Slogan Mendag Hanya Basa-basi
RMOL.Belum selesai kontroversi kebijakan terkait ekspor rotan, kini Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali menuai kontroversi melalui kebijakan impor kentang. Slogan 100 persen cinta produk Indonesia yang sering dinyanyikan Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Elka Pangestu pun dipertanyakan.
Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub mengatakan, kebijakan impor kentang oleh Kemendag sangat memukul petani kecil. Impor kentang dari China lebih murah ketimbang harga yang dijual petani lokal. Hal itu disebabkan negara asal impor memberikan subsidi sebesar 20 persen. Sementara petani Indonesia hanya disubsidi pupuk urea.
“Impor ini tidak hanya merugikan petani melainkan juga mematikan sektor kecil. Petani kita kan hanya memiliki lahan yang terbatas. Sementara skala usaha importir lebih luas. Jelas kita tidak bisa bersaing. Harusnya pemerintah meningkatkan produktivitas petani, bukan dengan impor,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut Achmad, skala impor sepanjang semester I tahun ini sudah melebihi tahun lalu. Tahun 2010, impor kentang mencapai 17 ribu ton. Sementara untuk periode Januari-Juli 2011, impor sudah mencapai 19 ribu ton. Dia kecewa karena kebijakan impor ini tidak pernah meminta pendapat petani. Selain itu, Kemendag juga dinilai minim koordinasi dengan kementerian terkait.
“Kemendag terbukti tidak menjalankan koordinasi yang baik dengan Kemenko dan Kementerian Pertanian,” katanya. Sebelumnya, ratusan petani kentang dari Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, marah dan berdemo di kantor Menteri Perdagangan. Mereka menuntut Mendag menghentikan impor kentang dan sayur. Akibat serbuan produk impor itu, harga kentang lokal anjlok.
“Kami menuntut Menteri Perdagangan menghentikan impor kentang,” teriak Koordinator Asosiasi Petani Kentang M Mudasir di sela-sela aksi unjuk rasa di depan kantor Mendag. Petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kentang ini menuturkan, sejak pertengahan September, harga jual kentang di tingkat petani anjlok hingga 50 persen akibat serbuan kentang dari China dan Bangladesh. Harga normal kentang sebesar Rp 5.500-6.000 per kg, anjlok menjadi Rp 2.500-3.500 per kg. Penurunan harga itu membuat modal petani tidak kembali.
Anggota Komisi IV DPR Rofi Munawar mengecam kebijakan Mendag Mari Elka Pangestu yang membiarkan impor kentang. “Ibu Mendag nampaknya tidak punya solusi lain dalam menstabilkan harga komoditas pertanian, selain dengan impor. Kebijakan perdagangan selalu dihiasi dengan impor, bawang putih impor, buncis impor dan beras impor,” kata Rofi. Kasus impor kentang ini seolah berlawanan dengan slogan Kemendag untuk mencintai produk dalam negeri. Kemendag melakukan kampanye 100 persen Aku Cinta Indonesia (ACI) melalui album kompilasi musik ACI.
“Peluncuran album ACI ini merupakan salah satu wujud nyata untuk menumbuhkan nasionalisme dan rasa cinta dari masyarakat akan Indonesia,” cetus Mari. Padahal, peduli dengan petani Kentang sebetulnya juga bagian cinta produk dalam negeri Bu. [rm] sumber: Rakyat Merdeka
Baca Selanjutnya......
11.10.11
Serikat Petani Minta Pemerintah Hentikan Impor Kentang
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub meminta kementerian perdagangan menghentikan impor kentang, baik dari China dan Bangladesh. Pemerintah diminta fokus pada peningkatan produksi petani.
"Kita minta kementerian stop impor kentang," kata Yakub pada wartawan di kantor sekretariat Serikat Petani Indonesia, Senin, 10 Oktober 2011.
Yakub menyatakan, impor kentang dari China dan Bangladesh tersebut sudah mulai dirasakan sejak awal bulan Oktober ini. Berdasar penelusuran SPI di lapangan, harga kentang Cina dan Bangladesh tersebut diual di bawah harga kentang lokal, yakni Rp 2.200. Kentang produksi lokal di pasaran biasanya ditawarkan dengan harga Rp 5.500-6.000.
Masuknya kentang impor dua negara tersebut, pedagang kentang terpaksa menurunkan harga hingga Rp 4.000. Padahal, menurut Yakub, petani bisa memperoleh imbal hasil yang cukup jika kentang produksinya dijual dengan harga di atas Rp 4.000 di pasar.
Saat ini biaya produksi per satu musim tanam mencapai Rp 54 juta, dengan hasil panen kentang sebanyak 1,5 ton. Komponen produksi itu termasuk biaya bibit kentang Rp 12 ribu per kilogram. "Setidaknya untuk mendapat untung, petani menjual Rp 5.000 per kilogram," ujar Yakub.
