24.12.06

Tahun 2006 Dipenuhi Janji, Miskin Realisasi


Bagi petani, tahun 2006 yang dijalani hingga saat ini seperti tahun-tahun sebelumnya, janji-janji sejahtera selalu menjadi bunga-bunga saja. Masih hangat dalam ingatan bagaimana Presiden SBY-JK pada Juni 2005 mencanangkan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan (RPPK). Seakan pencanangan ini harga yang harus dibayar oleh kaum tani dan kalangan masyarakat lainnya atas Perpres 36/2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan untuk kepentingan umum.
Ancaman lebih nyata daripada harapan yang dijanjikan. Perpres tersebut tak ada klausul satupun yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan pembangunan adalah pembangunan pedesaan dan pertanian. Yang ada justru proyek-proyek bagi kepentingan modal yang lebih luas. Demikian juga Perpres 65/2006 sebagai revisi atas perpres 36/2005, makin menunjukan belang penguasa ini yang sangat berpihak kepada pemodal. Berbagai kepentingan umum yang melayani rakyat banyak ditiadakan seperti sarana pendidikan, peribadatan, serta kesehatan. Yang dikedepankan adalah proyek-proyek sepeti jalan tol, bandar udara, dan lainnya. Secara sederhana bisa kita pahami bahwa kekuatan asing melalui lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan seperti World Bank dan IMF begitu kuat cengkeremannya hingga dapat mendikte berbagai kebijakan pemerintah.

Padahal kita tahu SBY mendapatkan gelar Doktornya dalam bidang pertanian, seharusnya beliau mengerti apa yang dibutuhkan rakyat tani. Belum lagi politik pangan murah dengan import, menjadi agenda tahunan pemerintah. Contohnya Tahun 2005 pemerintah impor beras 304 ribu ton, tak berbeda tahun 2006 juga diputuskan impor sebanyak 840 ribu ton (sebagian diputuskan akhir tahun yang akan masuk pada awal tahun 2007). Pemerintah melalui Menteri Pertanian menegaskan dengan lantang bahwa tidak akan ada lagi impor beras, nyatanya dengan berbagai alasan apakah itu disebabkan oleh situasi alam ataupun lainnya impor tetap dilakukan. Secara internasional, pemerintah mengakui adanya tekanan dari organisasi perdagangan dunia (WTO-World Trade Organisation). Di WTO inilah sebagai anggotanya Indonesia terikat atas aturan mainnya. Padahal didalam WTO kepentingan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa lebih mendominasi dan menguasai daripada kepetingan negara di selatan.

Kebijakan agraria menemukan momentumnya ketika Presiden beserta pembantunya yaitu Menteri Pertanain, Menteri Kehutanan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional pada akhir September 2006 mengumumkan akan melaksanakan reforma agraria. Hal ini didasari kesadaran untuk mengurangi konflik agraria dan mengurangi kemiskinan yang mencapai 40 juta jiwa-- itu tersebar lebih banyak di daerah pedesaan. Rencana yang bagus itu ternyata tak sesuai harapan rakyat tani. Karena pemerintah dalam konsep Program Pembaruan Agraria Nasionalnya (PPAN) masih mengakomodir perusahaan/privat dalam program ini. Padahal kita tahu bahwa konflik-konflik agraria terutama yang melibatkan petani sebagian besar berhadapan dengan perusahaan swasta. Sebut saja di Sulawesi Selatan, di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan propinsi lainnya. Bagaimana mungkin pihak privat diuntungkan dalam program reforma agraria yang selama ini paling menikmati, meguasai dan mengusahakan serta merusak derngan luasan lahan yang mencapai jutaan hektar. Juga sejatinya reforma agraria itu adalah sebagai upaya menghapuskan ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan lahan, bukan sekedar serampangan bagi-bagi tanah. Didalamnya terdapat redistribusi. Artinya mendistribusikan kembali agar terciptanya keadilan agraria seperti yang dicita-citakan dalam UUPA 1960.

Belum lagi bencana alam diakhir tahun 2006, seperti longsor, banjir serta berbagai kecelakaan akibat kesalahan manusia. Dapat dikatakan bahwa janji-janji manis sepanjang tahun 2006 menuai berbagai bencana alam dan bencana kebijakan. Yang harus dipahami disini bahwa banyak bencana alam yang diakibatkan oleh ulah manusia. Manusia ini tak mungkin kita generalisir, karena sesungguhnya mereka yang mempunyai akses ekonomi dan politiklah yang punya andil beasr dalam perusakan alam. Petani sepanjang kita ketahui bersama dapat dipastikan akan menjaga alamnya agar mendukung proses produksi pertanian, bukan merusak. Bencana kebijakan yang dimaksudkan adalah kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat banyak, demi kepetingan penguasa yang pengusaha itu. Terakhir, memang tak mungkin rakyat tani hanya menunggu kebaikan hati penguasa/pemerintah dalam segala aspek kehidupan. Sudah saatnya kita mengawali tahun 2007 nanti dengan lebih memperkuat organisasi tani, memperluas persatuan rakyat dan melakukan praktek organisasi yang baik menuju cita-cita bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Baca Selanjutnya......