal sebelumnya pada 23 Agustus 2005, lima (5) orang petani telah ditangkap dan dipenjarakan dengan dalih pengrusakan di areal lahan perusahaan, penangkapan tersebut juga dilakukan secara sewenang-wenang dan tidak prosedural oleh aparat kepolisian Kab. Asahan. Sekarang ini kelima petani tersebut mengalami persidangan dan di vonis hukuman penjara rata-rata 12 bulan.
Selanjutnya pada tanggal 9 Februari 2006. Aparat kepolisian (Brimob) melakukan pengusiran paksa kepada para petani penggarap lahan. Akibat pengusiran paksa itu, 23 orang petani perempuan mengalami pemukulan hingga pingsan dan luka-luka.
Di Tanak Awu, kabupaten Lombok Tengah NTB, pada tanggal 23 Maret 2006 persidangan atas petani yang ditangkap berlangsung. Latar belakang penangkapan adalah penghasutan dan perbuatan tak menyenangkan. Inilah karakter konflik agraria, segala cara hukum dipakai.
Hal yang disebutkan diatas bukannya meredupkan perlawanan kaum tani, justru sebaliknya. Petani makin kuat dan teguh serta percaya bahwa tak satupun penguasa apalagi pemodal akan berpihak kepada petani miskin. Bila dicermati, perlawanan masyarakat miskin tak hanya monopoli petani, namun juga buruh, miskin kota, mahasiswa dan pemuda yang menganggur. Dalam bulan Maret ini, banyak aksi-aksi perlawanan rakyat terjadi. Karena saluran demokratis macet. Mulai dari DPR, pemerintah tingkat desa hingga Presiden, partai-partai politik. semua macet. Tak ada jalan lain kecuali melawan. Melawan ini dalam kerangka menjalankan pokok-pokok pikiran Undang-Undang Dasar 1945. Tak ada pilihan lain bagi masyarakat yang dipinggirkan dan ter-alienasi kecuali melawan dengan caranya masing-masing. Melawan dalam rangka menjalankan amanat proklamasi kemerdekaan RI 1945. mewujudkan cita-cita bangsa yang sejahtera, adil makmur dan berkeadilan sosial. Membangun peradaban yang memenuhi hak-hak dasar rakyat, bukannya justru menjual kepada pihak asing. Bukannya menggadaikan kekayaan alam kepada perusahaan asing. Harapan bagi rakyat untuk mencapai cita-cita bangsa sangat yakin digapai. Masyakarat adil makmur bukan impian. Ia akan nyata bila masyarakat menemukan kesadaran kolektifnya bahwa perubahan itu dimulai dari segi yang paling kecil dan berrubah menjadi besar dengan kerja-kerja pendidikan, aksi dan kampanye massa yang aktif dan terus menerus. Bersatunya buruh, petani, dan kalangan lainnya. Jadi tak ush menunggu keajaiban bahwa penguasa yang sebagian besar korup itu akan berpihak kepada rakyat miskin. Tek aperlu menunggu ratu adil itu, bergerak berbareng saat ini juga secara serentak dan bersama-sama. Tak ada pilihan lain kecuali melawan.
(dimuat di pembaruan tani salam, maret 2006) Baca Selanjutnya......
14.1.06
Mati di Hamparan Sawah yang Subur
Beras bagi rakyat Indonesia bahkan beberapa negara didunia terutama di Asia adalah sumber kehidupan: “rice is our life”.
Beras merupakan makanan pokok 97 persen penduduk Indonesia. Usaha perberasan menghidupi 24 juta keluarga dari total 53 juta keluarga di Indonesia.
Karena sangat pentingnya beras bagi kedaulatan pangan, kesejahteraan petani dan stabilitas politik maka banyak pemerintah melakukan kontrol dan intervensi. Tidak hanya negara miskin atau berkembang, tetapi juga negara maju. Negara memberikan berbagai dukungan kepada para petani padi dengan penyediaan input, subsidi, penyuluhan dan jaminan harga yang baik. Agar para petani dapat melanjutkan usaha tani padinya, maka impor beras sangat dibatasi melalui kebijakan tarif impor yang tinggi bahkan pelarangan impor beras. Di Indonesia Presiden SBY selaku ketua Dewan Ketahanan Pangan Nasional mengambil alih kewenangan masalah beras yang berbuntut dibukanya keran impor beras sebesar 110.000 ton per Januari. Kita tahu bahwa motifnya secara jelas adalah untuk kepentingan stabilitas politik dan melanggengkan kekuasaannya. Bagaimana dengan kesejahteraan petani? Tidak sama sekali.