Permasalahan kentang impor bukan hanya masalah harga yang terlalu murah. Tapi juga bentuk kentang yang diimpor. "Biasanya kentang impor dalam bentuk olahan, sekarang kentang yang diimpor dalam bentuk non-olahan," ujar Yakub.
Jika keadaan ini terus menerus berlangsung, Yakub khawatir, petani kentang akan terus terjepit dan kehilangan inisiatif. Lalu produksinya terus menurun seperti yang terjadi pada petani kedelai.
SPI sudah melayangkan surat protes ke Kementerian Perdagangan 6 Oktober lalu. Tapi surat itu belum direspons hingga saat ini. Bahkan, saat dilakukan pengecekan ke Kementerian Pertanian, tidak ada rekomendasi mengenai impor kentang tersebut. "Seharusnya, mekanismenya, sebelum ada impor pangan, harus ada rekomendasi dari kementerian pertanian. Kebutuhan kita cukup atau tidak ? Bisa masuk ke mana saja ? Ini kentang malah masuk ke sentra pasar," ujar Yakub.
Impor kentang masuk dalam 550 pos tarif 0 persen yang diatur dalam ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area). ACFTA ditandatangan sejak 2006 dan mulai berlaku sejak 2010.
Peneliti Jaringan Negara Dunia Ketiga atau World Third Network Lutfiyah Hanim menyatakan, perjanjian bilateral seperti ACFTA ini jadi sektor pertanian tidak memiliki jaringan pengaman yang cukup untuk sektor pertanian. Terutama pada klausul pos tarif.
"Harusnya yang disebut perlindungan di sektor pertanian itu ada di pos tarif. Harusnya jangan nol," ujar Lutfi saat ditemui di kesempatan yang sama. Dan pemberlakukan pos tarif tidak dipukul rata untuk semua komoditas.
FEBRIANA FIRDAUS
sumber http://www.tempo.co/read/news/2011/10/10/090360693/Serikat-Petani-Minta-Pemerintah-Hentikan-Impor-Kentang
Baca Selanjutnya......
"Kita minta kementerian stop impor kentang," kata Yakub pada wartawan di kantor sekretariat Serikat Petani Indonesia, Senin, 10 Oktober 2011.
Yakub menyatakan, impor kentang dari China dan Bangladesh tersebut sudah mulai dirasakan sejak awal bulan Oktober ini. Berdasar penelusuran SPI di lapangan, harga kentang Cina dan Bangladesh tersebut diual di bawah harga kentang lokal, yakni Rp 2.200. Kentang produksi lokal di pasaran biasanya ditawarkan dengan harga Rp 5.500-6.000.
Masuknya kentang impor dua negara tersebut, pedagang kentang terpaksa menurunkan harga hingga Rp 4.000. Padahal, menurut Yakub, petani bisa memperoleh imbal hasil yang cukup jika kentang produksinya dijual dengan harga di atas Rp 4.000 di pasar.
Saat ini biaya produksi per satu musim tanam mencapai Rp 54 juta, dengan hasil panen kentang sebanyak 1,5 ton. Komponen produksi itu termasuk biaya bibit kentang Rp 12 ribu per kilogram. "Setidaknya untuk mendapat untung, petani menjual Rp 5.000 per kilogram," ujar Yakub.
Permasalahan kentang impor bukan hanya masalah harga yang terlalu murah. Tapi juga bentuk kentang yang diimpor. "Biasanya kentang impor dalam bentuk olahan, sekarang kentang yang diimpor dalam bentuk non-olahan," ujar Yakub.
Jika keadaan ini terus menerus berlangsung, Yakub khawatir, petani kentang akan terus terjepit dan kehilangan inisiatif. Lalu produksinya terus menurun seperti yang terjadi pada petani kedelai.
SPI sudah melayangkan surat protes ke Kementerian Perdagangan 6 Oktober lalu. Tapi surat itu belum direspons hingga saat ini. Bahkan, saat dilakukan pengecekan ke Kementerian Pertanian, tidak ada rekomendasi mengenai impor kentang tersebut. "Seharusnya, mekanismenya, sebelum ada impor pangan, harus ada rekomendasi dari kementerian pertanian. Kebutuhan kita cukup atau tidak ? Bisa masuk ke mana saja ? Ini kentang malah masuk ke sentra pasar," ujar Yakub.
Impor kentang masuk dalam 550 pos tarif 0 persen yang diatur dalam ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area). ACFTA ditandatangan sejak 2006 dan mulai berlaku sejak 2010.
Peneliti Jaringan Negara Dunia Ketiga atau World Third Network Lutfiyah Hanim menyatakan, perjanjian bilateral seperti ACFTA ini jadi sektor pertanian tidak memiliki jaringan pengaman yang cukup untuk sektor pertanian. Terutama pada klausul pos tarif.
"Harusnya yang disebut perlindungan di sektor pertanian itu ada di pos tarif. Harusnya jangan nol," ujar Lutfi saat ditemui di kesempatan yang sama. Dan pemberlakukan pos tarif tidak dipukul rata untuk semua komoditas.
