17.10.06

Kalaparan dan Reforma Agraria di Indonesia


Dalam rangka Hari Pangan Sedunia 16 oktober 2006

Menurut FAO pada tahun 1996 terdapat 854 juta dari 5,67 milyar penduduk dunia yang menderita kurang pangan, diantaranya 200 juta balita menderita kurang gizi terutama energi dan protein. Laporan PBB juga mencatat bahwa 3 – 5 ribu orang mati setiap hari akibat kelaparan dan dampaknya. Angka ini lebih besar lagi terjadi di negara – negara Sub Sahara – Afrika, negara – negara miskin dan didaerah yang terlibat konflik perang. Untuk itulah pada World Food Summit (WFS) Food and Agriculture Organization (FAO) bulan November 1996 di Roma, para pemimpin negara mengdeklarasikan komitment dan kemauan politik untuk mencapai ketahanan pangan serta melanjutkan upaya menghapuskan kelaparan di semua negara anggota dengan mengurangi separuhnya jumlah penderita kekurangan pangan pada tahun 2015.

Sejarahnya sendiri, hari pangan sedunia bermula dari konferensi FAO ke 20, bulan Nopember 1976 di Roma yang memutuskan untuk dicetuskannya resolusi No. 179 mengenai World Food Day. Resolusi disepakati oleh 147 negara anggota FAO, termasuk Indonesia, menetapkan bahwa mulai tahun 1981 segenap negara anggota FAO setiap tanggal 16 Oktober memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS).

Pertanian menjadi pemain pinggiran dalam ekonomi industri, namun ia memainkan peran yang sentral didunia dalam mengatasi kelaparan. Hal tergambar dari total investasi dipertanian yang U$ 9 milyar per tahun pada tahun 1980-an, jatuh menjadi kurang dari U$ 5 milyar ditahun 1990-an. Itulah mengapa akhirnya pada tahun ini Hari Pangan Sedunia diperingati dengan tema "Investing in Agriculture for Food Security". Model kerjasama yang diharapkan dapat berjalan antara masyarakat dengan sektor swasta dalam pembangunan pedesaan salah satunya adalah menaikan mutu dan standar, menyediakan infrastruktur pedesaan dan kebersamaan antara petani dengan pengusaha.

Masalah kelaparan, rawan pangan, gizi buruk dan kesehatan yang diakibatkan kurang pangan adalah persoalan kronis yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Penyebabnya selain kemiskinan adalah akibat dari produksi pangan yang kurang dalam suatu wilayah, tidak adanya akses terhadap pangan, bencana alam, perubahan iklim dan kemunduran sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam penguasaan dan kepemilikan sumber-sumber agraria seperti tanah-tanah pertanian, mahalnya biaya produksi pertanian, infrastruktur dan teknologi yang tak memadai.

Di Indonesia berdasarkan data yang dipublikasikan oleh UNICEF jumlah balita penderita gizi buruk pada tahun 2005 sekitar 1,8 juta, meningkat menjadi 2,3 juta pada tahun 2006. Dari angka kematian bayi yang 37 per 1.000 kelahiran setengahnya akibat dari kurang gizi. Untuk wanita usia subur, dari 118 juta jiwa sebanyak 11,5 juta jiwa mengalami anemia gizi. Kurang energi kronis juga dialami 30 juta orang dari kelompok produktif. Semua kejadian tersebut diatas tidak hanya terjadi dipropinsi seperti NTT, NTB, Sumatra Barat, Papua dan lainnya melainkan juga terjadi di Ibukota negara, DKI Jakarta. Yang mengenaskan lagi, hampir sebagian besar kasus kelaparan/kurang gizi terjadi diwilayah pedesaan yang notabene adalah daerah penghasil makanan. Juga didaerah perkebunan untuk komoditi eksport seperti yang terjadi beberapa bulan lalu di Kabupaten Sikka, NTT. Belum lagi jumlah orang miskin yang sudah mencapai 39 juta jiwa, dibarengi dengan jumlah pengangguran terbuka 10,2 juta jiwa pada tahun 2005.

Ketimpangan lahan pertanian dan kedaulatan pangan
Disaat bersamaan dengan situasi kelaparan diatas, rata-rata kepemilikan lahan petani makin menyusut dan makin meningkatnya petani gurem. Tahun 1983 persentase petani yang menguasai (memiliki atau menyewa dari pihak lain) tanah kurang dari 0,5 hektar (petani gurem) mencapai 40,8 %. Sepuluh tahun kemudian, persentase ini meningkat menjadi 48,5 %, dan Sensus Pertanian tahun 2003 memperlihatkan semakin meningkatnya jumlah petani gurem, mencapai 56,5 % dari seluruh keluarga petani di Indonesia. Peningkatan yang cepat terutama di P. Jawa. Sementara jumlah rumah tangga petani dalam 10 tahun terakhir meningkat dari 20,8 juta keluarga menjadi 25,6 juta. Kenyataan itu diperburuk dengan ketimpangan dalam distribusi penguasaan lahan. Sekitar 70% petani hanya menguasai 13 % lahan, sementara yang 30 % justru menguasai 87 % lahan yang ada.