Alasan yang selalu dilontarkan oleh pemerintah dalam meng-import beras adalah, pertama karena harga mencapai atau melebihi titik kritis yaitu Rp. 3. 500/kg. Kedua, karena stok di BULOG kurang dari 1 juta ton beras. Kedua hal inilah yang menjadi dasar kebijakan import beras. Padahal sudah kita tahu, bahwa harga yang mencapai titik kritis tersebut adalah hal yang wajar akibat kenaikan BBM yang mencapai dua kali lipat lebih, karena ongkos produksi petani meningkat dari benih, sewa traktor, ‘obat-obatan dan tranportasi. Petani juga banyak kehilangan potensi yang seharusnya menjadi nilai tambah akibat dari penggilingan dimiliki bukan oleh petani. Mulai dari sekam, menir (beras pecah), dan dedak. Kemudian juga rente ekonomi dalam perdagangan beras ini terlalu panjang, ini harus dipangkas agar konsumen dan petani sama-sama menikmati keuntungan. Lagipula kenaikan harga beras hanya dinikmati segelintir petani yang masih menyimpan gabah hasil panen Desember tahun lalu, sekarang ini gabah-gabah petani sudah menjadi beras. Beras sudah berada pada pedagang bukan petani lagi, indikasi penimbunan beras pada awal tahun 2006 menjadi relevan bila dilihat dari informasi langkanya beras dibeberapa wilayah yang menyebabkan kenaikan secara cepat dan sistematis.
Inilah peran dan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi petani kecil dan konsumen miskin harus diterapkan, akibat dari BBM yang dijual mahal oleh pemerintah. Saat ini akibat kenaikan BBM oktober 2005 lalu yang mencapai 100% lebih, membuat berbagai harga kebutuhan pokok meningkat. Misalnya harga gula mencapai Rp. 6000- Rp. 8000/kg dari sbelumnya rata-rata Rp. 3.500, harga telur mencapai Rp. 8.500 –Rp. 10.00/kg, hal ini juga mengakibatkan lonjakan harga makanan lainnya yang mencapai rata-rata 30%. Artinya pemerintah sendiri tak siap atas dampak ikutan akibat naiknya BBM. Saat ini saja PLN sedang ribut-ribut ingin menaikkan TDL. Jadi mempersoalkan harga beras saja tidak relevan.
Kemudian tentang stok beras, Presiden sebagai ketua umum Dewan Ketahanan Pangan (DKP) sudah berkali-kali diyakinkan oleh Menteri Pertanian sebagai ketua harian DKP bahwa stok beras nasional surplus lebih dari 2, 1 juta ton. Jangan dilupakan bahwa kebijakan import beras tahap pertama Desember 2005 lalu diputuskan setelah Wakil Presiden, Menteri Perdagangan dan menko Kesra melakukan rapat koordinasi pada 22 Oktober 2005 tanpa melibatkan menteri pertanian yang sedikit banyak mempunyai data tentang beras. Masalah stok beras merupakan hal klasik mulai dari tahun 1988 di Indonesia. Tahun ini pulalah yang menandakan Indonesia menjadi net importer beras, yang diselingi dengan “masa aman” selama kurang lebih 9 bulan (Januari 2005-September 2005) saat impor beras dilarang. Data yang tidak akurat dan kericuhan antara Departemen Perdagangan- Departemen Pertanian dalam masalah ini seakan-akan menjadi legitimasi bagi kebijakan impor. Ditambah lagi dengan tekanan internasional dari Organisasi Perdagangan Dunia WTO yang memaksakan pembukaan pasar dan liberalisasi pertanian, dan mental dagang birokrat membuat masalah semakin pelik. Namun satu yang pasti, bahwa petani adalah bagian akhir dari rantai ini yang selalu mendapatkan kerugian terbesar.
