17 Mei 2006, puluhan ribu petani dari berbagai daerah anggota Federasi Serikat Petani Indonesia bersama organisasi pemuda, buruh dan tani lainnya lagi-lagi mendatangi Ibukota Negara menagih janji pelaksanaan reforma agraria kepada Presiden RI. Tagihan janji ini bukan mengada-ada atau isapan jempol, SBY-JK ketika kampanye mencalonkan diri jadi presiden RI menjanjikan akan menata pertanahan dan melaksanakan pembaruan agraria. Janji itu tak main-main, karena dituangkan dalm buku putih mereka dan diucapkan berkali-kali dihadapan jutaan rakyat Indonesia melalui televisi. Itu dokumen tercatat dan valid.
Demontrasi petani berlangsung secara bersamaan dengan acara konferensi Rakyat Asia pasifik untuk beras dan kedaulatan pangan. Tidak tangung. Petani dari puluhan negara itu menyelenggarakannya sebagai upaya menekan pertemuan FAO-organisasi pangan dunia di Jakarta pada saat yang sama, yaitu 15-19 Mei 2006. Inilah wajah gerakan petani di Indonesia saat ini, yaitu makin menguatnya solidaritas sesama petani yang senasib dan sehaluan. Perjuangan lintas propinsi, negara bahkan benua ini mulai diperhitungkan bagi banyak kalangan. Pun bagi petani sendiri ini membuka tabir bahwa perjuangan pembaruan agraria masih digelorakan dibanyak tempat.
Tema pertemuan konferensi rakyat, Beras adalah kehidupan, kebudayaan dan kedaulatan, slogan ini mengandung arti yang begitu dalam. Selain itu juga memberikan pengertian bahwa bertani terutama beras melingkupi suatu wilayah yang menyeluruh. Mulai dari benih, air, tanah, sistem produksi hingga pada perdagangannya. Ini juga berlaku bagi seluruh petani pangan. Bagi Indonesia beras merupakan makanan pokok 97 persen penduduk Indonesia. Usaha perberasan menghidupi 24 juta keluarga dari total 53 juta keluarga di Indonesia.
Karena sifatnya yang berbeda dengan berbagai kegiatan produksi lainnya maka negara harus menjamin bahwa setiap keluarga tani memiliki tanah utnuk berproduksi. Jalan bagi keadilan terhadap pertanahan itu maka tak ada pilihan lain selain menjalankan reforma agraria. Program itu pada tahap awal fokus pada distribusi tanah bagi rakyat tanpa tanah dan petani yang miskin, serta buruh tani.
Tanah dan air harus dikuasai dan dimiliki oleh komunitas lokal. Bagi petani tanah seharusnya milik rakyat kecil dan tunakisma, bukannya milik tuan tanah. Tahap berikutnya mengenai sistem produksi pertanian, petani memperkenalkan kedaulatan pangan. Untuk melindungi ekosistem, menghilangkan kemiskinan, pelestarian tanah, keaneka ragaman hayati, peningkatan kualitas air dan tersedianya pangan dengan harga yang terjangkau bagi konsumen. Inilah kemudian menyambung pada perdagangan. Harus dipastikan bahwa harga yang layak bagi petani dilindungi oleh pemerintah. Memberikan subsidi untuk menutupi biaya produksi dan mendapatkan keuntungan yang cukup yang sesuai dengan biaya kebutuhan hidup para petani.
Namun dari semua buah pikir dan tuntutan petani terhadap pemerintah seperti jauh api dari panggang. Ditengah hiruk pikuknya tuntutan petani kepada pemerintah untuk menjalankan reforma agraria, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif, menaikkan harga pupuk, mengusulkan revisi atas UUPA 1960. Perwakilan petani yang diterima didalam istana oleh Menteri Pertanian dan kepala BPN serta juru bicara presiden pun tak puas.
Mereka lagi-lagi berjanji-berrjanji dan berjanji. Artinya tekanan, kontrol dan keterlibatan petani melalui organisasi menjadi keharusan untuk merealisasikan janji-janji mereka dan menjalankan cita-cita petani dan rakyat miskin lainnya.
Terbukti, tiga minggu setelah demontrasi petani tepatnya 5 Juni 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan perpres 65/ 2006 tentang Tentang Perubahan Atas Perpres 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Perpres 36/2005 tertanggal 3 Mei 2005. artinya tak ada kemauan politk bagi pemerintah untuk melindungi tanah-tanah rakyat apalagi menyediakannya bagi petani. Karena bagi sebagian besar petani, miskin kota yang diperlukan adalah kebijakan mengenai perlindungan tersebut, bukan sebaliknya. Justru bisa dipastikan akan menguntungkan pemodal. Karena perpres ini akan memandulkan UUPA 1960 sebagai landasan hukum dijalankannya reforma agraria di Indonesia.
Jadi tak pelak lagi, pemerintah harus mengubah struktur kebijakannya menjadi kebijakan yang berpihak pada petani. Kalau belum ada cetak biru dan inisiatif secara politik mengenai agraria dan pertanian, maka konflik agraria dan kekerasan terhadap rakyat akan terus terjadi. Reforma agraria harus dijalankan, sebagai syarat utama terpenuhinya kedaulatan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. ***
(dimuat di pembaruan tani juni 2006)
Baca Selanjutnya......