FEBRIANA FIRDAUS
sumber http://www.tempo.co/read/news/2011/10/10/090360693/Serikat-Petani-Minta-Pemerintah-Hentikan-Impor-Kentang
Baca Selanjutnya......
10.10.11
CEPA dapat matikan sektor agribisnis Indonesia
Oleh Gloria Natalia
Senin, 10 Oktober 2011
http://www.bisnis.com/articles/cepa-dapat-matikan-sektor-agribisnis-indonesia
JAKARTA: Sejumlah organisasi menilai Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa dapat mematikan pertumbuhan ekonomi sektor agribisnis di Indonesia. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub mengatakan ketentuan CEPA yang menurunkan 95% jenis tarif menuju 0% menyebabkan produk-produk pertanian dari Uni Eropa yang berkualitas baik dapat mudah masuk ke Indonesia.
Dampaknya, dapat meminggirkan produk pertanian Indonesia yang kualitasnya masih rendah. Contohnya, benih kentang granola G4 saja masih diimpor Indonesia. Benih itu kemudian ditanam dan disortir untuk diperoleh benih baru dengan kualitas rendah dibandingkan kualitas sebelumnya. Hasilnya, petani memproduksi kentang berkualitas buruk.
Menurut Yakub, ketika kentang lokal digempur kentang impor dari China yang harganya lebih murah petani Indonesia sudah sengsara. Dia menilai kondisi seperti ini akan terjadi di banyak komoditi pertanian lain bila CEPA diimplementasikan. “Dampaknya ketahanan pangan menjadi tidak stabil. Ini bisa terjadi di komoditas hortikultura dan beras juga, bahkan susu,” katanya di Jakarta hari ini.
Peneliti dari Third Wolrd Network Lutfiah Hanim mengatakan tidak hanya bahan mentah saja, barang setengah jadi dan barang jadi dari Uni Eropa juga mengancam produksi Indonesia. Produk dari Uni Eropa berpotensi masuk Indonesia dengan kuantitas besar dan berharga murah. Dampaknya, produk produk-produk Indonesia semakin terpinggirkan. Kondisi ini bisa terjadi lantaran subsidi pemerintah Uni Eropa terhadap sektor pertanian di sana besar. Dia mencontohkan seorang petani di Uni Eropa memiliki 40 ha lahan pertanian dengan suntikan subsidi besar dari pemerintah. “Sedangkan petani Indonesia punya lahan kecil. Malah lebih banyak petani kita tidak punya lahan. Ketika produk Uni Eropa masuk Indonesia sudah pasti produk pertanian kita kalah,” kata Lutfiah.(api) Baca Selanjutnya......
http://www.bisnis.com/articles/cepa-dapat-matikan-sektor-agribisnis-indonesia
JAKARTA: Sejumlah organisasi menilai Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa dapat mematikan pertumbuhan ekonomi sektor agribisnis di Indonesia. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Ahmad Yakub mengatakan ketentuan CEPA yang menurunkan 95% jenis tarif menuju 0% menyebabkan produk-produk pertanian dari Uni Eropa yang berkualitas baik dapat mudah masuk ke Indonesia.
Dampaknya, dapat meminggirkan produk pertanian Indonesia yang kualitasnya masih rendah. Contohnya, benih kentang granola G4 saja masih diimpor Indonesia. Benih itu kemudian ditanam dan disortir untuk diperoleh benih baru dengan kualitas rendah dibandingkan kualitas sebelumnya. Hasilnya, petani memproduksi kentang berkualitas buruk.
Menurut Yakub, ketika kentang lokal digempur kentang impor dari China yang harganya lebih murah petani Indonesia sudah sengsara. Dia menilai kondisi seperti ini akan terjadi di banyak komoditi pertanian lain bila CEPA diimplementasikan. “Dampaknya ketahanan pangan menjadi tidak stabil. Ini bisa terjadi di komoditas hortikultura dan beras juga, bahkan susu,” katanya di Jakarta hari ini.
Peneliti dari Third Wolrd Network Lutfiah Hanim mengatakan tidak hanya bahan mentah saja, barang setengah jadi dan barang jadi dari Uni Eropa juga mengancam produksi Indonesia. Produk dari Uni Eropa berpotensi masuk Indonesia dengan kuantitas besar dan berharga murah. Dampaknya, produk produk-produk Indonesia semakin terpinggirkan. Kondisi ini bisa terjadi lantaran subsidi pemerintah Uni Eropa terhadap sektor pertanian di sana besar. Dia mencontohkan seorang petani di Uni Eropa memiliki 40 ha lahan pertanian dengan suntikan subsidi besar dari pemerintah. “Sedangkan petani Indonesia punya lahan kecil. Malah lebih banyak petani kita tidak punya lahan. Ketika produk Uni Eropa masuk Indonesia sudah pasti produk pertanian kita kalah,” kata Lutfiah.(api) Baca Selanjutnya......
Subscribe to:
Posts (Atom)