Peran BULOG untuk membeli beras petani juga tak maksimal dilakukan, jelas alasannya adalah hitung-hitungan untung rugi belaka. Karena kita tahu BULOG sekarang ini sudah menjadi Perusahaan Umum yang artinya lembaga yang juga mengejar laba. Hal ini terlihat dari rentang waktu yang diberikan untuk membeli beras petani sangat pendek yakni hanya sekitar 12 hari, BULOG hanya konsentrasi di P. Jawa saja padahal di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan beras masih banyak tersedia, juga BULOG sengaja memberikan syarat-syarat yang terlalu berat. Menyoroti peran BULOG yang sejak dikeluarkannya UU No. 19/2003 tentenag BUMN. BULOG merupakan perusahaan umum, bukan lagi Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) artinya perannya hanya pelaksana teknis/operasional. Sebagai pelaksana teknis dilarang ikut campur dalam regulasi pangan dan beras.
Saat ini beras-beras Vietnam (jumlahnya kurang lebih 85.000 ton dari rencana semula 110.000 ton) sudah mulai berdatangan di beberapa pelabuhan berbagai daerah. Menurut Menteri Perdagangan jalur masuk beras import adalah wilayah yang minus, namun nyatanya seperti pelabuhan Belawan (Sumatera Utara) juga menjadi pintu masuk beras. Padahal berdasarkan Kepala Humas Bulog Regional I Sumut Haris Fadillah Lubis, mereka memiliki stok 31. 200 ton beras per 16 Januari 2005. stok ini akan mampu mencukupi kebutuhan beras hingga 4 bulan ke depan (Bisnis Indonesia, 19 Januari 2006).
Larangan Impor beras dan langkah kedepan
Sekarang ini Menteri perdagangan telah menerbitkan Surat Edaran (SE) berisi larangan impor beras hingga Juni 2006 sejak Februari 2006 menyusul kini memasuki masa panen raya musim tanam 2005-2006. Menurut data Departemen hingga April 2006 kita bisa menghasilkan 15 juta ton. Untuk itu diminta kepada BULOG agar siap menyerap gabah petani dengan harga minimal dari HPP yaitu Rp. 1. 730 (GKP). Langkah ini diambil sebagai antisipasi anjloknya harga gabah akibat musim hujan, tranportasi yang mahal, dan melonjaknya harga beras dipasaran.
Satu lagi yang harus dilakukan pemerintah adalah membuat dan melaksnakan cetak biru pembangunan pertanian nasional, yang kini terbengkalai. Semenjak dicanangkan, program Revitalisasi Pertanian dianggap petani hanya sebagai retorika belaka.
Pemerintah SBY-Kalla juga jangan menutup mata dengan reforma agraria, yang merupakan sendi dasar terpenuhinya kedaulatan pangan (food sovereignty) rakyat. Padahal dalam kampanye menuju kursi presiden, SBY menjanjikan reforma agraria sebagai salah satu janji yang harus direalisasikan dalam program ekonomi politik. Di Indonesia, mayoritas petani adalah petani gurem, yang hanya menguasai lahan kurang dari 0.5 hektare. “Jika tak punya tanah, bagaimana produksi mau naik?”. Ketidakseimbangan struktur agraria ini juga yang membuat sektor beras di Indonesia mandeg. Jadi, petani menuntut dilaksanakannya reforma agraria sejati yang diharapkan akan menjadi dasar cetak biru pembangunan pertanian nasional. Dengan reforma agraria ini, produksi beras dan pangan lainnya akan memenuhi permintaan domestik dan dengan terpenuhinya akses petani terhadap sumber produksi akan menjadi titik terang bagi pertanian Indonesia. Jangan sampai devisa kita habis karena tak mampu mengurus pangan. Tiap tahunnya untuk mengimpor beras, kedelai, gula, jagung dan daging sapi hampir mencapai lebih dari p. 17,6 triliun (Meneg BUMN Sugiharto).
Jadi tak pelak lagi, pemerintah harus mengubah struktur kebijakannya menjadi kebijakan yang berpihak pada petani. Kalau belum ada cetak biru dan inisiatif secara politik mengenai pertanian, impor akan terus-menerus menjadi rumus baku untuk memenuhi kebutuhan beras indonesia. Pertanian adalah sektor riil yang harus dilindungi dan menjadi tulang punggung negara, karena Indonesia adalah negara agraris. Reforma agraria harus ditegakkan, sebagai syarat utama terpenuhinya kedaulatan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. ***
Baca Selanjutnya......
