14.1.06

Mati di Hamparan Sawah yang Subur

Beras bagi rakyat Indonesia bahkan beberapa negara didunia terutama di Asia adalah sumber kehidupan: “rice is our life”.
Beras merupakan makanan pokok 97 persen penduduk Indonesia. Usaha perberasan menghidupi 24 juta keluarga dari total 53 juta keluarga di Indonesia.

Karena sangat pentingnya beras bagi kedaulatan pangan, kesejahteraan petani dan stabilitas politik maka banyak pemerintah melakukan kontrol dan intervensi. Tidak hanya negara miskin atau berkembang, tetapi juga negara maju. Negara memberikan berbagai dukungan kepada para petani padi dengan penyediaan input, subsidi, penyuluhan dan jaminan harga yang baik. Agar para petani dapat melanjutkan usaha tani padinya, maka impor beras sangat dibatasi melalui kebijakan tarif impor yang tinggi bahkan pelarangan impor beras. Di Indonesia Presiden SBY selaku ketua Dewan Ketahanan Pangan Nasional mengambil alih kewenangan masalah beras yang berbuntut dibukanya keran impor beras sebesar 110.000 ton per Januari. Kita tahu bahwa motifnya secara jelas adalah untuk kepentingan stabilitas politik dan melanggengkan kekuasaannya. Bagaimana dengan kesejahteraan petani? Tidak sama sekali.

Alasan yang selalu dilontarkan oleh pemerintah dalam meng-import beras adalah, pertama karena harga mencapai atau melebihi titik kritis yaitu Rp. 3. 500/kg. Kedua, karena stok di BULOG kurang dari 1 juta ton beras. Kedua hal inilah yang menjadi dasar kebijakan import beras. Padahal sudah kita tahu, bahwa harga yang mencapai titik kritis tersebut adalah hal yang wajar akibat kenaikan BBM yang mencapai dua kali lipat lebih, karena ongkos produksi petani meningkat dari benih, sewa traktor, ‘obat-obatan dan tranportasi. Petani juga banyak kehilangan potensi yang seharusnya menjadi nilai tambah akibat dari penggilingan dimiliki bukan oleh petani. Mulai dari sekam, menir (beras pecah), dan dedak. Kemudian juga rente ekonomi dalam perdagangan beras ini terlalu panjang, ini harus dipangkas agar konsumen dan petani sama-sama menikmati keuntungan. Lagipula kenaikan harga beras hanya dinikmati segelintir petani yang masih menyimpan gabah hasil panen Desember tahun lalu, sekarang ini gabah-gabah petani sudah menjadi beras. Beras sudah berada pada pedagang bukan petani lagi, indikasi penimbunan beras pada awal tahun 2006 menjadi relevan bila dilihat dari informasi langkanya beras dibeberapa wilayah yang menyebabkan kenaikan secara cepat dan sistematis.

Inilah peran dan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi petani kecil dan konsumen miskin harus diterapkan, akibat dari BBM yang dijual mahal oleh pemerintah. Saat ini akibat kenaikan BBM oktober 2005 lalu yang mencapai 100% lebih, membuat berbagai harga kebutuhan pokok meningkat. Misalnya harga gula mencapai Rp. 6000- Rp. 8000/kg dari sbelumnya rata-rata Rp. 3.500, harga telur mencapai Rp. 8.500 –Rp. 10.00/kg, hal ini juga mengakibatkan lonjakan harga makanan lainnya yang mencapai rata-rata 30%. Artinya pemerintah sendiri tak siap atas dampak ikutan akibat naiknya BBM. Saat ini saja PLN sedang ribut-ribut ingin menaikkan TDL. Jadi mempersoalkan harga beras saja tidak relevan.

Kemudian tentang stok beras, Presiden sebagai ketua umum Dewan Ketahanan Pangan (DKP) sudah berkali-kali diyakinkan oleh Menteri Pertanian sebagai ketua harian DKP bahwa stok beras nasional surplus lebih dari 2, 1 juta ton. Jangan dilupakan bahwa kebijakan import beras tahap pertama Desember 2005 lalu diputuskan setelah Wakil Presiden, Menteri Perdagangan dan menko Kesra melakukan rapat koordinasi pada 22 Oktober 2005 tanpa melibatkan menteri pertanian yang sedikit banyak mempunyai data tentang beras. Masalah stok beras merupakan hal klasik mulai dari tahun 1988 di Indonesia. Tahun ini pulalah yang menandakan Indonesia menjadi net importer beras, yang diselingi dengan “masa aman” selama kurang lebih 9 bulan (Januari 2005-September 2005) saat impor beras dilarang. Data yang tidak akurat dan kericuhan antara Departemen Perdagangan- Departemen Pertanian dalam masalah ini seakan-akan menjadi legitimasi bagi kebijakan impor. Ditambah lagi dengan tekanan internasional dari Organisasi Perdagangan Dunia WTO yang memaksakan pembukaan pasar dan liberalisasi pertanian, dan mental dagang birokrat membuat masalah semakin pelik. Namun satu yang pasti, bahwa petani adalah bagian akhir dari rantai ini yang selalu mendapatkan kerugian terbesar.

