13.1.12

Petani Gugat Kebijakan Agraria

JAKARTA - Ribuan petani, buruh, masyarakat adat, mahasiswa, perangkat desa, dan anggota lembaga swadaya masyarakat melakukan unjuk rasa besar-besaran di sejumlah tempat di Indonesia. Pemerintah dianggap tak memihak rakyat dalam konflik-konflik agraria.

Sejak Kamis (12/1) pagi, area depan halaman Istana Presiden sudah ditutup rapat dengan pagar berkawat besi setinggi satu meter. Petugas kepolisian dari Polda Metro Jaya mengerahkan sekitar 800 orang personel yang dilengkapi senjata lengkap serta tameng fiber maupun tameng sekat untuk menghalau massa.

Menjelang siang, sepanjang Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, mulai disesaki pengunjuk rasa. Gerombolan massa terutama terlihat di seberang Istana Presiden. Arus lalu lintas di jalan ini terhambat sekitar lima jam akibat kerumunan massa. Sepanjang Jalan Merdeka Utara menuju Jalan MH Thamrin, arus kendaraan padat merayap.

Menurut salah seorang perwakilan massa yang ditemui Republika di tengah kerumunan, Achmad Ya'kub, sedikitnya ada 10 ribu massa yang berkumpul di depan area Istana Presiden, kemarin. Pria yang juga merupakan ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) itu mengatakan, massa tergabung dalam Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia.

"Kami menyatakan perlawanan terhadap perampasan tanah-tanah rakyat di seluruh Indonesia," kata Ya'kub di sela-sela unjuk rasa. Menurut dia, selama ini Presiden SBY menutup mata terhadap masalah perampasan tanah milik rakyat. Yakub pun meminta SBY membubarkan Perhutani dan memberikan hak yang lebih luas kepada rakyat, penduduk desa, dan masyarakat adat dalam mengelola hutan.

Ya'kub mengatakan, ada 77 organisasi ikut serta dalam unjuk rasa. Mereka berasal dari Cirebon, Semarang, Banten, Pasundan, Tasikmalaya, dan daerah-daerah lain.

Unjuk rasa kemudian dilanjutkan ke depan gedung DPR. Massa mulai memenuhi depan pagar bagian selatan gedung DPR sekitar pukul 13.00 WIB kemarin. Pukul 14.00 WIB, sekitar 4.000-an pendemo sudah menyesaki tempat tersebut.

Selepas sejumlah anggota dewan menyampaikan orasi pada 14.20 WIB, sebanyak 20 orang mengayun-ayunkan pagar di sebelah kanan pintu masuk. Lima menit kemudian, pagar jebol, begitu juga pagar di sebelah kanannya. Sebagian massa juga berusaha menjebol pagar pembatas jalan tol dan berhasil merobohkan dua pagar pembatas.

Menanggapi massa yang hendak merangsek ke dalam gedung, petugas polisi menyemprotkan meriam air. Massa ditenangkan selepas itu.

Koordinator umum aksi, Agustiana, mengatakan, selain reformasi agraria, massa juga menuntut pembaruan desa dan penegakan aturan keadilan ekologis. Dia menuding, selama ini pemerintah kian brutal dalam melakukan praktik perampasan tanah dan sumber-sumber kehidupan rakyat.

"Pemerintah pusat dan daerah secara sengaja menggunakan aparat dan pam swakarsa untuk menembak, membunuh, menangkap, dan melakukan berbagai bentuk kekerasan untuk kepentingan korporasi," ujar Agustiana.

Ia mendesak DPR segera membentuk panitia khusus (pansus) penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam tanpa merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960. Segala bentuk perampasan tanah rakyat harus dihentikan dan tanah-tanah yang dirampas dikembalikan ke rakyat.

Selain dari gabungan aksi Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia, turut berunjuk rasa juga ribuan perangkat desa yang tergabung dalam Parade Nusantara. "Tuntutannya jelas, disahkannya RUU Desa dan pemerintah batalkan kebijakan impor," kata Ketua Parade Nusantara Sudir Santoso di depan gedung DPR.

DPR setuju bentuk Pansus
Menyusul unjuk rasa, sebanyak 34 anggota DPR menandatangani surat pernyataan pembentukan panitia khusus (pansus) DPR untuk penanganan masalah agraria. Dalam surat pernyataan, para anggota DPR juga menyatakan dukungan atas sikap dan usulan yang disampaikan pengunjuk rasa, yakni pembentukan Pansus Agraria.

Tugas pokok pansus itu nantinya akan memastikan seluruh kebijakan agraria berdasarkan UU Pokok Agraria Nomor 5/1960, memberikan rekomendasi ke Sidang Paripurna DPR untuk mencabut undang-undang yang merugikan rakyat. Selain itu, dapat memberikan rekomendasi kepada DPR dan presiden untuk mencabut izin usaha pertambangan kontrak karya, hak pengelolaan hutan alam dan tanaman, serta hak guna usaha perkebunan.

Sumber : Republika
Baca Selanjutnya......