Beras merupakan makanan pokok 97 persen penduduk Indonesia. Usaha perberasan menghidupi 24 juta keluarga dari total 53 juta keluarga di Indonesia.
Karena sangat pentingnya beras bagi kedaulatan pangan, kesejahteraan petani dan stabilitas politik maka banyak pemerintah melakukan kontrol dan intervensi. Tidak hanya negara miskin atau berkembang, tetapi juga negara maju. Negara memberikan berbagai dukungan kepada para petani padi dengan penyediaan input, subsidi, penyuluhan dan jaminan harga yang baik. Agar para petani dapat melanjutkan usaha tani padinya, maka impor beras sangat dibatasi melalui kebijakan tarif impor yang tinggi bahkan pelarangan impor beras. Di Indonesia Presiden SBY selaku ketua Dewan Ketahanan Pangan Nasional mengambil alih kewenangan masalah beras yang berbuntut dibukanya keran impor beras sebesar 110.000 ton per Januari. Kita tahu bahwa motifnya secara jelas adalah untuk kepentingan stabilitas politik dan melanggengkan kekuasaannya. Bagaimana dengan kesejahteraan petani? Tidak sama sekali.
Alasan yang selalu dilontarkan oleh pemerintah dalam meng-import beras adalah, pertama karena harga mencapai atau melebihi titik kritis yaitu Rp. 3. 500/kg. Kedua, karena stok di BULOG kurang dari 1 juta ton beras. Kedua hal inilah yang menjadi dasar kebijakan import beras. Padahal sudah kita tahu, bahwa harga yang mencapai titik kritis tersebut adalah hal yang wajar akibat kenaikan BBM yang mencapai dua kali lipat lebih, karena ongkos produksi petani meningkat dari benih, sewa traktor, ‘obat-obatan dan tranportasi. Petani juga banyak kehilangan potensi yang seharusnya menjadi nilai tambah akibat dari penggilingan dimiliki bukan oleh petani. Mulai dari sekam, menir (beras pecah), dan dedak. Kemudian juga rente ekonomi dalam perdagangan beras ini terlalu panjang, ini harus dipangkas agar konsumen dan petani sama-sama menikmati keuntungan. Lagipula kenaikan harga beras hanya dinikmati segelintir petani yang masih menyimpan gabah hasil panen Desember tahun lalu, sekarang ini gabah-gabah petani sudah menjadi beras. Beras sudah berada pada pedagang bukan petani lagi, indikasi penimbunan beras pada awal tahun 2006 menjadi relevan bila dilihat dari informasi langkanya beras dibeberapa wilayah yang menyebabkan kenaikan secara cepat dan sistematis.
Inilah peran dan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi petani kecil dan konsumen miskin harus diterapkan, akibat dari BBM yang dijual mahal oleh pemerintah. Saat ini akibat kenaikan BBM oktober 2005 lalu yang mencapai 100% lebih, membuat berbagai harga kebutuhan pokok meningkat. Misalnya harga gula mencapai Rp. 6000- Rp. 8000/kg dari sbelumnya rata-rata Rp. 3.500, harga telur mencapai Rp. 8.500 –Rp. 10.00/kg, hal ini juga mengakibatkan lonjakan harga makanan lainnya yang mencapai rata-rata 30%. Artinya pemerintah sendiri tak siap atas dampak ikutan akibat naiknya BBM. Saat ini saja PLN sedang ribut-ribut ingin menaikkan TDL. Jadi mempersoalkan harga beras saja tidak relevan.