Peran BULOG untuk membeli beras petani juga tak maksimal dilakukan, jelas alasannya adalah hitung-hitungan untung rugi belaka. Karena kita tahu BULOG sekarang ini sudah menjadi Perusahaan Umum yang artinya lembaga yang juga mengejar laba. Hal ini terlihat dari rentang waktu yang diberikan untuk membeli beras petani sangat pendek yakni hanya sekitar 12 hari, BULOG hanya konsentrasi di P. Jawa saja padahal di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan beras masih banyak tersedia, juga BULOG sengaja memberikan syarat-syarat yang terlalu berat. Menyoroti peran BULOG yang sejak dikeluarkannya UU No. 19/2003 tentenag BUMN. BULOG merupakan perusahaan umum, bukan lagi Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) artinya perannya hanya pelaksana teknis/operasional. Sebagai pelaksana teknis dilarang ikut campur dalam regulasi pangan dan beras.


Saat ini beras-beras Vietnam (jumlahnya kurang lebih 85.000 ton dari rencana semula 110.000 ton) sudah mulai berdatangan di beberapa pelabuhan berbagai daerah. Menurut Menteri Perdagangan jalur masuk beras import adalah wilayah yang minus, namun nyatanya seperti pelabuhan Belawan (Sumatera Utara) juga menjadi pintu masuk beras. Padahal berdasarkan Kepala Humas Bulog Regional I Sumut Haris Fadillah Lubis, mereka memiliki stok 31. 200 ton beras per 16 Januari 2005. stok ini akan mampu mencukupi kebutuhan beras hingga 4 bulan ke depan (Bisnis Indonesia, 19 Januari 2006).

Larangan Impor beras dan langkah kedepan
Sekarang ini Menteri perdagangan telah menerbitkan Surat Edaran (SE) berisi larangan impor beras hingga Juni 2006 sejak Februari 2006 menyusul kini memasuki masa panen raya musim tanam 2005-2006. Menurut data Departemen hingga April 2006 kita bisa menghasilkan 15 juta ton. Untuk itu diminta kepada BULOG agar siap menyerap gabah petani dengan harga minimal dari HPP yaitu Rp. 1. 730 (GKP). Langkah ini diambil sebagai antisipasi anjloknya harga gabah akibat musim hujan, tranportasi yang mahal, dan melonjaknya harga beras dipasaran.

Satu lagi yang harus dilakukan pemerintah adalah membuat dan melaksnakan cetak biru pembangunan pertanian nasional, yang kini terbengkalai. Semenjak dicanangkan, program Revitalisasi Pertanian dianggap petani hanya sebagai retorika belaka.

Pemerintah SBY-Kalla juga jangan menutup mata dengan reforma agraria, yang merupakan sendi dasar terpenuhinya kedaulatan pangan (food sovereignty) rakyat. Padahal dalam kampanye menuju kursi presiden, SBY menjanjikan reforma agraria sebagai salah satu janji yang harus direalisasikan dalam program ekonomi politik. Di Indonesia, mayoritas petani adalah petani gurem, yang hanya menguasai lahan kurang dari 0.5 hektare. “Jika tak punya tanah, bagaimana produksi mau naik?”. Ketidakseimbangan struktur agraria ini juga yang membuat sektor beras di Indonesia mandeg. Jadi, petani menuntut dilaksanakannya reforma agraria sejati yang diharapkan akan menjadi dasar cetak biru pembangunan pertanian nasional. Dengan reforma agraria ini, produksi beras dan pangan lainnya akan memenuhi permintaan domestik dan dengan terpenuhinya akses petani terhadap sumber produksi akan menjadi titik terang bagi pertanian Indonesia. Jangan sampai devisa kita habis karena tak mampu mengurus pangan. Tiap tahunnya untuk mengimpor beras, kedelai, gula, jagung dan daging sapi hampir mencapai lebih dari p. 17,6 triliun (Meneg BUMN Sugiharto).

Jadi tak pelak lagi, pemerintah harus mengubah struktur kebijakannya menjadi kebijakan yang berpihak pada petani. Kalau belum ada cetak biru dan inisiatif secara politik mengenai pertanian, impor akan terus-menerus menjadi rumus baku untuk memenuhi kebutuhan beras indonesia. Pertanian adalah sektor riil yang harus dilindungi dan menjadi tulang punggung negara, karena Indonesia adalah negara agraris. Reforma agraria harus ditegakkan, sebagai syarat utama terpenuhinya kedaulatan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. ***


Baca Selanjutnya......