Keadaan sempitnya lahan pertanian yang dikuasai dan dimiliki petani, juga diperparah dengan tindak kekerasan dan konflik agraria yang dialami oleh petani. Hingga saat ini sudah terjadi ribuan konflik agraria, tewasnya petani, dibakarnya rumah-rumah dan lahan pertanian.

Dengan tema hari pangan secara nasional "Membangun Kemandirian Pangan Berbasis Pedesaan", diharapkan pemerintah kembali menatap persoalan dipedesaan yang tak hanya pada ujungnya, produksi pangan. Dalam kondisi itulah kemudian menjalankan pembaruan agraria yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 menjadi hal yang mendesak.
Rasanya informasi yang diumumkan oleh pemerintah tentang keinginan menjalankan reforma agraria. Yaitu dengan jalan membagikan tanah-tanah bekas HPH/HTI seluas 9 juta Ha dengan komposisi 60% bagi masyarakat dan 40% untuk investasi asing maupun nasional juga disediakan 1,5 juta ha tanah-tanah perhutani di P. Jawa. Bahkan pemerintah menyediakan tanah-tanah pertanian seluas 8,2 juta ha untuk lahan-lahan pertanian diseluruh Indonesia. Menyisakan banyak tanda tanya.

Jikalaupun pemerintah berniat tulus menjalankan reforma agraria, bukanlah hal yang sedehana begitu saja. Karena keberhasilan landreform setidaknya memerlukan enam syarat utama (seperti yang ungkapkan oleh Gunawan Wiradi dalam diskusi di FSPI, 2006). Pertama, adanya kemauan politik pemerintah. Kedua, data yang lengkap dan teliti. Ketiga, organisasi rakyat yang kuat. Keempat, elite penguasa yang terpisah dari elite bisnis. Kelima, dari atas sampai ke bawah harus memahami, minimal pengetahuan elementer tentang agraria. Dan keenam, didukung militer (dan polisi). Dari keenam syarat pokok itu, ada beberapa hal yang perlu dicatat misalnya dilakukan secara drastis, ada ukuran jangka waktu tertentu dan terencana.

Sebab itu rencana pemerintah untuk meredistribusi lahan kami letakkan dalam kerangka lebih kritis. Info dari koran saja belum cukup memadai untuk menganalisis rencana redistribusi lahan. Perlu info lebih dalam mengenai latar belakangnya. Kiranya Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat menjelaskan kepada masyarakat secara gamblang, bahkan bila perlu harus ada penjelasan dari presiden. Sehingga tidak dijadikan sebagai alat legitimasi bagi dilaksanakannya reforma agraria berdasarkan keinginan modal dan kebijakan yang setengah-setengah. Karena praktek landreform yang sesungguhnya tidak dikenal tanah untuk investor, tapi tanah untuk petani (land to the tiller).
Itulah mengapa bahwasannya ketahanan pangan yang dicita-citakan bersama tak akan pernah terwujud, sebab selalu saja angin politik berpihak kepada pemodal dan investasi agribisnis. Yang nota bene investasi agribisnis itulah yang menguasai lahan-lahan secara luas. Untuk perkebunan kelapa sawit, kopi, kakao maupun karet. Sedikit saja, bahkan hampir tak ada yang berkomitmen menanami dengan tanaman pangan. Dengan investasi agribisnis maka relevansinya adalah secara ketat managemen ekspor dan margin keutungan yang tinggi dengan memantau gerak laju perdagangan komoditas dibursa saham. Dimana posisi petani dan buruh tani? Mereka hanya penyedia lahan pertanian ataupun tenaga-tenaga perkebunan, hanya beberapa yang terdidik menjadi mandor atau kantoran.

Beda halnya bila pemerintah dengan cepat merubah cara pandang dalam dunia pertanian dan pangan. Selain menjalankan landreform plus, yaitu terselenggaranya teknologi murah, bibit terbaik, kredit pertanian, dan industri pengolahan pasca produksi ditingkat kabupaten. Rasanya, mewujudkan kedaulatan pangan sebagai syarat tercapainya ketahanan pangan menjadi hal yang visible.

Kemudian dibuatlah aturan-aturan dalam perdagangan hasil pertanian dengan beberapa catatan pentingnya, pertama melindungi pasar dalam negeri dari serangan harga import murah. Kedua, mengatur produksi untuk kebutuhan pasar dalam negeri untuk mengatasi surplus. Ketiga, menghentikan subsidi bagi usaha pertanian yang tidak berkelanjutan, dan ketiak adilan bagi penyewa dan buruh tani, dan mendukung usaha – usaha yang mendukung dilaksanakannya pembaruan agraria, dan pertanian berkelanjutan. Dan terakhir menghentikan dukungan – dukungan pada usaha pertanian yang secara langsung atau tidak langsung untuk keperluan eksport ###
Baca Selanjutnya......