Kemudian tentang stok beras, Presiden sebagai ketua umum Dewan Ketahanan Pangan (DKP) sudah berkali-kali diyakinkan oleh Menteri Pertanian sebagai ketua harian DKP bahwa stok beras nasional surplus lebih dari 2, 1 juta ton. Jangan dilupakan bahwa kebijakan import beras tahap pertama Desember 2005 lalu diputuskan setelah Wakil Presiden, Menteri Perdagangan dan menko Kesra melakukan rapat koordinasi pada 22 Oktober 2005 tanpa melibatkan menteri pertanian yang sedikit banyak mempunyai data tentang beras. Masalah stok beras merupakan hal klasik mulai dari tahun 1988 di Indonesia. Tahun ini pulalah yang menandakan Indonesia menjadi net importer beras, yang diselingi dengan “masa aman” selama kurang lebih 9 bulan (Januari 2005-September 2005) saat impor beras dilarang. Data yang tidak akurat dan kericuhan antara Departemen Perdagangan- Departemen Pertanian dalam masalah ini seakan-akan menjadi legitimasi bagi kebijakan impor. Ditambah lagi dengan tekanan internasional dari Organisasi Perdagangan Dunia WTO yang memaksakan pembukaan pasar dan liberalisasi pertanian, dan mental dagang birokrat membuat masalah semakin pelik. Namun satu yang pasti, bahwa petani adalah bagian akhir dari rantai ini yang selalu mendapatkan kerugian terbesar.
Peran BULOG untuk membeli beras petani juga tak maksimal dilakukan, jelas alasannya adalah hitung-hitungan untung rugi belaka. Karena kita tahu BULOG sekarang ini sudah menjadi Perusahaan Umum yang artinya lembaga yang juga mengejar laba. Hal ini terlihat dari rentang waktu yang diberikan untuk membeli beras petani sangat pendek yakni hanya sekitar 12 hari, BULOG hanya konsentrasi di P. Jawa saja padahal di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan beras masih banyak tersedia, juga BULOG sengaja memberikan syarat-syarat yang terlalu berat. Menyoroti peran BULOG yang sejak dikeluarkannya UU No. 19/2003 tentenag BUMN. BULOG merupakan perusahaan umum, bukan lagi Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) artinya perannya hanya pelaksana teknis/operasional. Sebagai pelaksana teknis dilarang ikut campur dalam regulasi pangan dan beras.
Saat ini beras-beras Vietnam (jumlahnya kurang lebih 85.000 ton dari rencana semula 110.000 ton) sudah mulai berdatangan di beberapa pelabuhan berbagai daerah. Menurut Menteri Perdagangan jalur masuk beras import adalah wilayah yang minus, namun nyatanya seperti pelabuhan Belawan (Sumatera Utara) juga menjadi pintu masuk beras. Padahal berdasarkan Kepala Humas Bulog Regional I Sumut Haris Fadillah Lubis, mereka memiliki stok 31. 200 ton beras per 16 Januari 2005. stok ini akan mampu mencukupi kebutuhan beras hingga 4 bulan ke depan (Bisnis Indonesia, 19 Januari 2006).
Larangan Impor beras dan langkah kedepan
Sekarang ini Menteri perdagangan telah menerbitkan Surat Edaran (SE) berisi larangan impor beras hingga Juni 2006 sejak Februari 2006 menyusul kini memasuki masa panen raya musim tanam 2005-2006. Menurut data Departemen hingga April 2006 kita bisa menghasilkan 15 juta ton. Untuk itu diminta kepada BULOG agar siap menyerap gabah petani dengan harga minimal dari HPP yaitu Rp. 1. 730 (GKP). Langkah ini diambil sebagai antisipasi anjloknya harga gabah akibat musim hujan, tranportasi yang mahal, dan melonjaknya harga beras dipasaran.
Satu lagi yang harus dilakukan pemerintah adalah membuat dan melaksnakan cetak biru pembangunan pertanian nasional, yang kini terbengkalai. Semenjak dicanangkan, program Revitalisasi Pertanian dianggap petani hanya sebagai retorika belaka.
Pemerintah SBY-Kalla juga jangan menutup mata dengan reforma agraria, yang merupakan sendi dasar terpenuhinya kedaulatan pangan (food sovereignty) rakyat. Padahal dalam kampanye menuju kursi presiden, SBY menjanjikan reforma agraria sebagai salah satu janji yang harus direalisasikan dalam program ekonomi politik. Di Indonesia, mayoritas petani adalah petani gurem, yang hanya menguasai lahan kurang dari 0.5 hektare. “Jika tak punya tanah, bagaimana produksi mau naik?”. Ketidakseimbangan struktur agraria ini juga yang membuat sektor beras di Indonesia mandeg. Jadi, petani menuntut dilaksanakannya reforma agraria sejati yang diharapkan akan menjadi dasar cetak biru pembangunan pertanian nasional. Dengan reforma agraria ini, produksi beras dan pangan lainnya akan memenuhi permintaan domestik dan dengan terpenuhinya akses petani terhadap sumber produksi akan menjadi titik terang bagi pertanian Indonesia. Jangan sampai devisa kita habis karena tak mampu mengurus pangan. Tiap tahunnya untuk mengimpor beras, kedelai, gula, jagung dan daging sapi hampir mencapai lebih dari p. 17,6 triliun (Meneg BUMN Sugiharto).
