15.7.06

Usir saja rakyat dari tanah pertanian, datangkan modal-modal besar

Ketika ada pertemuan petani tingkat desa, percakapan yang kerap muncul adalah bagaimana agar dapat bertani secara aman dan tenang. Dalam forum ini juga kalimat-kalimat aparat, polisi, TNI, DPR, BPN dan pemerintah serta perusahaan berkali-kali meluncur lancar. Walaupun perusahaan itu berbahasa asing, namun fasih diucapkan, akrab disebut dan didengar telinga. Betapa tidak sejak puluhan tahun petani yang berada didaerah dalam sumatra ini bersengketa dengan perusahaan bermodal asing itu
.
“pihak perusahaan berkali-kali melakukan kekerasan melalui security-nya anehnya pihak kepolisian tidak segera menindak. Sebaliknya kita masuk perkebunan, dituduh merusak langsung ditangkap, diadili dan dipenjarakan. Lama juga 11 bulan lebih”.

Itulah ringkasan kata-kata yang sering didengar oleh pengurus-pengurus dan anggota serikat tani betapa meluasnya dampak konflik pertanahan. Yang paling dirasakan langsung adalah tindak kekerasan atau sebelumnya melalui suatu proses pemaksaan.

Bahkan kekerasan itu terjadi tak hanya sekali saja. Bahkan beberapa kali ditempat yang sama, dengan kualitas yang variatif. Peristiwa-pristiwa ini bila ditelusuri lebih jauh ternyata memiliki pola tersendiri. Beberapa yang menonjol adalah dengan cara mengaburkan persoalan utamanya, yaitu konflik pertanahan. Misalnya dengan tuduhan-tuduhan pengrusakan, perbuatan tak menyenangkan, atau tindakan pidana lainnya.

Kemudian bila konflik ini berlarut-larut maka pihak perusahaan ataupun pemerintah—karena biasanya dua lembaga ini lah yang seringkali konflik- menggunakan pendekatan keamanan. Dengan dali berbagai macam untuk mendatangkan aparat kepolisian. Bila sesaat setelah reformasi (tahun 1998-2003) aparat TNI relatif tak terlibat, sekarang ada indikasi keterlibatan mereka lagi dalam kancah konflik agraria ini. Belajar dari beberapa kejadian misalnya di bulan mei 2006 lalu di Cisompet , Garut pemicunya adalah latihan perang-perangan Kodim diwilayah tersebut, atau seperti pada bulan April 2006, Batalyon Infantri 714 Sintuwu Maroso Poso di Kota Tentena, tepatnya di ibu kota Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso dalam rangka latihan di lahan mega proyek PLTA Sulewana Poso dalam situasi proyek tersebut mendapat perlawanan dari warga.

Itulah beberapa pola operasi yang paling sering digunakan dalam penanganan konflik agraria. Modela lainnya adalah penggunaan mekanisme hukum, pendekatan per-undang-undangan. Kita tahu bahwa sejak tahun 2004 telah disahkan UU No. 18/2004 tentang perkebunan. Sejak disahkan tidak sedikit petani yang mendekam dalam dinginnya penjara akibat begitu represifnya pasal-pasal dalam undang-undang tersebut dan dibarengi begitu agresifnya aparat polisi dan pengadilan untuk menegakkan hukum. Hal ini tak terjadi bila yang mengadukan perkaranya adalah dari pihak masyarakat. Bilapun diproses, maka waktunya akan berbeda sekali bila perusahaan yang melapor. Yaitu begitu lama dan administrasi yang sebgaja diperpanjang. Itulah realitasnya. Semua ini telah dipahami oleh masyarakat. Oleh petani.

Atas kesadaran itulah maka apa-apa yang dilontarkan oleh pejabat negara seperti DPR maupun Presiden atau Wakil Presiden sekalipun selalu mengundang skeptis. Contoh konkrit adalah program revitalisasi pertanian, perikanan, dan kelautan. Program itu diluncurkan pada bulan Juni 2005, banyak impian yang akan diwujudkan walau kerangka besarnya tetap kuasa pasar dan modal. Sisi lain presiden justru mengelurkan Perpres 36/2005. penolakan-penolakan bermunculan, hingga mei 2006 muncul revisinya. Semua bertolak belakang. Tanah-tanah pertanian justru dijadikan obyek spekulasi untuk mengundang investasi. Kepastian hukum ada bagi investor, bukan untuk petani-petani. Kekeringan, hama ataupun banjir itu dianggap siklus alam, bencana yang datangnya dari Tuhan. Jadi tak ada tanggung jawab pemerintah didalamnya.

Sirkusnya penguasa ditengah 13,6 juta petani bertanah yang hanya 0,5 ha, dan 15% keluarga petani mengalami pengurangan pendapatan. Kesesakan ini disertai dengan berbagai tindak kekerasan yang dialami petani. Padahal bagi negara sekaliber Amerika sekalipun pertanian itu menjadi tulang punggung dan tak akan menyerahkan urusan perut kepada siapapun. Cerminan ini secara jelas dinyatakan seorang senator di Amerika pada tahun 1982,”bila kita ingin menghimpun dan memimpin orang, serta membuat mereka tergantung, terus mau bekerja untuk kita, itu adalah dengan cara membuat mereka ketergantungan makan dengan kita”.

Artinya silakan usir petani dari tanah pertanian, import pkacang kedelai, gandum, daging sapi dan segera bangun perkebunan-perkebunan besar untuk eksport, segera bangun infrastruktur untuk memfasilitasi masuknya investasi, lakukan terus tindak kekerasan di tanah-tanah pertanian serta datangkan investasi asing sebanyak-banyaknya. Atau jalankan reforma agraria, sediakan kredit murah bagi petani, proteksi petani dari serbuan hasil produksi pertanian luar negeri, bangun teknologi pertanian yang murah, massal dan mudah. Itu hanya tinggal pilihan, apaka kita sebagai bangsa menikmati keterjajahan atau ingin bangkit melawan. Karena bagi petani, apapun resikonya pilihannya adalah jelas, ingin sejahtera, adil dan merdeka.*** dimuat di pembaruan tani juli 2006
Baca Selanjutnya......