17.1.09

Pembaruan agraria sekedar janji Presiden

Sejak tahun 2006 petani dan rakyat miskin di Indonesia dijanjikan suatu program landreform melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang sudah disebut-sebut SBY-JK dalam kampanye pemilihan presiden tahun 2004. Bahkan dalam pidato awal tahunnya, pada tanggal 31 Januari 2007, Presiden mengumumkan jumlah lahan-lahan pertanian yang akan didistribusikan seluas 9,25 juta hektar.

Pada bulan Mei 2007 pemerintah mengeluarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang PPAN. Dari draft tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum PPAN hanya berbicara masalah pembagian tanah saja, dan bukan pelaksanaan pembaruan agraria secara hakiki. RPP tersebut juga menunjukkan tidak jelasnya proses penyediaan tanah yang disebutkan akan berasal dari tanah bekas HGU, bekas kawasan pertambangan dan kawasan hutan. Peta lokasi objek tanah yang akan dibagikan dan waktu pelaksanaan PPAN tidak dijelaskan secara gamblang.

Seiring dengan plin-plannya PPAN, konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian terus semakin menggila. Tercatat konversi lahan sawah sedikitnya 10 ribu hektar per tahun. Kepemilikan lahan oleh petani semakin gurem, yakni tinggal 0.3 hektar di Pulau Jawa dan 1.19 hektar di luar Jawa .(1) Bahkan akibat konversi lahan ini, di Kalimantan Timur semakin banyak petani tanpa tanah. Setidaknya 5.000 ha lahan pertanian menjadi lahan pertambangan batu bara yang tersebar di 12 kabupaten. (2) Belum lagi konflik agraria yang terus terjadi. Setidaknya enam orang petani tewas akibat konflik sepanjang tahun 2008.

Dalam keadaan seperti itu PPAN malah menjelma menjadi sekadar program sertipikasi lahan-lahan pertanian (3). Lagi-lagi pembaruan agraria direduksi menjadi persoalan administrasi pertanahan belaka. Seperti halnya Program Layanan Rakyat untuk Sertipikasi Lahan (Larasita)(4).

Menurut catatan penulis kemauan politik ini sejak awal sudah terasa janggal dan kini mulai terbuka tanda-tanda kebohongannya. Karena sejatinya pembaruan agraria ditujukan untuk mengurangi bahkan meniadakan ketidakadilan struktur agraria. Namun dengan percepatan sertipikasi justru di khawatirkan akan memperkuat struktur ketidakadilan itu dan mempercepat mekanisme penciptaan pasar tanah. Kondisi ini sesuai dengan keinginan Bank Dunia yang mengusung landreform berdasarkan konsep pasar tanah (land market). Dalam konsep Bank Dunia, siapa yang mampu membeli tanah dia yang mendapatkannya.

Tujuan dari landreform yang sesungguhnya untuk menumbuhkan keadilan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah masih jauh dari harapan. Padahal konstitusi kita mengamanatkan bahwa penerima redistribusi tanah dalam landreform adalah petani miskin, penggarap, buruh tani dan subyek lainnya sesuai Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria atau lebih dikenal dengan UUPA 1960. Bukan untuk kepetingan investor seperti yang diinginkan Bank Dunia dan diakomodasi oleh pemerintah SBY-JK.

Jadi sesuatu yang mengherankan bila pada bulan Maret 2007 pemerintah mengesahkan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang isinya adalah meluaskan kekuasaan modal pada penguasaan dan kepemilikan agraria. Undang-undang ini sangat kental dan sarat dengan ideologi pasar, serta dengan gampangnya menggantungkan nasib bangsa di tangan investor. Undang-undang ini juga berpotensi menambah konflik agraria terutama dengan tanah petani di pedesaan, kawasan hutan dan tanah ulayat.