Jadi tak pelak lagi, pemerintah harus mengubah struktur kebijakannya menjadi kebijakan yang berpihak pada petani. Kalau belum ada cetak biru dan inisiatif secara politik mengenai pertanian, impor akan terus-menerus menjadi rumus baku untuk memenuhi kebutuhan beras indonesia. Pertanian adalah sektor riil yang harus dilindungi dan menjadi tulang punggung negara, karena Indonesia adalah negara agraris. Reforma agraria harus ditegakkan, sebagai syarat utama terpenuhinya kedaulatan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. ***
Baca Selanjutnya......
17.10.05
Menelusuri Palembang SEPANJANG MUSI
LAMA tak berjumpa Palembang banyak mengubah wajahnya. Ibukota propinsi Sumatera Selatan, kota tertua di Indonesia pada Juni 2005 berumur 1322 tahun. Tak lagi mempersembahkan gambaran sungai-sungai yang kotor atau berjejalnya rumah-rumah rakit dipinggiran sungai Musi. Tahun 2005 ini diadakan Festival Sriwijaya yang ke XIV.
Sejak 3 tahun terakhir, sudah berdiri berbagai hotel berbintang seperti Novotel, Sandjaja, dan Aston. Tempat-tempat belanja, Palembang Trade Centre atau Palembang Square yang megah dan nyaman. Ada juga tempat untuk sekedar berleha-leha dengan kekasih, bercengkrama bersama keluarga beserta anak-anak di taman depan Benteng Kuto Besak. Persis disisi sungai Musi.
Angan kota palembang menjadi ‘water front city’ atau Venezia from east, mejadi pemacu pemerintah kota untuk berbebah-benah. Dari kota yang seram, kriminal tinggi, menjadi kota tujuan wisata. Keberhasilan menjadi tuan rumah PON XVI tahun 2004 lalu, dijadikan modal promosi yang cukup berhasil.
Sebenarnya cukup banyak tempat untuk dikunjungi di kota empek-empek ini. Termasuk jembatan Ampera yang terbentang di sungai Musi, yang terkenal itu atau singgah di bangunan bersejarah seperti Benteng Kuto Besak.
Jembatan Ampera
MASIH teringat dalam kenangan Pak Midun (52), warga 5 Ilir, bila ‘pertunjukan’ itu berlangsung. Yakni ketika badan Jembatan Ampera yang panjang, tepat ditengah-tengahnya terangkat naik dengan ketinggian di atas sembilan meter. Ini terjadi bila ada kapal-kapal besar dan tinggi yang mengarungi sungai musi melintasi jembatan. kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Baik yang menuju Hilir ataupun yang ke hulu.
Proses naik turun memakan waktu lebih dari 39 menit. Itulah kenapa sejak 35 tahun lalu atau sekitar 1970-an pengangkatan dan penurunan jembatan tak difungsikan lagi. Alasannya menyebabkan kemacetan arus lalu lintas antara seberang Ulu dan seberang Ilir, dua daerah kota Palembang yang dipisahkan oleh sungai Musi.
Banyak kalangan generasi muda mengira pembangunan jembatan Ampera pada masa penjajahan Belanda atau Jepang. Padahal pembangunan jembatan gerak ini dimulai setelah Indonesia merdeka, tahun 1962 oleh pemerintahan Ir. Soekarno. Awalnya jembatan yang panjangnya 1.177 meter dan lebar 22 meter diberi nama Jembatan Bung Karno. Dua menara pengangkatnya berdiri tegak setinggi 63 meter. Jarak antara dua menara ini 75 meter. Menara dilengkapi dengan dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton.
Pada tahun 1965 jembatan diresmikan pemakaiannya, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Akan tetapi, setelah pergolakan politik pada tahun 1966, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera, Amanat Penderitaan Rakyat.
Warna cat pada jembatan ini juga kental bernuansa politik. Pada tahun 1990-an kemenangan GOLKAR, maka jembatan ini berwarna kuning. Namun ketika Megawati menjadi Presiden, jembatan ini menjadi berubah warna....ehm sesuai warna Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yaitu warna merah, terang benderang hingga kini.
Menelusuri sungai Musi
BILA sudah jenuh melihat pemandangan dari atas jembatan Ampera, maka saatnya menjelajahi sungai Musi yang panjangya sekitar 550 kilo meter. Kita dapat menyewa perahu ketek atau speedboat 4 PK.
Dermaga di depan Kuto Besak Ketek isi Bensin Speed Boat
Untuk mengetahui lebih banyak kota Palembang, sebaiknya menyewa perahu ketek saja. Perahu didapati didermaga depan museum Sultan Mahmud Badaruddin II atau depan Benteng Kuto Besak. Jangan takut dengan cerita miring kasarnya wong kito, sekarang sekitar tempat itu banyak polisi-polisi wisata berseliweran naik bajaj sisa PON XVI. Harga sewa tergantung keahlian kita tawar menawar, biasanya sekitar 100 ribu rupiah/perahu ketek ukuran sedang dengan mesin kecil. Yah cukup nyaman tidak lebih dari lima orang.
Perahu Ketek di S. Musi Sang Penjelajah
Perahu melintasi jembatan Ampera, seakan kita berada dibawah kaki-kaki raksasa, perahu ketek pun menjadi kecil sekali tak sebanding dengan bangunan jembatan yang gagah. Sementara, bus, mobil dan berbagai kendaraan lainnya melintas di atas jembatan, dan perahu ketek berlomba dengan gelombang sungai akibat terpaan angin. Terpental kiri dan kanan, air menerpa wajah. Suasana yang cukup menegangkan, ditengah sungai Musi yang dalam hingga puluhan meter. Ha...Untuk yang tidak bisa berenang, lebih baik pikir-pikir lagi.
Dengan menjelajahi sungai Musi ke Hilir kita bisa datangi Pulo Kemaro. Pulau ini merupakan sebuah delta di sungai Musi, sekitar 5 km sebelah hilir Jembatan Ampera. Dipulau ini terdapat sebuah vihara. Dalam perayaan Cap Go Me ribuan masyarakat Cina termasuk yang datang dari berbagai kota bahkan dari luar negeri berkunjung ke pulau kemaro untuk melakukan sembahyang atau berziarah. Perayaan ini berlangsung sampai 2-3 hari. Dari pulau kemaro dapat juga disaksikan kilang minyak Plaju dan Sungai Gerong serta pabrik pupuk PT. PUSRI.
Vihara di P. Kemaro Belanja kebutuhan dapur di perahu
Kemudian kita juga akan melewati pelabuhan bom baru di 5 Ilir, sebelumnya juga melewati pasar Kuto. Ditempat ini akan kita dapati pemandangan bongkar muat, kuli-kuli angkut naik turun kapal tongkang. Begitu eksotik.
Sebaliknya bila ke Hulu sungai, kita dapat mampir ke taman purbakala kerajaan Sriwijaya di karang Anyar. Baca Selanjutnya......
Beras Import miskinkan 70% Rakyat Indonesia; Petani
Impor Beras Jangan Dipaksakan!
Rencana impor beras sebanyak 250.000 ton agaknya tetap akan dipaksakan oleh pemerintah. Seperti di kutip Bisnis Indonesia (26/9), Menteri Perdagangan Mari E Pangestu mengatakan tidak ada yang berubah dalam sikap pemerintah terhadap rencana impor beras walaupun ada resistensi publik yang cukup besar atas rencana impor beras tersebut. Mari selanjutnya mengatakan jika harga beras eceran kelas menengah melampaui Rp 3500 dan stok Bulog dibawah satu juta ton impor akan dilakukan. Syarat itu sendiri ditetapkan oleh rapat sejumlah menteri yang dipimpin oleh Wapres Jusuf Kalla.