Lebih lanjut, substansi di dalam undang-undang ini akhirnya digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh organisasi petani yakni Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama gerakan rakyat lainnya yang tergabung dalam GERAK LAWAN. Akhirnya judicial review tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi pada bulan Maret 2008. Intinya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 20 (tentang Hak Guna Usaha yang dapat diperpanjang sekaligus dimuka menjadi 95 tahun) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Jadi apa yang disampaikan oleh kepala BPN dan Presiden SBY Dalam pidatonya pada peluncuran Larasita 16 Desember 2008 lalu, mengenai prioritas kerja BPN kedepan (yakni pembaruan Agraria, Penyelesaian Konflik Agraria, Penyelesaian persoalan tanah terlantar distribusinya kepada rakyat dan percepatan sertifikasi pertanahan) merupakan janji yang diulangi lagi. Terlalu berat rasanya pembaruan agraria secara sungguh-sungguh menjadi program utama yang akan terlaksana mengingat kekuasaan pemerintah akan segera berakhir dalam hitungan bulan saja.

Dapat disimpulkan selama kurun waktu 2008, janji pemerintahan SBY-JK yang terus diulang-ulang mengenai pembaruan agraria tidak akan berubah pada tahun 2009 ini. Indikasinya adalah pertama, jalan yang ditempuh untuk realisasi pembaruan agraria adalah salah arah, yakni sebatas administrasi pertanahan. Berupa sertipikasi, yang barang tentu tidak akan mengubah ketimpangan struktur agraria/tanah. Kedua, RPP tentang refroma agraria sebagai jalan legal yang menterjemahkan UUPA 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria hingga detik ini tidak diterbitkan. Ketiga, meningkatnya petani korban yang tergusur dan yang dikriminalisasi dalam konflik agraria. Di sisi lain penyelesaian konflik agraria mandeg. Keempat, terkait subyek dan objek penerima manfaat pembaruan agraria yang tidak jelas.

Dengan demikian penulis berpendapat bahwa konflik agraria akan terus terjadi selama pembaruan agraria yang berpihak kepada rakyat tidak dilaksanakan. Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Indonesia setidaknya ada 2.810 konflik agraria. Sementara itu, sepanjang awal tahun 2007 sampai akhir tahun 2008 tercatat 139 konflik, yang menyebabkan 14 orang tewas, 55.524 KK tergusur, dan 478 orang ditangkap, dipenjara dan dikriminalisasikan. Konflik agraria akan terus terjadi karena ketimpangan agraria hanya diselesaikan dengan sertipikasi lahan bukan penyelesaian struktural. Seharusnya dilakukan penghentian dan pencegahan perluasan kepemilikan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber agraria yang melampaui batas dan segera dilaksanakan landreform. untuk itu penulis apabila pembaruan agraria seperti yang dimandatkan UUPA 1960 tidak dijalankan maka Indonesia akan terus dibayangi oleh kelaparan, konflik agraria, rusaknya infrastruktur pedesaan, impor pangan, urbanisasi tak terkendali.


(tulisan ini menjadi bahan dokumen SPI awal 2009)

endnotes:
(1)Akhir 2007, kepemilikan lahan oleh petani pun makin gurem, yakni tinggal 0.3 hektar di Pulau Jawa dan 1.19 hektar di luar Pulau Jawa. Dari sebelumnya di tahun 2003-2006 “masih” 0,58 ha di pulau jawa dan 1,19 ha diluar pulau jawa (BPS dan Suara Pembaruan diolah)

(2)Dilaporkan bahwa dalam 5 tahun terakhir ini konversi lahan yang terbesar adalah di wilayah kabupaten /kota Kutai kartanegara dan Kota Samarinda sisanya tersebar di 12 kabupaten di Kaltim.

(3)Seperti yang diberitakan oleh SPI Sumatra Utara bahwa Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Sumatra Utara tak jauh beda Prona jaman Orde Baru yaitu program sertipikat tanah seperti di wilayah Kecamatan Silangkitang Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Deli Serdang, Binjai, Tapanuli, Mandailing Natal dan Pematang Siantar

(4)Program ini merupakan tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional (BPN) diluncurkan pada 16 Desember 2008 di Prambanan Jawa Tengah yang dihadiri oleh Presiden.
Baca Selanjutnya......