Dengan adanya kenaikan harga BBM 1 Oktober lalu yang memicu kenaikan ongkos transportasi dan sejumlah kebutuhan pokok lainnya, harga beras ditingkat eceran berpotensi naik. Selain itu, untuk mengantisipasi gejolak akibat kenaikan harga BBM, Bulog memajukan pelepasan raskin bulan November menjadi akhir Oktober. Kepala Humas Perum Bulog Rochyad Natajuda membenarkan bahwa raskin untuk November diajukan menjadi akhir Oktober (Kompas(13/10)). Pemerintah beralasan langkah impor beras tersebut sebagai antisipasi melinjaknya kebutuhan beras masyarakat, khususnya menjelang bulan puasa, lebaran, natal, hingga tahun baru 2006.
Sekjen Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Henry Saragih menilai langkah-langkah yang diambil pemerintah tidak fair. Dalam hal ini pemerintah terkesan gali lobang tutup lobang, dengan kata lain pemerintah menimpakan beban yang ditimbulkan akibat kebijakan menaikan harga BBM kepada petani. Pemerintah menggunakan alasan naiknya harga beras di tingkat pengecer dan “kritisnya” stok Bulog untuk melakukan impor beras. “Padahal situasi seperti itu sengaja diciptakan, contohnya dengan melepas stok Bulog bulan November di akhir Oktober agar terkesan stok Bulog menipis. Hal itu untuk menguatkan alasan mengimpor beras,” ujarnya.
Henry berargumen dugaan pemerintah tidak berpihak kepada petani bukannya tanpa alasan, mengingat Menteri Pertanian Anton Apriyantono berulang kali menyatakan stok beras nasional mencukupi. Bahkan berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) sampai awal Desember 2005 mendatang kelebihan stok masih sekitar 3,39 juta ton dengan asumsi bahwa sisa stok bulan sebelumnya sebesar 5,06 juta ton ditambah produksi 1,04 juta ton. Jadi ketersediaan stok beras bulan Desember mencapai 6,1 juta ton, sedangkan konsumsi sekitar 2,71 juta ton.
Apabila pemerintah tetap memaksakan kebijakan impor beras, pihak yang paling dirugikan adalah petani dan buruh tani, khususnya petani beras. Harga gabah di tingkat petani akan terus terkoreksi semakin rendah. Ujung-ujungnya pendapatan petani akan tertekan. Padahal selama ini petani merupakan lapisan masyarakat yang paling rentan terhadap kemiskinan. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin malah akan terus bertambah. Hal ini bertentangan dengan niat pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan itu sendiri.
Menurut Achmad Ya'kub (deputi pengkajian kebijakan dan kampanye FSPI), berdasarkan fakta-fakta yang ada pemerintah tidak mempunyai alasan untuk untuk mengimpor beras. Pemerintah mengambil langkah tersebut semata-mata karena tekanan pihak luar. Ada kepentingan bisnis yang selalu berupaya agar negara kita bergantung terhadap beras impor. Hal ini tercermin dari perundingan-perundingan tentang pertanian di WTO. “Pemerintah tidak bisa lagi menetapkan larangan impor beras akibat perjanjiannya dengan WTO, karena itu kebijakan melarang import beras ini harus didukung oleh setiap elemen masyarakat,” tegas Ya’kub.
Sebaiknya pemerintah bercermin dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, sekali keran impor dibuka maka harga gabah di tingkat petani akan tertekan. Ditambah lagi dengan mentalitas birokrasi dan aparat yang korup, kemungkinan penyelundupan beras akibat dibukanya keran impor semakin terbuka lebar. Henry juga menilai, selama ini politik pangan pemerintah tidak berpihak kepada petani. Pemerintah lebih mementingkan kepentingan segelintir dunia usaha (importir). Langkah keliru ini masih saja tetap dipertahankan, padahal dengan mengangkat kesejahteraan petani, soal kemiskinan di Indonesia akan lebih terkurangi. Karena sebagian besar rakyat (terutama yang tinggal di pedesaan) masih bergantung kepada sektor ini, dan ironisnya petani dan buruh tani merupakan porsi terbesar dari masyarakat miskin di Indonesia. (selesai) Baca Selanjutnya......
Subscribe to:
Posts (Atom)